Beranda / Young Adult / Perjalanan Patah Hati / 7. Menyapa Para Gajah

Share

7. Menyapa Para Gajah

Penulis: Sasha Adiraya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-21 04:09:10

Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar.

"ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli."

"Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya.

"Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sampai mereka dewasa."

"Setiap hari, Bli?" tanya Asta penasaran.

"Setiap hari." Seorang mahot yang berdiri di samping Bli Toni mengangguk. "Malahan, kami lebih sering ketemu gajah-gajah ini ketimbang sama keluarga dirumah."

"Terus, gajah-gajah ini datang dari mana, Mas?" Pemuda lain dari rombongan dengan kaus tanpa lengan bertanya. 

"Dulu, seringnya kami sengaja ambil gajah liar untuk dilatih. Kalau sekarang, kami hanya melatih gajah yang memang dilahirkan di sini, atau melatih gajah liar yang cedera dan ditinggal oleh rombongannya."

Terdengar 'ooh' pelan dari para pengunjung, diikuti anggukan tanda mengerti.

Bli Toni lantas menunjuk gajah-gajah yang sudah rebah di tempat mandi. "Mau mandiin gajah?" tanyanya.

Raya yang paling bersemangat, mengangguk antusias. Ia ambil selang air sesuai arahan mahot yang berjaga, lalu menyikat kulit tebal si gajah dengan telaten.

“Dia berasa nggak sih disikat gitu?” tanya Asta sambil tertawa kecil melihat gajah-gajah di depan mereka. Seperti sudah tahu akan di treatment dengan baik, gajah-gajah tersebut tidur saja sambil merasakan kucuran air selang yang diarahkan ke tubuh mereka.

Sementara itu, Sal tak jauh di belakang asik bermain dengan gajah kecil bernama Rubadu. Hampir-hampir ia di seruduk si gajah kalau-kalau si mahot tidak menahannya.

“Mereka ini, anak-anak tapi suka lupa kalau badannya lebih berat dari manusia,” ujar si mahot sambil meminta maaf pada Sal.

Sal terkekeh. “Santai, Mas. Namanya juga anak-anak.”

Seolah anak kecil yang menyadari kesalahannya, ekspresi Rubadu jadi harap-harap cemas, khawatir Sal dan si mahot akan memarahinya. Tapi kemudian, Sal mengelus tubuh gajah kecil itu seolah mengatakan ia tidak masalah dengan kejadian tadi. Rubadu ceria kembali, dan berlarian kesana kemari.

---

Makan siang terasa berbeda dengan banyaknya gajah di sekeliling mereka. Panas matahari yang terhalang pepohonan membuat udara terasa lebih sejuk dan nyaman. Di depan hidangan dengan menu sederhana yang disiapkan oleh Bli Toni dan para mahot di camp ERU, mereka saling berkenalan dan berbincang hangat. 

Dua orang dengan kamera lensa tele tadi mengenalkan diri sebagai bagian dari komunitas pengamat burung di Indonesia, empat orang lain yang tampak lebih muda adalah mahasiswa IPB yang sedang melakukan riset untuk kebutuhan tugas akhir mereka di Way Kambas. Sedang yang berkaus tanpa lengan tadi, datang dengan dua temannya yang lain, adalah backpacker yang baru kembali dari Nusa Tenggara Barat, yang nyambung berbincang dengan Raya seputar Pantai Selong Belanak.

"Kok di kakinya ada rantai, Mas?" tanya satu perempuan dari IPB sambil menunjuk kaki gajah di depan mereka.

"Iya, Mbak. Kalau malam, memang dirantai. Karena biar bagaimanapun, mereka ini hewan liar. Kalau sampai tiba-tiba kabur dan masuk ke pemukiman warga, kita juga yang kena salah." Mahot bertubuh kecil itu tersenyum. "Suka banyak orang yang mengira kami ini jahat ke mereka, Mbak. Mengurung lah, memukul lah, padahal gajah-gajah ini sudah seperti anak kami sendiri. Mereka bingung kalau nggak ada kami, kami sedih kalau mereka mati."

Si mahot lalu banyak bercerita tentang suka duka mereka merawat mamalia besar ini. Mulai dari luka-luka fisik yang mereka terima saat si gajah tiba-tiba mengamuk, hingga luka yang diakibatkan oleh komentar-komentar negatif dari netizen maha benar perihal cara mengurus gajah. Semuanya, mereka ceritakan sambil tertawa, sambil tetap mengelus tubuh besar si gajah, menunjukkan betapa tulus kasih sayang yang mereka berikan untuk mamalia besar tersebut.

Gavin menyingkir sejenak saat percakapan itu terjadi. Mengambil beberapa gambar dengan DSLR yang tergantung di lehernya sejak tadi. Sampai pada saat lensa kameranya menangkap wajah Raya yang nampak ceria mengelus belalai gajah, ia justru mengambil ponsel dan memilih mengabadikannya disana. Tanpa sadar Gavin tersenyum.

"Kenal sama Mbak Raya di jalan juga, Mas?" sebuah suara mengejutkan Gavin. Bli Yudha, dengan sebatang rokok yang menyala di sela jari, sudah berdiri di sebelahnya.

"Bukan, Bli. Kebetulan kita berempat udah temenan lama."

"Oh gitu." Bli Yudha manggut-manggut. Menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya di udara. "Tapi keren loh, Mbak Raya. Satu-satunya cewek di rombongan yang kuat nyetir sendiri berjam-jam. Cewek lain biasanya cuma duduk anteng atau gantiin nyetir sesekali."

Gavin terkekeh. "Setting-an lama, Bli. Dari jaman di kampus dulu udah motoran sendiri sampai Bandung."

"Masa?" Bli Yudha berdecak kagum. "Pantes tenaganya nggak kalah sama pembalap. Tancap gas terus. Padahal saya lihat Mbak Raya jarang tidur di jalan."

"Oh ya?"

"Iya." Bli Yudha menghisap rokoknya lagi. "Beberapa kali tiap kita istirahat malam di rest area, dia melek jagain kendaraan. Nggak tahu sambil ngapain. Paginya saya liat matanya merah kurang tidur, tapi anehnya nggak keliatan ngantuk."

"Dia emang... agak beda sih, Bli." Gavin memberi jeda. Matanya memandang lurus pada Raya yang kini sudah ditemani Sal berbincang dengan seorang mahot. Gavin juga bisa melihat Sal memindahkan topi di atas kepalanya ke kepala Raya. "Kalau mood nya lagi bagus, dia bisa punya energi yang nggak habis-habis. Tahan nggak tidur seharian, ngabisin semua kerjaan, semangat buat ngobrol dan kenalan sama banyak orang."

Gavin menunduk, menatap wajah Raya yang terabadikan di ponselnya. "Tapi kalau mood nya udah nggak bagus, dia bisa menghilang dari peradaban. Nggak mau makan, nggak mau ngomong, nggak bergerak dari kasur selama seminggu. Atau..." Gavin mengecilkan volume suaranya. "Ngelakuin hal yang lebih gila lagi."

"Cewek sih, ya." Bli Yudha tertawa pelan. Ia hisap rokoknya sekali lagi sebelum membuang puntungnya ke tong sampah terdekat.

Gavin tersenyum kecut. 

Seandainya bisa semudah dan sesederhana itu menjelaskan pada orang lain tentang kondisi Raya yang sebenarnya. Bahwa perubahan suasana hatinya bukan hanya disebabkan karena menurunnya hormon estrogen seperti yang umumnya dialami wanita saat mendekati waktu menstruasi. Lebih dari itu, karena traumatisme yang gadis itu alami, karena rasa sakit yang ia pendam sendiri, kekecewaannya, perasaan kehilangannya, kesepiannya, membentuknya jadi gadis yang berbeda dari yang lain.

Raya, dan bipolar yang dimilikinya.

Gavin lantas membuka fitur W******p, mencari nama Raya, mengetuk tombol lampiran, menyematkan foto tadi dan memberi pesan singkat,

Cakep nggak?

Gavin kembali menoleh ke depan. Dilihatnya Raya tersenyum saat melihat layar ponselnya. Gadis itu mengetik cepat.

Gue maksudnya?

Gavin membalasnya lagi.

Bukan, gajahnya.

Raya celingukan, mencari sesuatu. Saat akhirnya ia menemukan Gavin, gadis itu mengacungkan jari telunjuk sambil memasang raut wajah cemberut.

Gavin cekikikan. Ada banyak hari dimana ia melihat Raya begitu kesulitan dan putus asa saat menghadapi dirinya sendiri. Melihat gadis itu tampak bahagia hari ini, rasanya ia yakin Raya bisa sembuh secepatnya.

Ah, harus. Setidaknya, sampai ia masih punya cukup waktu untuk menemani Raya melewati masa sulitnya. 

---

Bab terkait

  • Perjalanan Patah Hati   8. Mimpi Buruk

    Asta merebahkan tubuh di teras setibanya mereka di homestay. Kaos Boss hitamnya sudah basah dipenuhi peluh. Rambutnya berantakan. Usianya yang menjelang tiga puluh, ditambah bobot tubuhnya yang nyaris menyentuh angka delapan puluh, membuatnya lelah lebih cepat. Apalagi setelah pulang dari ERU tadi, Bli Toni masih mengajak mereka mampir ke satu tempat budidaya lebah madu trigona milik warga. Kini betisnya jadi terasa sedikit berdenyut."Olahraga makanya," kata Gavin, menyandarkan tubuh ke tembok di sebelah Asta. "Punya sepeda mahal-mahal nggak di pake.""Belum, bukannya nggak." Asta membela diri. "Lo juga mulai jarang nge-gym gue perhatiin.""Jogging sekarang. Lagi males nge-gym." "Kenapa?""Di godain om-om." Gavin tertawa.Asta terbahak-bahak.Diantara tiga pria ini, Gavin memang yang terbilang punya gaya hidup paling sehat. Ia tidak minum kopi jika benar-benar ingin, tidak merokok, jarang mengkonsumsi junk food dan rutin minum vitamin. Tingginya mungkin tiga centi dibawah Sal, tapi p

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-24
  • Perjalanan Patah Hati   9. Petuah

    "Lingkaranku kerap bertanya. Mengapa ku tampak biasa-biasa saja."Sal melirik Raya yang duduk di sampingnya. Tengah memejamkan mata menyanyikan lagu Juicy Luicy yang terputar melalui music player di mobil. Kepalanya bergoyang pelan, duduknya tegap, tangannya terangkat mengikuti alunan lagu."Jalani hari dan tertawa, apa selama ini ku tak benar cinta?"Raya mengepalkan tangan. Mengarahkannya ke depan mulut Sal, seolah-olah ada mic yang ia sodorkan pada penontonnya. Mereka bernyanyi bersama."Tak harus ku alirkan air mata, untuk tunjukkan derita. Dia tinggalkanku, seketika. Tak perlu ku terus-terus bertanya, apa alasannya? Mungkin dia bukan orangnya!"Sal dan Raya saling melakukan tos diiringi gelak tawa penuh kebanggaan. Suara Sal yang maskulin, cocok sekali beradu dengan suara Raya yang ringan dan lembut. Lagunya juga terbilang pas untuk Sal yang baru saja putus cinta. Asta bertepuk tangan di jok belakang, sementara Gavin tetap terlelap.Satu jam berlalu sejak mereka meninggalkan homes

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Perjalanan Patah Hati   10. Dua Rahasia

    Lampung terik. Tapi entah bagaimana, ubin masjid seakan punya teknologi mutakhir yang mampu membuatnya tetap dingin dan sejuk di tengah cuaca seperti ini. Termasuk selasar Masjid Taqwa Kota Metro yang siang itu berubah jadi oase dan menarik banyak orang untuk sekedar meluruskan kaki atau tidur-tidur ayam. Termasuk, Raya. Hampir tiga menit ia melamun memandangi pantulan sinar matahari yang mentereng dahsyat di halaman masjid sampai sebuah panggilan masuk mengubah raut wajahnya yang tenang jadi se-sumpek udara siang itu dalam sepersekian detik. Ia pandangi nama di layar ponselnya untuk beberapa saat, sebelum menggeser tombol hijaunya."Halo?" Raya menyapa orang diseberang dengan malas. "Dimana, Kak?"Basa basi sekali, Raya membatin."Ada apa?""Ibu minta kirimin uang, buat beli token sama bayar arisan."Kan, ia tak perlu menjawab. Toh, info lokasinya tak pernah penting bagi keluarganya. "Nanti di transfer.""Sama uang jajanku, kan?" Suara pria di seberang terdengar cemas.Setidaknya ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   11. Ingatan

    Pukul sepuluh malam saat Gavin menerima pesan masuk dari Asta, lampiran video berdurasi lima belas detik yang membawanya melesat cepat dari kasurnya yang hangat menuju sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan. Dalam rekaman CCTV itu terlihat Raya, melangkah gusar, berkali-kali menjatuhkan kunci apartemennya saat hendak membuka pintu, dan dengan tubuh bergetar hebat terhuyung masuk ke unitnya. Raut wajahnya dipenuhi oleh beragam emosi yang sulit di gambarkan. Sebuah pertanda buruk yang Gavin hapal betul saat gadis itu mencapai puncak episode depresinya.Gavin tiba di lantai delapan apartemen tersebut dengan nafas tersengal. Sudah ada Sal di sana, berkacak pinggang di depan pintu dengan nafas memburu yang sama.“Dikunci, gue bisa denger suara benda jatuh tapi dia nggak mau buka pintu.” Sal menjelaskan situasinya. Gavin mengetuk pintu. “Raya, ini gue, Gavin. Please buka pintunya, Ra! Lo nggak bisa sendirian,” serunya, tetap berusaha setenang mungkin. “Gue temenin jalan malem ini, R

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   12. Jagat Raya

    Raya dengan segera melangkah keluar dari mobil setelah kendaraan terparkir sempurna di lahan parkir yang tersedia di bawah jembatan. Wajahnya sumringah. Matanya berkilat penuh semangat. Tangannya menggenggam erat buku sketsa di dada. Kakinya berlari-lari kecil tanpa memperdulikan panggilan Sal dan Asta di belakang."Tunggu, Ra!""Pelan-pelan, Ra!"Suara kedua pria itu menyatu dengan deru mobil dan percakapan banyak orang. Tidak terdengar. Raya tetap menaiki anak tangga dan baru berhenti setelah tiba di puncaknya. Gadis itu tersenyum lebar. Mengatur nafasnya yang tersengal."Hati-hati dong, Ra! Kalau lo-""Sssh!"Kalimat Sal menggantung di udara. Ada telunjuk Raya yang menempel di bibirnya. Dengan gerakan kepala, ia meminta pria itu mengikuti arah pandang matanya.Seketika, Sal menganga terpesona.Langit berwarna jingga keunguan berpadu cantik dengan Sungai Musi yang mengalir tenang dibawah mereka. Di permukaannya, hilir mudik kapal-kapal tongkang serta perahu kecil yang berdampingan d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01
  • Perjalanan Patah Hati   13. Resign

    Raya mengamati rumah makan di hadapannya. Sebuah bangunan satu lantai yang didominasi warna merah bata, dengan lampu gantung menyala terang menghiasi terasnya yang tak seberapa luas. Di teras itu terdapat empat buah meja beton berlapis keramik dengan bangku besi yang mengelilingi. Ada etalase kaca besar yang berdampingan dengan meja kasir, memisahkan antara teras dengan bagian dalam rumah makan. Yang di etalase itu, terpampang berbagai variasi pempek dalam beragam bentuk. Ada susunan huruf yang menempel di dinding belakang meja kasir. Bertuliskan: Pempek Saga Sudi Mampir."Boleh makan di depan aja nggak?" tanya Raya, menatap enggan pada deretan meja dan kursi kayu di dalam ruangan.Gavin mendorong kembali kursi yang sudah sempat ia tarik. Melempar pandang pada Sal dan Asta sebelum akhirnya mengangguk. "Biar gue yang pesen," katanya, melangkah ke meja kasir.Mereka lalu memilih meja paling dekat dengan area memasak. Persis di seberang pemanggang yang sebagian besar terisi oleh pempek le

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Perjalanan Patah Hati   14. Teman Bodoh Asta

    Sal menghisap rokoknya lagi. Sudah batang kedua dalam setengah jam ini. Asap yang ia hembuskan membumbung tinggi di udara. Menguarkan aroma tembakau bercampur dengan semerbak wangi kopi yang memenuhi seantero ruangan. Sebuah kedai kopi dalam bangunan dua lantai di pinggiran jalan kolektor kota Palembang. Lantai dasarnya di desain klasik, lengkap dengan furnitur kayu serta beberapa ornamen dan pajangan bertema oriental. Sedangkan lantai dua, di rancang lebih kontemporer dengan bangku dan meja besi model masa kini. Ada smoking area di balkonnya yang cukup luas, sekaligus jadi area paling ramai lantaran pemandangan yang mengarah langsung ke jalan terlihat cantik saat malam. Letaknya yang strategis membuat Rajawali Kopitiam tak pernah kehabisan pelanggan."Kayaknya seru kalau lihat Raya marah-marah." Asta nyeletuk. Merogoh ponsel dari kantung celana, membuka fitur kamera, dan mengarahkannya ke wajah Sal.Sal berdecak, menutupi wajah dengan tangannya yang bebas. Sementara satu tangannya ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Perjalanan Patah Hati   15. Pagi di Palembang

    Raya melangkah keluar dari lift dengan langkah yang sedikit terseret. Matanya masih belum sepenuhnya terbuka lebar. Mulutnya tak berhenti menguap. Rambut ikalnya yang melewati bahu tergerai sedikit berantakan. Jika bukan karena rasa lapar yang mengharuskannya turun untuk mencari sesuap nasi, ia yakin tubuhnya masih berada di kasur saat ini. Tak peduli jika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "Raya?"Gadis itu menoleh saat sebuah panggilan dialamatkan kepadanya. Matanya otomatis melebar kala mendapati sosok pria yang tak asing berjalan cepat ke arahnya. "Gavin?"Gavin nampak mengatur nafasnya yang tersengal. "Lo ngapain disini? Sendirian?" tanyanya saat sudah berada tepat di hadapan Raya. "Iya, gue telfonin Sal sama Asta nggak diangkat. Elo juga.""Ah, sori. Hape gue ditinggal di kamar." Ia menyeringai. Menampilkan deretan gigi-giginya yang rapi. "Sal sama Asta kayaknya masih tidur. Mereka baru balik jam satu semalem.""Oh." Raya manggut-manggut. Diliriknya Gavin dari ujung ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07

Bab terbaru

  • Perjalanan Patah Hati   26. Ajakan Pernikahan

    Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan

  • Perjalanan Patah Hati   25. Rumah Nenek

    Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s

  • Perjalanan Patah Hati   24. Pulang

    Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap

  • Perjalanan Patah Hati   23. Rahasia untuk Sal

    "Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w

  • Perjalanan Patah Hati   22. Air Terjun Temam

    Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta

  • Perjalanan Patah Hati   21. Arti Perjalanan

    Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung

  • Perjalanan Patah Hati   20. Gavin

    Suara petik gitar melantun merdu memecah keheningan yang membungkus malam. Bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan kepak sayap kelelawar. Di teras rumah Rahman yang remang, Sal ditemani Asta dan Arip, masih asik berbincang ringan sambil sesekali menyanyikan sebuah lagu. Sementara Gavin terlihat dari pintu yang terbuka, tengah duduk di kasur yang digelar di ruang tamu sembari menonton sesuatu di ponselnya."Bentar bentar, nggak dapet nadanya." Sal membetulkan kembali posisi jarinya. Mencari chord yang tepat untuk lagu Two Is Better Than One-nya Boys Like Girls ft. Taylor Swift yang di request Asta barusan. "Terus, tau Andalas dari mana?" Asta kembali pada Arip sembari menunggu Sal selesai dengan lagunya. Ia katupkan jaketnya rapat-rapat untuk menghalau angin dingin yang berhembus."Dari temen, Bang. Dia bilang mau lanjut kuliah disini, pas saya udah daftar, nggak taunya dia malah bilang nggak jadi. Yaudah, terlanjur deh. Nggak bisa di cancel juga," jawab Arip sambil terkekeh getir.

  • Perjalanan Patah Hati   19. Malam di Lubuklinggau

    Langit sudah gelap saat mereka tiba di Lubuklinggau. Jalanan lengang. Di minimarket pertama yang mereka temui di kota itu, Raya menepi."Tunggu ya, orangnya belum dateng. Kalau kalian ada yang mau dibeli, sekalian aja," jelas Raya sembari menaikkan tuas rem. Ia raih ponselnya yang terselip di saku pintu, dan mengabari seseorang melalui pesan singkat.Sal lantas turun dari mobil. Mampir ke depan mesin ATM, lalu menyusuri rak berisi perlengkapan mandi untuk membeli sikat gigi lantaran teringat sikat giginya tertinggal di hotel tadi. Setelah memilih satu merk, pria itu lalu berjalan lagi menuju kulkas berisi minuman dingin. Sudah ada Gavin di sana, berdiri di depan pintu kulkas kaca yang masih tertutup, sambil menimbang-nimbang minuman apa yang ingin ia beli.“Tumben nggak beli vitamin c,” ujar Sal saat menyadari Gavin ternyata memperhatikan kulkas yang isinya minuman berkafein.“Lagi pengen aja,” jawab Gavin tanpa menoleh pada Sal sedikit pun. Dibukanya pintu kulkas tersebut, lalu ia amb

  • Perjalanan Patah Hati   18. Melanjutkan Perjalanan

    Rasanya baru semalam Sal duduk-duduk di Jembatan Ampera, memuaskan hasratnya makan pempek Palembang langsung di Palembang, menghabiskan pagi di Benteng Kuto Besak, makan siang diatas Sungai Musi dengan menu pindang pegagan yang nikmatnya masih melekat di lidah. Kini, diantara sayup-sayup adzan maghrib, dengan latar langit jingga yang begitu memanjakan mata, ia sudah berada di SPBU daerah Musi Rawas, meregangkan otot-otot yang kaku setelah empat jam berada dalam mobil sembari menghabiskan Martabak HAR yang tadi sempat Raya beli sebelum meninggalkan Palembang.Seluas penglihatan matanya, tak ada yang mencolok dari tempat tersebut, kecuali pohon-pohon besar yang mengitari SPBU – yang tentu saja tak pernah ia temui SPBU dengan latar hutan seperti ini di wilayah Jabodetabek, jalan utama selebar tujuh meter yang hanya terisi dua-tiga kendaraan sejak tadi, dan sebuah rumah warga yang lampu depannya terlihat redup di seberang jalan tersebut. Masih sekitar 60 kilometer lagi menuju pemberhentia

DMCA.com Protection Status