“Kita belakangan tidak pernah melakukan hal ini, maksudku ... sebagaimana aku adalah submissif-mu, Abi. Aku butuh waktu untuk benar – benar siap setelah apa yang terjadi sekarang. Kau tahu ibuku—“
Rasanya sisa – sisa kalimat di ujung tenggorokan kembali didorong dan terjebak dengan sangat mencekat di batang leher Moreau. Dia berusaha memahami situasi. Abihirt menawarkan ketegangan di bahunya, sulit percaya bahwa kemarahan akan menguasai pria itu di sini. “Abi—“ Tingkat waspada di benak Moreau meningkat pesat ketika dia mengamati satu kaki Abihirt telah menekuk di atas ranjang. Suara kasur berderak seperti suatu ancaman besar, tetapi jelas ... pria itu tidak akan berhenti untuk mendekatinya. Moreau menahan napas saat semerbak aroma tubuh Abihirt berkeliaran di sekitar wajahnya. Tantangan dari maskulinitas pria itu tidak berubah. Dia benci ketika harus terjebak oleh keinginan untuk menghirup lebih banyak terhadap sesuatu yang sedang ayah sambungnya tawarkan di siniMasih tentang prospek tidak adil, tetapi tumbukan di jantung Moreau seperti telah meninggalkan begitu banyak lubang. Betapa bodoh, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menambal jejak - jejak yang tertinggal dalam setelah jatuh begitu terjal. Dapat dipastikan rasa sakit tidak akan hilang pada waktu – waktu yang singkat. Hanya perlu tekad paling kuat, maka seharusnya tidak akan terlalu buruk mengakhiri semua yang terikat di antara mereka. “Ini tidak adil, Abi,” ucap Moreau lengkap dengan usaha untuk membangkitkan keberanian utuh yang terpendam di benaknya. Dia menatap ke dalam mata kelabu Abihirt. Tidak cukup leluasa untuk memahami apa yang sedang pria itu pikirkan, karena batasan yang terbentang di antara mereka semacam sebuah tembok raksasa tak terpecahkan. Perlu mati – matian merangkak supaya sampai pada ujung tertinggi, tetapi Moreau yakin ... dia tak akan pernah bisa. “Kau egois.” Lagi. Desakan dalam dirinya tidak ingin berhenti begitu saja. Masih tersimpan ra
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k
“Kalau bukan apa – apa, kau tidak akan bersikap berlebih setelah mendengar penjelasanku.” Tidak ingin menyerah, Moreau mengatakan penyangkalan dalam dirinya begitu saja. Itu adalah reaksi murni yang sungguh tidak dia inginkan, jika pada akhirnya akan cukup mengerikan mendapati iris kelabu Abihirt secara mendadak menyerupai ujung pedang yang tajam. Sorot mata pria itu terlalu kelam. Dia hampir lupa bagaimana tetap berpegangan ketika hampir terhanyut dan terombang ambing di sana. “Aku benar, kan? Kau tidak biasanya bersikap seperti ini.” Sial. Bentuk pemberontakkan dalam diri Moreau terlalu murni. Dia tak bohong ternyata cukup kewalahan sekadar memisahkan mana bagian paling penting ketika perlu menjadi benar – benar berani dan tidak. Abihirt punya ruang penuh untuk menghukumnya dengan cara apa pun. Bahkan kenyataan sebenarnya mengatakan bahwa dia masih terjerembab dalam perangkap pria itu. Dia tak harus lupa jika borgol yang menjerat pada salah satu pergelangan tangan a
“Kau lihat saja, aku akan memotong penismu jika sampai ibuku mengetahui bekas yang kau tinggalkan.” Moreau tidak benar – benar mengancam, tetapi dia yakin itu akan cukup menunjukkan betapa dia merasa kesal kepada ayah sambungnya. Kedutan samar di sudut bibir Abihirt memperlihatkan respons signifikan bahwa sebenarnya pria itu sedikit terhibur oleh sesuatu yang mungkin membuat ketegangan mereka selama beberapa hari meluap begitu saja. “Kau akan membawa pakaian kering ini ke kamarku?" Hanya kebetulan hening berusaha mengambil tempat dan tiba – tiba sayup suara Barbara menyelinap di sekitar udara. Dapat dipastikan wanita itu sedang berbicara kepada Caroline. Barangkali secara kebetulan mereka bertemu di lorong lantai dua, tetapi bagian tersebut adalah petunjuk bahwa Barbara akan segera menginjakkan kaki ke kamar; tidak perlu mengetuk sekadar beranjak masuk masuk; cukup dengan menekan gagang pintu andai Abihirt lupa mengunci dari dalam. Dia tak benar – benar mengamat
Napas Barbara berembus kasar kali pertama mendapati suaminya sudah ada di kamar. Dia masih menyentuh gagang pintu dan segera menutup kamar dengan rapat. Posisi Abihirt persis begitu tenang duduk di pinggir ranjang. Kedua tangan pria itu berpangku pada kaki yang menapak di lantai, bentuk posisi yang tampak benar – benar tidak memberi banyak pengaruh, walau Barbara harus mengakui bahwa suaminya perlu sedikit membungkuk sembari melakukan kontak mata berdua. Rasanya sudah cukup—semalam mereka menghadapi pertengkaran hebat dan berakhir dengan Abihirt meninggalkan pelbagai ketakutan di benaknya. Barbara sudah begitu khawatir ketika pria itu tidak memberi kabar. Dia hampir tidak tidur semalam, tetapi tidak dimungkiri bahwa urusan kantor tidak bisa ditinggal hanya karena butuh terlelap lebih lama, meski kebutuhan tersebut seakan telah lenyap tak bersisa. Mungkin ini saatnya. Setiap detil bagian dari tindakan Abihirt tidak luput dari perhatian Barbara, termasuk saat dia harus
“Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” tanya Barbara dengan kewaspadaan merangkak cepat ke permukaan. Dia berusaha beringsut mundur saat mengetahui suaminya telah mencondongkan tubuh dan menepis sisa jarak di antara mereka. Wajah pria itu benar – benar mendekat. Sesuatu yang menyebarkan beberapa tanda tanya besar. Barbara harus menghadapi desakan tak terduga di mana Abihirt telah merampas bibirnya dengan begitu terburu. Dia masih cukup terkejut, tetapi segera mengendalikan diri untuk mengimbangi apa pun yang terasa masih sangat mendadak. Sedikit senyum di balik ciuman mereka—Barbara tidak akan bersikap terancam andai dia tahu inilah yang kemudian Abihirt lakukan. Paling tidak, bukan lagi tentang kemarahan, perdebatan semalam dan hal – hal yang terasa menjengkelkan. Hanya kemudian Barbara terkesiap ketika tangan Abihirt mendorongnya kasar supaya beringsut ke belakang. Pria tersebut ingin dia bersandar di kepala ranjang, maka itulah yang dia lakukan. “Kau benar – be
Moreau mendengar segala sesuatu di sana. Suara tautan bibir; perintah Abihirt; dan bagaimana Barbara kemudian bersuara. Semuanya merupakan prospek yang jelas memberi dia petunjuk tentang apa yang telah terjadi di atas kepalanya saat ini, di mana ranjang sesekali terdengar berderak dan .... Ya, cukup sakit membayangkan Abihirt saat ini sedang mencumbu Barbara; memberi wanita itu kepuasan—apa pun, yang berkaitan dengan kebutuhan meluapkan hasrat bersama. Sementara dia harus bersembunyi seperti seseorang yang baru saja memborong kebodohan. Hanya berharap tidak pernah ketahuan. Berharap dengan bersembunyi bisa menghindari masalah lebih besar. Mungkin terlalu naif jika dia masih mendambakan pertolongan secepatnya. Tidak ada yang tahan untuk berada di sini lebih lama; ditumbuk oleh pelbagai kenyataan paling getir bahwa betapa pun dia terjebak pada situasi yang tak dapat dikendalikan, itu masih tergolong ke dalam keputusan paling salah. Seharusnya tidak membiarkan Abihirt menye
Tidak terlalu lama sebenarnya, tetapi Barbara tidak menyukai saat – saat dia harus dibuat begitu penasaran terhadap sesuatu yang tidak berusaha Abihirt ungkapkan secara gamblang. Rasanya seperti membiarkan dirinya terpanggang di dalam oven, sementara pria itu pergi berkeliling ke suatu tempat untuk kemudian muncul kembali tanpa peringatan. Hanya suara ranjang berderak dan membuat Barbara berusaha menahan separuh kekesalan yang bertumpuk di benaknya. Dia tidak ingin lepas begitu saja. Mereka sudah cukup puas bertengkar semalam. Meski tidak dimungkiri bahwa cara Abihirt meninggalkannya dengan situasi seperti ini menyerahkan begitu banyak gambaran tidak masuk akal. Dorongan implusif seakan memberi tahu agar dia dapat berpikir lebih jernih untuk mencurigai suaminya. “Kau dari mana saja?” tanya Barbara setelah merasakan betapa jarak antara dia dan bagaimana Abihirt sudah begitu dekat, lalu membuka ikatan dasi di yang menutup di matanya. Aroma maskulin—khas dari tubuh pria it
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc
“Aku tidak peduli ibuku sudah tidur atau tidak. Sekarang pergilah,” Moreau melanjutkan tanpa mencoba menatap wajah ayah sambungnya. Biarkan Abihirt mengerti. Pria itu akan segera mengerti saat merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka telah diadili kenyataan menyakitkan. Sudah cukup membiarkan efek samping melewati ruang bercelah dan hampir menjadikannya tiada. “Suster mengatakan kau baik – baik saja. Bagaimana dengan sekarang?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar tak yakin. Tidak biasanya. Secara naluriah Moreau mendengkus. Dia tidak akan pernah mengerti terhadap apa pun yang berkaitan dengan pria itu. Terlalu membingungkan dan sejak kapan Abihirt akan bersikap ragu – ragu terhadap dirinya? Apa yang sebenarnya sedang pria itu takutkan? Seharusnya tidak ada. Semua tidak mudah dipahami. Bahkan gagasan paling sungkar dimengerti sekalipun, tidak akan memiliki peran terburuk untuk membuat seseorang terus terjebak pada situasi tidak memungkinkan. “Apanya yang bagaimana d
Tidak ada perangkat apa pun yang dapat digunakan sebagai bahan penunjang. Barangkali karena lantai dua dan jalur dinding berlikuk dari desain dinding luar rumah menjadi petunjuk utuh? Itu cukup masuk akal. Tubuh tinggi Abihirt tidak akan sulit meraih celah kecil yang seharusnya membantu pria tersebut memanjat. Celakalah. Ini jelas sesuatu yang berbahaya. Moreau segera menyalakan lampu ruangan, tidak ingin kesan temaram membuat situasi terasa lebih mengerikan. Dia harus benar – benar waspada. Abihirt terlalu serius saat pria itu berharap dapat mengendalikan situasi; seperti saat mereka dituntut bicara, maka seharusnya mereka harus segera bicara. “Moreau, buka pintunya. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu.” Dorongan dalam diri Moreau spontan membayangkan ungkapan tersebut sebagai kebohongan besar. Abihirt tidak pernah peduli kepadanya. Tidak pernah. Andai pria itu memiliki sedikit simpatisan, mungkin tidak akan pernah adegan penyiksaan yang bersembunyi di balik k
“Buka pintunya, Moreau. Aku tahu kau ada di dalam.” Moreau merasakan sayatan begitu dahsyat di dadanya saat sulur – sulur bisikan Abihirt menyelinap dari luar kamar. Sudah larut malam. Dia tahu pria itu mencari waktu yang tepat untuk memulai aksi. Tidak. Moreau tidak akan membiarkan kesalahan kembali terulang ketika mereka bertemu. Rasa sakit telah bertumpuk dan menjadikan begitu banyak hal menyimpang di antara mereka. Dia akan lebih bersuka cita jika terdapat pengalihan serius dari sebuah cinta, lalu berakhir sebagai episode kebencian yang panjang. Barangkali itu akan terjadi saat mereka bertatap muka, membuat dia mengingat kembali setiap detil peristiwa paling buruk yang sengaja ayah sambungnya mulai. Moreau secara naluriah memejam, mencoba untuk melupakan perlakuan jahat tersebut. Dia sangat ingin meluapkan segala bentuk amarah kepada Abihirt. Ya, sangat. Hanya merasa belum cukup siap digulung oleh situasi mencekam di antara mereka. Sesuatu dalam dirinya bah
Senyum puas menjadi selimut tebal kali pertama Barbara mendapati kebingungan di wajahnya. Moreau mengerti, dia mungkin akan menerima sebuah ledakan dahsyat. Berharap sanggup menyiapkan kejutan di dalam dirinya, tetapi tidak pernah menyangka bahwa ternyata itu benar – benar begitu menyakitkan. “Kau akan menjadi seorang kakak.” Moreau mengerjap berulang kali. Tahu betapa konyol sikapnya di sini. Dia akan menjadi seorang kakak .... Salahkah jika sesuatu dalam dirinya berharap itu adalah gagasan sungkar dimengerti? Dia harap tidak pernah mengerti maksud dari menjadi seorang kakak. Ironi, kenyataan berkata sangat jahat. Moreau jelas sangat memahami maksud yang begitu terselubung di balik pernyataan ibunya. Wanita itu sedang mengandung, dan celaka ... dia juga dihinggapi bentuk kebenaran terburuk. Mereka mengandung bayi dari pria yang sama. Apa yang bisa dikatakan? Moreau berusaha menelan kenyataan pahit dengan tenang. Sekarang suasana menyedihkan semakin mantap membuj
“Besok aku akan memberi tahu Mrs. Voudly kalau kau tidak bisa ikut latihan. Sekarang jangan pikirkan apa pun. Istirahatlah sampai kau merasa lebih baik.” Ada keharusan menatap wajah Juan. Moreau tersenyum tipis sebagai tanggapan pertama dan berkata, “Terima kasih, Juan Baker. Kau yang terbaik. Aku mencintaimu.” Dia ingin memeluk pria itu, tetapi mengurungkan niat saat menyadari sabuk pengaman masih merekat di tubuhnya. Mungkin memang tidak seharusnya. Suasana hati Moreau terlalu buruk sekadar menyingkirkan sisa rasa sakit yang seperti diseludupkan secara paksa. “Kau tidak mau singgah?” dia bertanya sesaat, setelah menyiapkan diri membuka pintu mobil. Juan mengedikkan bahu tak acuh. Jelas tidak ada keinginan melangkahkan kaki masuk. Terlalu buruk. Mengingat situasi di antara mereka juga tidak pernah mendukung. Juan cukup mengenal Barbara dan pria itu jauh terpuaskan saat memutuskan untuk menghindari konflik apa pun bersama ibunya. Tiba – tiba ponsel Moreau b
Pintu kamar dibuka secara paksa. Akhirnya .... Barbara tersenyum puas saat mendapati bagaimana napas Abihirt terlihat menggebu, kemudian ekspresi pria itu berkerut heran setelah menemukan situasi baik – baik saja di antara mereka. Tidak ada apa pun. Seharusnya memang seperti demikian. Jika Abihirt akan marah, hal tersebut adalah bagian dari dampak yang dia putuskan. Barbara tidak berusaha peduli. Dia hanya memikirkan kemungkinan terburuk dari kehendak suaminya; bahwa tidak akan ada keinginan menginjakkan kaki di rumah setelah perdebatan panjang mereka. Ini seperti membiarkan pria itu membayar sesuatu yang tidak dibeli dengan uang. Barbara siap menghadapi pelbagai siklus kemarahan, asal keputusan yang diambil telah memberinya petunjuk ... paling tidak, sedikit mengetahui bagaimana Abihirt masih peduli dan mereka dapat memutuskan untuk tetap mempertahankan keberadaan seorang anak di tengah badai pernikahan. Tidak akan terlalu buruk membicarakannya lagi. Situasi mer