Edith menggeleng pelan. Ia tau watak Jaslan. Suaminya juga paham sifatnya. Mereka sama-sama orang yang senang mempertahankan pendapat masing-masing.
William kembali mendengus kasar. “Mengalah bukan berarti kalah. Aku yakin jika kalian mengerucutkan pilihan, kalian menekan ego masing-masing pada porsi yang berbeda.”
Wanita berjas dokter itu menyandarkan punggung ke kursinya. Ia menatap William yang sejak tadi telah berdiri. Bilioner itu sudah bersiap akan meninggalkan ruangannya.
“Bagaimana pandanganmu tentang keturunan ini?”
“Kau bertanya pada orang yang salah. Aku bahagia memiliki tiga orang anak dengan kerepotan menjaga mereka masing-masing. Bahkan, aku sudah merencanakan akan memiliki anak dengan Keyna.”
“Keyna setuju?”
“Tidak masalah. Kami cukup kecewa saat tadi pagi melihat hasil tes kehamilan Keyna masih negatif padahal ia sudah terlambat menstruasi dua minggu.”
Edith m
Keyna berlari sepanjang koridor. Ia memutuskan duduk di taman untuk menenangkan diri. Tetapi, bayangan William memeluk Edith tetap bertahan di pikirannya.Sambil mengembuskan napas panjang berkali-kali, Keyna memejamkan mata. Berusaha mengatakan pada otaknya bahwa William sekedar ingin menenangkan Edith. Meski begitu, pikiran jahat kembali membisikinya bahwa bagaimanapun keadaannya, ia tidak rela suaminya memeluk wanita lain.Bukankah Edith adalah wanita yang selama ini selalu membuat William kesal? Apakah William memang sering bersikap sangat manis dan penuh perhatian pada wanita yang menangis di depannya? Jadi, selama ini ia mendapatkan perhatian dari suaminya saat menangis bukan karena William mencintainya? Tetapi karena memang lelaki itu memang orang yang senang menyentuh wanita yang sedang sedih.Tidak! Pikiran positif kini merasukinya. William mengenal Edith telah lama. Walaupun sering bertengkar, tetapi Edith adalah istri Jaslan, sahabat yang suaminya sayangi. Mereka hanya sali
William menatap Keyna seraya mengerutkan dahi. Sejenak ia mencerna ucapan sang istri. Ia tetap merasa tidak ada yang salah."Iya, betul. Edith semalam sangat kacau karena Jaslan pergi tanpa kabar membawa koper pakaian dan passport."Keyna terdiam. Masalahnya bukan itu. Ia kesal melihat William memeluk wanita lain. Dan suaminya terlihat tidak paham akan perasaan yang dialaminya.Tanpa bicara lagi, Keyna merapikan buku-buku tebal yang tadi dibacanya. Wajahnya tetap datar. Antara kesal dan pasrah."Sudah, Baby. Biarkan pelayan yang merapikan buku-buku tersebut," ucap William.Tetapi Keyna mengabaikan perintah suaminya. Ia tetap membereskan buku-buku dan catatan yang berserakan di meja. William sampai mencegah tangan istrinya untuk berhenti menata buku-buku."Hey, Baby." William memeluk pinggang sang istri. "Ayo, Kita ke ruang makan sekarang.""Aku belum lapar," tolak Keyna. "Aku ingin berbaring sejenak."
Perlahan, William masuk ke dalam kamar utama. Lampu di dalam kamar telah redup. William melirik ranjang besar di mana istrinya telah menyelimuti diri.Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama yang nyaman, William menyisip masuk ke dalam selimut. Lelaki itu bergerak ke sisi ranjang di mana Keyna tidur. Merapatkan tubuhnya pada tubuh hangat sang istri.“Baby …. “William mulai membisiki kata-kata sayang.Keyna menggeliat pelan. “Aku mengantuk, Will.”“Aku tau kamu belum tidur, Baby. Boleh aku bicara sebentar?”Keyna membuka matanya. “Ada apa?”“Apa kamu mau sebentar saja mengecek jantungku? Rasanya berdebar-debar sekali,” ungkap William.Cepat Keyna menoleh ke belakang. William sedang menatapnya. Wanita itu lalu duduk dan meraih lengan suaminya untuk menghitung detak nadi. Lalu, ia mengambil stetoskop yang berada di nakas sisi ranjangnya.“Maaf jadi membangunkanmu,” ucap William.“Tak apa, lagipula kamu tau aku belum tidur,” jawab Keyna.Kepala William mengangguk. Ia mengamati wajah sa
Sacha mendengus kasar memdengar ucapan sang daddy. "Apa Daddy sadar telah menikahi siapa?"William memicingkan mata pada putrinya. Suasana hatinya sedang tidak baik. Dan sekarang Sacha malah mengajukan pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban."Maksud Sacha, Daddy harus sadar bahwa Daddy menikahi seorang wanita muda dengan gairah cinta dan cemburu yang sangat kuat. Di mana mungkin di usia Daddy sekarang, Daddy telah mengesampingkan perasaan tersebut," jelas Sacha."Mungkin bagi Daddy rasa cemburu itu berlebihan. Tetapi, Keyna justru melampiaskan rasa cinta melalui kecemburuannya. Daddy tidak bisa menaklukkan Keyna dengan ancaman. Keyna bukan pegawai Daddy," imbuhnya lagi.Bahu William melorot. Sejak tadi ia yakin akan rencananya. Mencegat Keyna di kampus dan membawa istrinya pulang ke mansion. Kemudian merayunya kembali."Daddy sungguh bingung," William mengaku.Lelaki itu lalu duduk di sofa sambil terus mengembuskan napas beratnya. Fred mengajak mereka sarapan be
William tak tahan mendengar suara desahan Keyna. Lelaki itu jadi tersenyum sendiri mengingat suara itu kerap kali keluar dari bibir istrinya saat mereka bercumbu. Matanya kembali melirik sang istri.Tubuh polos Keyna mengilat karena minyak. Posisi tidur tengkurap pada meja terapi. Hanya bagian bokong yang tertutup kain.“Mmmm … ah … enak sekali,” desah Keyna.William menggeleng samar. Tak tahan mendengar desahan Keyna, ia memilih keluar kamar. Sebelum menutup pintu, ia kembali melirik sang istri yang sedang dipijat oleh seorang terapis pijat profesional rekomendasi dari Sacha.Di ruang keluarga, William menyalakan televisi. Ia menonton siaran berita bisnis. Bibirnya tersenyum tak kala berita tersebut menyebut namanya sebagai salah satu pebisnis yang memiliki andil besar dalam kemajuan ekonomi dunia.Tak lama kemudian, Sacha dan Louis ikut bergabung. Mereka duduk di sisi kanan dan kiri Daddynya. Keduanya tau, Keyna sedang dipijat di kamar utama."Keyna belum selesai dipijat, ya?" tanya
Tidak ada gejala berarti saat Keyna memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dokter mengatakan kemungkinan Keyna hamil pun belum dapat dipastikan. Apalagi ada flek yang mengindikasikan kemungkinan Keyna mendapat gejala awal menstruasi.“Atau mungkin kamu hanya lelah dan stress saja?” tanya dokter.Keyna mengangguk mengerti. Hatinya lega karena tidak ada sakit yang serius pada dirinya. Sambil berjalan, Keyna menelepon William dan melaporkan hasil pengamatan dokter.“Ya sudah. Kalau ada apa-apa kamu harus istirahat. Jangan dipaksakan bekerja,” titah William.“Oke. Aku lanjut ke unit gawat darurat dulu, ya.” Keyna berpamitan melalui telepon genggamnya.Sialnya, hari ini ternyata Keyna bertugas bersama beberapa dokter termasuk Laura. Sebisa mungkin, wanita itu selalu menghindar. Tetapi, tetap saja pekerjaan mempertemukan mereka berdua.Seperti saat ini, mereka sedang mengobservasi seorang pasien yang baru saja mengalami kecelakaan tunggal. Dokter ahli menceritakan status pasien. Semua dokte
Keyna spontan membelalakkan matanya mendengar perintah sang dosen. Baru hari pertama bertemu, ia sudah merasa mendapatkan pelecehan. Dengan wajah merah Keyna menggeleng keras.Tak disangka, professor muda itu malah tergelak. “Aku hanya bercanda, Keyna.”Wanita itu mengembuskan napas lega. Hampir saja ia mendaratkan telapak tangannya di pipi sang professor. Ia membiarkan stetoskop lelaki tampan itu memeriksa detak jantungnya.Hanson tersenyum manis. Tanpa melaporkan hasil analisa jantung Keyna, ia menghampiri mahasiswa dan mahasiswi lain. Keadaan kembali gaduh karena dosen itu juga bersedia memeriksa detak jantung beberapa mahasiswa dan mahasiswi.Materi pelajaran Prof. Hanson sebenarnya cukup berat. Namun karena professor muda ini menyajikan materinya dengan gaya anak muda, semua muridnya tampak menikmati. Entah karena memang mengerti atau sekedar mengagumi sosok sang dosen tampan.Keyna memperhatikan layar infokus. Di sana, Prof. Hanson sedang memperlihatkan gambar grafik rekam jantu
Akhirnya setelah satu bulan berlalu, Keyna mulai dapat beradaptasi dengan kegiatannya. Meski setiap pulang ke mansion, wanita itu selalu tertidur di dalam perjalanan. William tidak pernah absen menjemput wanita kesayangannya.Keluarga Dalton selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama. Namun akhir-akhir ini mereka kehilangan Frederix. Sejak putra sulung William itu resmi berpacaran dengan Ariana, Fred selalu menghabiskan banyak waktu di luar mansion.“Apa Daddy tau kalau Kak Fred membeli apartemen di District 21?” tanya Louis.William menghela napas dan mengangguk. “Iya. Daddy melihat penawaran apartemen mewah itu masuk ke email perusahaan.”“Daddy membiarkan Kak Fred membelikan Ariana apartemen?” Sacha memberengut tak suka.“Kita belum tau, apakah apartemen itu untuk Ariana atau bukan,” kilah William.“Tentu saja untuk wanita itu. Kak Fred selalu pulang ke mansion, kok. Walaupun pulangnya tidak tentu jam berapa,” timpal Louis.Suasana hening kembali. Keyna tidak berani berkome
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan