Dengan hati yang tegang, Yuna menatap balik dan berkata dengan nada yang tidak bersahabat, “Kamu mau mengancam aku, ya?”“Nggak, nggak, bukan begitu,” bantah Luna. “Sebenarnya, ada beberapa hal yang mau aku kasih tahu terkait Winda dan Hengy.”“Apa maksud kamu?” tanya Yuna dengan sikap waspada.“Winda itu kakakku.”“Hah, apa kamu bilang?”“Tenang dulu. Winda itu kakak tiriku.”Rasa waspada dan permusuhan Yuna terhadap Luna tidak menurun hanya karena Luna mau membuka diri. Alhasil, Luna pun tampak sedikit kecewa melihat reaksi dari Yuna.“Jujur, ya. Hubunganku sama winda nggak bagus. Dia benci sama aku, aku juga nggak suka sama dia.” Yuna masih tidak sepenuhnya percaya kepada Luna, tapi setidaknya dia jadi sedikit lebih santai dan membalas, “Jadi maksud kamu, mamanya Winda jadi orang ketiga di keluarga kamu?”“Iya. Mamanya merebut papaku, Winda juga merebut tunangan yang seharusnya jadi milikku.”“Tunangan apa?” tanya Yuna.“Siapa lagi. Suaminya Winda sekarang seharusnya jadi suamiku.
“Baik, Pak Hengky,” sahut Santo seraya berdiri dari kursinya. Lalu dia keluar dan menutup pintu rapat.“Ada apa, bilang saja?” kata Hengky.Winda mendekatinya dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Santo. Dia lantas menatap wajah Hengky yang tampan itu dan tanpa sadar mengepalkan tangannya.“Kenapa kamu bantuin Yuna merebut peranku?”Hengky menyapu pandangannya ke wajah Winda, dan ketika dia melirik ke bawah, matanya terhenti kepada tangan Winda yang dia letakkan di atas meja. Warna merah yang merembes dari perban itu sangat mencolok, membuat Hengky mengerutkan keningnya.“Tanganmu ….”“Hengky, jawab pertanyaanku! Kenapa kamu bantuin Yuna?”“Nggak ada kenapa. Dia yang mau peran itu, jadi aku kabarin Jason dan Ivan, itu saja.”“Cuma itu saja?” balas Winda kecewa melihat senyum sinis di wajah Hengky, kemudian dia bertanya lagi, “Atas dasar apa kamu kasih Yuna yang dia mau? Kenapa aku harus berusaha mengandalkan ketekunanku sendiri untuk dapat apa yang aku mau, sementara dia bisa dapa
Tatapannya itu membuat Winda merasa makin tidak nyaman. Alhasil, Winda pun terburu-buru mengambil tasnya dan berlari keluar seperti sedang kabur dari sesuatu. Dia hampir saja menabrak orang lain ketika membuka pintu. Begitu mendongak ke atas, Winda melihat Willy sedang bersandar tanpa mengira ada orang yang akan membuka pintu.“A-aku nggak ….”Seketika Willy ingin menjelaskan kalau dia tidak ada maksud menguping, di saat itu pula menyadari ada yang aneh dengan ekspresi Winda. Namun, Winda sudah berlari meninggalkannya sebelum Willy sempat bertanya apa yang terjadi. Willy hanya menatap kebingungan, lalu dia mengalihkan pandangannya kembali ke dalam bangsal.“Kenapa kamu nggak jelasin keWinda kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Yuna? Tadi aku lihat kayaknya dia nangis,” kata Willy.“Nggak ada yang perlu dijelasin.”“Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, yang ada Winda yang jadi salah paham. Lagi pula apa untungnya juga buat kamu?”“Nggak ada, aku nggak peduli.”“Kamu masih marah sama
“Nggak usah takut, aku nggak sebodoh itu,” ujar Winda.Seumur hidup pun Winda tidak sudi mengakhiri nyawanya sendiri hanya demi pria itu. Andaipun nantinya Hengky benar-benar akan cerai demi Yuna, Winda tidak akan mengakhiri hidupnya sendiri. Siapa tahu … saat itu dia sudah muak dengan kehidupan asmara dan berfokus kepada karirnya.Willy mendekati Winda dan ikut bersandar di pagar, lalu menanyakan sesuatu padanya, “Sekarang kamu ada perasaan apa sama Hengky?”“Masa kamu nggak bisa lihat?”“Bukannya nggak bisa lihat ….”Hanya saja, Willy tidak berani mengambil kesimpulan asal-asalan, karena bagaimanapun juga dulu Winda sangat menyukai Jefri, dan sekarang dia tiba-tiba kembali ke Hengky. Siapa yang tidak akan merasa kebingungan? Ditambah lagi, kebetulan saat ini Gunawan Group sedang mengalami masalah. Wajar jika orang lain berpikir ke arah sana.“Jadi … maksud kamu apa?” tanya Winda.“Hmm … kamu baik sama Hengky, apa gara-gara kamu mau membantu Jefri?”“Jelas bukanlah!” bantah Winda deng
Setelah lampu jalanan mulai menyala dan senja berganti malam, barulah Winda membalikkan badannya dan turun ke bawah. Ketika melewati bangsal tempat Hengky dirawat, dia berhenti sejenak di depan pintu untuk waktu yang cukup lama, tapi tidak mengetuk pintu ataupun masuk ke dalam.Winda langsung pulang ke rumah setelah dia meninggalkan rumah sakit. Sesampainya di kamar, dia langsung berbaring di ranjang. Baik jiwa maupun raganya terasa sangat terkuras. Hampir saja Winda tertidur, tapi dia langsung tersadar kembali ketika Bi Citra mengetuk pintu untuk menanyakan apa yang ingin Winda makan malam itu. Dia pun bangun dan mengatakan pada Bi Citra kalau dia sedang tidak nafsu makan, lalu menutup kembali pintunya dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yakni sebuah kotak cincin yang beludru biru dan sebuah bingkai foto kaca.Winda membuka laci dan mengeluarkan foto mereka berdua saat masih kecil. Bercak darah yang ada di foto tersebut sudah mengering, hanya menyisakan bekas-bekas yang tersisa di p
Tidak salah lagi, itu adalah suaranya Yuna.Winda pun menarik napas panjang. Tangan kirinya memegang erat rantang makanan yang dia bawa dari rumah, dan tangan kanannya mendorong pelan pintu yang sudah sedikit terbuka. Melalui celah sempit itu, Winda melihat Yuna sedang duduk membelakanginya. Sosok Hengky tertutup setengah oleh tubuh Yuna, tapi masih jelas terlihat mereka saling memegang tangan satu sama lain, dan gerakan mereka pun terlihat begitu intim. Dengan sekuat tenaga Winda menggenggam rantang dan menggertakkan giginya untuk menahan amarah serta kekecewaan yang mulai mencuat di hati. Dia tidak mau menerobos ke dalam dan menangkap basah suaminya berselingkuh seperti ibu-ibu sewot.Yuna menggenggam tangan Hengky dan menempelkan di wajahnya seolah tidak menyadari kehadiran Winda, lalu dia berkata, “Hengky, aku tahu kamu mau cerai sama Winda dan pacaran sama aku, tapi kamu nggak boleh mempertaruhkan keselamatan sendiri supaya dia mau tanda tangan. Kalau sampai kamu kenapa-napa, aku
Setelah Luna puas menyaksikan penderitaan Winda, dia pergi ke bangsal tempat Hengky dirawat. Ketika baru saja masuk ke dalam, dia mendengar suara Hengky yang bertanya, “Kenapa kamu ada di sini?”Melalui celah pintu, Luna melihat Hengky sedang mencengkeram pergelangan tangan Yuna. Yuna juga kaget tidak menyangka Hengky tiba-tiba tersadar. Kekuatan cengkeraman Hengky begitu besar sampai Yuna meneteskan keringat dingin.“Aku dengar Pak Hengky kecelakaan, makanya aku datang menjenguk,” kata Yuna. Sembari berbicara, Yuna buru-buru mengambil ponsel yang dia taruh di tepi ranjang dan mematikan layar selagi Hengky masih belum menyadarinya.Kecelakaan mobil ini cukup berpengaruh padanya. Kemarin malam ketika Winda sedang tidak ada di rumah sakit, kepala Hengky terasa sangat sakit. Dia meminta Willy memberikan pereda nyeri agar bisa tidur, dan ketika terbangun kembali, dia sudah melihat Yuna berada di hadapannya sambil memegang tangannya. Tiba-tiba Hengky teringat dengan suara nyaring yang membu
Hengky menarik tangan Yuna hingga tubuhnya oleng ke depan dan bertanya dengan nada sinis, “Tadi kamu ngapain selagi aku tidur?”“Pak Hengky ngapain? Sakit ….”Hengky menghempaskan tangan Yuna, lalu memakai sandal dan keluar dari kamarnya. Suasana di lorong rumah sakit kosong melompong, tidak ada tanda-tanda Winda datang sedikit pun. Lalu dia menengok ke bawah, melihat rantang sup yang biasa Winda bawa untunya sudah tergeletak di lantai. Beberapa saat lalu Winda pasti datang kemari dan tak sengaja melihat atau mungkin mendengar apa yang Yuna katakan, makanya dia langsung pergi meninggalkan rantang makanannya.Hengky membanting pintu dan memelototi Yuna. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pundan tatapannya terlihat sangat mengerikan.“Aku tanya sekali lagi, tadi kamu ngapain? Mau kamu yang ngomong sendiri atau aku yang cari tahu, silakan pikir baik-baik.”Merasa hawa di sekitarnya mendadak dingin, Yuna paham betul bahwa Hengky sudah marah besar. Akan tetapi, bukankah itu berarti Wi
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a