“Kenapa?” tanya Agatha. “Bagus looh..” “Aku tidak suka.” Gio memandang Agatha dengan dahi yang mengernyit. Gio tidak suka melihat Agatha menggunakan pakaian itu. Karena… Kemeja putih itu jelas mencetak tubuh Agatha sehingga lekuk tubuh Agatha bisa terlihat. Lantas, rok itu juga menampilkan kaki Agatha yang begitu jenjang dan menggoda. Bagaimana jika ada pria lain yang melihatnya? Tidak mungkin. “Yasudah..” Agatha menghela nafas. “Aku—Saya akan berpakaian biasa untuk bekerja.” “Baguslah.” Gio mengangguk. Tangan Gio terangkat. Kali ini.. Gio menyentuh dagu Agatha. “Kenapa kau memejamkan mata?” tanya Gio. Agatha membuka mata. “Takut!” balas Agatha. “Aku tidak sedang ingin menciummu.” Gio tersenyum remeh. “Iya, sir iya. Saya mengerti kok…” Agatha sembari mengusap dadanya. “Kenapa kau kaku sekali? kau tidak pernah ciuman dengan pacarmu?” tanya Gio. Agatha mengerjap. “Bukan urusan anda.” “Lagipula kenapa nada senang memeluk dan mencium saya?” tanya Agatha k
“Katakan saja jika kau memang tertarik denganku, tapi kau takut..” Gio tersenyum miring. Agatha memberanikan diri untuk mendongak. “Tidak ada gunanya juga jika aku memang tertarik dengan anda.” “Tidak ada untungnya.” Rahang Gio mengeras. Sungguh, ia tidak pernah ditolak seterang-terangan ini. Apakah Agatha ini perempuan normal? Kenapa tidak tertarik dengannya yang jelas-jelas begitu sempurna sebagai laki-laki. “Kau—” “Saya harus pergi, Sir.” Agatha menyingkirkan lengan Gio yang menghalanginya. “Tugas saya sudah selesai. anda sudah minum obat, sudah makan dan sudah lebih tenang.” “Jadi saya akan pergi.” Agatha melenggang pergi begitu saja. Santai sekali, tanpa menoleh ke belakang lagi. Tanpa melihat wajah Gio yang penuh dengan kekesalan. Gio hanya menggeleng pelan dan membiarkan Agatha pergi. “Akan kupastikan kau bertekuk lutut denganku,” ucap Gio dengan janjinya. ~~Keesokan harinya. Gio datang ke kantor. “Sir ini dokumen yang anda butuhkan,” ucap Cika sekretarisnya.
Agatha sedang menyiapkan bekal makan siang untuk Gio. Mulutnya ini memang sering sekali berbicara yang tidak perlu. Karena ulah dari mulutnya sendiri dirinya harus ke kantor setiap siang. Agatha menggeleng pelan. Ia duduk di hadapan koki mansion. “Bagaimana makanan yang terakhir kali? Apa tuan Gio menyukainya?” tanya koki itu. Koki itu laki-laki. Cukup tampan dan masih muda. Usianya di bawah Agatha. Namun diusianya yang muda ternyata sudah banyak prestasi di bidang masak sehingga diangkat menjadi koki pribadi oleh Gio. Tentu saja bayarannya di sini begitu fantastis, melebihi bekerja di restoran. Agatha mengangguk. “Dia.. maksudku tuan menyukai masakanmu. Tuan menghabiskan semuanya..” “Benarkah?” tanya Oki dengan antusias. “Benarkah dihabiskan semuanya?” tanyanya lagi. Agatha mengangguk. “Iya..” ia malah bingung dengan Oki yang antusias. “Memangnya tuan tidak pernah menghabiskan makanannya?” tanya Agatha. Dari wajah Oki yang begitu gembira membuat Agatha
Agatha menatap perusahaan besar yang berada di hadapannya. Ini pertama kalinya ia datang. Huh.. Takut. Bagaimana jika… Tidak, jangan memikirkan hal yang buruk dulu. Sekarang ayo ke dalam dan mengantar bekal yang berada di tangannya. Agatha sudah berada di lift, katanya disuruh langsung masuk dan pergi ke lantai teratas gedung. Saat lift terbuka, Agatha segera keluar. Ia memandang lorong kosong… Semuanya berwarna hitam.. Di ujung lorong ada satu meja yang terisi oleh satu orang wanita. Ia yakin, itu adalah pegawai tuan Gio. “Permisi…” Agatha tersenyum. “Saya datang mengantar bekal tuan Gio.” Sekretaris Gio mendongak. Menatap Agatha dari atas hingga bawah. “Tuan Gio sedang rapat,” balas Cika. “Anda bisa meninggalkan bekal tersebut di sini. saya tidak bisa memastikan jam berapa tuan Gio selesai.” Agatha mengangguk. “Baik, saya taruh di sini..” Agatha menaruh bekal itu di atas meja sekretaris Tuan Gio. Setelah itu Agatha pergi. Sebelum ia masuk ke dal
“Maafkan saya. Seharusnya saya tidak menyuruh anda pergi begitu saja,” ucap Cika penuh penyesalan. Agatha mengernyit. “Tidak masalah.” Cika berdiri dan membukakan pintu untuk Agatha. “Silahkan masuk.” Agatha menggeleng aneh. Sesampainya di dalam ruangan. Ia melihat Gio yang berada di sebuah kursi. Tetap, pria itu terlihat sibuk meski sedang istirahat. “Kenapa kau hanya berdiri di sana seperti patung?” tanya Gio. “Melihat anda bekerja.” Gio menangkat kepalanya. “Memangnya aku setampan itu sampai-sampai kau terus menatapku?” Agatha memutar bola matanya malas. Mulai… “Jadi saya ke sini untuk melihat anda yang sibuk bekerja?” tanya Agatha. Gio menunjuk bekal tersebut. “Cepat suapi aku.” Agatha mendekat—membuka bekal yang ia bawa tadi. Kesal karena Gio masih saja sibuk bekerja meski waktunya makan dan istirahat. “Sir..” panggil Agatha. “Bisakah anda berhenti sebentar?” tanya Agatha. “Tidak.” Balas Gio. Agatha menyipitkan mata dengan kesal. Menyuapi bayi besar. Agatha b
Agatha meremas bahu Gio. Gio tidak memedulikan apapun. Ia terus melumat bibir Agatha. Seakan ingin mentransfer rasa pahit itu ke bibir Agatha. Agatha tidak lagi melawan, ia hanya pasrah. Mungkin… menikmati. Kedua tangan Gio berada di pinggang Agatha. Mengusapnya perlahan dan membuat Agatha benar-benar terlena. Agatha memejamkan mata—membiarkan Gio mengekspos bibirnya. Dengan sukarela membuka bibirnya. “Ah..” Suara Agatha.. Agatha merutuk dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol suaranya. Tapi Gio tersenyum di tengah-tengah permainan mereka. Jemarinya mengusa pipi Agatha pelan. Mengambil permen yang semula berada di dalam mulut Agatha. Kini permen itu berpindah di bibirnya. “Sir…” Agatha mendorong pelan Gio sampai bibir mereka terlepas. Gio memandang Agatha intens. “Manis,” ucapnya. Agatha meremas bahu Gio. “Pipimu memerah..” ucap Gio. Tertawa… Tertawa mengejek… Agatha menyipitkan mata. “Lepaskan saya.” “Tidak.” Gio tidak membiarkan Agatha ban
Kali ini Gio ingin menegaskan pada Agatha bahwa dirinya tidak bisa tentang apalagi diremehkan. Menarik tengkuk Agatha dan mencium kembali bibir candu wanita itu. Gio seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Kenapa? kenapa Agatha begitu menggoda dirinya yang jarang sekali tergoda dengan tubuh wanita. Sialan memang. Sekalinya tertarik malah tertarik dengan wanita aneh seperti Agatha. Namun, ia mengakui sendiri jika Agatha memang cantik. Mencecap bibir Agatha lebih dalam. Gio tidak membiarkan Agatha bernafas dengan benar. Sampai ia melepaskan pangutannya, namun hanya berselang sebentar. Ia memberi jeda saat mengangkat tubuh Agatha ke atas meja. “Ah..” suara Agatha. Gio tersenyum miring. ‘Aku akan membuat dia tergila-gila dengan sentuhanku.’ Dengan lembut, tanpa penekanan… Gio terus mencium bibir Agatha. Sampai wanita itu membalas ciumannya, meskipun terasa begitu kaku. Mengarahkan kedua tangan Agatha ke atas lehernya. “Aku yakin kau tidak bernah berc
Agatha pulang. Benar-benar pulang setelah drama dengan Gio yang tidak kunjung habis. Sesampainya di mansion, Agatha langsung membersihkan tempat bekal tadi. Setelah itu pergi ke taman belakang. Di sana ada beberapa maid yang duduk di taman. Agatha diam di tematnya—ia takut untuk berbaur. Takut tidak diterima dan diolok-olok yang lain.. “Agatha!” panggil Anggun. Agatha menoleh. “Ha-hai..” “Ke sinilah!” Anggun melambaikan tangannya. “Aku baru saja memetik buah mangga. Kau mau mencobanya?” tanyanya. Agatha menatap yang lain. Ada dua maid lagi. Agatha belum mengenalnya, mungkin karena tugas yang berbeda dan jarang bertemu. Mereka tersenyum ramah. Tapi Agatha ragu. Sampai akhirna punggungnya didorong oleh tangan seseorang. “Jangan diam saja,” ucap Oki. Pria itu mengajak Agatha mendekat. “Semua orang di sini baik, jangan takut.” Terpaksa karena ajakan Oki, akhirnya Agatha ikut dengan mereka. Mereka duduk di taman sambil memakan buah mangga.
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men