Selepas kepergian Bai dan Ken, kondisi Bulek Tini malah semakin parah. Mulutnya kini terasa berat untuk berucap, tubuhnya terasa lemas ketika digerakan. Bahkan timbul bitnik-bintik merah di kulitnya dan terasa gatal. Namun, Bulek Tini seperti tidak ada kekuatan meski hanya sekadar menggaruk yang bisa dijangkau tangannya.
Sepanjang malam hanya bisa merintih kesakitan dan sesekali tertawa saat sedang dirasuki.
Bulek Tuti dan Paklek Bimo pun semakin kebingungan. Terlebih air rukiyah yang diberikan oleh Bai seakan tidak berefek apapun pada Bulek Tini.
“Gimana ini, Bim? Kasihan Yu Tini,” katanya menatap Bulek Tini dengan iba.
Perempuan paruh baya itu kini tengah terlelap paska kelelahan karena kerasukan dan ngamuk. Padahal jika biasanya, tenaganya tak ada. Tergolek lemah di atas tempat tidur. Makan dan minum pun disuapi oleh sang Adik. Itu pun tidak banyak. Hanya dua sampai tiga suap saja.
“Aku juga nggak
Tak peduli dengan ocehan Bulek Tini, Ustadz Fathur mulai membacakan ayat-ayat rukiyah dan membuat perempuan paruh baya itu berteriak histeris. Meminta Ustadz Fathur menghentikan bacaannya.“Berhenti kamu! Siapa kamu, hah!”Bulek Tini menyerang Ustadz Fathur dengan membabi buta. Bahkan sampai mendorongnya. Beruntung Bai dengan sigap menopang sang Ayah hingga tidak sampai terjengkang ke belakang. Sedangkan Paklek Bimo memegangi Bulek Tini agar tidak terlalu menyerang Ustadz Fathur.“Siapa dia? Suruh dia berhenti! Jangan campuri urusanku!” teriak Bulek Tini sambil menoleh pada Paklek Bimo.“Sudah, Yu. Sadar …,” bisik Paklek Bimo berusaha menyadarkan kakak perempuannya.Namun, Bulek Tini malah kembali tertawa.“Dia tidak tahu siapa aku, hah!” katanya sambil menatap Ustadz Fathur tak suka. “Aku sudah menghancurkan perempuan ini atas perintah majikanku
Ustadz Fathur membuka isi dari bungkusan yang diduga adalah buhul tersebut. Dan isinya kurang lebih sama dengan apa yang ditemukan oleh Ken dan Bai saat di warung Bulek Tini.“Isinya sama, Ayah. Kemarin yang Bai temui juga isinya begitu. Cuma ini ada ….”Bai mengamati salah satu isi dari buhul tersebut. Jika yang ditemukan di warung beerbentuk seperti hati dan sudah kering. Namun, berbeda dengan yang ditemukan di rumah Bulek Tini.“Ini kok kayak janin, ya?” gumamnya sambil membolak-balik segenggam daging yang bentuknya mirip dengan bentuk janin yang kira-kira baru berusia empat hingga lima bulan itu dengan ranting pohon.“Betul, Bai. Nggak salah lagi. Ini memang janin. Tapi … siapa yang tega melakukan ini? Menjadikan janin yang tidak berdosa sebagai perantara sihir begini.” Ustadz Fathur menatap geram sambil menggelengkan kepalanya. Lalu menoleh pada Paklek Bimo yang sejak tadi sepe
“Sebenarnya ada apa, Nak?” tanya Ajeng menatap menantunya dengan cemas.Ken sendiri sudah lebih tenang setelah beberapa saat menormalkan degup jantung dan meminum air putih.“Bu,” panggilnya seraya menoleh pada ibu mertuanya.“Iya. Ibu di sini. Temani kamu. Ibu takut banget terjadi sesuatu sama kamu, Nak,” katanya lagi sambil mengusap lengan Ken.“Perempuan itu datang lagi,” lirihnya. Lalu mengembuskan napas panjang.“Perempuan?” Ajeng mengerutkan keningnya. Otaknya berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh menantunya.Ken mengangguk.“Iya, Bu. Perempuan yang waktu itu menemui Ken di belakang rumah Bulek Tini. Perempuan yang sebelumnya Ken lihat tengah memakan janin di semak-semak dekat rumah Bulek Tini,” katanya dengan wajah ketakutan.“Astaghfirullah … dia ngapain kamu?” Ajeng menatap menantunya serius.Ken menatap lurus ke depan. Lalu mulai mengisahkan mimpinya yang bermula di belakang rumah Bulek Tini melihat keriuhan pasar. Lalu diajak hingga ke sebuah pulau yang ada di tengah-ten
“Aku mau bawa Yu Tini sama orang pintar saja, Yu!” ujar Paklek Bimo menatap Bulek Tuti dengan serius.“Jangan main-main kamu, Bimo!” sentak Bulek Tuti dengan kedua mata terbuka lebar.“Aku serius, Yu. Aku sudah capek seperti ini terus dan nggak ada perubahan. Lihat luka di sekujur tubuhnya Yu Tini. Itu sangat menjijikan, Yu!” Paklek Bimo menunjuk tubuh Bulek Tini yang kini penuh dengan luka bernanah yang basah.“Ya Allah … kita kan juga sudah usaha. Sambil diobatin ke dokter juga. Sabar dulu, jangan dibawa ke dukun. Nanti yang ada makin memperparah keadaan Yu Tini. Kasihan dia, Bim,” terang Bulek Tuti. “Aku yang akan merawat dia kalau kamu keberatan.”“Apa Yu Tuti juga nggak capek? Biar sajalah dibawa ke orang pintar. Toh nggak ada ritual-ritual khusus. Bukan dukun. Orang kejawen saja.” Bimo masih bersikeukeuh.“Nggak. Aku nggak setuju!” Bulek Tuti menggeleng
“B-bagaimana bisa?” tanyanya sedikit terbata.Antara terkejut juga tidak menyangka jika akan ditemukan sebuah buhul di bawah tempat tidur yang digunakan oleh Bulek Tini.Begitu juga dengan Ajeng dan Bulek Tuti. Bahkan, Bulek Tuti sampai ketakutan karena dia baru melihat benda seperti itu.“Apa itu, Mas Ustadz?” tanyanya sambil bergidik ngeri.“Ini buhul, Mbak. Buhul ini bisa diartikan sebagai alat perantara untuk menyihir yang dikirim oleh seseorang,” jelas Ustadz Fathur. “Sejauh ini sudah ditemukan tiga kali. Satu di rumah makan Mbak Tini, Ken dan Bai yang menemukan dan sudah dimusnahkan. Dan kedua dan ketiga ini Allah membuka tabirnya kembali.”Ustadz Fathur membuang napas sedikit kasar.“Ya Allah, Yu … siapa yang tega melakukan ini sama kamu,” isak Bulek Tuti yang langsung memeluk tubuh lemah Bulek Tini yang juga menangis. Menangisi kondisinya sendiri.“Dimusn
“Sus, tolong istri saya!” teriak Bai saat keluar dari mobil yang diparkirnya di depan pintu IGD.“Iya, Pak.”Satu perawat laki-laki dan satu perawat perempuan dengan sigap membawa brangkar. Kemudian memindahkan Ken untuk berbaring di atasnya. Kemudian mendorongnya masuk ke dalam IGD.Satu perawat perempuan menahan Bai agar tidak ikut masuk ke dalam ruangan.“Sebelumnya istri Bapak kenapa?“Mengeluh sakit perut dan sakit kepala, Sus. Terus pingsan.”“Ya sudah, Bapak daftar dulu. Biar istrinya kami tangani, ya. Nanti nunggu panggilan dokter,” ujarnya.Bai mengangguk pasrah. Dia menatap pintu ruang IGD yang tertutup dengan hati yang berkecamuk. Kemudian duduk di kursi tunggu setelah menyuruh santri yang ikut bersamanya untuk mendaftarkan Ken.Sepuluh menit berselang, pintu ruang IGD kembali terbuka. Bai melihat itu lagsung berdiri dan mendekat.“Keluarga Ibu Ken?&r
Setelahnya, dia kembali ke kamar kakak perempuannya dan meletakkan botol berisi air yang sudah digantinya tadi dengan air biasa di atas nakas.“Bim, sepertinya aku juga harus pulang. Sudah beberapa hari menginap di sini. Suamiku hari ini pulang dinas,” katanya menatap adik bungsunya.“Ya sudah, Yu nggak papa. Sudah biasa juga aku jagain Yu Tini. Lagian sudah mendingan aku lihat setelah keluar kotorannya,” sahut sang Adik dan duduk di sisi Bulek Tini yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur dengan kedua mata terpejam. Efek obat.“Jangan begitu, Bim. Seolah aku ini nggak pernah bantuin kamu saja.” Bulek Tuti sedikit menekuk wajahnya.“Ya … nggak gitu juga, Yu.” Paklek Bimo mengembuskan napas sedikit kasar. “Perlu aku antar ke rumah dinas tidak?” tawarnya.“Nggak usah. Aku dijemput sama ojek langganan saja. Kamu jagain Yu Tini saja. Jangan ditinggal lama-lama, ya!” katanya mengingatkan.“Iya sudah, Yu.”Paklek Bimo bangkit dari duduknya dan mengantar Bulek Tuti yang hendak kembal
Ken sendiri membuka kedua matanya perlahan. Masih terasa berat, tapi dia paksa untuk membuka. Karena terasa dadanya sedikit sesak. Tangan kanannya meraba sekitar. Terasa dia menyentuh bebatuan yang sedikit tajam hingga hampir saja melukai tangannya kalau tidak hati-hati menggerakkan tangannya tadi.“Ya Allah … aku di mana?”Perempuan hamil itu menatap sekitar yang terlihat sangat gelap. Bahkan, saat dia sudah membuka mata secara sempurna, tak melihat apapun yang ada di sekitarnya. Hanya ada kegelapan. Kesunyian. Juga udara yang terasa pengap.Perlahan Ken bangkit dari posisi duduknya. Tangannya berpegangan pada batu besar yang ada di sebelahnya. Terasa dari tangannya yang dia jadikan sebagai acuan untuk mengamati benda sekitar. Karena indera penglihatannya tak menemukan apapun selain kegelapan.Langkahnya pelan namun pasti. Ken maju selangkah demi selangkah untuk mencari jalan keluar dari tempat tersebut. Namun insting Ken mengatakan jika dia berada di sebuah gua. Terasa dari suasanan
“Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa
Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer
Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po
Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny
Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell
Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.
Berbekal uang juga beberapa informasi yang didapatkan dari Ken, setelah sampai di Terminal Giwangan, Ikhsan pun turun. Dia pun memesan ojek dan menyuruhnya mengantar ke alamat yang telah diberikan oleh Ken.Karena tempatnya lumayan jauh dari kota dan butuh beberapa waktu untuk sampai di lokasi. Ikhsan pun meminta diturunkan di suatu tempat yang letaknya kira-kira kurang dari satu kilometer dari rumah Bulek Tini.Dia pun memutuskan jalan kaki menuju tempat yang akan dijadikan tempat pengintaian.“Nanti di dekat sana ada masjid kecil. Kayak mushola. Kamu bisa minta izin sama warga untuk tinggal selama mengaku menjadi musafir,” ujar Ken saat itu.Ikhsan pun mengingatnya dan mencari mushola yang dimaksud oleh Ken. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dia bertanya pada salah satu warga yang ada di sebuah ladang.“Maaf, Pak. Mau tanya ….”“Iya, Mas. Ada apa?” Warag tersebut terlihat memperhatikan penampilan Ikhsan dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Saya musafir. Dan kebetulan dapat
“Tugas? Tugas apa, Ning?” tanyanya penasaran sekaligus takut.Takut jika yang dijalaninya merupakan tugas besar dan jika dia gagal, maka akan membuat suasana menjadi semakin rumit. Entah apa yang akan ditugaskan oleh Ken kepadanya ….Kedua mata Ken terlihat mengawasi sekitar. Setelah dirasa aman, dia pun mengungkapkan apa yang akan menjadi tugas santri tersebut.“Begini, Ustadz tahu kan apa yang terjadi di pesantren kita ini? Masalah serius yang sudah membuat reputasi pesantren tempat kita semua menuntut ilmu ini jatuh. Dengan Ustadz masih bertahan di sini, aku meyakini jika Ustadz yakin kalau apa yang diajarkan di pesantren ini bukanlah ajaran sesat. Betul?”Santri bernama Ikhasan itu mengangguk. Membenarkan apa yang diucapkan oleh istri dari gurunya itu. Kedua orangtuanya di kampung halaman pun yakin jika anaknya tidak salah dalam menuntut ilmu. Maka dari itu, mereka tidak ikut menarik putranya pulang ke rumah seperti orangtua yang lainnya. Ikut terpengaruh berita yang sedang viral
“Aku nggak akan biarkan ini terjadi begitu saja, Mas. Lihat? Reputasi pesantren Ayah jadi hancur gara-gara video itu viral! Licik sekali sih Bujang Lapuk itu,” omel Ken dengan penuh kekesalan.Satu minggu selepas kematian Bulek Tini, beredar video tentang tuduhan Paklek Bimo terhadap Ustadz Fathur juga Bai yang mengatakan mereka adalah dukun berkedok ustadz. Bahkan pesantren yang dijalankannya pun dikatakan aliran sesat.Tentu saja itu membuat para istri ustadz itu geram. Namun, baik Bai maupun Ustadz Fathur memilih untuk tetap berusaha tenang. Meski dalam hati pun ada rasa cemas karena akan kehilangan kepercayaan masyarakat tentang pesantren yang sudah dibangunnya dari zaman ayahnya Ustadz Fathur.“Sayang, tenang dulu. Kita mungkin akan mediasi dengan Paklek Bimo terkait masalah ini. Kita akan coba luruskan. Kamu diam saja dan berdoa. Jangan bertindak apapun yang bisa membahayakan diri kamu sendiri dan calon anak kita. Ingat, kamu sedang hamil!”Bai mengingatkan istrinya untuk tidak