Setelah Juan berpamitan pulang, situasi di rumah benar – benar terasa sepi. Moreau tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak ada jadwal latihan karena mereka telanjur mengatakan kepada Anitta mengenai kecelakaan disengaja ini, yang akan sulit dikendalikan sebagai alasan untuk bersenang – senang. Namun, keinginan sekadar menikmati hari dengan bermalas – malasan berubah menjadi malapetaka.
Moreau tidak menyangkal bahwa ini mungkin adalah bagian dari pengaruh terhadap Abihirt. Tentang keterdiaman pria itu dan bagaimana cara ayah sambungnya meninggalkan pelbagai macam prospek di antara mereka. Semua beranjak semacam gambaran multi tafsir. Moreau sudah berulang kali berusaha menyingkirkan pelbagai bayangan tentang pria itu di benaknya. Bukan sesuatu yang mudah karena bagian tersebut jelas merupakan kesalahan terbesar yang telah dia ambil. Ini cukup menyakitkan. Dia ingin terbebas dari bentuk ikatan apa pun, ntah apakah itu terdengar sangat menjerat atau pada tempo lainTidak ada pembicaraan penting. Tidak ada yang dapat dipaksakan untuk tetap pada kebutuhan mereka. Moreau melakukan setiap apu pun hal yang dibutuhkan dengan sangat cepat. Dia tidak peduli, walau terkadang ... lebih sering merasakan betapa mata kelabu Abihirt seperti menusuk di balik bahunya, seakan – akan pria itu sedang mengawasi setiap detil hal secara diam – diam dan berharap Moreau tidak akan memahaminya. Dia tentu akan memahami segala sesuatu setelah merasa ada ancaman buas tak terduga. Mungkin akan menjadi bagian paling buruk jika tetap berada pada pendirian untuk bersikap mengetahui keberadaan Abihirt di sini. Atmosfer sudah terlalu buruk dan Moreau tak bisa menyerah begitu saja. Dia mengembuskan napas secara perlahan dari celah bibir. Segera, dengan pelbagai tekad dalam dirinya sekadar mengumpulkan keberanian menghadap Abihirt. Situasi terasa mendadak curam ketika Moreau berbalik badan. Tidak pernah berpikir bahwa mata kelabu Abihirt akan menilik dengan cara b
Ganjil mengetahui jika Abihirt akan membebaskannya begitu saja. Seharusnya Moreau bisa menebak sejak awal kali ketika mata kelabu itu tidak pernah menaruh minat ke sisi berbeda. Langkah yang baru saja dia ambil tertahan dengan tak terduga setelah satu sentuhan kasar mencengkeram di pergelangan tangan. Ada antisipasi berkeliaran hebat dan Moreau hampir lupa bagaimana cara bernapas dengan baik. Ujung tenggorokannya terasa mencekat ketika menengadah tinggi ke wajah Abihirt. Pria itu menunduk persis menatap diliputi kilatan mengancam. Dia tidak tahu apa yang sedang ayah sambungnya pikirkan, tetapi ini sungguh terasa seperti suatu ancaman besar. “Aku ingin kembali ke kamarku, Abi. Lepaskan.” Ada ketakutan yang menjalar liar. Namun, Moreau tak bisa menyangkal bahwa sulur – sulur keberanian telah berusaha menyelinap ke dalam dirinya. Dia terpaku pada sikap Abihirt, meski di satu sisi muncul desakan untuk tidak diam begitu saja. “Apa yang Juan lakukan di kamarmu?” U
Moreau tidak akan pernah berjuang keras melakukan apa pun. Cukup lelah seperti apa yang telah dikatakan kepada Abihirt. Dia memang kewalahan menghadapi pelbagai hal belakangan ini. Tuduhan Barbara belum jelas apakah wanita itu akan memutuskan untuk percaya terhadap setiap kecurigaan yang menerobos liar atau tidak. Benaknya tidak berusaha memikirkan hal dengan dampak paling terjal. Akan lebih adil jika dia meninggalkan tempat ini. Ya. Moreau benar – benar akan melakukan rangkaian kebutuhan tersebut ketika tiba – tiba Abihirt mengangkat dan memanggul tubuhnya di garis bahu pria itu. “Abi!” Ruangan seperti berputar – putar di depan Moreau saat Abihirt berjalan meninggalkan dapur. Hentakkan menaiki undakan tangga terasa cukup kentara meliputi tujuan pria itu yang sebenarnya. Abihirt menginginkan kamar sebagai satu – satunya tempat terpencil agar mereka ... barangkali dapat berteriak satu sama lain, tanpa perlu begitu mengkhawatirkan bahwa Caroline mungkin akan mendengar
“Kita belakangan tidak pernah melakukan hal ini, maksudku ... sebagaimana aku adalah submissif-mu, Abi. Aku butuh waktu untuk benar – benar siap setelah apa yang terjadi sekarang. Kau tahu ibuku—“ Rasanya sisa – sisa kalimat di ujung tenggorokan kembali didorong dan terjebak dengan sangat mencekat di batang leher Moreau. Dia berusaha memahami situasi. Abihirt menawarkan ketegangan di bahunya, sulit percaya bahwa kemarahan akan menguasai pria itu di sini. “Abi—“ Tingkat waspada di benak Moreau meningkat pesat ketika dia mengamati satu kaki Abihirt telah menekuk di atas ranjang. Suara kasur berderak seperti suatu ancaman besar, tetapi jelas ... pria itu tidak akan berhenti untuk mendekatinya. Moreau menahan napas saat semerbak aroma tubuh Abihirt berkeliaran di sekitar wajahnya. Tantangan dari maskulinitas pria itu tidak berubah. Dia benci ketika harus terjebak oleh keinginan untuk menghirup lebih banyak terhadap sesuatu yang sedang ayah sambungnya tawarkan di sini
Masih tentang prospek tidak adil, tetapi tumbukan di jantung Moreau seperti telah meninggalkan begitu banyak lubang. Betapa bodoh, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menambal jejak - jejak yang tertinggal dalam setelah jatuh begitu terjal. Dapat dipastikan rasa sakit tidak akan hilang pada waktu – waktu yang singkat. Hanya perlu tekad paling kuat, maka seharusnya tidak akan terlalu buruk mengakhiri semua yang terikat di antara mereka. “Ini tidak adil, Abi,” ucap Moreau lengkap dengan usaha untuk membangkitkan keberanian utuh yang terpendam di benaknya. Dia menatap ke dalam mata kelabu Abihirt. Tidak cukup leluasa untuk memahami apa yang sedang pria itu pikirkan, karena batasan yang terbentang di antara mereka semacam sebuah tembok raksasa tak terpecahkan. Perlu mati – matian merangkak supaya sampai pada ujung tertinggi, tetapi Moreau yakin ... dia tak akan pernah bisa. “Kau egois.” Lagi. Desakan dalam dirinya tidak ingin berhenti begitu saja. Masih tersimpan ra
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k
“Kalau bukan apa – apa, kau tidak akan bersikap berlebih setelah mendengar penjelasanku.” Tidak ingin menyerah, Moreau mengatakan penyangkalan dalam dirinya begitu saja. Itu adalah reaksi murni yang sungguh tidak dia inginkan, jika pada akhirnya akan cukup mengerikan mendapati iris kelabu Abihirt secara mendadak menyerupai ujung pedang yang tajam. Sorot mata pria itu terlalu kelam. Dia hampir lupa bagaimana tetap berpegangan ketika hampir terhanyut dan terombang ambing di sana. “Aku benar, kan? Kau tidak biasanya bersikap seperti ini.” Sial. Bentuk pemberontakkan dalam diri Moreau terlalu murni. Dia tak bohong ternyata cukup kewalahan sekadar memisahkan mana bagian paling penting ketika perlu menjadi benar – benar berani dan tidak. Abihirt punya ruang penuh untuk menghukumnya dengan cara apa pun. Bahkan kenyataan sebenarnya mengatakan bahwa dia masih terjerembab dalam perangkap pria itu. Dia tak harus lupa jika borgol yang menjerat pada salah satu pergelangan tangan a
“Kau lihat saja, aku akan memotong penismu jika sampai ibuku mengetahui bekas yang kau tinggalkan.” Moreau tidak benar – benar mengancam, tetapi dia yakin itu akan cukup menunjukkan betapa dia merasa kesal kepada ayah sambungnya. Kedutan samar di sudut bibir Abihirt memperlihatkan respons signifikan bahwa sebenarnya pria itu sedikit terhibur oleh sesuatu yang mungkin membuat ketegangan mereka selama beberapa hari meluap begitu saja. “Kau akan membawa pakaian kering ini ke kamarku?" Hanya kebetulan hening berusaha mengambil tempat dan tiba – tiba sayup suara Barbara menyelinap di sekitar udara. Dapat dipastikan wanita itu sedang berbicara kepada Caroline. Barangkali secara kebetulan mereka bertemu di lorong lantai dua, tetapi bagian tersebut adalah petunjuk bahwa Barbara akan segera menginjakkan kaki ke kamar; tidak perlu mengetuk sekadar beranjak masuk masuk; cukup dengan menekan gagang pintu andai Abihirt lupa mengunci dari dalam. Dia tak benar – benar mengamat
“Tidak sulit mencari tahu di mana kau akan tinggal.” Pernyataan tersebut terdengar ambigu. Moreau mengangkat sebelah alis tanpa sadar, sembari memperhatikan cara ayah sambungnya meletakkan perangkat masak yang kotor ke atas westafel. Tidak dimungkiri bahwa penampilan Abihirt natural. Sempurna alami, dengan kemeja polos sewarna biru muda, yang bagian tangan digulung sebatas siku dan memperlihatkan betapa kedua lengan itu indah diliputi urat yang tampak menjalar, kemudian menghilang di balik bahan kain lembut di sana. “Apa ibuku yang memberitahumu?” Setelah mengerjap, Moreau mengembalikan kesadaran dengan kembali bertanya. Memang, begitu banyak cara mengetahui di mana dia akan tinggal, tetapi dugaan tentang Barbara terdengar sebagai kemungkinan paling dekat. Tidak dimungkiri apabila ibunya tiba – tiba bersedia bicara kepada suami wanita itu. “Tidak.” Singkat. Namun, itulah yang ntah bagaimana dengan mudah menarik perhatian Moreau supaya melangkah l
Berulang kali kelopak mata Moreau mengerjap oleh sulur – sulur suara yang merambat semakin jelas saat dia akhirnya menatap ke sekeliling ruangan. Tidak ada perubahan signifikan. Hanya beberapa bagian, setidaknya, terlihat sedikit lebih rapi setelah dia melakukan penataan ulang. Moreau meregangkan otot – otot yang terasa kaku. Dia tidak ingat kapan terakhir memutuskan untuk tidur dan ketika terbangun, langit terlihat cukup gelap di luar sana. Sial, dia tertidur cukup lama—dengan suara perut lantang menyaring ke udara. “Kau lapar, Baby?” Sambil memegangi bagian tubuhnya yang masih terlihat rata, Moreau tersenyum—tidak terbiasa bicara seperti ini, tetapi ini mungkin akan menjadi rutinitas krusial. Dia perlu memasak sebelum bisa mencicip sesuatu yang bisa membuatnya kenyang. Barbara telah menyiapkan bahan mentah—mungkin Moreau tidak akan memilih menu berat atau yang akan membutuhkan waktu lebih lama menuju matang. Dia sudah merasa bisa memakan kuda, jika tidak secepatn
“Aku memang mengizinkanmu untuk tinggal sendiri dan belajar menjadi mandiri di sini, tapi tidak berarti kau memiliki kebebasan pergi bersama temanmu.” Tidak tahu harus berapa kali Moreau mendengar kata – kata ibunya yang mengandung makna serupa. Mungkin wanita itu tidak akan pernah benar – benar selesai sebelum mengapai kepuasan menuju proses kesimpulan yang menyenangkan. Seluruh bagian dari tempat ini. Dari sudut mana pun—memang adalah pilihan sempurna. Tidak sulit bagi Barbara menemukan rumah layak tinggal dengan kenyaman fasilitas sebagai prospek utama. Rumah barunya. Ya. Moreau menyukai tempat ini. Rasanya, dia tak bisa membayangkan ketenangan seperti apa yang akan dia usahakan. Sekarang dan hari berikutnya dia akan terbebas dari Abihirt maupun drama pernikahan pria itu bersama ibunya; atau yang tidak bisa Moreau lupakan ... mengenai masalah mereka yang tak pernah menuju ujung kesepakatan. Paling tidak, dia bisa mencoba—perlahan – lahan untuk mer
“Kau tidak bisa mengatakan apa pun, itu artinya kau memang menguping. Sekarang biarkan aku pergi. Juan sudah menunggu di luar.” Moreau bergeser ke samping demi mencari sisa ruang untuk melewati tubuh ayah sambungnya. Namun, telah dipastikan bahwa Abihirt tidak akan melepaskannya begitu saja. “Aku kebetulan melewati dapur dan tidak sengaja melihatmu dan ibumu,” pria itu menambahkan jawaban. Sesuatu yang membuat Moreau merasa tertarik. Paling tidak, bersedia bertahan sesaat. “Lalu kau berhenti dan mendengarkan semuanya, begitu?” dia bertanya. Tidak ada kata – kata terungkap dari mulut Abihirt. Seolah diam ... telah cukup sekadar menegaskan informasi di antara mereka. “Lupakan. Tidak penting juga. Aku sudah terlambat latihan. Jangan melarangku pergi.” Moreau benar – benar tidak berusaha menaruh perhatian apa pun. Dia sungguh akan melanjutkan langkah tertunda, meski secara garis besar Abihirt langsung mengambil tindakan untuk mencegahnya pergi. “Mengapa ka
[Cepatlah, Amiga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.] Pesan sarat ekspresi tidak sabar dari Juan terus mendesak Moreau saat dia sedang menyiapkan kebutuhan tersisa. Ponsel, tas dan botol minum. Ketiga hal tersebut tidak boleh dilupakan. Juan akan mengatakan segala sesuatu lebih panjang ketika pria itu mendapati ketidaksengajaan yang lantas bermula di antara mereka. Pada akhirnya, mereka harus mengakui bahwa Anitta tidak memberi izin libur, tidak peduli sebenarnya Juan telah mengatakan Moreau mengalami masalah kesehatan—seperti yang malam itu pria tersebut katakan. Semua selesai dalam waktu singkat. Selebihanya, dia hanya perlu dengan cepat mengambil langkah meninggalkan kamar. Harusnya tidak sulit menuju ambang pintu, tetapi keberadaan seseorang di belakang, secara tidak langsung membuat tubuh Moreau terdorong mundur. Dia terkejut. Lantas mengangkat wajah—nyaris tak begitu siap mendapati Abihirt menjulang tinggi diliputi tatapan tajam. Seperti ada kemarahan di dalam
“Mom, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.” Setelah memikirkan pelbagai rencana yang akan dia ambil sepanjang malam. Moreau akhirnya sampai pada keputusan akhir. Keluar dari rumah ini adalah pilihan yang tepat. Mereka tidak akan menghadapi masalah lebih rumit. Tidak akan ada kecemburuan lebih buruk atau membayangkan bagaimana posisinya mengalami kemerosotan tidak adil. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Pertanyaan sinis dari Barbara mencuak ke permukaan. Ibunya terdengar tidak dalam suasana hati yang bagus. Namun, bagaimanapun Moreau tidak bisa menunggu lebih lama. Ini desakan darurat dan kebetulan Abihirt tidak terlihat di mana pun di sekitar dapur. Barangkali pria itu sedang disibukkan oleh kegiatan sendiri. “Aku berencana tinggal sendiri.” “Maksudmu kau ingin mengangkat kakimu dari rumah ini?” “Ya.” “Mengapa begitu tiba – tiba?” “Tidak tiba – tiba. Aku merasa sudah cukup besar dan sudah saatnya aku membangun kehidupanku sendiri.”
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc