Aluna benar-benar puas. bagaimanapun hasilnya—tapi ia benar-benar menyajikan daging hasil panggangannya di piring Ethan. “Aluna cobalah ini.” Gerald mengambil sebuah salad kemudian ditaruhnya di atas piring Aluna. “Terima kasih.” Aluna menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh. Demi apapun, bukan mencari masalah. Aluna sudah mencoba menjauh dari Gerald. Tapi pria itu sepertinya tidak ingin jauh-jauh darinya. “Enak?” tanya Gerald. Aluna mengangguk. “Hm…” “Tapi aku tidak terlalu suka.” Terkekeh pelan. “Kalian terlihat cocok tahu.” Grace memandang kakaknya dan Aluna takjub. Ia tersenyum dengan senang sembari bertopang dagu. Aluna tersenyum canggung. Melihat pakaian yang digunakan Grace sangat terbuka. Dress hitam itu begitu melekat di tubuh Grace. Dengan belaha dada rendah dan bagian punggung terbuka. Pasti banyak pria yang tergoda dengan Grace. Selain cantik juga memiliki tubuh yang bagus dan sintal. “Tapi sungguh kalian sangat cocok,” ungkap Grace lagi. “Aluna kau
Saatnya pulang. Aluna sudah berkemas. Seharusnya ia pulang sore. Tapi karena tiket kereta yang ia pesan tidak ada yang sore, maka ia mengambil siang saja. Aluna menyeret kopernya ke atas bakasi mobil. Semua orang berada di sebuah destinasi wisata. Ia sendirian dan tidak menjadi masalah. “Kau akan pergi tanpa berpamitan denganku?” Aluna memutar tubuhnya. “Ethan..” lirihnya. “Kenapa kamu di sini?” tanyanya. “Bukannya kamu ikut yang lain?” “Tidak.” Ethan menggeleng. “Aku akan ikut saat sudah memastikanmu berangkat dengan aman.” Ethan mendekat. menutup bakasi mobil yang sudah terisi dengan koper Aluna. “Hubungi aku.” Ethan memegang bahu Aluna. Aluna mengangguk. “Aku akan mengabarimu saat sudah sampai.” “Bukan saat sudah sampai, tapi saat kau terkena kendala saat perjalanan.” “Baiklah. Tapi semoga tidak ada kendala di perjalanan.” Ethan mengusap pipi Aluna pelan. “Aku jadi ingin membeli banyak sapi, sawah dan punya warung pecel lele.” “Ethan!” pekik Aluna. “Jangan membahasnya
“MAMAAAAAA!” teriak seorang laki-laki yang menyambut ibunya pulang. Aluna berlari. Ia memeluk anaknya. “Apa kabar sayang..” “Gio sehat, Ma.” Gio menatap ibunya. “Mama jangan kawatir.” Aluna tersenyum sembari mengusap puncak kepala anaknya. “Aluna,” panggil ibu Aluna. “Ibu..” Aluna memeluk ibunya. “Kamu baik-baik aja kan?” Aluna mengangguk. “Aluna baik-baik saja.” Ia beralih pada anaknya lagi. “Gio mau beli apa? Mainan?” tanyanya. “Mainan!” ucap Gio dengan riang. Aluna tersenyum. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anaknya yang sehat dan ceria. Sebelum pulang mereka mampir terlebih dahulu ke toko mainan untuk membeli mainan Gio. Sesampainya di sana, Aluna berjongkok dan berkata. “Pilih semua yang ingin kamu beli. Hari ini Mama akan belikan semua yang kamu inginkan.” “Benarkah?” tanya Gio. “Benar.” Aluna mengusap puncak kepala Gio. “Sekarang pilih sesuka hati kamu.” Gio segera pergi memilah mainan. “Hati-hati Gio, jangan berlari!” peringat A
Pulang ke rumah. Tidur di atas kasur yang sudah berbulan-bulan tidak ia sentuh. Aluna merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarnya. Hampir saja terpejam jika ponselnya tidak berbunyi. “Hallo,” ucap Aluna seadanya karena ia lelah. “Sudah sampai?” Mendengar suara Ethan membuat Aluna langsung melebarkan mata. Tidak jadi mengantuk. “Iya.” Aluna menguap beberapa kali. “Kau mengantuk?” “Hm.” Aluna mengambil posisi berbaring menyamping. “Kau tidak mengabariku seharian.” Aluna berusaha tidak mengantuk namun matanya benar-benar berat. “Iya karena tadi aku menemani…Gio..” “Gio siapa?” tanya Ethan. Aluna membuka matanya lagi. “Gio..Gio..” “Gio adalah keponakanku!” Huh! Aluna menghela nafas. Beginilah kalau hidup penuh kebohongan. Tidak akan pernah tenang. “Kau punya kakak? Setahuku kau anak tunggal dari keluarga miskin.” Aluna menyipitkan mata. Tidak bisakah kata miskin itu tidak usah diperjelas? “Punya.” Aluna menepuk dahinya pelan. “Kakak dari anak saudara ibuku.” “Silsilah
Setelah menghabiskan 2 hari bersama anaknya. Aluna memutuskan untuk langsung kembali ke kota. Meskipun dengan berat hati. Ia harus meninggalkan anaknya lagi untuk bekerja. Apalagi Gio masih harus perawatan rutin ke rumah sakit. Tentu saja Aluna harus mengeluarkan banyak biaya. Tidak banyak yang bisa dilakukan Aluna ketika kembali. Ia hanya berbaring di atas ranjangnya. Meskipun ranjangnya bagus—pemandangan yang indah. Tetap saja, rumahnya di kampung adalah tempat ternyaman baginya. “Aluna kau sudah menentukan harinya?” itu adalah pesan dari Gerald. Aluna tidak tahu harus jalan dengan pria itu hari apa. Aluna langsung membalas. [Bagaimana kalau sekarang? besok aku bekerja] [Boleh] Aluna langsung mengganti pakaiannya. Belum selesai berdandan. Panggilan ponselnya berdering kembali. “Kau di mana?” tanya seorang pria yang sepertinya sedang kesal. “Aku di Apartemen. Tapi aku—” “Aku akan ke sana.” “JANGAN!” “Kenapa?” Aluna terdiam beberapa detik. Ia ragu memberi
“Ke mana mereka?!” Ethan yang semakin melotot panik. Menyetir dan mengikuti ke mana mereka akan pergi. “Sial, seharusnya aku tidak membiarkan Aluna pergi.” “Seharusnya aku menjemputnya dari stasiun dan langsung membawanya ke rumahku.” “Aluna membuatku benar-benar gila.” Tidak ada orang yang baru tidur langsung pergi dan menyeret temannya untuk membuntuti kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan Ethan. Ia menyadap ponsel Aluna dan langsung pergi membuntuti perempuan itu bersama temannya. “Aku akan habisi bajingan itu jika berani menyentuh Aluna.” Ocehan Ethan tidak berhenti. Hal itu membuat Bobby mengusap telinganya yang terasa panas. “Datangi saja mereka!” ucap Bobby yang sudah kesal. “Seret Aluna pulang.” Bobby tertawa. “Itupun kalau kau berani.” Ethan menyipitkan mata. Kedua tangannya mengepal menahan kekesalan. Melihat kemarahan Ethan, Bobby langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Yaa… ke mana mereka pergi..” lirih Bobby karena mobil Gerald tidak kunjung berhent
Aluna tertawa canggung. “Apa aku terlihat secantik itu?” Huh! Selamatkan Aluna. Aluna tidak terlalu nyaman sebenarnya. Tapi bagaimana lagi? Ia harus membereskan segera masalah ini. Gerald tersenyum tipis. “Kau mengira pasti aku sedang berbohong.” Aluna menyipitkan mata. “Omongan pria tidak boleh terlalu dipercaya.” “Kau cukup waspada juga.” Memesan menu yang sebenarnya Aluna juga tidak tahu. Yang ia tahu hanya steak. Itupun harganya sangat mahal. Ah sudahlah. Tidak perlu memikirkan harga. Yang terpenting adalah acara ini harus cepat selesai. Gerald itu tampan dan sangat mirip dengan Grace. Tapi Aluna tidak tertarik sama sekali. Ia juga takut berurusan terlalu dalam dengan keluarga mereka. Gerald baik. Tapi—Aluna tidak merasakan tertarik sebagai lawan jenis. Ia hanya bersikap baik dan menganggap pria itu temannya sendiri. “Sudah berapa lama kau bekerja di Winston?” tanya Gerald. “Baru sih..” Aluna berpikir. “Baru satu bulan.. aku dulu bekerja di perusahaan lai
“Apa yang mereka lakukan di sini?” tanya Aluna. Mendengar teriakan laki-laki membuat orang yang berada di restoran menoleh, termasuk Aluna dan Gerald. Mereka mendekati Ethan dan Bobby yang berada di ambang pintu. “Kenapa kalian di sini?” tanya Gerald. Ethan memijit dahinya pelan. Melirik Bobby dengan kesal. “Aku—” Bobby tersenyum. “Aku mengantar Ethan.” Tuk!Ethan menendang kaki Bobby. “Kami—kita..” sangat ambigu kan? Ethan berdecak dalam hati. “Kita akan bertemu dengan rekan bisnis di sini. kebetulan bertemu kalian.” “HA..HAHAHA..” tertawa dengan sumbang. Ethan terdiam kembali karena tidak ada yang tertawa. “Teruskan saja kegiatan kalian.” Ethan menatap Aluna. “Anggap saja aku dan Bobby tidak ada.” Aluna mengernyit.Dua orang ini tidak ada yang waras. Aluna yakin, Ethan ke sini karena ingin membuntutinya. “Baiklah kalian bisa di sini.” Aluna tersenyum. “Karena kami sudah selesai, kami akan pergi.” Hah? Ethan melongo. Tidak bisa. Tidak tentu saja. Perjuangannya sampai di
Gio berada di dalam ruangan Agatha. Alat-alat medis itu tertancap di tubuh Agatha. Gio pun menggunakan pakaian khusus saat berada di dalam sana. Gio mengusap punggung tangan Agatha. “Banyak yang menyayangimu.” Gio menunduk. “Kau harus bangun…” Tidak ada pergerakan. Tubuh Agatha seakan kaku. Seperti mayat hidup. Gio mengecup beberapa kali punggung tangan Agatha. “Agatha…” lirih Gio. “Jangan tinggalkan aku.” Gio memejamkan mata. satu tetes air matanya keluar. Gio cepat-cepat mengusapnya. Takutnya Agatha melihatnya. “Aku mencintaimu.” Gio berdiri—mengecup dahi Agatha. “Aku mencintaimu. Dari dulu sampai sekarang. Dan tidak akan pernah berubah.” Gio tersenyum tipis. “Jangan lama-lama tidurnya.” Tangannya mengusap pipi Agatha pelan. Ia berhenti sampai ada bunyi dering ponselnya. Gio menjauh—merogoh saku celananya dan mengangkat siapa yang meneleponnya. “Kami sudah menangkapnya, Sir. Kami sudah membawa dia ke tempat yang anda inginkan.” “Aku akan ke sana.” Gio
“Apa anda tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di rumah kakak ipar Agatha?” tanya Gio di sambungan telepon. Ia sedang melakukan panggilan dengan pak Rudi. Pak Rudi tidak datang menjenguk Agatha. karena Gio melarangnya, ia menyuruh pak Rudi untuk bersembunyi dan melindungi diri sendiri. Ia takut jika mereka menyakiti orang-orang yang membantu Agatha. “Iya aku tahu. Aku dan Agatha yang mengaturnya.” Gio berkacak pinggang. “Pastikan semua orang-orang yang menjaga di rumah itu semua berpihak pada Agatha. Jessika bilang, dia curiga pada ibu mertuanya.” “Bukankah mereka masih satu rumah?” “Iya. Aku akan mengaturnya,” balas Pak Rudi. “Kalau memang berbahaya. Aku akan menyiapkan tempat untuk mereka tinggal.” “Saya pastikan dulu, Sir. Nanti saya akan mengabari anda. Saya juga takut jika orang-orang itu mencelakai Jessika dan anak-anaknya.” Setelah itu Gio menutup sambungan telepon itu. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Anton yang kini sedang memilih es kr
Agatha mengalami koma. Kecelakaan itu berat. membuat hampir seluruh tubuh Agatha terluka. Gio berada di luar ruangan Agatha. menatap perempuan itu dari sebuah kaca. Gio berkacak pinggang. Menyalahkan diri sendiri karena tidak menangkap penjahat itu. seharusnya ia membawa penjahat itu, mengurungnya… Bukan malah menyerahkan pada polisi. Sehingga tahanan itu kabur. Gio mengangkat sambungan telepon. “Aku tidak mau tahu. Malam ini bajingan itu harus ketemu. Bawa bajingan itu ke tempat yang sudah aku kirimkan padamu.” “Baik sir. Saat ini anak buah saya masih mengejar pria itu.” Gio menutup sambungan teleponnya dan melihat Agatha sebentar sebelum duduk. Gio menunduk—mengusap wajahnya kasar. ada tangan mungil yang memberikannya sebuah es krim. Gio mengangkat kepalanya. menatap seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. “Uncle jangan menangis.” bocah itu berbicara dengan jelas. Dilihat dari postur tubuhnya memang sudah besar, tapi masih terlihat anak kecil. “Bagaimana keadaan Ag
Agatha keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan Gio beristirahat dengan tenang. Agatha berhenti pada sebuah cermin. Menatap lehernya yang memerah. Merogoh sebuah syal yang berada di tasnya. Kemudian melingkarnnya di lehernya. Bibirnya mengembangkan senyuman. Masih tergambar dengan jelas ciuman mereka tadi. Saling memangut dan meluapkan rasa rindu. Agatha kembali berjalan dan menaiki mobil untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Agatha tidak berhenti melamun. Ada banyak yang ia pikirkan. Meski ia sudah menjadi pemimpin…. Ada banyak hal yang belum ia selesaikan. Mencari pelaku yang membunuh ayah dan kakaknya. Mencari pelaku sebenarnya yang menyerang Gio. Mencari pelaku yang berusaha membunuhnya juga. Lalu… Pikirannya juga penuh memikirkan hubungannya dengan Gio setelah ini. Ia hampir mencapai tujuannya. Yang artinya perjanjian mereka akan segera berakhir. Lantas, jika berakhir. apakah hubungannya dengan Gio juga akan berakhir begitu saja. Seharusnya
“Bagaiamana keadaanmu.” Agatha menatap Gio. “Aku baik-baik saja. tapi aku harus kembali ke rumah sakit.” Gio mengambil tangan Agatha dan menggenggamnya. “Kau ikut denganku.” Agatha berhenti. “Aku tidak bisa bersamamu dulu.” “Aku tidak bisa menerimanya.” Gio tetap menggandeng tangan Agatha. Tapi Agatha tetap kekeh dengan ucapannya yang ia katakan pada keluarga Gio. “Tidak, Gio. Aku tidak bisa…” Agatha mendongak. “Aku akan menemuimu sampai keadaan benar-benar aman.” Gio menghela napas. “Sampai kapan?” “Besok? Lusa? Bulan depan?” tanya Gio. Agatha terdiam. karena dirinya sendiri juga tidak tahu. Tapi setidaknya sampai kekuasaan benar berada di dalam genggamannya. Sampai orang-orang yang mencelekainya ditangkap. “Aduh…” Gio memegang perutnya. “Bagaimana ini… perutku..” Gio menyipitkan mata. “Anda harus ke rumah sakit segera Sir..” dokter mendekat. ia juga khawatir dengan keadaan Gio. Namun diam-diam Gio memberi petunjuk bahwa ia sedang berpura-pura. “Adu duh..”
Beberapa hari yang lalu. Gio tersadar dari komanya. Pertama kali orang yang ia cari adalah Agatha. Ibunya bilang, Agatha pulang. Agatha berjanji tidak akan menemuinya sampai keadaan benar-benar aman. Marah. Tentu saja, neneknya yang membuat Agatha pergi. Gio masih membutuhkan perawatan intensif. Untuk bergerak saja ia tidak bisa. Untuk itu ia mengerahkan orang-orangnya untuk membantunya. Dari pada seperti ini, sudah terlanjur. Maka ia akan meneruskannya saja. Ia akan berpura-pura tidak berhubungan dengan Agatha dahulu sampai Rapat itu dimulai. Pada awalnya ia akan datang awal rapat. Tapi sekali lagi keadaannya tidak memungkinkan. Perutnya masih terasa keram. Alhasil ia datang terlambat—namun masih melihat perkembangan rapat itu lewat kamera kecil. Kamera itu terpasang di pakaian orang yang mewakilinya di sana. “Banyak orang yang menghianatiku juga.” Gio berada di dalam mobil. Melihat orang-orang yang tidak mengangkat tangan untuk Agatha. Orang-orang yang tela
“Tapi Agatha Ethelind Harper baru saja terjun ke dunia bisnis. kinerjanya di dalam perusahaan baru mencapai tahun pertama.” Agatha tersenyum sinis. Menggunakan pengalamannya yang baru sebentar untuk menjatuhkannya. Agatha masih menahan senyumnya—ingin tertawa padahal. Kekurangannya yang diumbar di depan banyak investor. Sedangkan kekuarangan Levin disembunyikan. Agatha menjadi satu-satunya wanita yang berada di dalam ruangan ini. “Siapa yang mendukung Agatha Harper Ethelind menjadi pemimpin sementara?” Satu persatu orang-orang yang mendukung Agatha mengangkat tangan. Sekitar 3… Lalu satu orang mengangkat tangannya… Ternyata Pak Beni… Pak Beni tersenyum sembari mengangguk pada Agatha. Sedangkan pak Robert? Jangan tanya. Pria itu bahkan tidak berani menatap Agatha. seolah tidak mengenal. Tidak seperti tadi… Ternyata… si Mafia itu tidak mendukungnya. Memang, di dalam dunia bisnis tidak bisa ditebak mana yang benar-benar teman. Dan mana yang musuh. Setidaknya
“maaf nona. Hal seperti ini saya pasti tidak akan terulang lagi.” satu bodyguard maju menghadap Agatha. Ada dua mobil yang dicoba dijalankan. Hanya satu yang remnya blong. Mobil yang selalu digunakan oleh Agatha. Agatha berkacak pinggang. ia tidak ingin menghabiskan energinya untuk hal tidak masuk akal seperti ini. Tapi semua ini menyangkut nyawanya. “Sebagai ketua. Kau harus mencari tahu siapa anak buahmu yang berhianat. Aku memberimu waktu sampai jam istirahat makan siang. jika kau tidak bisa menemukan penghianat itu.” Agatha menghela napas. “Ganti semua bodyguard yang mengawalku.” Akhirnya Agatha masuk ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, Agatha tidak berhenti cemas. Untuk siapapun yang berusaha membunuhnya. Agatha pastikan akan segera menangkap orang itu. Hidupnya tidak bisa tenang dan dihantui oleh kematian. Akhirnya mobil sampai juga di kantor. Dengan selamat! Agatha masuk ke dalam ruang—disambut oleh sekretarisnya. “Rapat akan dilaksanakan pukul 1
“Sial.” Agatha tidak berhenti mengumpat setelah keluar dari ruang penyidikan. “Aku yakin ada yang menyuruhnya untuk membunuhku.” Agatha mengatakannya pada polisi. Namun polisi itu menghela napas dan terlihat lelah. “Kami sudah menyelidikinya. Kami sudah datang ke tempat tinggalnya. Tidak ada tanda-tanda disuruh orang….” “Tidak mungkin.” Agatha menggeleng. “Pasti ada petunjuk… Aku sering diteror. Tidak mungkin kalau dia hanya menyukaiku. aku yakin dia memang punya niat buruk dan disuruh orang lain.” “Tenanglah..” polisi itu hanya menepuh pelan bahu Agatha. Agatha ingin melayangkan protes tapi ia ditarik oleh seseorang. Pengacara Gio. Akhirnya Agatha dan pengacara Gio berada di dalam mobil untuk berbicara. “tidak ada gunanya berbicara pada polisi. Bukti tidak ada. Mereka juga tidak akan menggap kasus ini serius.” Pengacara Gio memberikan dokumen pada Agatha. Agatha membukanya. Melihat isinya sembari dijelaskan. “Pria itu sudah 2 tahun belakangan mengincar wanita c