“Jadi, beberapa hari sebelum Yu Tini sakit dan masuk rumah sakit, dagangannya itu sempat sepi sekali. Sekalinya ada yang beli, katanya makanannya basi. Padahal ya baru aja kami masak. Masakan kita selalu fresh. Karena aku juga bantuin Yu Tini, makanya aku paham betul. Kalau Yu Tini itu paling anti dengan makanan kemarin. Kalau nggak habis aja langsung dibuang atau dikasih ke orang kalau masih layak dikonsumsi,” paparnya.Bai dan Ken kembali saling pandang dan mengangguk. Menyimak dengan seksama.“Pernah ada beberapa juga yang katanya mau beli makanan di warung Yu Tini, tapi katanya tutup. Sekililingnya pun kotor kayak udah nggak buka lamaaa sekali. Nggak terurus katanya,” katanya lagi.Bai menarik napas dalam. Lalu menoleh pada sang Istri yang mengangguk paham.“Maaf sebelumnya … apa Bulek Tini pernah ada masalah dengan salah satu pedagang di sana?” tanya Ken memastikan jika dugaannya benar.“Kalau setahuku sih nggak ada,” sahut Paklek Bimo. Lalu menoleh pada kakak perempuannya. “Apa
“Sayang!” Bai menyadari istrinya seperti mimpi buruk langsung berusaha membangunkan Ken.“Sayang, bangun!” Bai menepuk pelan pipi sang Istri yang terlihat sedang mengigau.Tak bangun-bangun, dia pun membisikkan ayat kursi di samping telinga sang Istri dan membuat Ken seketika itu membuka mata dengan lebar.“Alhamdulillah …,” kata Bai mengembuskan napas lega karena akhirnya istrinya bangun.“Mas,” panggil Ken sambil memegangi perutnya dengan panik. “Anak kita nggak papa kan?”“Insyallah anak kita baik-baik saja. Kamu kenapa emang? Mimpi apa?” tanyanya sambil menatap istrinya dengan cemas. Sedangkan tangannya mengusap perut istrinya dengan lembut hingga terasa gerakan sang janin yang menandakan tak terjadi sesuatu dengan calon buah hatinya.“Aku tadi mimpi-“Ken tak jadi melanjutkan kalimatnya saat terdengar suara benda jatuh seperti bom di atas atap rumah Bulek Tini. Saking terkejutnya, keduanya sampai reflek mengucap istighfar. Lalu saling melempar pandang.“Bulek Tini!” pekik keduany
Sesuai rencana, Bai dan Ken izin menuju warung di mana Bulek Tini berjualan. Di mana warung tersebut berada di kompleks tempat wisata Bhumi Merapi. Setelahnya, mereka berniat untuk kembali ke Magelang dan memberitahu pada kedua orangtuanya.“Bagus juga tempatnya kalau pagi-pagi gini, ya, Mas,” ujar Ken sambil bergandengan tangan dengan suaminya.Mereka memilih berjalan menuju warung. Karena jaraknya lumayan dekat. Bisa untuk olahraga Ken yang tengah hamil tujuh bulan itu sembari menikmati suasana pegunungan yang masih asri.“Iya. Dulu waktu kecil Mas sering nginep di rumah Bulek. Karena kan dulu anaknya cowok, tapi meninggal pas masih usia satu tahunan kayaknya. Kalau masih hidup ya seusia Mas. Makanya, Mas dianggap kayak anak sendiri sama Bulek Tini,” papar suaminya sambil menoleh dan tersenyum pada Ken.Ken mengangguk sambil terus berjalan perlahan. Tautan tangan keduanya semakin erat dengan senyum yang terus terukir di bibir keduanya sambil terus memuji Allah atas keindahan alam ya
Di tempat lain, bersamaan dengan terbakarnya isi dari bungkusan putih yang ditemukan oleh Ken, Bulek Tini mengerang kepanasan. Membuat Bulek Tuti, adik perempuan Bulek Tini yang kebetulan sedang berkunjung panik.“Bimo, ini Yu Tini gimana?” teriaknya memanggil nama adik bungsunya.Lelaki berkumis tipis lari tergopoh dari halaman belakang saat mendengar teriakan kakak perempuannya.“Kenapa, Yu?” tanyanya mendekat dan terlihat panik.“Ini Yu Tini gimana?”“Yu, istighfar. Jangan begini,” katanya menatap Bulek Tini yang terus mengerang sambil memegangi kepalanya. Lalu perutnya yang terlihat lebih besar dari kemarin.“Sakiiitttt …,” jerit Bulek Tini tertahan.“Dibawa ke rumah sakit lagi apa gimana ini?” Tuti pun panik bukan main. Dia tidak tega melihat kondisi sang kakak yang terus kesakitan.“Jangan, Yu! Percuma. Kemarin di rumah sakit juga nggak kelihatan apa-apanya,” tolaknya. “Aku hubungi Bai dulu. Biar dia yang menangani,” tukasnya. Lalu menelepon Bai dan menyuruhnya pulang.Bai dan K
Hujan semakin turun dengan derasnya. Pepohonan mobat-mabit diterjang badai. Semua orang yang ada di dalam rumah Bulek Tini duduk di ruang tamu, mengamati sekitar. Juga Bulek Tini yang ikut duduk di sana dengan sedikit bersandar pada bantal.Petir dan kilat saling bersahutan. Hingga terdengar memekakkan telinga.“Subhanallah … ngeri banget ini hujannya,” ujar Bulek Tuti yang duduk sambil memeluk kakak perempuannya yang juga sama ketakutan.“Kabar terkini, jalur utama longsor dan nggak bisa dilewati kendaraan,” sahut Bimo setelah melihat informasi dari gawainya.“Kamu ini lho, Bim. Orang petir lagi menyambar-nyambar gini kok masih main hp juga,” omel Bulek Tuti pada adik bungsunya.“Update informasi, Yu,” sahutnya. Lalu mematikan layar ponsel dan menyimpannya kembali di saku celana.“Kita fix nggak bisa pulang ini dong, Mas,” kata Ken menatap suaminya yang menggeleng lemah.
Bai mengerjapkan kedua matanya. Menatap jam dinding yang menggantung di dinding kamar yang ditempatinya bersama Ken di rumah Bulek Tini. Jarumnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih bergelayut di kedua kelopak matanya.Lalu membaca doa setelah bangun tidur. Kemudian lelaki itu duduk di sisi ranjang. Dia menoleh dan baru menyadari kalau istrinya tidak ada di sisinya.“Ken? Ke mana? Atau … ke kamar mandi? Tapi kok nggak bangunin aku?” gumamnya dengan hati yang mendadak cemas.Segelas air putih diteguknya hingga tandas. Kemudian bangkit dan mencari istrinya menuju kamar mandi.“Sayang? Kamu di dalam?” tanyanya sambil mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup. Karena Ken menutupnya kembali setelah keluar tadi.Tak ada jawaban.Bai pun mendorong pintunya yang ternyata tidak terkunci dan kosong. Tak ada siapapun di dalamnya. Membuat Bai semakin cemas. Dia pun masuk dan hanya membasuh wajahnya
Adzan subuh berkumandang. Bai pun meminta Ken untuk bersiap salat subuh karena kondisi istrinya pun sudah lebih tenang. Dia hanya merasa sedikit trauma. Mencemaskan keadaan anak dalam kandungannya. Karena jika dia sendiri, mungkin tidak terlalu khawatir. Dia bisa mengatasinya tanpa takut mati. Namun, dia sedang membawa satu nyawa yang sudah dia dan suaminya nantikan kehadirannya. Jadi … Ken akan selalu menjaganya dengan baik.Usai salat, Ken dan Bai fokus berdzikir serta berdoa. Meminta perlindungan pada Allah untuk membentuk benteng pertahanan dari serangan-serangan jin dan bala tentaranya. Setelahnya, mereka sama-sama membaca Al-Qur’an di kamar yang bersebelahan dengan kamar dari Bulek Tini.Mendengar suara orang mengaji, tubuh Bulek Tini mulai terasa panas. Dia menutupi telinganya dengan kedua telapak tangannya. Lalu memukul-mukul pintu kamar yang terkunci dari luar. Dikunci oleh Paklek Bimo.“Berhenti aku bilang! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!” teriaknya memberi ancaman.“Mas?”
Selepas kepergian Bai dan Ken, kondisi Bulek Tini malah semakin parah. Mulutnya kini terasa berat untuk berucap, tubuhnya terasa lemas ketika digerakan. Bahkan timbul bitnik-bintik merah di kulitnya dan terasa gatal. Namun, Bulek Tini seperti tidak ada kekuatan meski hanya sekadar menggaruk yang bisa dijangkau tangannya.Sepanjang malam hanya bisa merintih kesakitan dan sesekali tertawa saat sedang dirasuki.Bulek Tuti dan Paklek Bimo pun semakin kebingungan. Terlebih air rukiyah yang diberikan oleh Bai seakan tidak berefek apapun pada Bulek Tini.“Gimana ini, Bim? Kasihan Yu Tini,” katanya menatap Bulek Tini dengan iba.Perempuan paruh baya itu kini tengah terlelap paska kelelahan karena kerasukan dan ngamuk. Padahal jika biasanya, tenaganya tak ada. Tergolek lemah di atas tempat tidur. Makan dan minum pun disuapi oleh sang Adik. Itu pun tidak banyak. Hanya dua sampai tiga suap saja.“Aku juga nggak
“Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa
Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer
Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po
Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny
Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell
Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.
Berbekal uang juga beberapa informasi yang didapatkan dari Ken, setelah sampai di Terminal Giwangan, Ikhsan pun turun. Dia pun memesan ojek dan menyuruhnya mengantar ke alamat yang telah diberikan oleh Ken.Karena tempatnya lumayan jauh dari kota dan butuh beberapa waktu untuk sampai di lokasi. Ikhsan pun meminta diturunkan di suatu tempat yang letaknya kira-kira kurang dari satu kilometer dari rumah Bulek Tini.Dia pun memutuskan jalan kaki menuju tempat yang akan dijadikan tempat pengintaian.“Nanti di dekat sana ada masjid kecil. Kayak mushola. Kamu bisa minta izin sama warga untuk tinggal selama mengaku menjadi musafir,” ujar Ken saat itu.Ikhsan pun mengingatnya dan mencari mushola yang dimaksud oleh Ken. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dia bertanya pada salah satu warga yang ada di sebuah ladang.“Maaf, Pak. Mau tanya ….”“Iya, Mas. Ada apa?” Warag tersebut terlihat memperhatikan penampilan Ikhsan dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Saya musafir. Dan kebetulan dapat
“Tugas? Tugas apa, Ning?” tanyanya penasaran sekaligus takut.Takut jika yang dijalaninya merupakan tugas besar dan jika dia gagal, maka akan membuat suasana menjadi semakin rumit. Entah apa yang akan ditugaskan oleh Ken kepadanya ….Kedua mata Ken terlihat mengawasi sekitar. Setelah dirasa aman, dia pun mengungkapkan apa yang akan menjadi tugas santri tersebut.“Begini, Ustadz tahu kan apa yang terjadi di pesantren kita ini? Masalah serius yang sudah membuat reputasi pesantren tempat kita semua menuntut ilmu ini jatuh. Dengan Ustadz masih bertahan di sini, aku meyakini jika Ustadz yakin kalau apa yang diajarkan di pesantren ini bukanlah ajaran sesat. Betul?”Santri bernama Ikhasan itu mengangguk. Membenarkan apa yang diucapkan oleh istri dari gurunya itu. Kedua orangtuanya di kampung halaman pun yakin jika anaknya tidak salah dalam menuntut ilmu. Maka dari itu, mereka tidak ikut menarik putranya pulang ke rumah seperti orangtua yang lainnya. Ikut terpengaruh berita yang sedang viral
“Aku nggak akan biarkan ini terjadi begitu saja, Mas. Lihat? Reputasi pesantren Ayah jadi hancur gara-gara video itu viral! Licik sekali sih Bujang Lapuk itu,” omel Ken dengan penuh kekesalan.Satu minggu selepas kematian Bulek Tini, beredar video tentang tuduhan Paklek Bimo terhadap Ustadz Fathur juga Bai yang mengatakan mereka adalah dukun berkedok ustadz. Bahkan pesantren yang dijalankannya pun dikatakan aliran sesat.Tentu saja itu membuat para istri ustadz itu geram. Namun, baik Bai maupun Ustadz Fathur memilih untuk tetap berusaha tenang. Meski dalam hati pun ada rasa cemas karena akan kehilangan kepercayaan masyarakat tentang pesantren yang sudah dibangunnya dari zaman ayahnya Ustadz Fathur.“Sayang, tenang dulu. Kita mungkin akan mediasi dengan Paklek Bimo terkait masalah ini. Kita akan coba luruskan. Kamu diam saja dan berdoa. Jangan bertindak apapun yang bisa membahayakan diri kamu sendiri dan calon anak kita. Ingat, kamu sedang hamil!”Bai mengingatkan istrinya untuk tidak