Share

7. Menyapa Para Gajah

Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar.

"ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli."

"Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya.

"Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sampai mereka dewasa."

"Setiap hari, Bli?" tanya Asta penasaran.

"Setiap hari." Seorang mahot yang berdiri di samping Bli Toni mengangguk. "Malahan, kami lebih sering ketemu gajah-gajah ini ketimbang sama keluarga dirumah."

"Terus, gajah-gajah ini datang dari mana, Mas?" Pemuda lain dari rombongan dengan kaus tanpa lengan bertanya. 

"Dulu, seringnya kami sengaja ambil gajah liar untuk dilatih. Kalau sekarang, kami hanya melatih gajah yang memang dilahirkan di sini, atau melatih gajah liar yang cedera dan ditinggal oleh rombongannya."

Terdengar 'ooh' pelan dari para pengunjung, diikuti anggukan tanda mengerti.

Bli Toni lantas menunjuk gajah-gajah yang sudah rebah di tempat mandi. "Mau mandiin gajah?" tanyanya.

Raya yang paling bersemangat, mengangguk antusias. Ia ambil selang air sesuai arahan mahot yang berjaga, lalu menyikat kulit tebal si gajah dengan telaten.

“Dia berasa nggak sih disikat gitu?” tanya Asta sambil tertawa kecil melihat gajah-gajah di depan mereka. Seperti sudah tahu akan di treatment dengan baik, gajah-gajah tersebut tidur saja sambil merasakan kucuran air selang yang diarahkan ke tubuh mereka.

Sementara itu, Sal tak jauh di belakang asik bermain dengan gajah kecil bernama Rubadu. Hampir-hampir ia di seruduk si gajah kalau-kalau si mahot tidak menahannya.

“Mereka ini, anak-anak tapi suka lupa kalau badannya lebih berat dari manusia,” ujar si mahot sambil meminta maaf pada Sal.

Sal terkekeh. “Santai, Mas. Namanya juga anak-anak.”

Seolah anak kecil yang menyadari kesalahannya, ekspresi Rubadu jadi harap-harap cemas, khawatir Sal dan si mahot akan memarahinya. Tapi kemudian, Sal mengelus tubuh gajah kecil itu seolah mengatakan ia tidak masalah dengan kejadian tadi. Rubadu ceria kembali, dan berlarian kesana kemari.

---

Makan siang terasa berbeda dengan banyaknya gajah di sekeliling mereka. Panas matahari yang terhalang pepohonan membuat udara terasa lebih sejuk dan nyaman. Di depan hidangan dengan menu sederhana yang disiapkan oleh Bli Toni dan para mahot di camp ERU, mereka saling berkenalan dan berbincang hangat. 

Dua orang dengan kamera lensa tele tadi mengenalkan diri sebagai bagian dari komunitas pengamat burung di Indonesia, empat orang lain yang tampak lebih muda adalah mahasiswa IPB yang sedang berlibur ke Lampung. Sedang yang berkaus tanpa lengan tadi, datang dengan dua temannya yang lain, adalah backpacker yang baru kembali dari Nusa Tenggara Barat, yang nyambung berbincang dengan Raya seputar Pantai Selong Belanak.

"Kok di kakinya ada rantai, Mas?" tanya satu perempuan dari IPB sambil menunjuk kaki gajah di depan mereka.

"Iya, Mbak. Kalau malam, memang dirantai. Karena biar bagaimanapun, mereka ini hewan liar. Kalau sampai tiba-tiba kabur dan masuk ke pemukiman warga, kita juga yang kena salah." Mahot bertubuh kecil itu tersenyum. "Suka banyak orang yang mengira kami ini jahat ke mereka, Mbak. Mengurung lah, memukul lah, padahal gajah-gajah ini sudah seperti anak kami sendiri. Mereka bingung kalau nggak ada kami, kami sedih kalau mereka mati."

Si mahot lalu banyak bercerita tentang suka duka mereka merawat mamalia besar ini. Mulai dari luka-luka fisik yang mereka terima saat si gajah tiba-tiba mengamuk, hingga luka yang diakibatkan oleh komentar-komentar negatif dari netizen maha benar perihal cara mengurus gajah. Semuanya, mereka ceritakan sambil tertawa, sambil tetap mengelus tubuh besar si gajah, menunjukkan betapa tulus kasih sayang yang mereka berikan untuk mamalia besar tersebut.

Gavin menyingkir sejenak saat percakapan itu terjadi. Mengambil beberapa gambar dengan DSLR yang tergantung di lehernya sejak tadi. Dan saat lensa kameranya menangkap wajah Raya yang nampak ceria mengelus belalai gajah, ia justru mengambil ponsel dan memilih mengabadikannya disana.

"Kenal sama Mbak Raya di jalan juga, Mas?" sebuah suara membuat Gavin menoleh. Bli Yudha, dengan sebatang rokok yang menyala di sela jari, sudah berdiri di sebelahnya.

"Bukan, Bli. Kebetulan kita berempat satu kampus."

"Oh gitu." Bli Yudha manggut-manggut. Menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya di udara. "Tapi keren loh, Mbak Raya. Satu-satunya cewek di rombongan yang kuat nyetir sendiri berjam-jam. Cewek lain biasanya cuma duduk anteng atau gantiin nyetir sesekali."

Gavin terkekeh. "Setting-an lama, Bli. Dari jaman di kampus dulu udah motoran sendiri sampai Bandung."

"Masa?" Bli Yudha berdecak kagum. "Pantes tenaganya nggak kalah sama pembalap. Tancap gas terus. Padahal saya lihat Mbak Raya jarang tidur di jalan."

"Oh ya?"

"Iya." Bli Yudha menghisap rokoknya lagi. "Beberapa kali tiap kita istirahat malam di rest area, dia melek jagain kendaraan. Nggak tahu sambil ngapain. Paginya saya liat matanya merah kurang tidur, tapi anehnya nggak keliatan ngantuk."

"Dia emang... agak beda sih, Bli." Gavin memberi jeda. Matanya memandang lurus pada Raya yang ditemani Sal berbincang dengan seorang mahot. "Kalau mood nya lagi bagus, dia bisa punya energi yang nggak habis-habis. Tahan nggak tidur seharian, ngabisin semua kerjaan, semangat buat ngobrol dan kenalan sama banyak orang."

Gavin menunduk, menatap wajah Raya yang terabadikan di ponselnya. "Tapi kalau mood nya udah nggak bagus, dia bisa menghilang dari peradaban. Nggak mau makan, nggak mau ngomong, nggak bergerak dari kasur selama seminggu. Atau..." Gavin mengecilkan volume suaranya. "Ngelakuin hal yang lebih gila lagi."

"Cewek sih, ya." Bli Yudha tertawa pelan. Ia hisap rokoknya sekali lagi sebelum membuang puntungnya ke tong sampah terdekat.

Gavin tersenyum pahit. 

Seandainya bisa semudah dan sesederhana itu menjelaskannya pada orang lain. Bahwa perubahan suasana hati Raya bukan disebabkan oleh menurunnya hormon estrogen seperti yang umumnya dialami wanita saat mendekati waktu menstruasi. Lebih dari itu, karena traumatisme yang gadis itu alami, karena rasa sakit yang ia pendam sendiri, perasaan kehilangan, kesepian dan tidak dihargai, membentuknya jadi gadis yang berbeda dari yang lain.

Raya, dan bipolar yang dimilikinya.

Gavin lantas membuka fitur W******p. Mengetuk tombol lampiran, dan mengirimkan foto tadi pada Raya. Sembari menyematkan pesan singkat,

Cakep nggak?

Gavin kembali menoleh ke depan. Dilihatnya Raya tersenyum saat melihat layar ponselnya. Gadis itu mengetik cepat.

Gue maksudnya?

Gavin membalasnya lagi.

Bukan, gajahnya.

Raya celingukan. Saat matanya sudah menemukan Gavin, ia terlihat menunjuk sambil memasang wajah cemberut.

Gavin cekikikan. Ada banyak hari dimana ia melihat Raya begitu kesulitan dan putus asa saat menghadapi dirinya sendiri. Melihat gadis itu tampak bahagia hari ini, rasanya ia yakin Raya bisa sembuh secepatnya.

Ah, harus. Setidaknya, sampai ia masih punya cukup waktu untuk menemani Raya melewati masa sulitnya. 

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status