Bab 5

Tadinya kami memang berniat tidur lebih awal, tapi baru saja mau rebahan, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu, “Duk duk duk.”

Kami saling berpandangan sejenak, lalu suamiku pun asal mengenakan jaket dan pergi membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka, lagi-lagi Nico muncul di depan kami. Di pelukannya ada beberapa botol alkohol. Wajahnya terlihat merah, kelihatan sudah agak mabuk.

Melihat suamiku membuka pintu, dia bertingkah seolah insiden tadi pagi sama sekali tak pernah ada. Tanpa sungkan, dia langsung merangkul bahu suamiku dan berniat masuk ke dalam.

“Kak Roy, Jane sudah tidur. Ayo kita bicara berdua.”

Melihat Nico seakan bersikeras mau masuk, awalnya aku mau menyuruh suamiku menolaknya. Namun setelah ragu sebentar, aku pun membiarkannya masuk.

Lagipula sudah malam terakhir, kupikir dia juga tak berani macam-macam di depan suamiku.

Suamiku pun mempersilakannya duduk di ruang tamu.

Aku diam-diam membuka pintu kamar sedikit untuk mengintip apa yang mereka bicarakan.

Botol demi botol alkohol diminum Nico, sambil sesekali menuangkannya di gelas suamiku.

“Kak Roy, entah kapan kita bisa bertemu lagi,” katanya dengan nada yang terdengar dramatis dibawah pengaruh alkohol, seperti dua orang yang akan berpisah untuk berperang.

Suamiku ikut minum beberapa gelas karena enggan menolak, tapi Nico terus saja menuang, seperti berniat membuatnya mabuk berat.

Melihat gelagat Nico yang semakin mencurigakan, aku buru-buru melepas baju tidurku yang agak terbuka dan menggantinya dengan baju tidur katun yang lebih tertutup, lalu keluar ke ruang tamu juga.

Aku sengaja melirik ekspresi Nico.

Dan benar saja, dia terbengong menatapku. Bahkan sampai menelan ludah diam-diam, matanya tak berkedip sedikit pun.

Suamiku menyipitkan mata, sepertinya mendadak sadar akan sesuatu. Setelah ragu sejenak, dia pun meletakkan gelasnya dan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius.

Kami memang akan pergi besok, tapi watak asli Nico masih belum berubah. Cepat atau lambat, Jane pasti akan menyadari ada yang tidak beres dengannya. Daripada menyesal nantinya, lebih baik bantu dia melihat siapa Nico sebenarnya sekarang.

Aku menguap malas dan berkata pelan, “Jangan minum terlalu banyak, besok kita harus bangun pagi.”

Aku mendengar suara dia memaksamu minum, jadi aku keluar untuk menegurnya secara halus. Usai bicara, aku berniat kembali ke kamar.

Namun, suamiku malah melambaikan tangan padaku, menyuruhku duduk.

“Mumpung sudah bangun, ayo temani kita minum sebentar.”

Aku duduk di samping suamiku dengan wajah bingung, sengaja memilih sisi yang agak jauh dari Nico. Tatapanku menghindari pandangan intens Nico, aku pun canggung sampai tak tahu harus meletakkan tangan di mana.

Suamiku merangkul pundakku, menarikku ke dalam pelukannya, lalu membisikkan sesuatu di telingaku, “Ayo kita berakting, biar Jane bisa lihat siapa sebenarnya dia.”

Aku sempat terbengong sejenak, lalu langsung mengangguk paham.

Suamiku mengangkat gelas di meja, menuangkan sedikit untukku juga, lalu berseru dengan semangat, “Aku dan istriku bakal balik besok, kita harus minum sampai puas malam ini!”

Aku pun ikut mengangkat gelas, berusaha masuk ke dalam peran dan menegaknya sampai habis.

Melihat kami begitu antusias, wajah Nico langsung memerah seperti udang rebus. Dia pun mengangguk dan ikut berseru, “Pokoknya sampai mabuk!”

Karena sudah berniat untuk menjebaknya, aku pun nekat minum satu botol alkohol penuh bersamanya, sampai kepalaku pening dan tubuhku lemas, hanya bertahan dengan sisa-sisa kesadaran.

Nico memang masih muda, tapi kemampuan minumnya jangan diremehkan. Aku dan suamiku hampir tumbang, tapi pandangannya masih cukup jernih. Dari tadi dia terus saja curi-curi pandang ke arahku.