“Kak Winda,” sapa Martin di telepon dengan nada riang gembira. “Tadi aku baru saja dapat pengumuman. Mereka bilang Yuna bakal gantiin kamu. Kak Winda sudah dengar?”Winda merasa ada yang aneh dengan ini. Dia pikir Martin sudah tahu dari dulu karena pada saat pemilihan peran, Jason pernah bilang tidak peduli bagaimana skor akhirnya, Martin yang akan mengambil keputusan. Namun dari nada bicara Martin barusan, sepertinya dia baru saja tahu.“Aku juga baru tahu,” jawab Winda.“Kak Winda, aku benar-benar nggak mengira Pak Jason bakal ngasih perintah begini mendadak, tapi Kak Winda nggak usah khawatir, aku nggak akan setuju sama keputusan itu. Agak malam nanti aku bakal ngomong sama Pak Jason, coba lihat saja apa aku masih bisa mengubah situasinya,” kata Martin, dengan nadanya yang berat, menandakan bahwa dia juga tidak senang dengan kondisinya saat ini.Jujur saja, bahkan Winda juga tidak menduga Martin akan berkata seperti itu. Mereka baru pertama kali bertemu, bahkan kenalan saja belum sa
Lagi pula dilihat dari reaksi Winda barusan, dia tidak terlihat seperti sedang baik-baik saja.“Ya sudah, kamu yang paling tahu batas diri sendiri,” keluh Julia. “Kamu rawat saja dulu lukanya. Kalau lukanya sudah sembuh, baru aku kasih kerjaan baru.”“Makasih, ya, Kak Julia,” jawab Winda.“Yuk, aku antar kamu pulang.”“Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri,” kata Winda seraya memainkan kunci mobil di tangannya.Julia mengalihkan matanya ke pergelangan kaki Winda yang terluka dengan ekspresi serius, lalu dia pun berkata, “Kaki kamu sakit begitu masih bisa nyetir sendiri? Bercanda saja kamu ini! Nggak boleh, bisa aku yang ….”“Kak Julia, serius, nggak usah repot-repot,” sela Winda, kemudian tanpa menunggu balasan dari Julia, dia langsung berjalan dan membuka pintu, “Aku jalan dulu, ya.”Winda berdiri di depan ruang kantor dengan kepala menghadap ke atas sembari menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang hendak menetes. Jelas tidak mungkin Winda tidak peduli dengan itu, dia hanya
“Nggak ada yang perlu dibahas antara kita berdua,” balas Winda dengan tatapan yang sangat dingin.“Kamu mungkin nggak ada, tapi aku ada.”Yuna mengulas senyum tipis di wajah, tangannya bersandar di tembok kaca dan menatap Winda dengan ekspresi angkuh. Dia menginjakkan sepatu hak tinggi mendekat ke Winda seperti sedang menantangnya. Tinggi mereka berdua sebenarnya tidak berbeda jauh, tapi Winda mengenakan sepatu datar karena pergelangan kakinya sedang terluka, jadi Yuna terlihat sedikit lebih tinggi. Yuna ingin menekan Winda dengan perangainya, tapi sayang aura Winda terlalu kuat dan tidak terpengaruh olehnya.“Kalau ada apa langsung saja. Kalau nggak ada, aku pergi dulu,” ucap Winda.Perkataan itu membuat senyum di wajah Yuna sirna, tergantikan oleh ekspresi sinis. Dia iri melihat wajah Winda yang begitu cantik, lalu Yuna kembali menghiasi wajahnya dengan senyum palsu sambil berkata, “Aku mau minta maaf sama kamu tentang kerja sama dengan Golden Artemis.”Yuna berhenti sejenak seusai m
Saking marahnya Yuna terhadap Winda sampai dia mengangkat tangannya dan hendak menampar wajah Winda. Namun, Winda dengan secepat kilat menangkap tangan Yuna yang sudah hampir mendarat di wajahnya.“Lepasin ….”Sebelum Yuna menyelesaikan ucapannya, gantian Winda yang menampar wajah Yuna dengan sangat keras. Tamparan yang tidak menyisakan belas kasihan itu mendarat dengan telak, tak hanya membuat wajah Yuna memerah, tapi juga membuat tangan Winda sendiri kesemutan. Luka di telapak tangan yang semula terbalut perban jadi terbuka dan mengeluarkan rembesan darah.“Berani kamu nampar aku?!” seru Yuna sambil memegangi wajahnya, menatap Winda dengan penuh kebencian.“Kalau kamu masih berani nantangin aku sekali lagi, aku nggak bakal segan untuk nampar kamu lagi!” balas Winda seraya menghempaskan tangan Yuna. Tatapan matanya yang amat tajam dan dingin membuat Yuna merasa gentar. Tatapan matanya itu seakan memberi peringatan bahwa kesabaran Winda terhadap Yuna sudah mencapai batas. Dia sudah tid
Dengan hati yang tegang, Yuna menatap balik dan berkata dengan nada yang tidak bersahabat, “Kamu mau mengancam aku, ya?”“Nggak, nggak, bukan begitu,” bantah Luna. “Sebenarnya, ada beberapa hal yang mau aku kasih tahu terkait Winda dan Hengy.”“Apa maksud kamu?” tanya Yuna dengan sikap waspada.“Winda itu kakakku.”“Hah, apa kamu bilang?”“Tenang dulu. Winda itu kakak tiriku.”Rasa waspada dan permusuhan Yuna terhadap Luna tidak menurun hanya karena Luna mau membuka diri. Alhasil, Luna pun tampak sedikit kecewa melihat reaksi dari Yuna.“Jujur, ya. Hubunganku sama winda nggak bagus. Dia benci sama aku, aku juga nggak suka sama dia.” Yuna masih tidak sepenuhnya percaya kepada Luna, tapi setidaknya dia jadi sedikit lebih santai dan membalas, “Jadi maksud kamu, mamanya Winda jadi orang ketiga di keluarga kamu?”“Iya. Mamanya merebut papaku, Winda juga merebut tunangan yang seharusnya jadi milikku.”“Tunangan apa?” tanya Yuna.“Siapa lagi. Suaminya Winda sekarang seharusnya jadi suamiku.
“Baik, Pak Hengky,” sahut Santo seraya berdiri dari kursinya. Lalu dia keluar dan menutup pintu rapat.“Ada apa, bilang saja?” kata Hengky.Winda mendekatinya dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Santo. Dia lantas menatap wajah Hengky yang tampan itu dan tanpa sadar mengepalkan tangannya.“Kenapa kamu bantuin Yuna merebut peranku?”Hengky menyapu pandangannya ke wajah Winda, dan ketika dia melirik ke bawah, matanya terhenti kepada tangan Winda yang dia letakkan di atas meja. Warna merah yang merembes dari perban itu sangat mencolok, membuat Hengky mengerutkan keningnya.“Tanganmu ….”“Hengky, jawab pertanyaanku! Kenapa kamu bantuin Yuna?”“Nggak ada kenapa. Dia yang mau peran itu, jadi aku kabarin Jason dan Ivan, itu saja.”“Cuma itu saja?” balas Winda kecewa melihat senyum sinis di wajah Hengky, kemudian dia bertanya lagi, “Atas dasar apa kamu kasih Yuna yang dia mau? Kenapa aku harus berusaha mengandalkan ketekunanku sendiri untuk dapat apa yang aku mau, sementara dia bisa dapa
Tatapannya itu membuat Winda merasa makin tidak nyaman. Alhasil, Winda pun terburu-buru mengambil tasnya dan berlari keluar seperti sedang kabur dari sesuatu. Dia hampir saja menabrak orang lain ketika membuka pintu. Begitu mendongak ke atas, Winda melihat Willy sedang bersandar tanpa mengira ada orang yang akan membuka pintu.“A-aku nggak ….”Seketika Willy ingin menjelaskan kalau dia tidak ada maksud menguping, di saat itu pula menyadari ada yang aneh dengan ekspresi Winda. Namun, Winda sudah berlari meninggalkannya sebelum Willy sempat bertanya apa yang terjadi. Willy hanya menatap kebingungan, lalu dia mengalihkan pandangannya kembali ke dalam bangsal.“Kenapa kamu nggak jelasin keWinda kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Yuna? Tadi aku lihat kayaknya dia nangis,” kata Willy.“Nggak ada yang perlu dijelasin.”“Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, yang ada Winda yang jadi salah paham. Lagi pula apa untungnya juga buat kamu?”“Nggak ada, aku nggak peduli.”“Kamu masih marah sama
“Nggak usah takut, aku nggak sebodoh itu,” ujar Winda.Seumur hidup pun Winda tidak sudi mengakhiri nyawanya sendiri hanya demi pria itu. Andaipun nantinya Hengky benar-benar akan cerai demi Yuna, Winda tidak akan mengakhiri hidupnya sendiri. Siapa tahu … saat itu dia sudah muak dengan kehidupan asmara dan berfokus kepada karirnya.Willy mendekati Winda dan ikut bersandar di pagar, lalu menanyakan sesuatu padanya, “Sekarang kamu ada perasaan apa sama Hengky?”“Masa kamu nggak bisa lihat?”“Bukannya nggak bisa lihat ….”Hanya saja, Willy tidak berani mengambil kesimpulan asal-asalan, karena bagaimanapun juga dulu Winda sangat menyukai Jefri, dan sekarang dia tiba-tiba kembali ke Hengky. Siapa yang tidak akan merasa kebingungan? Ditambah lagi, kebetulan saat ini Gunawan Group sedang mengalami masalah. Wajar jika orang lain berpikir ke arah sana.“Jadi … maksud kamu apa?” tanya Winda.“Hmm … kamu baik sama Hengky, apa gara-gara kamu mau membantu Jefri?”“Jelas bukanlah!” bantah Winda deng