Siang hari. Ternyata cuaca memang tidak begitu bagus. Agatha menaiki taksi untuk pergi ke kantor Gio. Ia harus berlari masuk ke dalam karena tidak punya panyung. Meskipun sudah berusaha tidak kehujanan, tetap saja tubuh Agatha basah. ia masuk ke dalam ruangan Gio dengan membawa bekal. “Sudah minum obat?” tanya Agatha melihat Gio yang begitu sibuk. “Belum,” balas singkat Gio. Gio menyingkirkan kacamata yang bertengger di hidung mancung. Kemudian berdiri dan mendekati Agatha. Agatha berjongkok menyusun bekal yang sudah di bawanya ke atas meja. “Tubuhmu.. kau kehujanan?” tanya Gio. Agatha mengangguk. “Sedikit.” Agatha melihat celana jeansnya yang sedikit basah. Juga kaos crop yang digunakannya juga sedikit basah. “Kaosmu..” Gio menghela nafas melihat kaos putih yang digunakan Agatha basah. Bahkan garis pakaian dalam Agatha tercetak dengan jelas. Gio menahan kekesalannya. Bagaimana jika ada yang melihat? Pria mana yang melihat Agatha seperti ini. Membayan
Tok tok! Agatha segera turun dari pangkuan Gio. Gio berdecak sebal sebelum mempersilahkan sekretarisnya masuk. Gio berdiri dan melihat dokumen yang dibawa oleh sekretarisnya. Agatha duduk dengan canggung. ia merapikan rambutnya. Jangan lupa—bibirnya juga. Bagaimana kalau lipstiknya belepotan dari akibat perbuatan mereka. “Sir..” Panggil Agatha setelah sekretaris itu pergi. “Aku mau pergi,” ucap Agatha. “Pergi sekarang?” tanya Gio. Gio berjalan mendekat sembari melihat jam tangannya. “Tunggu sampai waktu istirahat selesai.” “Berapa menit lagi?” tanya Agatha. Gio mengernyit. “Kau ingin segera pergi ya?” “Bukan itu sih..” Agatha mendongak. “Nanti aku ingin pergi bermain dengan temanku. aku janji aku akan pulang sebelum kamu sampai rumah.” “Pergi dengan siapa?” tanya Gio. “Dengan temanku. namanya Mina, dia bekerja di mansion nenek kamu. Aku dan dia sudah lama tidak bertemu. Jadi… aku ingin bertemu dengannya nanti.” Jelas Agatha tidak ada yang ditutupi. Ia mela
Agatha pergi ke mall di mana ia dan Mina akan bertemu. “Agatha!” panggil Mina.Mina berlari dan langsung memeluk Agatha. “Bagaimana kabarmu?” tanya Mina. Ia mengguncang pelan bahu Agatha. “Tubuhmu semakin berisi. Apa kau bahagia/” tanyanya. Agatha tersenyum. “Mungkin.” “Sungguh…” Mina menatap tubuh Agatha lagi dari atas hingga bawah. “Tubuhmu tidak sekurus dulu. Beberapa bulan yang lalu, pertama kali kau datang ke mansion. Tubuhnya kurus, lalu semakin kurus.” “Tapi sekarang..” Mina tersenyum. “Tubuhmu berisi. Kau semakin cantik juga.”Agatha tertawa.”Terima kasih ya…” “Ayo..” Mina menarik lengan Agatha dengan senang. “Aku ingin menata rambutku.” “Ayo.” Agatha mengangguk. “Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa kau senang? Mereka memperlakukanmu dengan baik?” tanya Mina beruntun. “Baik. lingkungannya juga baik. teman-temanku di sana juga sangat baik. Majikanku juga tidak pelit. Gajiku juga lumayan..” “Heei…” Mina menyenggol lengan Agatha gemas. “Pasti gajimu lebih banyak. Ayo tra
“Ada apa dengan kartu ini?” tanya Agatha bingung. “Ini kartu..” Agatha bingung sendiri menjelaskannya. “Ini kartu kredit biasa.” “Bukan.” Mina menggeleng. “Ini adalah kartu kredit unlimited Agatha.. tidak bisa dimiliki sembarangan orang.” Mina menatap Agatha curiga. “Kita sebagai maid, bayaran pas-pasan tidak mungkin bisa memiliki kartu ini.” “Katakan padaku ini milik siapa?” tanya Mina. Agatha terdiam. tidak mungkin ia bilang ini adalah milik Gio. Pasti sangar ribet, nanti ia harus menjelaskan bagaimana. Lebih baik memang tidak usah diberi tahu. “Milik…” Mina menatap Agatha. “Agatha..” panggilnya. “Aku tidak mau ikut campur dalam hidupmu. Tapi, aku akan selalu mengingatkanmu untuk mencari uang dengan cara yang benar. Di luar sana banyak berita jika anak muda banyak menjadi sugar baby pria beristri.” “Bahkan menjual diri di luar sana. kau cantik, kau punya tubuh yang bagus. tidak ada lelaki yang mampu menolakmu. Tapi, kau harus ingat, segalanya yang didapatkan den
Agatha mendongak. Seketika tubuhnya membeku. Ia terdiam sesaat sebelum berdiri. “Ayo pergi dari sini,” ucapnya bersama Mina. Pria itu menatap Agatha. pria yang menggunakan setelan jas lengkap itu mencekal pergelangan tangan Agatha. “Tunggu.” Pria itu menghadang Agatha. “Aku harus berbicara denganmu.” Agatha menghempaskan tangan pria itu. “Tidak ada yang perlu dibicarakan.” “Aku mencarimu..” lirihnya. “Untuk apa mencariku?” tanya Agatha. “Bukankah aku sudah dibuang?” tanyanya. “Agatha aku harus bicara denganmu,” ucap pria itu lagi. Pria itu tidak membiarkan Agatha pergi begitu saja. Pada akhirnya Agatha dan pria itu pergi untuk berbicara empat mata. Agatha sungguh muak. Ia tidak menatap pria itu karena benar-benar sudah muak sekali. “Katakan,” ucap Agatha. “Kembalilah.” Agatha mengepalkan tangannya. “Kembali? Kembali ke mana yang kau maksud?” tanyanya. “Kembalilah ke rumah. Kakek ingin kau pulang.” Jordy Alastair Harper. Putra satu-satunya seorang Br
Gio sudah berada di depan mansion. Lebih dari 1 jam Agatha tidak kunjung pulang. Telepon wanita itu mati. Ia tidak tahu harus menghubungi Agatha dengan cara apa. Akhirnya Gio berbalik dan ingin mengambil coat dan mencari Agatha. Namun baru satu langkah ia hendak masuk, justru Agatha memanggilnya. “Sir..” itu Agatha. Dengan tubuh yang basah karena kehujanan. Agatha berjalan dengan lemas masuk ke dalam Mansion. “Maaf kalau lantainya kotor,” ucap Agatha pelan. Gio mendekat—kemudian memegang bahu Agatha. “Kau telat. Kau dari mana saja? kenapa tidak mengangkat teleponku?” tanya Gio. Agatha mendongak. “Aku ada urusan sebentar.” “Tapi setidaknya kau bilang, jangan menghilang dan membuatku takut.” Agatha mendongak. “Tidak ada yang perlu anda takutkan sir. Jika saya kenapa-kenapa. Itu bukan tanggung jawab anda.” Gio menyipitkan mata. “Apa kau bilang?” tanyanya. “Aku menerima hukumannya.” Agatha menyingkirkan tangan Gio dari bahunya. “Aku akan membersihkan diri se
“Istirahat.” Gio mengusap puncak kepala Agatha pelan. Agatha mengerucutkan bibirnya. “Jangan mencari tahu.” Gio mengambil tangan Agatha. “Kalau tidak ingin aku mencari tahu, kau harus memberitahuku.” “Ada beberapa hal yang tidak bisa aku beritahukan.” Agatha mengusap tangan Gio yang berada di atas tangannya. “Aku akan memberitahumu saat aku siap.” Gio mengernyit. “Please..” jemari Agatha bergerak mengusap pipi Gio pelan. “Please jangan mencari tahu…” “Aku hanya belum siap orang lain tahu.”Pada akhirnya Gio mengangguk. Kata dokter, Agatha terkejut dengan suatu hal. Ia tidak mungkin menambah beban pikiran Agatha. Untuk urusan mencari tahu atau tidak, ia akan memikirkan nanti. “Baiklah.” Gio memeluk Agatha. “Istirahatlah. Aku akan pergi.” Gio hendak pergi. Namun Agatha lebih dulu mencegahnya. Agatha menahan tangan Gio agar tidak pergi meninggalkannya. “Jangan pergi.” Agatha menatap Gio. “Aku tidak mau sendiri.” “Lalu apa yang aku lakukan di sini?” tanya Gio dengan senyum
Malam itu Agatha terdiam mendengar ucapan Gio. Gio juga diam, tidak berkata lebih lanjut. Pada akhirnya mereka tidur dengan saling memeluk. Pagi harinya.. Agatha bangun lebih awal dengan tubuh yang membaik. Tapi ia ditarik Gio dan disuruh kembali tidur. Sampai akhirnya ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, waktu bangun sudah melihat Gio yang sudah siap berangkat ke kantor. “Kenapa tidak membangunkanku?” tanya Agatha. “Jangan bangun, istirahat saja.” Gio menoleh sebentar. Agatha tidak mengindahkan ucapan Gio. Ia tetap bangun dan mendekati pria itu. “Aku sudah sehat, aku bisa menyiapkan keperluan kamu.” Agatha mendongak. “Iya..” balas Gio singkat. Agatha berdecak. “Sini..” menarik bahu Gio. Memasangkan dasi di leher pria itu. tidak membutuhkan watku lama sampai dasi itu terpasang sempurna di leher Gio. “Sudah.” Agatha mundur. “Nanti akan ada dokter yang mencabut infusmu.” Gio menghela nafas. “Kau harus minum obatmu dengan teratur.” Agatha mengangguk. “Aku
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men