Otot kaki Moreau mendadak lemah mendapati tangan Abihirt meluncur di bawah sana. Jari cekatan itu menemukan jalan masuk di balik celana tipis. Dia tersentak, segera mencengkeram di bahu Abihirt saat pria tersebut bernapas nikmat di ceruk lehernya. Lidah hangat Abihirt begitu konsentrasi mencerminkan gerakan jari pria itu di bawah.
Moreau merasakan panas yang menggetarkan. Setiap sensasi merangkak ke puncak kepalanya. Dia berpegangan makin erat. Tidak sadar kapan ... matanya sempat terpejam, tetapi iris biru terang itu juga tersentak terbuka. Pemandangan luar dari jendela kaca membutakan pengelihatan Moreau saat puncak gairah, dan mulut Abihirt yang merampas bibirnya, menenggelamkan pelesapan yang akan segera diledakkan. Tubuh Moreau berakhir lemah di pelukan Abihirt. Napas mereka naik turun dalam hirup – pikuk tak beraturan. Namun, dia mengerti ini bSapuan angin kepada dedaunan kering memberi sedikit sentuhan ganjil di sekitar halaman rumah. Barbara mengernyit heran mendapati situasi terasa begitu hampa. Sudah cukup sore, seharusnya mobil Moreau terlihat, karena dia tahu ini sudah lewat dari jam latihan, sama seperti tekadnya untuk mengatur jadwal pulang lebih cepat. Barbara tidak tahu apa yang akan dilakukan sendiri di Paris setelah acara pergelaran selesai. Samuel tidak di sana menemani, dan pria sesungguhnya yang paling dia tunggu ... juga telah mengingkari janji tanpa memberi kabar sampai saat ini. Berpikir lebih baik tidak memberitahukan apa pun tentang kepulangannya. Tidak usah mengisyaratkan sesuatu mengenai beberapa hal kepada Abihirt. Berniat ingin menyusul ke kediaman mewah sang suami nanti, setelah dia sudah cukup tenang melepaskan diri di kamar mandi. Satu langkah Barbara ... berniat kembali melanjutkan tindakan yang tertunda. Dia memegang koper, menyeret
Napas Moreau tercekat ketika dia membuka pintu rumah dan tiba – tiba harus mengetahui ibunya ada di sana. Sedang duduk di atas sofa dengan kedua kaki mengapit di antara tubuh Abihirt, sementara pria itu begitu tenang bersandar di kaki sofa diliputi wajah menengadah, menghadap ke satu titik, di mana Barbara luar biasa fokus menambahkan pijatan ringan setelah wanita itu membaluri gel kental di bagian rahang. Kejutan. Sebuah romantisme sederhana, yang tidak pernah Moreau pikirkan akan dia temukan di sini. Persis seperti dia tidak pernah mengira bahwa ayah sambungnya akan menaruh seluruh kepercayaan kepada wanita yang secara kebetulan mendapati Moreau masih berdiri di depan pintu. Gugup ketika kontak mata mereka bertemu. “Kau pulang lebih lama dari jadwal latihan?” Begitu yang pertama kali Moreau dapatkan. Sesekali dia akan melirik ke wajah ayah sambungnya. Abihirt bahkan tidak peduli, ntah dia tiba di rumah setelah latihan panjang, atau tentang ingatan bercinta, tindakan tak bermo
Pagi – pagi sekali, rasanya Moreau hampir tidak pernah ingat akan menghadapi situasi yang cukup menghibur ketika dia mengetahui beberapa tamu, keluarga dari ibunya, datang dan sedang berkumpul di meja makan. Kebetulan ada si kecil Troyas sedang memainkan perangkat makan di pangkuan seorang wanita. Moreau langsung melangkah lebih dekat, sesekali mengusap pipi gempal, yang pemiliknya seolah tidak peduli atas kedatangan lainnya. “Boleh aku pinjam anakmu sebentar, Lauren?” Dia mengulurkan tangan tidak sabar, tahu bahwa wanita yang dipanggil hati – hati, keponakan dari ibunya, tidak pernah keberatan menitipkan bocah berusia dua tahun itu, atau Moreau bisa menyebut keponakan kecil yang menggemaskan. Dia mencium wajah Troyas ketika anak laki – laki tersebut terlalu sibuk memainkan sendok plastik di tangan. Aroma bayi masih begitu khas. Moreau semakin tidak bisa menahan diri, mengendus bagian belakang leher padat kencang sambil memelu
Kebutuhan menyusul seolah memancar dari bahu Barbara. Moreau mengerti keinginan yang sedang ibunya persiapkan, sehingga memilih dengan hati – hati mendekap tubuh gempal Troyas. Lauren telah selesai menyuapi anak laki – laki tersebut, dengan lembut berpamitan untuk meletakan perangkat makan di tempat pencucian. Tubuh Troyas menggeliat, ingin turun, dan benar – benar akan merekatkan telapak kaki di atas lantai yang dingin. Moreau tidak cukup berani memaksa keponakan kecilnya, berharap Troyas tidak akan berlarian, tetapi dia salah. Anak laki – laki itu langsung memeluk Lauren yang sedang berdiri sambil tersenyum, seakan sangat puas mendapati Moreau hanya diam, tanpa berusaha mencegahnya. “Troyas memang senang mengajak siapa pun berlari. Dia sepertinya senang bersamamu, Moreau. Tapi sedikit malu – malu.” Lauren segera menambahkan setelah wanita itu se
“Siapa yang melakukan ini?” Sekali lagi, dapat disebut untuk pertama kali, akhirnya Barbara mengatakan satu hal. Bicara diliputi suara menahan amarah, nyaris bergetar, tetapi Moreau memahami betapa wanita itu berusaha menyesuaikan diri. Berusaha agar tidak meledak, terutama mereka sedang memiliki tamu. Kegugupan Moreau bertambah serius ketika dia harus mengamati kemunculan John yang sepertinya telah diburu. Suami Lauren mungkin mendengar suara menggelengar, mencari sumbernya, kemudian berhenti di sana. “Maaf, Nyonya, saya—saya—“ “Maaf, Mom. Aku sedang mengejar Troyas dan tidak sengaja menyenggolnya.” Moreau mendeteksi Caroline akan mengajukan diri, mengakui sesuatu yang sebenarnya tidak seutuhnya wanita itu lakukan. Dia juga mengambil andil. Andai, tidak mengeja
“Apa yang mau kau lakukan, Mom?” Moreau bertanya sarat nada waspada. Satu benda lain di tangan Barbara menegaskan sesuatu. Gunting. Dia tahu ini akan menjadi hal brutal dari keputusan yang akan datang. Jaket cokelat berbulu di genggaman Barbara jelas bukanlah prospek bagus di sana. Moreau belum sempat menemukan cara menghentikan, tetapi wanita itu telah melakukan tindakan secara sengaja. Mencabik – cabik kain di hadapannya—bahkan luar biasa menikmati suara sasak gunting di sekitar mereka. “Mom!” Moreau ingin bertindak, tetapi pada akhirnya tindakan Abihirt selalu lebih cepat dari naluri yang dia miliki. “Apa yang kau lakukan?!” Tangan besar itu turut menggenggam jaket berbulu yang sama. Tubuh jangkung Abihir
Pedih, kebas, bercampur dalam reaksi pertama yang dapat Moreau rasakan. Dia memegangi wajahnya seraya hati – hati menatap sesuatu masih tertinggal di tangan wanita itu. Tidak ada lagi yang Moreau katakan. Matanya memanas, tetapi juga didesak kebutuhan merenggut jaket yang telah dilubangi di sana. Biarkan wanita itu terkejut. Moreau langsung melangkahkan kaki, menyiapkan pilihan untuk meninggalkan Barbara di sana, walau kemudian dia akan mendapati Abihirt bicara. “Aku tidak merasa kau perlu melakukan ini, Barbara. Tindakanmu berlebihan.” “Aku hanya memberinya pelajaran supaya lain kali Moreau bisa menjaga suaranya di depanku.” “Kau merusak jaket dari ayahnya.” “Itu kulakukan untuk membalas guci kesayanganku yang pecah.” Dalam sekejap Moreau menelan ludah kasar mendeteksi wajah Abihirt yang langsung menatap Caroline tajam. Dia masih di sana, secara naluriah berhenti sekadar mengetahui yang tersisa. Pria itu tentu menuntut tanpa upaya membocorkan yang sebenarnya, walau Carolin
“Maafkan saya atas kekacauan yang terjadi, Nona. Anda tidak harus melakukan ini demi melindungi saya. Jika saya dipecat, mungkin itu yang memang seharusnya saya terima. Bukan Anda. Bukan barang – barang Anda yang diambil dan dirusak.” Moreau tidak pernah mengira Caroline akan segera menyusul setelah wanita itu menyelesaikan serpihan guci yang berhamburan. Dia memang tak menatap ke wajah Caroline, tetapi rasa bersalah di balik suara wanita itu begitu pasti. Ini tidak benar. Kekacauan bermula karena dia mengejar Troyas. Kalau saja, Moreau tidak cukup antusias mengajak Troyas bermain – main. Peristiwa mengejutkan itu tidak akan pernah terjadi. Guci Barbara tidak akan akan tersikuk, jatuh, pecah, berantakan, dan terpenting ... Moreau tidak akan mendapati jaket pemberian ayahnya menjadi sasaran, tidak berdaya, bolong di satu titik dengan—baginya—mengenaskan. “Tidak apa – apa, Caroline. Aku tidak menyalahkanmu, tapi bisakah tinggalkan aku sendiri? Aku sedang tid