"Kau sudah menemukan Diara?" tanya Rendi. Menelepon Darel."Belum. Tapi, aku sudah tahu dia berada di mana. Kau cepat hubungi polisi. Akan aku kirimkan alamatnya padamu.""Baiklah!"Darel segera berlari masuk ke dalam gedung kosong tersebut. Berteriak memanggil Diara. Namun, tidak ada Diara di dalamnya. Maupun, para penculik.Nafas Darel tersengal. Mencari Diara di setiap jengkal sisi gudang ini."Kenapa tidak ada di sini? Kemana Diara?"Darel diam, dengan berkacak pinggang. Memejamkan mata erat."Ayo, Darel. Berpikir. Di mana lagi, harus mencari Diara," gumamnya.Di sepersekian detik kemudian, mata Darel terbuka lebar."Ada satu gudang kosong lagi di area ini."Darel segera berlari keluar. Sementara, 2 penculik tersebut, mendekati Diara. Satu membawa alat pemotong kertas. Satu lagi sebalok kayu.Diara memejamkan mata dengan erat. Degupnya jantung berdetak cepat."Ibu.. tolong aku!" ucapnya dalam hati.1992Ranti tengah beradu mulut dengan seseorang. Wajahnya terlihat sangat ketakutan
Keesokan Harinya.. Diara sudah di perbolehkan pulang. Kini, ia berada di dalam mobil Darel. Duduk di kursi sebelah Darel, yang akan mengemudi. Darel menekan tombol yang bertuliskan ON di dekat kemudi. Segera mobil berderum. Diara terbelalak. "Wah.. mobilnya bisa menyala tanpa kunci? Keren sekali. Seperti dunia sihir." Darel tercengang. Terkekeh bingung kemudian. "Ini mobil jenis Keyless ; tanpa kunci," jelas Darel. "Ke-Ke.. apa?" Diara kesulitan mengulangi ucapan Darel. "Mobil tanpa kunci." "Tanpa kunci? Lantas, kalau pintu tidak di kunci, nanti bisa di curi orang?" "Bukan berarti tidak ada kunci. Tombol ini tadi, untuk menyalakan dan mematikan mesin mobil. Nah, yang ini—adalah remote untuk mengunci mobil. Juga, bisa untuk menghidupkan mesin mobil." Darel menunjukkan benda hitam oval dengan beberapa tombol kecil. Diara mengangguk paham. "Aku rasa.. Diara jadi gila," bisik Selly pada Rendi, yang memelototi Selly sekarang. "Kau tahu cara memasang sabuk pengaman?"
Kematian.. bisa datang kapan saja. Tidak perlu permisi untuk mengambil tubuh yang terisi. Dan, waktunya tak dapat terprediksi.2024"Ranti? Tunggu sebentar. Sepertinya.. aku pernah mendengar nama itu. Tapi, di mana.."Selly mendesis. Sembari berpikir. Bersamaan dengan Darel dan Rendi masuk ke dalam kamar."Teman kayaku.. kau pernah mendengar nama Ranti, tidak?" tanya Selly."Ranti? Bukannya, dia kru kita yang baru? Anggota geng motor itu, yang paling cantik.""Ah, benar! Dia. Eh, tapi dia cantik menurutmu?"Darel bungkam sejenak. Lalu,"Di mana-mana perempuan itu cantik. Tidak ada perempuan tampan, kan? Hehe."Selly kembali mendesis."Tapi, konteks kalimatmu tadi tidak seperti itu."Darel berdeham gugup."Kenapa memang dengan Ranti?" tanya Rendi."Gadis gila ini—mengaku jika dirinya adalah Ranti," jawab Selly. Lalu, mendesah panjang."Mungkin saja, dia berpura-pura. Dan, menyebutkan nama itu—agar aku percaya, dia dari masa lalu.""Dia mengatakan dari masa lalu? Dan, mengatakan jika na
Hara dan Diara berhadapan."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Hara."Bagaimana kau tahu tentang rumah ini? Juga, soal Ibuku—Maya."Hara mengerutkan kening."Maya? Bukankah, dia Nenekmu? Nama Ibumu adalah Ranti."Ranti diam sejenak."Ah, Maaf, aku agak bingung. Tapi, bagaimana kau tahu tentang keluarga Dia—ah, maksudku tentang keluargaku?""Emm.. apa kau lupa? Kau pernah menceritakannya padaku.""Lalu.. apa aku juga pernah menceritakan padamu—darimana aku tahu semua itu?""Dari Ibu pantimu tentu saja.""Maksudmu.. Bibi Lia?"Hara mengangguk."Ra.. kau sungguh baik-baik saja?" Hara menyentuh pipi Ranti. Membuat Ranti bingung."Sebenarnya.. apa hubungan dia dengan Diara?" ucapnya dalam hati.Rendi yang mengetahui adegan itu, segera berjalan mendekati keduanya, dengan langkah kesal. Menepis tangan Hara."Aku rasa, kau sudah tidak berhak untuk menyentuhnya lagi. Bukankah, kau sudah menjatuhkan talak tiga padanya?!"Ranti melebarkan matanya."Talak tiga? Berarti.. Diara dan laki-laki ini
1991Frans memberikan gulungan uang bergambar orangutan, berlatar belakang warna hijau daun, bernilai 500 rupiah, pada Haris yang tengah duduk di bangkunya."Apa ini?" tanya Haris."I-ini.. sebagian hutangku padamu.""Hutang?""Uang yang selalu aku minta padamu. Dan, kau memberikannya cuma-cuma.""Ah. Tidak usah di kembalikan. Bawa saja.""Tidak! Ibuku akan menghajar ku habis-habisan nanti!""Ibumu?"Frans berdeham."Sebenarnya, hari minggu kemarin.. Ranti datang ke rumahku. Ia menceritakan semua yang telah aku lakukan padamu, pada Ibuku. Setelahnya, Ibuku marah besar. Memukulku. Dan, memberiku uang ini untuk mengembalikannya padamu. Terima saja. Kalau tidak, aku akan babak belur nanti."Haris mendengus."Seorang preman sekolah, takut juga pada Ibunya."Frans diam."Baiklah. Aku terima ini. Tapi, cukup ini saja.""Tidak. Aku akan mengembalikan sisanya. Nanti jika aku punya uang.""Sungguh, tidak perlu. Aku tahu, kondisi ekonomi keluargamu seperti apa."Frans menunduk malu."Maaf. Seha
Jika saja, aku bisa mengatakan aku juga terluka atas hidup ini..Jika saja, aku bisa mengungkapkan aku juga sakit atas takdir ini..Entah kapan, terakhir kali aku tersenyum bahagia..Perjalananku sekarang semu..Hidup.. terasa mati..1992Saat Diara Pertama Kali Melakukan Perjalanan WaktuHidup Tomi hancur. Hidup Haris berantakan. Dan, Sinta mengurung diri dalam kamar. Warna-warni dalam hidup mereka seolah berubah abu. Mendengar berita kematian Ranti.Bahkan, Sinta harus pingsan berkali-kali. Menangis meronta, memeluk batu nisan Ranti, beberapa hari yang lalu.Kini, mereka sulit untuk bertegur sapa. Setiap mata mereka bertemu, yang teringat selalu sosok Ranti. Membuat mereka seketika kalut.Ayah Haris, satu hari yang lalu.. tak sengaja menemukan berkas-berkas kasus yang di tangani DMA ; Detektif SMA, di rumah yang dijadikan markas oleh Haris. Karena itu, ia memaksa Haris untuk pindah ke luar Negeri.Hatinya semakin berkecamuk. Sempat melarikan diri dari rumah, namun, anak buah Ayahnya
1991"Tunggu.. pelakunya kidal?" tanya Diara.Tomi mengangguk. Diara mendesah panjang."Apa.. ini hanya kebetulan?" gumamnya."Apanya yang kebetulan?" tanya Sinta."Aku pernah ber-""Sayang!" pekik Haris. Baru saja tiba.Diara menengok ke arahnya."Jangan panggil aku Sayang!""Ah, maaf. Aku terlalu bahagia, mendengar mu sudah siuman!"Haris berjalan cepat mendekati Diara. Menggeser Farel, yang sejak tadi duduk di sebelah Diara. Memeluknya."Oh, syukurlah! Aku benar-benar khawatir denganmu. Begitu sampai di bandara tadi, aku bergegas kemari."Wajah Diara tampak sangat kesal pada Haris. Mengingat, sikap dan sifatnya di masa depan yang sangat buruk.Diara memukul kencang-kencang punggung Haris, yang kini melepas pelukan. Menggeliat kesakitan."Kenapa.. kau memukulku?""Aku sangat marah denganmu!""Kenapa? Karena, aku tidak ada saat kau bangun? Hei, maafkan aku. Ayahku, mengirim ku ke luar Negeri. Tapi, setelah aku dengar dari Tomi, kalau kau bangun—aku segera kembali kemari.""Kenapa?""
1991Diara kembali menjadi murid SMU 991. Jam pelajaran pertama, baru usai beberapa detik yang lalu. Diara lebih memilih untuk di dalam kelas. Sementara, ketiga temannya pergi ke kantin.Ia ingin mencoba menikmati kehidupan di tahun ini. Tapi.. ia harus segera mencari tahu, untuk apa ia berada di tahun ini. "Pasti.. ada alasan kenapa aku ada di tempat ini," katanya."Untuk belajar, tentunya. Apalagi?" Suara laki-laki terdengar dari arah belakangnya.Diara terkejut. Menengok ke belakang. Melihat seorang laki-laki yang baru saja berdiri, meregangkan tubuhnya. Agaknya ia baru bangun tidur. "Siapa kau? Oh, maksudku.. sedang apa kau disini? Emm.. tidak bukan itu. Jadi maksudku adalah-""Sebenarnya apa yang ingin kau katakan—Ranti.. palsu?"Diara melebarkan matanya. Berdiri. Menghadap laki-laki itu."Kau.. tahu siapa aku?""Sebelumnya, perkenalkan namaku Frans. Dan, kau... Sudah pasti di sini namamu, Ranti, kan? Tapi, nama aslimu?""Diara. Oh, bukan. Aku Ranti. Emm, jadi bagaimana kau tah