“Kau harus menolongku, Tuan Benjamins,” kata Cakra dengan suara memohon. Wajahnya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. Ia mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju kediaman Tuan Benjamins, yang tidak lain adalah paman Anne. Sesampainya di sana, Cakra tetap memelas, mengekori Benjamins masuk ke dalam rumah meski belum dipersilakan.“Kenapa? Kau bukan siapa-siapaku, Tuan Widjaya. Lagipula, aku tidak ada urusan dengan Pieter dan anggota keluarganya,” balas Benjamins dengan nada dingin. Wajahnya datar, sama sekali tidak menunjukkan empati.“Tapi dia keponakanmu, Tuan Benjamins! Dalam tubuh Anne mengalir darah yang sama denganmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?” seru Cakra, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Padahal, jika boleh, ia pasti sudah meninju pria itu.Benjamins terdiam. Jemarinya mengetuk perlahan permukaan meja kayu di sebelahnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia menyesap brandinya, tapi kali ini rasanya tak sehangat biasanya. Kata-kata Cakra menu
“Pakai ini!” Franz menyerahkan bungkusan yang sejak tadi tergeletak di kursi belakang. Tangannya terulur santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting.Cakra menatap bungkusan itu dengan dahi berkerut, lalu mengambilnya dengan sedikit ragu. Ini bungkusan yang diberikan Asih sebelum mereka pergi. Dengan perlahan, ia membuka lipatan kertas coklatnya dan mengintip isinya.Mata Cakra sedikit membelalak. Di dalamnya, ada setelan rapi milik Pieter. Kemeja berwarna gelap dengan potongan elegan serta celana panjang yang jelas jauh lebih mahal dari pakaian yang dikenakannya sekarang. Ia menghela napas pelan. Jadi, ibu mertuanya sudah memperkirakan semuanya sejak awal.Asih tahu betul bahwa Cakra tidak akan bisa masuk ke restoran mewah dengan pakaian biasa seperti ini. Dia tahu menantunya akan dipandang sebelah mata, dan mungkin itu sebabnya dia sudah menyiapkan solusi bahkan sebelum masalah muncul.“Ck! Kalau aku tahu sejak tadi, aku tidak perlu menghadapi wanita itu.” Cakra mendecak kesal
Cakra tidak lagi peduli. Dengan satu gerakan kuat, ia mendorong Bimo menggunakan pundaknya hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tanpa membuang waktu, ia berbalik dan melangkah cepat menuruni tangga, mengabaikan suara Bimo yang berteriak panik. "Keamanan! Seseorang menculik calon istriku!" seru Bimo dengan nada penuh amarah. Cakra mendengus tajam. Calon istri? Omong kosong! "Anne itu istriku, sialan!" umpatnya tanpa menoleh, langkahnya semakin cepat. Begitu sampai di lantai bawah, matanya langsung menangkap sosok Franz yang sedang asyik merokok di dekat pintu keluar. Tanpa memperlambat langkah, Cakra berseru, "Ayo, Franz!" Pria paruh baya itu menoleh, kaget melihat Cakra menggendong Anne yang masih sesak napas. Namun, tanpa bertanya lebih lanjut, Franz langsung membuang rokoknya dan mengikuti Cakra ke luar. Cakra melompat masuk ke dalam Wagon, sementara Franz segera mengambil posisi di kursi kemudi. Dengan cekatan, ia menyalakan mesin, lalu menekan pedal gas. Namun, sebelum m
"Kau terlihat... berantakan," ejek Franz begitu ia memasuki ruang besuk. Cakra mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata yang masih menyala meski tubuhnya lelah. Dua hari di dalam penjara telah mengubahnya—tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bahunya sakit luar biasa, mungkin terkilir. Wajah tampannya kini tampak lusuh dengan beberapa luka ringan akibat perlakuan kasar para petugas. Mereka memaksanya mengaku bahwa dia yang merusak meja dan kursi di restoran milik Bratz. Namun, meski ditekan, dihina, dan diperlakukan tidak adil, Cakra tetap diam. Ia tak akan memberi mereka kepuasan. "Terima kasih," jawabnya, suaranya serak namun penuh sindiran. Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku panjang, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. "Bagaimana Anne?" Franz menghela napas, menarik kursi di depannya, lalu duduk dengan santai. “Dia baik-baik saja,” jawabnya akhirnya. “Setidaknya, lebih baik daripada kau sekarang.” Ca
“Terima kasih, Tuan Benjamins. Saya pasti akan membalas semua kebaikan Anda,” ujar Cakra dengan penuh hormat. Matanya menatap pria di depannya dengan rasa terima kasih yang tulus. Tanpa bantuan Benjamins, ia mungkin masih terkurung di dalam sel, tak berdaya menyelamatkan Anne. Benjamins menyandarkan satu tangan di kemudi, menatap Cakra sekilas sebelum tersenyum tipis. “Tentu saja! Aku anggap ini utang.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung melajukan mobilnya, meninggalkan halaman rumah Pieter Van der Meer. Ia tidak ingin berlama-lama. Terutama jika sampai adiknya tahu bahwa ia ikut campur dalam masalah keluarga mereka. Namun, di dalam hatinya, Benjamins sudah mengambil keputusan. Melihat bagaimana Cakra mati-matian berjuang untuk Anne, dan bagaimana Bimo menunjukkan wataknya yang licik, ia semakin yakin—Bimo bukan pria yang pantas untuk keponakannya. Dan yang lebih penting, Cakra benar. Anne tidak seharusnya menanggung akibat dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Rasan
Bimo mendengus, menghentakkan tongkatnya ke lantai sekali lagi. “Tuan Van der Meer, kau tidak bisa menarik kata-katamu begitu saja! Aku telah menunggu terlalu lama untuk pertunangan ini! Aku telah membuktikan bahwa aku pantas! Kau sudah berjanji, dan sekarang kau ingin mengingkarinya?”Pieter Van der Meer menarik napas panjang. Ia menekan pelipisnya yang mulai berdenyut, merasa terjebak di antara tekanan Bimo, rengekan istrinya, dan air mata putrinya.“Bimo, aku—” Pieter mencoba berbicara, tetapi Bimo meninggalkan Pieter begitu saja. "Pa, apa kau tidak menyayangi putrimu?" Cakra menatap Pieter dengan sorot mata penuh harap. "Kita bisa mencari cara lain agar keluarga Benjamins mau menerima kalian kembali. Tidak harus seperti ini."Ia mencoba meredakan emosi mertuanya, berusaha menawarkan solusi tanpa mengorbankan kebahagiaan Anne. Cakra mengerti betapa pentingnya status bagi Pieter, tetapi apa gunanya jika itu berarti mengorbankan perasaan putrinya sendiri?Namun, bukannya mereda, ama
Semalaman, Cakra duduk di kursi goyang, menatap punggung Anne yang terlelap di ranjang. Pikirannya terus melayang pada ucapan gadis itu tadi."Kita menikah atas dasar kontrak, Cakra. Tidak lebih."Cakra menghela napas panjang. Tangannya menggenggam pegangan kursi, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaannya dengan gelisah."Aku tidak ingat sama sekali soal itu," gumamnya pelan, menggoyangkan kursinya dengan ritme lambat.Saat fajar merekah, Cakra tersentak bangun. Matanya langsung mencari sosok Anne, tetapi ranjang gadis itu sudah tertata rapi. Tidak ada jejak keberadaannya.Saat sarapan pun, Anne tidak tampak. Hanya ada Pieter yang duduk di ujung meja, menatap Cakra dengan sorot mata tajam penuh kebencian. Sebaliknya, Asih tampak lebih ramah setelah kejadian alergi Anne.Cakra menghela napas. Sepertinya Anne sengaja menghindar.Suara Pieter membuyarkan lamunannya."Dengar, aku tidak peduli soal taruhanmu dengan Bimo," kata Pieter dengan nada dingin. "Tidak ada yang berubah. Aku tetap akan
“Kau lagi…” Franz mendesah berat begitu melihat Cakra melangkah masuk ke dalam toko jam miliknya. Dengan ekspresi jengah, ia melipat tangan di dada. “Dengar, kalau kau sampai membuat pelanggan-pelangganku pergi lagi, aku tidak akan segan-segan mengusirmu, Cakra.”Cakra hanya terkekeh, sama sekali tak merasa bersalah. “Santai saja, Franz. Kali ini aku tidak terburu-buru.”Tanpa menunggu undangan, Cakra menarik kursi di dekat jendela—tempat favorit Franz menikmati teh sorenya. Ia lalu menyeret kursi lain, menaruh kakinya di atasnya dengan santai, seolah toko itu adalah ruang tamunya sendiri.Franz menggeleng tak percaya. "Sungguh, kau tidak punya tata krama."Cakra mengabaikan komentar itu. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya, membaca catatan yang sudah ia buat sebelumnya, lalu mulai menulis sesuatu dengan ekspresi serius.Franz menyipitkan mata, berusaha mengintip apa yang sedang Cakra tulis. Rasa penasaran mulai mengusiknya. Setelah pelanggan terakhirnya pergi, ia mendekat da
Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me
Cakra dan Anne duduk dengan tegang di ruang tamu rumah Tuan Tong. Arsitektur oriental yang kental terasa di setiap sudut ruangan. Ukiran naga menghiasi pilar-pilar kayu merah tua, sementara lentera-lentera kertas bergoyang perlahan di langit-langit.Penjagaan di rumah Bagau ini sangat ketat. Beberapa pria berseragam hitam berdiri tegak di setiap sudut, memperhatikan gerak-gerik mereka dengan tajam.Di hadapan mereka, meja kayu mengkilap telah disiapkan dengan teh dalam gelas berbentuk mangkuk. Aroma melati samar-samar tercium, tetapi baik Cakra maupun Anne tak berniat menyentuhnya.Keheningan yang menekan akhirnya pecah ketika suara berat dan berwibawa menggema di ruangan.“Jadi, kau yang ingin bertemu denganku?”Tuan Tong, seorang pria paruh baya dengan jubah sutra berwarna gelap, menatap mereka dengan tatapan tajam dan penuh selidik.Cakra menelan ludah, sementara Anne meliriknya dengan penuh harap. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan ini kepada suaminya, karena ia sendiri tak tahu har
Cakra melangkah cepat ke tengah ruangan, matanya menyala marah saat melihat para office boy membongkar koper Anne. Pakaian istrinya dikeluarkan dengan kasar, dilempar begitu saja ke lantai, berserakan tanpa sedikit pun rasa hormat."Berhenti!" suara Cakra menggelegar, penuh ketegasan. Namun, seolah tuli, para office boy itu terus mengobrak-abrik isi koper, seakan menikmati perintah yang mereka jalankan.Di sudut ruangan, Bimo bersandar dengan ekspresi puas. Senyum sinis terukir di wajahnya saat ia menyaksikan kemarahan Cakra—dan lebih dari itu, kehinaan yang kini harus ditanggung Anne. Gaun-gaun mewah bukan satu-satunya yang berhamburan di lantai, pakaian dalam gadis itu pun ikut menjadi tontonan.Anne merapatkan tubuhnya, wajahnya memucat menahan malu. Tubuhnya sedikit gemetar saat ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap Bimo."Kenapa kau melakukan ini?" suaranya lirih, nyaris bergetar.Cakra tak tinggal diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik salah satu office boy menja
"Segera selesaikan urusanmu dengan Edgar. Aku akan menangani Benjamins," ujar Franz dengan suara mantap.Cakra mengangguk, menerima keputusan itu. "Bawa Anne bersamamu, Franz. Aku tidak mau dia dalam bahaya."Namun, sebelum Franz bisa menjawab, suara tegas Anne memotong pembicaraan mereka. "Aku tidak ingin kembali."Semua mata kini tertuju pada Anne. Gadis itu berdiri dengan tangan mengepal, matanya berkilat dengan tekad yang baru pertama kali terlihat begitu kuat."Anne, ini bukan tempat yang aman untukmu," Cakra mencoba membujuk, nada suaranya lebih lembut.Anne menggeleng cepat, lalu menunduk, seakan ragu untuk mengungkapkan alasannya. "Aku… aku sedang mencari seseorang." Suaranya lirih, tapi cukup jelas untuk membuat Cakra dan Franz saling pandang, bingung sekaligus penasaran.Cakra menghampiri Anne. “Siapa?” tanyanya sambil menatap Anne lekat.Anne menunduk malu. “Pria dalam mimpiku,” sahutnya berbisik tetapi masih bisa didengar oleh Cakra.Cakra menegang sesaat, tetapi ia berusa