Share

6. Way Kambas

Author: Sasha Adiraya
last update Last Updated: 2024-09-20 11:31:50

Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera.

"Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.

Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." 

"Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli."

"Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon.

"Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur."

"Temen lo nunggu disana?"

"Iya, di homestay. Sampe udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya.

"Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua.

"Terus, itu temen lo yang mana, Ra? Kok manggilnya Bli? Pake aku-aku segala, lagi," tanya Sal penuh selidik. 

"Orang Tabanan, namanya Bli Yudha. Kita iring-iringan dari Semarang ke Bali pas road trip tahun kemarin."

"Yang lo ajak ngobrol di Toko Oen itu bukan sih?" Gavin mengingat-ingat. Ia dan Asta memang pernah beberapa kali menemani perjalanan Raya, meski pulang lebih dulu dengan pesawat atau kereta ketika tiba di kota tertentu. 

Raya mengangkat telunjuknya. "Seratus buat Gavin."

"Terus ini homestay punya dia?" Ganti Asta bertanya. 

"Punya kenalannya. Waktu dia tau gue mau ke Lampung, langsung semangat dia ngajak ketemuan disini."

"Dapet diskon, dong?" Sal berseloroh.

"Sembarangan." Raya tertawa. "Kalau gue sendiri sih bisa jadi. Lah kita berempat, yang satu makannya banyak lagi."

Asta celingak-celinguk. "Siapa?"

"Ngaca nih, Ta." Sal menyodorkan kamera depan ponselnya.

Asta menyeringai. "Ganteng."

"Najis!"

Gavin geleng-geleng kepala. Sementara Raya sudah sibuk menilik lokasi yang dikirim Bli Yudha kepadanya. 

Desa Braja Harjosari berjarak 100km dari Pelabuhan Bakauheni, bisa ditempuh dalam waktu dua jam dengan catatan ngebut pol dan tidak berhenti di jalan. Salah satu dari beberapa desa transmigrasi masyarakat Bali saat musibah letusan Gunung Agung terjadi di tahun 60-an. Jadi tak heran, ada cukup banyak bangunan tinggal dengan adat Bali lengkap dengan padma sana - tempat ibadah umat hindu yang biasanya terletak di depan rumah - di sini. Salah satunya, adalah Tony's Homestay yang di rekomendasikan Bli Yudha ini.

"Bli Yudha!" Raya menyapa pria jangkung dengan rambut gondrong lurus sebahu yang sedang duduk di pelataran homestay.

Yang disapa tersenyum sumringah. "Mbak Raya! Akhirnya sampai juga." Bli Yudha mengulurkan tangan kanan saat sudah berjarak selangkah dengan Raya.

Raya menyambut jabat tangan Bli Yudha. "Gimana kabarnya, Bli?"

"Sehat, Mbak. Mbak gimana? Habis dari Lombok katanya, ya?"

"Iya. Dikabarin Mas Tono ya?"

Bli Yudha mengangguk. "Hampir ikut saya, Mbak. Pas posisi lagi di Surabaya kemarin. Eh istri sakit, jadi gagal deh."

Raya mengibaskan tangan. "Santai, Bli. Kita atur jadwal lagi lain kali. Yang penting istri udah sehat, kan?"

"Aman, Mbak. Makanya udah bisa ditinggal kesini." Bli Yudha nyengir.

"Oh iya." Raya seketika menoleh ke belakang. Ke arah ketiga sahabatnya. "Kenalin, Bli. Ini temen-temen aku. Asta, Salman sama Gavin."

"Yudha, salam kenal." Bli Yudha berjabat tangan dengan ketiga pria itu bergantian.

"Ini kok sepi, Bli?" Asta menunjuk homestay di depan mereka.

"Astaga, iya, rombongan yang lain baru aja jalan. Ayo, kita susul. Kalian pakai rompi dulu ya, biar saya ambil kunci mobil." Bli Yudha menunjuk lemari di teras sebelum berlari kecil masuk ke dalam homestay.

Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, sampai mereka duduk diatas mobil pick up yang bagian belakangnya sudah di modifikasi dengan bangku penumpang dari besi yang saling berhadapan. Padang savana mendominasi pemandangan. Kerbau-kerbau merumput di ladang. Satu-dua kebun karet dalam skala kecil terlihat di sudut-sudut jalan.

"Bukannya pintu masuk Way Kambas ada di Labuhan Ratu ya, Bli?" tanya Raya, sedikit berteriak dan mencondongkan tubuh mendekat ke jendela supir.

"Iya, Mbak." Suara Bli Yudha tak kalah kencang. "Tapi sejak beberapa tahun terakhir, pihak Taman Nasional Way Kambas sengaja berintegrasi dengan desa-desa penyangga. Supaya desa-desa di sekitar sini bisa dapat peran untuk mengelola jasa wisata. Ekonomi masyarakat meningkat, kegiatan wisatawan juga nggak terpusat pada penangkaran gajah."

Mobil lalu berhenti di pinggir sungai selebar kurang dari sepuluh meter. Dekat dermaga kecil dari kayu tempat menambatkan perahu motor. Sudah ada dua perahu yang lebih dulu mengambang di sungai, terisi masing-masing oleh lima orang. Lima orang lain masih berdiri di dermaga. Menunggu perahu di larung ke sungai.

"Pagi, Mbak Raya." Seorang pria bertubuh besar dengan rompi dan bucket hat berlogo TNWK tersenyum ramah. Menjabat tangan Raya, Sal, Gavin dan Asta bergantian. "Saya Toni, temannya Yudha."

Bli Yudha tersenyum. "Bli Toni yang punya homestay, Mbak."

Raya manggut-manggut dengan mulut membulat.

"Kita lanjut ngobrol di jalan, ya. Biar keburu waktu ketemu gajah-gajah di ERU," kata Bli Toni.

Satu pria paruh baya bertubuh kecil lalu meminta mereka membagi jadi dua rombongan. Bli Toni, Bli Yudha dan dua orang pemuda yang membawa kamera berlensa tele di tangan, masuk dalam satu perahu. Sedangkan Raya dan ketiga temannya di perahu terakhir, didampingi bapak bertubuh kecil tadi - yang mengenalkan diri sebagai Pak Sidik - untuk mengemudikan perahu.

"Banyak burung-burung cantik disini, Mbak," kata Pak Sidik di sela-sela perjalanan. Lihai sekali tangannya membawa perahu ini bergerak lincah dan melaju kencang diatas sungai. Sal sampai tak berhenti istighfar saking takutnya. "Kalau beruntung, bisa lihat burung mentok rimba atau murai batu. Sudah langka dua jenis burung itu sekarang."

Raya mengedarkan pandangan. Ada padang savana seluas ratusan hektar di sisi kanan dan ladang warga dengan ujung-ujung atap yang terlihat di sisi kiri. Terselip semak-semak belukar setinggi pinggang orang dewasa, juga pepohonan yang tinggi menjulang diantaranya. Disela-sela pepohonan tua berdaun rimbun itu, melantun merdu kicauan burung yang sahut menyahut.

"Ra," panggil Gavin. Memberi kode untuk menoleh ke atas.

Di langit, drone melaju dalam kecepatan sedang. Mengekor perahu yang melaju diatas sungai. Di sampingnya, seekor elang terbang bebas. Merentangkan sayap, seolah mengajak drone beradu terbang. Gagah sekali. Hal sederhana yang mampu membuat Raya berseri-seri.

"Itu nggak apa-apa sebelahan sama elang, Vin?" tanya Sal was-was.

"Aman, dia nggak nyium bau darah di drone gue."

"Kalau ketabrak terus jatuh?"

"Gampang, kan ada Pak Bos. Ya, nggak?" Gavin menyikut Asta.

Asta hanya mengangkat bahu. "Potong gaji?"

"Sebulan lima puluh ribu? Deal."

"Pala lo."

"Guys!" Raya tiba-tiba berseru. Menunjuk padang savana di depan mereka.

Disana, diantara vegetasi yang menghijau, dibawah sinar matahari pukul delapan yang masih menyala hangat, berkumpul sekawanan gajah liar yang tengah merumput. Beberapa anakan berlari kesana kemari, bermain-main dengan burung pelatuk. Sementara yang terbesar tampak berwibawa memimpin di antara rombongan. Eksotis sekali.

Dengan segera Gavin mengarahkan drone nya untuk menangkap pemandangan tersebut. 

Saat perahu akhirnya tiba di dermaga kecil lain, Bli Toni merentangkan tangan untuk menyambut mereka. Tersenyum lebar. "Selamat datang di Way Kambas."

---

Related chapters

  • Perjalanan Patah Hati   7. Menyapa Para Gajah

    Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah samp

    Last Updated : 2024-09-21
  • Perjalanan Patah Hati   8. Mimpi Buruk

    Asta merebahkan tubuh di teras setibanya mereka di homestay. Kaos Boss hitamnya sudah basah dipenuhi peluh. Rambutnya berantakan. Usianya yang menjelang tiga puluh, ditambah bobot tubuhnya yang nyaris menyentuh angka delapan puluh, membuatnya lelah lebih cepat. Apalagi setelah pulang dari ERU tadi, Bli Toni masih mengajak mereka mampir ke satu tempat budidaya lebah madu trigona milik warga. Kini betisnya jadi terasa sedikit berdenyut."Olahraga makanya," kata Gavin, menyandarkan tubuh ke tembok di sebelah Asta. "Punya sepeda mahal-mahal nggak di pake.""Belum, bukannya nggak." Asta membela diri. "Lo juga mulai jarang nge-gym gue perhatiin.""Jogging sekarang. Lagi males nge-gym." "Kenapa?""Di godain om-om." Gavin tertawa.Asta terbahak-bahak.Diantara tiga pria ini, Gavin memang yang terbilang punya gaya hidup paling sehat. Ia tidak minum kopi jika benar-benar ingin, tidak merokok, jarang mengkonsumsi junk food dan rutin minum vitamin. Tingginya mungkin tiga centi dibawah Sal, tapi p

    Last Updated : 2024-09-24
  • Perjalanan Patah Hati   9. Petuah

    "Lingkaranku kerap bertanya. Mengapa ku tampak biasa-biasa saja."Sal melirik Raya yang duduk di sampingnya. Tengah memejamkan mata menyanyikan lagu Juicy Luicy yang terputar melalui music player di mobil. Kepalanya bergoyang pelan, duduknya tegap, tangannya terangkat mengikuti alunan lagu."Jalani hari dan tertawa, apa selama ini ku tak benar cinta?"Raya mengepalkan tangan. Mengarahkannya ke depan mulut Sal, seolah-olah ada mic yang ia sodorkan pada penontonnya. Mereka bernyanyi bersama."Tak harus ku alirkan air mata, untuk tunjukkan derita. Dia tinggalkanku, seketika. Tak perlu ku terus-terus bertanya, apa alasannya? Mungkin dia bukan orangnya!"Sal dan Raya saling melakukan tos diiringi gelak tawa penuh kebanggaan. Suara Sal yang maskulin, cocok sekali beradu dengan suara Raya yang ringan dan lembut. Lagunya juga terbilang pas untuk Sal yang baru saja putus cinta. Asta bertepuk tangan di jok belakang, sementara Gavin tetap terlelap.Satu jam berlalu sejak mereka meninggalkan homes

    Last Updated : 2024-09-25
  • Perjalanan Patah Hati   10. Dua Rahasia

    Lampung terik. Tapi entah bagaimana, ubin masjid seakan punya teknologi mutakhir yang mampu membuatnya tetap dingin dan sejuk di tengah cuaca seperti ini. Termasuk selasar Masjid Taqwa Kota Metro yang siang itu berubah jadi oase dan menarik banyak orang untuk sekedar meluruskan kaki atau tidur-tidur ayam. Termasuk, Raya. Hampir tiga menit ia melamun memandangi pantulan sinar matahari yang mentereng dahsyat di halaman masjid sampai sebuah panggilan masuk mengubah raut wajahnya yang tenang jadi se-sumpek udara siang itu dalam sepersekian detik. Ia pandangi nama di layar ponselnya untuk beberapa saat, sebelum menggeser tombol hijaunya."Halo?" Raya menyapa orang diseberang dengan malas. "Dimana, Kak?"Basa basi sekali, Raya membatin."Ada apa?""Ibu minta kirimin uang, buat beli token sama bayar arisan."Kan, ia tak perlu menjawab. Toh, info lokasinya tak pernah penting bagi keluarganya. "Nanti di transfer.""Sama uang jajanku, kan?" Suara pria di seberang terdengar cemas.Setidaknya ia

    Last Updated : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   11. Ingatan

    Pukul sepuluh malam saat Gavin menerima pesan masuk dari Asta, lampiran video berdurasi lima belas detik yang membawanya melesat cepat dari kasurnya yang hangat menuju sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan. Dalam rekaman CCTV itu terlihat Raya, melangkah gusar, berkali-kali menjatuhkan kunci apartemennya saat hendak membuka pintu, dan dengan tubuh bergetar hebat terhuyung masuk ke unitnya. Raut wajahnya dipenuhi oleh beragam emosi yang sulit di gambarkan. Sebuah pertanda buruk yang Gavin hapal betul saat gadis itu mencapai puncak episode depresinya.Gavin tiba di lantai delapan apartemen tersebut dengan nafas tersengal. Sudah ada Sal di sana, berkacak pinggang di depan pintu dengan nafas memburu yang sama.“Dikunci, gue bisa denger suara benda jatuh tapi dia nggak mau buka pintu.” Sal menjelaskan situasinya. Gavin mengetuk pintu. “Raya, ini gue, Gavin. Please buka pintunya, Ra! Lo nggak bisa sendirian,” serunya, tetap berusaha setenang mungkin. “Gue temenin jalan malem ini, R

    Last Updated : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   12. Jagat Raya

    Raya dengan segera melangkah keluar dari mobil setelah kendaraan terparkir sempurna di lahan parkir yang tersedia di bawah jembatan. Wajahnya sumringah. Matanya berkilat penuh semangat. Tangannya menggenggam erat buku sketsa di dada. Kakinya berlari-lari kecil tanpa memperdulikan panggilan Sal dan Asta di belakang."Tunggu, Ra!""Pelan-pelan, Ra!"Suara kedua pria itu menyatu dengan deru mobil dan percakapan banyak orang. Tidak terdengar. Raya tetap menaiki anak tangga dan baru berhenti setelah tiba di puncaknya. Gadis itu tersenyum lebar. Mengatur nafasnya yang tersengal."Hati-hati dong, Ra! Kalau lo-""Sssh!"Kalimat Sal menggantung di udara. Ada telunjuk Raya yang menempel di bibirnya. Dengan gerakan kepala, ia meminta pria itu mengikuti arah pandang matanya.Seketika, Sal menganga terpesona.Langit berwarna jingga keunguan berpadu cantik dengan Sungai Musi yang mengalir tenang dibawah mereka. Di permukaannya, hilir mudik kapal-kapal tongkang serta perahu kecil yang berdampingan d

    Last Updated : 2024-10-01
  • Perjalanan Patah Hati   13. Resign

    Raya mengamati rumah makan di hadapannya. Sebuah bangunan satu lantai yang didominasi warna merah bata, dengan lampu gantung menyala terang menghiasi terasnya yang tak seberapa luas. Di teras itu terdapat empat buah meja beton berlapis keramik dengan bangku besi yang mengelilingi. Ada etalase kaca besar yang berdampingan dengan meja kasir, memisahkan antara teras dengan bagian dalam rumah makan. Yang di etalase itu, terpampang berbagai variasi pempek dalam beragam bentuk. Ada susunan huruf yang menempel di dinding belakang meja kasir. Bertuliskan: Pempek Saga Sudi Mampir."Boleh makan di depan aja nggak?" tanya Raya, menatap enggan pada deretan meja dan kursi kayu di dalam ruangan.Gavin mendorong kembali kursi yang sudah sempat ia tarik. Melempar pandang pada Sal dan Asta sebelum akhirnya mengangguk. "Biar gue yang pesen," katanya, melangkah ke meja kasir.Mereka lalu memilih meja paling dekat dengan area memasak. Persis di seberang pemanggang yang sebagian besar terisi oleh pempek le

    Last Updated : 2024-10-02
  • Perjalanan Patah Hati   14. Teman Bodoh Asta

    Sal menghisap rokoknya lagi. Sudah batang kedua dalam setengah jam ini. Asap yang ia hembuskan membumbung tinggi di udara. Menguarkan aroma tembakau bercampur dengan semerbak wangi kopi yang memenuhi seantero ruangan. Sebuah kedai kopi dalam bangunan dua lantai di pinggiran jalan kolektor kota Palembang. Lantai dasarnya di desain klasik, lengkap dengan furnitur kayu serta beberapa ornamen dan pajangan bertema oriental. Sedangkan lantai dua, di rancang lebih kontemporer dengan bangku dan meja besi model masa kini. Ada smoking area di balkonnya yang cukup luas, sekaligus jadi area paling ramai lantaran pemandangan yang mengarah langsung ke jalan terlihat cantik saat malam. Letaknya yang strategis membuat Rajawali Kopitiam tak pernah kehabisan pelanggan."Kayaknya seru kalau lihat Raya marah-marah." Asta nyeletuk. Merogoh ponsel dari kantung celana, membuka fitur kamera, dan mengarahkannya ke wajah Sal.Sal berdecak, menutupi wajah dengan tangannya yang bebas. Sementara satu tangannya ya

    Last Updated : 2024-10-05

Latest chapter

  • Perjalanan Patah Hati   26. Ajakan Pernikahan

    Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan

  • Perjalanan Patah Hati   25. Rumah Nenek

    Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s

  • Perjalanan Patah Hati   24. Pulang

    Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap

  • Perjalanan Patah Hati   23. Rahasia untuk Sal

    "Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w

  • Perjalanan Patah Hati   22. Air Terjun Temam

    Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta

  • Perjalanan Patah Hati   21. Arti Perjalanan

    Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung

  • Perjalanan Patah Hati   20. Gavin

    Suara petik gitar melantun merdu memecah keheningan yang membungkus malam. Bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan kepak sayap kelelawar. Di teras rumah Rahman yang remang, Sal ditemani Asta dan Arip, masih asik berbincang ringan sambil sesekali menyanyikan sebuah lagu. Sementara Gavin terlihat dari pintu yang terbuka, tengah duduk di kasur yang digelar di ruang tamu sembari menonton sesuatu di ponselnya."Bentar bentar, nggak dapet nadanya." Sal membetulkan kembali posisi jarinya. Mencari chord yang tepat untuk lagu Two Is Better Than One-nya Boys Like Girls ft. Taylor Swift yang di request Asta barusan. "Terus, tau Andalas dari mana?" Asta kembali pada Arip sembari menunggu Sal selesai dengan lagunya. Ia katupkan jaketnya rapat-rapat untuk menghalau angin dingin yang berhembus."Dari temen, Bang. Dia bilang mau lanjut kuliah disini, pas saya udah daftar, nggak taunya dia malah bilang nggak jadi. Yaudah, terlanjur deh. Nggak bisa di cancel juga," jawab Arip sambil terkekeh getir.

  • Perjalanan Patah Hati   19. Malam di Lubuklinggau

    Langit sudah gelap saat mereka tiba di Lubuklinggau. Jalanan lengang. Di minimarket pertama yang mereka temui di kota itu, Raya menepi."Tunggu ya, orangnya belum dateng. Kalau kalian ada yang mau dibeli, sekalian aja," jelas Raya sembari menaikkan tuas rem. Ia raih ponselnya yang terselip di saku pintu, dan mengabari seseorang melalui pesan singkat.Sal lantas turun dari mobil. Mampir ke depan mesin ATM, lalu menyusuri rak berisi perlengkapan mandi untuk membeli sikat gigi lantaran teringat sikat giginya tertinggal di hotel tadi. Setelah memilih satu merk, pria itu lalu berjalan lagi menuju kulkas berisi minuman dingin. Sudah ada Gavin di sana, berdiri di depan pintu kulkas kaca yang masih tertutup, sambil menimbang-nimbang minuman apa yang ingin ia beli.“Tumben nggak beli vitamin c,” ujar Sal saat menyadari Gavin ternyata memperhatikan kulkas yang isinya minuman berkafein.“Lagi pengen aja,” jawab Gavin tanpa menoleh pada Sal sedikit pun. Dibukanya pintu kulkas tersebut, lalu ia amb

  • Perjalanan Patah Hati   18. Melanjutkan Perjalanan

    Rasanya baru semalam Sal duduk-duduk di Jembatan Ampera, memuaskan hasratnya makan pempek Palembang langsung di Palembang, menghabiskan pagi di Benteng Kuto Besak, makan siang diatas Sungai Musi dengan menu pindang pegagan yang nikmatnya masih melekat di lidah. Kini, diantara sayup-sayup adzan maghrib, dengan latar langit jingga yang begitu memanjakan mata, ia sudah berada di SPBU daerah Musi Rawas, meregangkan otot-otot yang kaku setelah empat jam berada dalam mobil sembari menghabiskan Martabak HAR yang tadi sempat Raya beli sebelum meninggalkan Palembang.Seluas penglihatan matanya, tak ada yang mencolok dari tempat tersebut, kecuali pohon-pohon besar yang mengitari SPBU – yang tentu saja tak pernah ia temui SPBU dengan latar hutan seperti ini di wilayah Jabodetabek, jalan utama selebar tujuh meter yang hanya terisi dua-tiga kendaraan sejak tadi, dan sebuah rumah warga yang lampu depannya terlihat redup di seberang jalan tersebut. Masih sekitar 60 kilometer lagi menuju pemberhentia

DMCA.com Protection Status