Pertarungan sengit terjadi antara Cakra dan ketua baru. Tapi hanya berlangsung beberapa jurus. Duk! Cakra terlempar jatuh terkena hantaman telapak tangan ketua baru. "Keluarkanlah seluruh jurus tidak berguna mu, kid slebew!" Ketua baru tertawa mengejek. Pendekar Lembah Cemara bangkit dan memasang kuda-kuda, lalu membuka jurus Beruk Di Ranting Cemara. Kemudian ia maju menerjang disertai teriakan yang memekakkan telinga, memukul dan menendang dengan sebat. Ketua baru menangkis tanpa bergeser posisi. Bunyi bentrokan pukulan dan tendangan terdengar nyaring. "Aku sudah mempelajari semua ilmu Ki Gendeng Sejagat! Kau cukup lumayan memainkannya!" "Aku tahu ilmu yang kau gunakan bukan dari pemiliknya! Kau curi dari kitab di perpustakaan ilmu! Patutkah aku kalah dari pencuri?" Cakra meningkatkan serangan. Gerakannya sangat cepat laksana titiran kincir. Ketua baru menangkis dengan gesit. Kadang kepala dan kaki menghindar dari pukulan dan sapuan, tanpa bergeser selangkah pun. Iblis Cin
Cakra menggunakan energi roh dan ilmu Selubung Khayali untuk menguasai jurus paling legendaris dari kuil Shaolin itu. Cakra memberi isyarat dengan telunjuknya agar ketua baru maju menyerang. Kakek sakti berwujud ksatria tampan itu tampak sangat melecehkan jurus yang dimainkan Pendekar Lembah Cemara. "Aku juga ingin bermain-main denganmu." Ketua baru mengeluarkan jurus musang bulan mabuk kecubung. Jurus itu adalah jurus legenda klannya yang paling ditakuti para ketua, dengan kelemahan dihapus dari kitab terkunci. "Keluarkan semua jurus tidak berguna mu, kakek jelek!" ejek Cakra. "Jurus mabuk kecubung adalah jurus paling hina di negeri manusia!" Ketua baru terpancing emosinya. Pemuda kurang ajar itu mesti merasakan kehebatan jurus warisan leluhurnya. Ia terkejut saat serangannya dapat dipatahkan dengan mudah. Kemudian sebuah tinju menghantam dadanya, tubuhnya terpental dan menabrak dinding labirin, lalu jatuh berdebam menghantam lantai. Ketua baru bangkit berdiri, darah meleleh
Matahari memancarkan sinarnya lewat sela dedaunan. Burung berkicau meramaikan pagi, namun tak mengurangi kemistisan hutan itu. Tiga benda dari angkasa meluncur deras ke bumi, menerabas dedaunan dan jatuh berdebam ke tanah berumput. Kemudian terdengar erangan kesakitan Iblis Cinta karena bokongnya menghantam akar, "Aduh...! Bokongku rasanya remuk...!" "Setidaknya masih terdengar suaramu," kata Cakra yang jatuh terlentang di dekatnya, tertindih Melati yang memeluk erat dirinya. Cakra membangunkan perempuan itu dengan menepuk pipinya. "Jangan kelamaan pingsannya, kita sudah mendarat di bumi." Mereka sulit menggunakan ilmu peringan tubuh karena meluncur tanpa terkendali dari awan tersedot gaya gravitasi. "Bangun...!" Cakra memijit hidung bangir itu dengan lembut. Melati membuka mata dan tersenyum ceria melihat Cakra dalam keadaan segar bugar. "Aku senang sekali tuan selamat." Mereka bangkit duduk, pakaian mereka tampak lusuh sekali, sebagian robek. "Berada di mana kita?" tanya M
Cakra menjalankan mobil cukup kencang. Ia sudah berdandan rapi ala eksekutif muda. Tuan Richard sudah memolesnya di salon dengan fashion bermerek dari butik. Uang satu koper dan mobil mewah melengkapi kesuksesannya merantau di negeri orang. Ia ingin mengangkat orang tuanya dari kemiskinan, mengembalikan mereka sebagai keluarga bangsawan klan Bimantara. "Kau perlu adaptasi jika belum pernah hidup susah," kata Cakra.. "Rumahku lebih jelek dari yang kamu bayangkan." Melati tersenyum. "Aku belum pernah hidup susah, tapi tidak perlu beradaptasi karena sudah kewajiban ku menjalani kehidupan tuan." Melati sudah di make over dengan penampilan sangat modis ala sekretaris pribadi. "Makanan favorit keluargaku adalah jengkol, pete, lalapan, sambel dadak, pepes ikan paray, dan sayur ayam. Jika merasa keberatan, kita mampir di restoran untuk membeli tenderloin steak atau foie gras." "Aku belum pernah mencoba makanan favorit keluarga tuan, tapi aku pasti menyukainya." "Jangan paksakan kalau t
"Delapan belas tahun?" Cakra seakan tak percaya dengan pendengarannya. "Hidupmu kelihatannya sangat enak!" gerutu Ambu. "Jadi lupa menghitung hari!" "Aku kira penyebabnya bukan itu." Cakra menutup kebingungannya. Barangkali ada perbedaan waktu antara bangsa manusia dengan bangsa Incubus. "Syukurlah kau sudah kembali," kata petani yang memanggul pacul. "Ibumu sangat terhibur dengan kepulanganmu." Mereka bubar untuk beristirahat. Kerja seharian sangat menguras tenaga. "Aku antarkan nanti oleh-olehnya ke rumah masing-masing." Mereka tampak senang. Kembalinya Cakra ke kampung menghadirkan harapan terbitnya kedamaian dari perbuatan yang meresahkan warga. Sejak kepergian Cakra bermunculan jagoan kampung yang menjadi tukang pukul para tengkulak dan rentenir. Cakra menutup pintu. Mereka duduk di kursi bambu. Cakra mulai bercerita, "Saat pulang dari pesta ulang tahun Priscillia, aku mengalami kecelakaan. Aku mengalami gegar otak dan lupa asal usulku. Ada bangsawan Timur Tengah meno
"Abah mana?" Cakra tidak melihat ayahnya sejak kedatangannya. Ambu mendadak murung mendengar pertanyaan itu. Kepedihan melekat jelas di matanya. Pikiran buruk melintas di kepala Cakra. Ia memandang ibunya dengan buram. "Jangan katakan Abah sudah meninggal. Aku takkan pernah bisa memaafkan diriku." "Abah masuk bui." Cakra terkejut bukan kepalang. Kabar itu terlalu dahsyat untuk menyambut kepulangannya. "Abah divonis seumur hidup dengan dakwaan melakukan pembunuhan terencana kepada Erlangga dan istrinya untuk menguasai harta titipan." "Bagaimana kronologinya?" pandang Cakra tak percaya. "Saat kamu dinyatakan hilang oleh pihak kepolisian, Abah meminta harta yang dititipkan pada Erlangga, ia berkeyakinan kamu dijemput utusan kerajaan, jadi perjanjian secara otomatis batal." "Lalu Erlangga menolak karena putranya juga hilang?" "Ia bersedia mengembalikan separuh harta sesuai permintaan Abah, kemudian Abah diminta meracik kopi klan Bimantara yang sangat termasyhur itu untuk merayak
Suara tonggeret dan jangkrik meramaikan senja. Cakra bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mukidi. Urusan dengan bandar jengkol perlu segera diselesaikan. Banyak persoalan terjadi setelah kepergiannya, dan ia harus menyelesaikan satu per satu. "Kau mau ke mana?" tanya Ambu melihat anaknya sudah berdandan rapi. "Kok mau ke mana? Bayar hutang ke bandar jengkol." "Besok juga bisa, sekarang kau istirahat saja." "Menyegerakan membayar hutang adalah penting. Aku sulit tidur nyenyak dengan hutang menggantung di kepala, padahal aku bisa menyelesaikan secepatnya." Cakra banyak uang untuk menyelesaikan urusan itu, ia tak mau menunda-nunda. Ia bahkan berencana untuk membayar hutang warga yang telah berjasa kepada Ambu. "Semua urusan Ambu yang berhubungan dengan uang, kita selesaikan malam ini." "Kau perlu memikirkan masa depanmu. Kau belum punya apa-apa meski banyak uang." "Maksud Ambu anak istri? Aku pulang bukan untuk kepentinganku, aku pulang untuk membahagiakan keluargaku, mengembalik
"Mudah sekali menyelesaikan masalah dengan uang." Cakra mengendarai sedan dengan santai di jalan perkampungan. Jalan ini pasti jeblok kalau hujan karena belum diaspal. Cakra berniat untuk melakukan pengerasan jalan. Banyak program yang mesti dikaji. "Tapi tidak semua masalah bergantung pada uang." "Bagaimana kalau Mukidi menaruh dendam?" "Aku menunggu dendamnya. Kalau Mukidi cerdas, seharusnya ia menghindar berurusan denganku." "Sejak jadi orang kaya, kau beda anakku." "Beda apanya?" "Kau bukan lagi orang pemaaf. Kau begitu kejam menghajar centeng itu. Padahal mereka hanya berjaga-jaga menunggu perintah majikannya." "Ambu dan Abah terlalu pemaaf. Hutang dua ratus juta dan hidup seumur-umur di penjara adalah akibat terlalu pemaaf." "Kau sudah menebar kebencian, aku yakin mereka tidak menerima perlakuanmu." "Aku bingung dengan Ambu. Sudah jelas Mukidi mempermainkan Ambu, masih memintaku jadi orang pemaaf. Apa Ambu mau Claudya jadi istri kesembilan si Rahimin?" "Tentu saja ti