Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera.
"Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.
Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon."
"Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli."
"Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon.
"Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur."
"Temen lo nunggu disana?"
"Iya, di homestay. Sampai udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya.
"Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua.
"Terus, itu temen lo yang mana, Ra? Kok manggilnya Bli?" tanya Sal.
"Orang Tabanan, namanya Bli Yudha. Kita iring-iringan dari Semarang ke Bali pas road trip tahun kemarin."
"Yang lo ajak ngobrol di Toko Oen itu bukan sih?" Gavin mengingat-ingat. Ia dan Asta memang pernah beberapa kali menemani perjalanan Raya, meski pulang lebih dulu dengan pesawat atau kereta ketika tiba di kota tertentu.
Raya mengangkat telunjuknya. "Seratus buat Gavin."
"Terus ini homestay punya dia?" Ganti Asta bertanya.
"Punya kenalannya. Waktu dia tau gue mau ke Lampung, langsung semangat dia ngajak ketemuan disini."
"Dapet diskon, dong?" Sal berseloroh.
"Sembarangan." Raya tertawa. "Kalau gue sendiri sih bisa jadi. Lah kita berempat, yang satu makannya banyak lagi."
Asta celingak-celinguk. "Siapa?"
"Ngaca nih, Ta." Sal menyodorkan kamera depan ponselnya.
Asta menyeringai. "Ganteng."
"Najis!"
Gavin terbahak. Sementara Raya sudah sibuk menilik lokasi yang dikirim Bli Yudha kepadanya.
Desa Braja Harjosari berjarak 100km dari Pelabuhan Bakauheni, bisa ditempuh dalam waktu dua jam dengan catatan ngebut pol dan tidak berhenti di jalan. Salah satu dari beberapa desa transmigrasi masyarakat Bali saat musibah letusan Gunung Agung terjadi di tahun 60-an. Jadi tak heran, ada cukup banyak bangunan tinggal dengan adat Bali lengkap dengan padma sana - tempat ibadah umat hindu yang biasanya terletak di depan rumah - di sini. Salah satunya, adalah Tony's Homestay yang di rekomendasikan Bli Yudha ini.
"Bli Yudha!" Raya menyapa pria jangkung dengan rambut gondrong lurus sebahu yang sedang duduk di pelataran homestay.
Yang disapa tersenyum sumringah. "Mbak Raya! Akhirnya sampai juga." Bli Yudha mengulurkan tangan kanan saat sudah berjarak selangkah dengan Raya.
Raya menyambut jabat tangan Bli Yudha. "Gimana kabarnya, Bli?"
"Sehat, Mbak. Mbak gimana? Habis dari Lombok katanya, ya?"
"Iya. Dikabarin Mas Tono ya?"
Bli Yudha mengangguk. "Hampir ikut saya, Mbak. Pas posisi lagi di Surabaya kemarin. Eh istri sakit, jadi gagal deh."
Raya mengibaskan tangan. "Santai, Bli. Kita atur jadwal lagi lain kali. Yang penting istri udah sehat, kan?"
"Aman, Mbak. Makanya udah bisa ditinggal kesini." Bli Yudha nyengir.
"Oh iya." Raya seketika menoleh ke belakang. Ke arah ketiga sahabatnya. "Kenalin, Bli. Ini temen-temen aku. Asta, Salman sama Gavin."
"Yudha, salam kenal." Bli Yudha berjabat tangan dengan ketiga pria itu bergantian.
"Ini kok sepi, Bli?" Asta menunjuk homestay di depan mereka.
"Astaga, iya, rombongan yang lain baru aja jalan. Ayo, kita susul. Kalian pakai rompi dulu ya, biar saya ambil kunci mobil." Bli Yudha menunjuk lemari di teras sebelum berlari kecil masuk ke dalam homestay.
Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, sampai mereka duduk diatas mobil pick up yang bagian belakangnya sudah di modifikasi dengan bangku penumpang dari besi yang saling berhadapan. Padang savana mendominasi pemandangan. Kerbau-kerbau merumput di ladang. Satu-dua kebun karet dalam skala kecil terlihat di sudut-sudut jalan.
"Bukannya pintu masuk Way Kambas ada di Labuhan Ratu ya, Bli?" tanya Raya, sedikit berteriak dan mencondongkan tubuh mendekat ke jendela supir.
"Iya, Mbak." Suara Bli Yudha tak kalah kencang. "Tapi sejak beberapa tahun terakhir, pihak Taman Nasional Way Kambas sengaja berintegrasi dengan desa-desa penyangga. Supaya desa-desa di sekitar sini bisa dapat peran untuk mengelola jasa wisata. Ekonomi masyarakat meningkat, kegiatan wisatawan juga nggak terpusat pada penangkaran gajah."
Mobil lalu berhenti di pinggir sungai selebar kurang dari sepuluh meter. Dekat dermaga kecil dari kayu tempat menambatkan perahu motor. Sudah ada dua perahu yang lebih dulu mengambang di sungai, terisi masing-masing oleh lima orang. Lima orang lain masih berdiri di dermaga. Menunggu perahu di larung ke sungai.
"Pagi, Mbak Raya." Seorang pria bertubuh besar dengan rompi dan bucket hat berlogo TNWK tersenyum ramah. Menjabat tangan Raya, Sal, Gavin dan Asta bergantian. "Saya Toni, temannya Yudha."
Bli Yudha tersenyum. "Bli Toni yang punya homestay, Mbak."
Raya manggut-manggut dengan mulut membulat.
"Kita lanjut ngobrol di jalan, ya. Biar keburu waktu ketemu gajah-gajah di ERU," kata Bli Toni.
Satu pria paruh baya bertubuh kecil lalu meminta mereka membagi jadi dua rombongan. Bli Toni, Bli Yudha dan dua orang pemuda yang membawa kamera berlensa tele di tangan, masuk dalam satu perahu. Sedangkan Raya dan ketiga temannya di perahu terakhir, didampingi bapak bertubuh kecil tadi - yang mengenalkan diri sebagai Pak Sidik - untuk mengemudikan perahu.
"Banyak burung-burung cantik disini, Mbak," kata Pak Sidik di sela-sela perjalanan. Lihai sekali tangannya membawa perahu ini bergerak lincah dan melaju kencang diatas sungai. Sal sampai tak berhenti istighfar saking takutnya. "Kalau beruntung, bisa lihat burung mentok rimba atau murai batu. Sudah langka dua jenis burung itu sekarang."
Raya mengedarkan pandangan. Ada padang savana seluas ratusan hektar di sisi kanan dan ladang warga dengan ujung-ujung atap yang terlihat di sisi kiri. Terselip semak-semak belukar setinggi pinggang orang dewasa, juga pepohonan yang tinggi menjulang diantaranya. Disela-sela pepohonan tua berdaun rimbun itu, melantun merdu kicauan burung yang sahut menyahut.
"Ra," panggil Gavin. Memberi kode untuk menoleh ke atas.
Di langit, drone melaju dalam kecepatan sedang. Mengekor perahu yang melaju diatas sungai. Di sampingnya, seekor elang terbang bebas. Merentangkan sayap, seolah mengajak drone beradu terbang. Gagah sekali. Hal sederhana yang mampu membuat Raya berseri-seri.
"Itu nggak apa-apa sebelahan sama elang, Vin?" tanya Sal khawatir.
"Aman, dia nggak nyium bau darah di drone gue."
"Kalau ketabrak terus jatuh?"
"Gampang, kan ada Pak Bos. Ya, nggak?" Gavin menyikut Asta.
Asta hanya mengangkat bahu. "Potong gaji?"
"Sebulan lima puluh ribu? Deal."
"Pala lo."
"Guys!" Raya tiba-tiba berseru. Menunjuk padang savana di depan mereka.
Disana, diantara vegetasi yang menghijau, dibawah sinar matahari pukul delapan yang masih menyala hangat, berkumpul sekawanan gajah liar yang tengah merumput. Beberapa anakan berlari kesana kemari, bermain-main dengan burung pelatuk. Sementara yang terbesar tampak berwibawa memimpin di antara rombongan. Eksotis sekali.
Dengan segera Gavin mengarahkan drone nya untuk menangkap pemandangan tersebut.
Saat perahu akhirnya tiba di dermaga kecil lain, Bli Toni merentangkan tangan untuk menyambut mereka. Tersenyum lebar. "Selamat datang di Way Kambas."
---
Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sam
Sal melirik kembali jam tangan digitalnya. Hari jumat, pukul tujuh malam. Dan siapapun pasti tahu Jakarta - entah lalu lintasnya, trasnportasi umumnya, restorannya, kafenya - padat sekali di waktu-waktu seperti ini. Tidak terkecuali tempat yang kini ia singgahi, sebuah kafe bertema industrialis di pinggiran Kemang, dengan baliho grand opening Nuansa Kafe terpampang besar di depan pagar."Sal, sori gue masih wara-wiri." Seorang pria dengan apron hijau menghampiri mejanya. Ada tulisan Suseno di bordir bagian kiri atas. Ia menyerahkan sepiring kentang goreng lengkap dengan saus keju."Apaan nih? Gue kan nggak pesen.""Compliment buat pelanggan setia." Alis Seno naik turun. "Yang lain belum dateng?""Asta sama Gavin udah otw dari kantor. Raya baru masuk tol dalam kota." Sal menjawab."Abis roadtrip lagi dia?" Seno bertanya soal Raya.Sal mengangguk. Ia comot satu kentang goreng, mencocolnya ke saus keju, dan memasukkan ke mulutnya. "Lombok.""Gila juga itu anak." Seno berdecak kagum. Seju
Sal meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Pointer di layar bergerak naik turun, lalu berhenti pada sebuah kolom. Sal mengetik sebuah formula pada kolom tersebut, lalu menggerakkan pointer nya lagi, mencari kolom yang lain. Begitu terus sejak tadi."Dor!""Anjrit!" Seorang pria bertubuh kecil dengan rambut cepak tiba-tiba muncul di samping kubikel. Nyengir kuda. "Lembur lho, Sal?" tanya Mas Bian, menunjuk jam tangan digital merk Cina di tangannya. Jam delapan malam.Sal masih elus-elus dada. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?""Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat J
Seminggu kemudian.Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak.""Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?""Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa.""Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan da
Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka. Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat."Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?""Baik, Pi. Papi apa kabar?""Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata.""Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir."Dih, siapa
"Pakaian, alat mandi..." Sal menilik ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aja