Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar.
"ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli."
"Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya.
"Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sampai mereka dewasa."
"Setiap hari, Bli?" tanya Asta penasaran.
"Setiap hari." Seorang mahot yang berdiri di samping Bli Toni mengangguk. "Malahan, kami lebih sering ketemu gajah-gajah ini ketimbang sama keluarga dirumah."
"Terus, gajah-gajah ini datang dari mana, Mas?" Pemuda lain dari rombongan dengan kaus tanpa lengan bertanya.
"Dulu, seringnya kami sengaja ambil gajah liar untuk dilatih. Kalau sekarang, kami hanya melatih gajah yang memang dilahirkan di sini, atau melatih gajah liar yang cedera dan ditinggal oleh rombongannya."
Terdengar 'ooh' pelan dari para pengunjung, diikuti anggukan tanda mengerti.
Bli Toni lantas menunjuk gajah-gajah yang sudah rebah di tempat mandi. "Mau mandiin gajah?" tanyanya.
Raya yang paling bersemangat, mengangguk antusias. Ia ambil selang air sesuai arahan mahot yang berjaga, lalu menyikat kulit tebal si gajah dengan telaten.
“Dia berasa nggak sih disikat gitu?” tanya Asta sambil tertawa kecil melihat gajah-gajah di depan mereka. Seperti sudah tahu akan di treatment dengan baik, gajah-gajah tersebut tidur saja sambil merasakan kucuran air selang yang diarahkan ke tubuh mereka.
Sementara itu, Sal tak jauh di belakang asik bermain dengan gajah kecil bernama Rubadu. Hampir-hampir ia di seruduk si gajah kalau-kalau si mahot tidak menahannya.
“Mereka ini, anak-anak tapi suka lupa kalau badannya lebih berat dari manusia,” ujar si mahot sambil meminta maaf pada Sal.
Sal terkekeh. “Santai, Mas. Namanya juga anak-anak.”
Seolah anak kecil yang menyadari kesalahannya, ekspresi Rubadu jadi harap-harap cemas, khawatir Sal dan si mahot akan memarahinya. Tapi kemudian, Sal mengelus tubuh gajah kecil itu seolah mengatakan ia tidak masalah dengan kejadian tadi. Rubadu ceria kembali, dan berlarian kesana kemari.
---
Makan siang terasa berbeda dengan banyaknya gajah di sekeliling mereka. Panas matahari yang terhalang pepohonan membuat udara terasa lebih sejuk dan nyaman. Di depan hidangan dengan menu sederhana yang disiapkan oleh Bli Toni dan para mahot di camp ERU, mereka saling berkenalan dan berbincang hangat.
Dua orang dengan kamera lensa tele tadi mengenalkan diri sebagai bagian dari komunitas pengamat burung di Indonesia, empat orang lain yang tampak lebih muda adalah mahasiswa IPB yang sedang berlibur ke Lampung. Sedang yang berkaus tanpa lengan tadi, datang dengan dua temannya yang lain, adalah backpacker yang baru kembali dari Nusa Tenggara Barat, yang nyambung berbincang dengan Raya seputar Pantai Selong Belanak.
"Kok di kakinya ada rantai, Mas?" tanya satu perempuan dari IPB sambil menunjuk kaki gajah di depan mereka.
"Iya, Mbak. Kalau malam, memang dirantai. Karena biar bagaimanapun, mereka ini hewan liar. Kalau sampai tiba-tiba kabur dan masuk ke pemukiman warga, kita juga yang kena salah." Mahot bertubuh kecil itu tersenyum. "Suka banyak orang yang mengira kami ini jahat ke mereka, Mbak. Mengurung lah, memukul lah, padahal gajah-gajah ini sudah seperti anak kami sendiri. Mereka bingung kalau nggak ada kami, kami sedih kalau mereka mati."
Si mahot lalu banyak bercerita tentang suka duka mereka merawat mamalia besar ini. Mulai dari luka-luka fisik yang mereka terima saat si gajah tiba-tiba mengamuk, hingga luka yang diakibatkan oleh komentar-komentar negatif dari netizen maha benar perihal cara mengurus gajah. Semuanya, mereka ceritakan sambil tertawa, sambil tetap mengelus tubuh besar si gajah, menunjukkan betapa tulus kasih sayang yang mereka berikan untuk mamalia besar tersebut.
Gavin menyingkir sejenak saat percakapan itu terjadi. Mengambil beberapa gambar dengan DSLR yang tergantung di lehernya sejak tadi. Dan saat lensa kameranya menangkap wajah Raya yang nampak ceria mengelus belalai gajah, ia justru mengambil ponsel dan memilih mengabadikannya disana.
"Kenal sama Mbak Raya di jalan juga, Mas?" sebuah suara membuat Gavin menoleh. Bli Yudha, dengan sebatang rokok yang menyala di sela jari, sudah berdiri di sebelahnya.
"Bukan, Bli. Kebetulan kita berempat satu kampus."
"Oh gitu." Bli Yudha manggut-manggut. Menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya di udara. "Tapi keren loh, Mbak Raya. Satu-satunya cewek di rombongan yang kuat nyetir sendiri berjam-jam. Cewek lain biasanya cuma duduk anteng atau gantiin nyetir sesekali."
Gavin terkekeh. "Setting-an lama, Bli. Dari jaman di kampus dulu udah motoran sendiri sampai Bandung."
"Masa?" Bli Yudha berdecak kagum. "Pantes tenaganya nggak kalah sama pembalap. Tancap gas terus. Padahal saya lihat Mbak Raya jarang tidur di jalan."
"Oh ya?"
"Iya." Bli Yudha menghisap rokoknya lagi. "Beberapa kali tiap kita istirahat malam di rest area, dia melek jagain kendaraan. Nggak tahu sambil ngapain. Paginya saya liat matanya merah kurang tidur, tapi anehnya nggak keliatan ngantuk."
"Dia emang... agak beda sih, Bli." Gavin memberi jeda. Matanya memandang lurus pada Raya yang ditemani Sal berbincang dengan seorang mahot. "Kalau mood nya lagi bagus, dia bisa punya energi yang nggak habis-habis. Tahan nggak tidur seharian, ngabisin semua kerjaan, semangat buat ngobrol dan kenalan sama banyak orang."
Gavin menunduk, menatap wajah Raya yang terabadikan di ponselnya. "Tapi kalau mood nya udah nggak bagus, dia bisa menghilang dari peradaban. Nggak mau makan, nggak mau ngomong, nggak bergerak dari kasur selama seminggu. Atau..." Gavin mengecilkan volume suaranya. "Ngelakuin hal yang lebih gila lagi."
"Cewek sih, ya." Bli Yudha tertawa pelan. Ia hisap rokoknya sekali lagi sebelum membuang puntungnya ke tong sampah terdekat.
Gavin tersenyum pahit.
Seandainya bisa semudah dan sesederhana itu menjelaskannya pada orang lain. Bahwa perubahan suasana hati Raya bukan disebabkan oleh menurunnya hormon estrogen seperti yang umumnya dialami wanita saat mendekati waktu menstruasi. Lebih dari itu, karena traumatisme yang gadis itu alami, karena rasa sakit yang ia pendam sendiri, perasaan kehilangan, kesepian dan tidak dihargai, membentuknya jadi gadis yang berbeda dari yang lain.
Raya, dan bipolar yang dimilikinya.
Gavin lantas membuka fitur W******p. Mengetuk tombol lampiran, dan mengirimkan foto tadi pada Raya. Sembari menyematkan pesan singkat,
Cakep nggak?
Gavin kembali menoleh ke depan. Dilihatnya Raya tersenyum saat melihat layar ponselnya. Gadis itu mengetik cepat.
Gue maksudnya?
Gavin membalasnya lagi.
Bukan, gajahnya.
Raya celingukan. Saat matanya sudah menemukan Gavin, ia terlihat menunjuk sambil memasang wajah cemberut.
Gavin cekikikan. Ada banyak hari dimana ia melihat Raya begitu kesulitan dan putus asa saat menghadapi dirinya sendiri. Melihat gadis itu tampak bahagia hari ini, rasanya ia yakin Raya bisa sembuh secepatnya.
Ah, harus. Setidaknya, sampai ia masih punya cukup waktu untuk menemani Raya melewati masa sulitnya.
---
Sal melirik kembali jam tangan digitalnya. Hari jumat, pukul tujuh malam. Dan siapapun pasti tahu Jakarta - entah lalu lintasnya, trasnportasi umumnya, restorannya, kafenya - padat sekali di waktu-waktu seperti ini. Tidak terkecuali tempat yang kini ia singgahi, sebuah kafe bertema industrialis di pinggiran Kemang, dengan baliho grand opening Nuansa Kafe terpampang besar di depan pagar."Sal, sori gue masih wara-wiri." Seorang pria dengan apron hijau menghampiri mejanya. Ada tulisan Suseno di bordir bagian kiri atas. Ia menyerahkan sepiring kentang goreng lengkap dengan saus keju."Apaan nih? Gue kan nggak pesen.""Compliment buat pelanggan setia." Alis Seno naik turun. "Yang lain belum dateng?""Asta sama Gavin udah otw dari kantor. Raya baru masuk tol dalam kota." Sal menjawab."Abis roadtrip lagi dia?" Seno bertanya soal Raya.Sal mengangguk. Ia comot satu kentang goreng, mencocolnya ke saus keju, dan memasukkan ke mulutnya. "Lombok.""Gila juga itu anak." Seno berdecak kagum. Seju
Sal meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Pointer di layar bergerak naik turun, lalu berhenti pada sebuah kolom. Sal mengetik sebuah formula pada kolom tersebut, lalu menggerakkan pointer nya lagi, mencari kolom yang lain. Begitu terus sejak tadi."Dor!""Anjrit!" Seorang pria bertubuh kecil dengan rambut cepak tiba-tiba muncul di samping kubikel. Nyengir kuda. "Lembur lho, Sal?" tanya Mas Bian, menunjuk jam tangan digital merk Cina di tangannya. Jam delapan malam.Sal masih elus-elus dada. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?""Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat J
Seminggu kemudian.Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak.""Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?""Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa.""Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan da
Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka. Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat."Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?""Baik, Pi. Papi apa kabar?""Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata.""Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir."Dih, siapa
"Pakaian, alat mandi..." Sal menilik ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aja
Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera."Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." "Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli.""Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon."Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur.""Temen lo nunggu disana?""Iya, di homestay. Sampai udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya."Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua."Terus, itu te