“Aku lapar setelah bertengkar.” Agatha membuka cup yang berisi mie. Di dalam minimarket, ia duduk berdamping dengan Gio. Di meja hadapan mereka terdapat beberapa snack dan tentunya mie cup. Hanya satu, karena katanya Gio masih kenyang. Gio hanya diam sembari melihat Agatha yang mulai menyeruput mie itu. “Aaaa….” Agatha mengipasi bibirnya. Gio berdecak dan mengambil tisu. Ia mengarahkan tisu itu di bawah bibir Agatha. “Buang di sini.” Agatha menoleh dengan ragu. Namun ia tetap membuka mulutnya dan membuang mie dari dalam mulutnya ke tisu. Gio mengambilnya dan membuangnya di sampah. Begitu mudahnya, tanpa merasa risih ataupun jijik. Padahal katanya Gio adalah orang yang benar-benar bersih. Tapi kok tidak jijik? Agatha menahan debaran jantungnya. Ia menatap Gio yang saat ini mengusap tangan dan menyemprotkan cairan di tangan. “Jangan menatapku,” ucap Gio tanpa menoleh. “Kau semakin aneh.” Agatha mengerucutkan bibirnya. “Kenapa anda begitu baik sih?” tanya Agatha. “Pasti
Sampai di rumah. “Tadi anda belum menjawab saya.” Agatha berjalan di belakang Gio. Gio tersenyum miring. Dia hanya diam dan masih berjalan ke arah kamarnya. “Tuan,” panggil Agatha. “Oh ya anda juga belum minum obat kan?” tanya Agatha mengingatkan. Gio berdecak diingatkan tentang obat lagi. “Aku sudah minum saat berangkat.” Agatha mengangguk lega kalau begitu. “Yasudah..” Agatha mengikuti Gio sampai di depan kamar pria itu. “Saya pergi dulu.” “Kau tidak penasaran dengan apa yang aku katakan tadi pada temanmu itu?” tanya Gio. Agatha mengangguk. “Tapi anda tidak berniat memberitahukan padaku. aku tidak akan berusaha keras, aku sudah mengantuk.” Gio menyipitkan mata. “Aku akan memberitahumu.” Menarik tangan Agatha masuk ke dalam kamarnya. Bodohnya Agatha menurut saja. “Memangnya apa yang terjadi tadi?” tanya Agatha. Gio menunduk—mendekatkan wajahnya di hadapan Agatha. “Jika kau ingin tahu, kau harus membayarku.” Agatha menggeleng. “Aku tidak punya uang.”
“Hm. Aku keberatan.” Agatha mengangguk. “Dari awal kita sebagai atasan dan bawahan, kenapa kita melakukannya? Peluk, bahkan ciuman…” “Kenapa? Anda membuat saya seolah saya menjadi jalang anda.” Agatha ingin menangis sungguh. “Kau sebagai asistenku, di dalam kontrak juga tertulis tugas tambahan. Membuatku tenang dan nyaman. Tenang dan nyaman itu bisa meluas…” “Tidak ada batasan mengenai kontak fisik..” lanjut Gio. “Jadi kau tidak bisa protes mengenai hal itu.” Gio memandang Agatha. “Aku bahkan bisa menyentuhmu lebih dalam jika aku mau.” “Tapi karena aku menghargaimu, aku tidak akan melakukannya…” Gio mendekat.. mendekatkan bibirnya di telinga Agatha. “Kecuali kau juga menginginkannya.” Agatha mendorong dada Gio. “Jadi aku tidak lebih dari jalang anda?” tanyanya. “Aku tidak pernah menyebutnya begitu.” Gio menatap Agatha. “Kau sendiri yang bilang.” Agatha berdecak pelan. Malas sekali rasanya berhadapan dengan Gio. “Biarkan saya pergi,” lirih Agatha. “Kau marah?” ta
Pagi harinya… Agatha merasakan berat di pinggannya. Nafas hangat seseorang dari belakang yang ia rasakan. Agatha membalikkan tubuhnya. masih ada waktu 20 menit lagi sebelum ia harus bangun dan menyiapkan keperluan Gio. Agatha mengerucutkan bibirnya. “Bagaimana bisa aku terjebak di sini..” lirihnya. Tangan Agatha terangkat—ingin menyentuh alis Gio yang begitu tebal dan rapi. Namun ia urungkan. Ia hanya menatap Gio dengan mata kekaguman. “Tidur saja tampan,” lirihnya. Agatha menghela nafas berat. Ia melebarkan matanya ketika melihat senyum di bibir pria yang sedang tertidur itu. “Terima kasih pujiannya,” ucap Gio kemudian membuka matanya. Pagi-pagi mendapat pujian. “Tidak, aku tidak memuji anda.” Agatha menggeleng untuk mengelak. Gio tersenyum semakin lebar. “Aku dengar jelas sekali di telingaku.” “Bukankah kau ingin menyentuh alisku?’ tanya Gio. Ia bangun lebih awal dari Agatha. Ia hanya diam dengan apa yang dilakukan Agatha. Agatha menggeleng lagi.
Katanya, menghabiskan akhir pekan dengan piknik di taman itu menyenangkan. Tapi sepertinya kok tidak. Tamannya panas, letaknya di samping danau. Tidak ada orang lain yang datang ke sini. “Anda yakin?” tanya Agatha pada Gio. Gio menyipitkan mata… Tapi di gambar-gambar kok sepertinya menyenangkan piknik di taman. Tapi ini kok tidak ya… Gio menggeleng. “Tidak.” “Lalu kenapa ke sini?” tanya Agatha. “Kita tidak berada di wilayah yang dingin, Sir. Cuacanya panas. Anda mau piknik panas-panas seperti ini? kalau piknik itu sore, lihat sunset.” Agatha tidak berhenti mengomel. “Kalau diberithau itu didengar. Jangan keras kepala..” Agatha menatap Gio kesal. “Sudah dibilang, nanti sore saja… pagi itu masih panas.” Agatha masih nyerocos. Mau gimana lagi? kembali ke peraturan mutlak. Cewek itu selalu benar. “Tapi anda kekeh mau berangkat. Sekarang mau ke mana?” tanya Agatha. Gio menoleh—ia juga merasa bersalah. Seharusnya mendengarkan kata Agatha saja daripada diomeli
Gio menoleh dengan kaget. “Kau berani menciumku?” Agatha menunjukkan jari piecenya. “Katanya aku harus menenangkan tuan.. jadi aku menenangkan tuan dengan mencium tuan kan? Tuan suka dicium kan?” Pertanyaan Agatha membuat Gio semakin kesal. “Cium itu bukan seperti itu.” Gio sungguh kesal. Agatha malah berbalik marah. “Aku—saya tidak tahu kenapa anda marah? Kenapa tiba-tiba marah tidak jelas seperti itu..” gerutunya. “Tidak menjelaskan kenapa..” dumel Agatha lagi. “Malah uring-uringan tidak jelas.” Gerutu Agatha tidak habis-habis. “Karena aku tidak suka kau membahas mantanmu.” Gio menoleh dengan kesal. “Kenapa tidak suka? Aku hanya berbicara saja.” balas Agatha tidak mau kalah. “Aku hanya berbicara apa yang terjadi..” “Apa yang aku lalui. Lagipula masa laluku tidak ada hubungannya dengan anda..” Agatha mendengus. “Ada..” Gio melotot. “Kenapa ada?” “Karena aku tidak suka.” Agatha mendengus. “Sudahlah. Aku lelah berdebat dengan anda.”“Pokoknya aku tidak suka kau membahas ba
“Di pulauku.” Agatha mengusap matanya.. Mengedarkan pandangannya ke depan. “Waah…” reflek membuka bibirnya. berdecak takjub. Agatha melihat hamparan air laut… Ternyata bawah mereka langsung air laut. Laut biru yang begitu tenang. Sejuk, anginnya tidak terlalu kencang. “Waah..” Agatha berdecak kagum lagi. “Sungguh?” tanya Agatha. “Sungguh ini di pulau anda?” tanya Agatha yang masih belum yakin. Gio mengangguk samar. Agatha mengerti. Orang kaya seperti Gio tidak mungkin berbohong mengenai kepemilikan. Lagipula harta Winston pasti banyak sekali. “Waah..” decak kagum Agatha yang tidak ada habisnya. Gio menggeleng pelan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Kemudian berjalan ke dalam. “Mau ke mana?” Agatha hampir berteriak. Ia mengejar Gio yang sudah keluar dari kamar mereka. Agatha lebih kagum lagi karena rumah yang mereka tempat ini begitu luas dan mondern. “Sir..” panggil Agatha lagi. “Makan Agatha..” Gio mengambil duduk di kursi. Agatha tersenyum melihat bany
Agatha terkesiap saat tiba-tiba Gio sudah menariknya saja. Bibir mereka sudah menempel. Agatha memejamkan mata. Gio melumat bibirnya dengan rakus. Mengigit bibir bawah Agatha, hingga membuat bibir itu terbuka. Gio tidak menyia-nyiakan kesempatan. ia memperdalam ciumannya pada bibir Agatha. Mencecap bibir manis perempuan itu. Agatha membalas.. Bagaimanapun ini adalah janjinya. Pahit tapi juga manis… Agatha tidak tahu apa yang diminum oleh Gio sehingga rasa itu tersalur ke lidahnya. Apakah cairan yang berwarna merah keunguan itu? Agatha meremas bahu Gio saat tangan pria itu dengan mudah membawa tubuhnya. “Sir..” lirih Agatha. Gio tidak berhenti. ia sudah membawa Agatha ke pangkuannya. “Tidak..” balas Gio. “Jangan memberontak.. jika kau memberontak aku semakin ingin melahapmu.” Agatha melebarkan matanya.. Tapi sebelum ia kembali berbicara, Gio kembali mencecap bibirnya. Agatha pasrah.. Karena sesungguhnya ia juga menikmati. Apalagi ciuman Gio begitu
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men