Suasana rumah Jeanne amat sangat sepi walau masih pukul tujuh. Tiada yang terdengar kecuali suara jangkrik di pekarangan. Rumahnya tidak besar dan sederhana, hanya ada dua kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan teras dengan halaman yang lumayan luas bersemak belukar. Seluruh jendela dan pintu sudah dikuncinya. Gadis itu hanya merebahkan diri di kamar sambil membaca buku yang dibelinya sore ini dari toko Pak Tomi.
Dalam keheningan itu mendadak ada sebuah suara. Bunyinya tertebak berasal kenop pintu depan. Jeanne tinggal menunggu saat-saat dimana seseorang masuk ke dalam kemudian membuka pintu kamarnya.
"Jean."
Benar saja. Seseorang tiba di bingkai pintu kamar Jeanne. Wanita berumur dua puluh satu dengan ransel di punggung.
"Oh, sudah pulang, kak." Jeanne menyelipkan pembatas buku di halaman terakhir yang dia baca lantas bangkit untuk duduk.
"Yah, aku bawa makanan nih. Ayo keluar." Sesaat kemudian wanita itu berlalu.
Jeanne segera melompat dari tempat tidurnya dan beranjak pergi ke ruang tengah. Dia menyiapkan meja makan dan mewadahi makanan-makanan yang dibawa teman serumahnya ke dalam mangkuk-mangkuk.
Dia adalah Hestia, teman serumah Jeanne sejak lama sekali. Mereka berselisih umur empat tahun. Hestia sudah dianggap oleh Jeanne bagai teman dekat dan kakak sendiri.
"Kemarin kau makan apa, Jean? Mie instan lagi?" Hestia keluar dari kamarnya, dia berganti pakaian dan kini menggunakan piama dengan rambut yang diikat tinggi-tinggi.
"Ya, aku masih menikmatinya. Belum bosan, kok."
"Belajar memasaklah, Jean. Kalau kau tidak belajar, aku yakin pada kesempatan-kesempatan yang sama selanjutkan kau akan tetap memakan mie. Lambungmu bisa bermasalah." Hestia mengambil dua mangkuk yang masing-masing berisi nasi dan sup.
Jeanne mengulum bibir. Dia mengangguk-angguk saja kemudian.
Sebetulnya alasan Jeanne memasak mie kemarin adalah karena Hestia tidak pulang ke rumah. Dia mengatakan ada tugas yang harus segera diselesaikan sehingga dirinya harus menginap di rumah teman. Wanita itu sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan sambil berkuliah, ia juga bekerja part time. Sebagai ganti akibat meninggalkan Jeanne sendiri di rumah kemarin, Hestia memilih membelikannya makanan untuk makan malam hari ini.
"Carikan aku kerjaan part time, kak," tutur Jeanne.
Hestia menatap teman serumahnya dengan sekilas. Santai dirinya mengunyah makanan, seolah perkataan Jeanne hanya basa-basi saja. "Selesaikan dulu saja masa SMAmu. Kau bisa kerja saat sudah berkuliah nanti."
Alis Jeanne hampir menyatu, dia benar-benar merengut. Gadis itu melepaskan sendok dari tangannya, pertanda ia sedang serius. "Kalau bisa sekarang, mengapa harus menunggu nanti, kak? Kakak tak bisa terus menerus menanggung kebutuhan hidupku."
Hestia menghela napas. Ditatapnya Jeanne dengan tatapan yang sayu. Tampak sekali bahwa dia sedang lelah. "Ah! Ya, ya, Jean. Akan kucarikan untukmu. Sudahlah, selesaikan saja makanmu."
Hestia kembali melahap makanannya dengan cepat. Baginya, Jeanne masih seorang gadis kecil. Dan hati Jeanne sendiri merasa lebih tenang mendapat jawaban itu. Gadis itu juga kembali melahap santapannya. Kurang dari lima belas menit, piring Hestia sudah bersih total. Dia lantas beranjak dan berpesan, "Kau habiskan sisanya, jangan lupa dicuci, ya. Aku mau langsung tidur."
Jeanne mengacungkan ibu jari.
Gadis itu melaksanakan pesan Hestia. Dia memberesi meja dan mencuci peralatan makan. Setelah itu dia memeriksa kembali pintu-pintu rumah, menguncinya, memeriksa keran di kamar mandi, dan mematikan lampu di ruang tengah. Dia kembali merebahkan diri di tempat tidur.
Jam di sebelah tempat tidurnya baru menunjukkan pukul setengah delapan. Tetapi malam di tempat ini terasa lebih cepat berlalu karena suasananya sangat sepi.
Tiada orang lain di rumah ini kecuali Jeanne dan Hestia. Mereka bukanlah saudara kandung, bukan pula sepupu, atau apapun yang bergarisan keluarga. Mereka hanya dua perempuan yang dibesarkan dan saling mengenal sejak berada di panti asuhan. Singkat cerita, peraturan di panti asuhan mengharuskan anak-anaknya untuk hidup mandiri ketika sudah berumur tujuh belas dengan membekali sejumlah uang. Hestia yang lebih dulu keluar panti, dia memilih untuk hidup menumpang kepada temannya yang berumur lebih tua. Hestia bersekolah dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja. Maka ketika dirinya mengetahui Jeanne sudah keluar dari panti asuhan, dia mengajak Jeanne membeli sebuah rumah yang dijual murah di tempat yang agak pedesaan. Hestia mengajak Jeanne berpatungan membeli rumah itu dengan uang yang dimiliki Jeanne dari panti asuhan dan dari tabungan Hestia sendiri.
Hal itu membuat uang yang dimiliki Jeanne berkurang drastis dan dia harus hidup hemat mulai sejak sebulan lalu, saat dirinya menginjak umur tujuh belas tahun dan pindah ke rumah ini.
Jeanne teringat, dia memiliki beberapa mie instan di dapur. Berpikir bahwa makan mie instan akan jauh lebih hemat dibanding membeli makanan di luar atau memasak sendiri di rumah. Tetapi Hestia terkadang membeli bahan makanan dan memasaknya untuk mereka berdua untuk makan malam. Sebulan ini terasa sekali oleh Jeanne bahwa untuk biaya perawatan rumah, listrik, air, dan makan—Hestia bertanggung jawab penuh membayar semuanya. Hal yang tidak bisa Jeanne abaikan begitu saja. Dia merasa bahwa dirinya harus melakukan sesuatu.
***
Suasana dan bau ruang guru terasa khas sekali di ingatan Jeanne. Dirinya sering berkunjung ke ruangan ini untuk suatu keperluan—yang baiknya bukan karena sebuah masalah. Jeanne biasa dimintai bantuan oleh guru-guru. Seperti saat ini, dia baru saja membahas suatu tugas untuk mata pelajaran bahasa. Jeanne diminta membuat sebuah karya tulis untuk tema tertentu. Ketika materi karya tulis akan dibahas di kelas-kelas minggu depan, nantinya Jeanne akan dimintai bantuan untuk mengoreksi tugas teman-teman. Tentunya setelah karya tulis gadis itu selesai dinilai.
Jeanne memiliki kedekatan dengan beberapa guru. Hampir seluruh guru mengenalnya dengan baik. Jeanne dikenal karena sikap aktifnya selama bersekolah, peningkatan nilai akademis, dan dia murid berprestasi.
Dua bulan lalu Jeanne menjadi juara di Olimpiade matematika tingkat SMA. Maka pihak sekolah memberinya hadiah dengan dibebaskannya biaya pendidikan untuk dua bulan ke depan. Hal itulah yang menyelamatkan dia disaat uangnya semakin menipis saja.
"Ada yang mau ditanyakan, Jean?" tanya Guru Bahasa. Dirinya sejak tadi mempersilakan Jeanne duduk di salah satu kursi dekat meja pribadinya.
"Tidak ada, Pak. Sudah jelas semuanya."
"Mengenai karya tulismu sendiri, tanyakan saja apa yang masih membuatmu bingung, atau kalau kau butuh referensi bacaan, akan saya rekomendasikan beberapa buku yang ada di perpustakaan. Jika sudah selesai, langsung hubungi saya. Nanti kita diskusikan karya tulismu."
Jeanne mengangguk. Dia memang senang berdiskusi dengan guru-guru sejauh ini. Tetapi semenjak adanya kehadiran Finn, Jeanne mendadak ragu kalau dirinya bisa mengakrabkan diri dengan guru sejarah itu.
"Karya tulis ini penting sekali untuk kau pelajari, Jean. Di perguruan tinggi nanti akan banyak kau temui tugas-tugas yang menyuruhmu untuk membuat karya tulis. Belum lagi ada banyak sekali lomba-lomba karya tulis jika kau rajin mencarinya." Guru bahasa tersenyum, menaikkan alis—memiliki maksud tersirat.
Jeanne bisa membaca bahwa ada sesuatu di balik senyuman tak biasa itu. "Bapak tahu mengenai informasi lomba itu?"
Guru bahasa mengangguk. "Tentu saja. Jika nanti karya tulismu bagus, akan kudaftarkan kau lomba, Jean. Apa kau bersedia?"
Jeanne terdiam, beberapa saat menatap lantai yang dipijaknya. Sebetulnya dia belum pernah menulis karya tulis. Namun, saat ini mendadak dia ingin belajar. "Apa bapak bersedia membimbing saya?"
"Ya. Saya akan jawab semua pertanyaanmu."
Jeanne menyeringai. "Baik, Pak. Akan saya usahakan."
***
"Memangnya sudah sejauh apa sih kedekatanmu dengan Kevin?" tanya Jeanne sambil menatap lurus ke depan—tempat berkumpulnya anak-anak lelaki di lapangan baseball.
Rossi menyeruput bulir-bulir terakhir susu kotaknya. Memandang ke arah yang sama dengan pandangan Jeanne. "Belum bisa dikatakan dekat, sih. Tapi setidaknya kami sudah saling kenal dan pernah mengobrol agak lama."
"Kapan? Sepulang sekolah waktu itu?"
Rossi mengangguk. Terkekeh. Dia mengajak Jeanne menghabiskan makan siang di tepi lapangan baseball, di kursi panjang yang berjejer di bawah pohon rindang. Spot ini memang cukup digemari siswa di sekolahnya karena tempatnya yang terbuka, cukup jauh dari gedung sekolah, dan tanahnya luas.
"Harusnya bisa lebih dari itu dong, Ros. Oh ya, memangnya kau tahu kalau dia belum punya pacar?"
Alis Rossi tertaut. Jemarinya terjulur mengelus rambut berkepangnya yang tidak terlalu panjang. "Tentu saja tahu! Aku memiliki teman yang berada sekelas dengannya. Kevin itu belum memiliki pacar, Jean. Tapi aku yakin banyak gadis yang menyukainya. Dia itu kan—"
"Tampan, pintar, ramah, dan senang bercanda," Jeanne memotong.
"Ahhh!" Rossi menjadi salah tingkah sendiri. Dia menutup wajahnya yang memerah.
Awal mulai pertemuan gadis itu dengan Kevin adalah di perpustakaan. Dirinya bercerita bahwa saat itu Kevin mau berbagi buku yang sama dengan Rossi ketika stok buku itu hanya ada satu di perpustakaan. Ternyata Kevin pintar, wawasanya yang luas terlihat ketika ia banyak mengobrol dengan Rossi saat itu. "Padahal kami baru saja saling kenal, Jean. Tapi sikapnya seolah kita sudah berteman lama. Aku yang agak introvert nyaman sekali bisa mengobrol dengannya," kata Rossi suatu ketika.
Jean ikut senang kalau Rossi senang. Sebagai teman Jean juga diam-diam mencari informasi seperti apa lelaki bernama Kevin itu. Sejauh yang ia tahu saat ini Kevin memang anak yang baik dan wajar untuk Rossi kagumi.
Bel berakhirnya istirahatpun mengalun. Jeanne bangkit dan memberi aba-aba Rossi untuk kembali ke kelas. Tetapi Rosi tidak mengindahkannya dan terus memandang ke arah lapangan baseball sambil menyeruput kotak susu yang sudah kosong.
"Ayolah, Ros. Tunggu apa lagi?" ajak Jeanne yang tidak sabar melihat kelambanan di depan matanya.
Rossi lagi-lagi tidak mengalihkan matanya dari lapangan. "Sebentar, Jean. Sebentar saja."
Jeanne akhirnya mengikuti kemana tatapan Rossi bermuara. Oh, rupanya gadis itu menunggu langkah Kevin sampai melewati tempat mereka duduk. Kevin dan teman-temannya pasti akan terlambat masuk kelas sesudah ini. Lihatlah mereka. Baju olahraga mereka basah kuyup oleh keringat dan kotor. Pasti butuh waktu lama untuk membersihkan diri dan berganti baju.
Kevin dan temannya sampai juga di posisi Jeanne dan Rossi berada. Lelaki itu tersenyum menyapa Rossi kemudian bercanda-canda dengan temannya. Jujur saja, Jeanne merasa kalau lelaki itu tidak menunjukkan ketertarikan untuk mendekati Rossi. Sedangkan Rossi sendiri sudah salah tingkah lagi usai diberi sedikit senyum itu. Membuat Jeanne geleng-geleng kepala saja.
"Hai, Jean! Bagaimana permainanku tadi? Hebat, tidak?"
Jeanne mengangkat wajah. Menatap siapa yang berkata itu. Oh, rupanya dia. Seorang lelaki dari kelas yang sama dengan Kevin.
Lelaki itu cukup nyentrik karena dia yang paling tinggi diantara lekaki kebanyakan di sekolah itu.
Jeanne terkekeh. "Sebenarnya aku tidak memperhatikan, sih," katanya jujur.
"Kau malu mengakuinya, Jean?" Lelaki itu tertawa. "Yasudahlah, gadis-gadis kan memang seperti itu."
Alis Jeanne terangkat. Selain penampilan yang nyentrik, lelaki bernama Nino itu juga punya sikap yang bagi Jeanne agak unik. Nino terbuka sekali dan dia ramah untuk ukuran anak populer di sekolah.
"Lebih baik kau segera berganti baju, No. Badanmu kotor sekali."
Nino lantas menatap lengan dan baju di bagian perutnya yang jelas-jelas penuh dengan keringat dan pasir. Dia kemudian tersenyum lebar dan mendekati Jeanne. "Lelaki itu ya sepertiku. Berani kotor."
Jeanne meringis. Ah, Nino bau matahari sekali. Lelaki itu justru sengaja mendekati Jeanne, mendekatkan lengannya ke lengan gadis itu. Jeanne segera mengambil tindakan menjauh dan mengajak Rossi untuk pergi, "Ayo, Ros. Cepat!"
Nino yang merasa ditinggal segera mengejar mereka terutama Jeanne. Langkahnya yang besar-besar bisa mengejar Jeanne walau hanya dengan berjalan kaki. "Jeanne, tunggu akuuu." Nino terkekeh jahil menanggapi ulah konyolnya sendiri.
***
"Jeanne, tunggu akuuu."
Jeanne menoleh cepat. Masih dengan kalimat yang sama Nino menghampirinya di parkiran sepulang sekolah.
"Eh, Hai, No." Jeanne tersenyum hambar.
Air wajah yang jarang Nino temui pada Jeanne. Setelah ditelisik ternyata hal yang membuat gadis itu lesu adalah ban sepedanya kempes. Betul-betul kempes dan sepertinya bocor.
"Mau kuantar pulang?"
Nino melupakan seringai yang biasa menghiasi wajahnya. Dia serius akan penawaran ini.
"Lalu sepedaku? Ah, sepertinya tidak, No. Aku akan cari jasa tambal ban di jalan."
"Ummm." Nino menatap langit. Berpikir. "Sepertinya jasa tambal ban di jalan menuju rumahmu terlampau jauh. Kupikir kau akan sangat kelelahan untuk sampai disana."
"Jika aku pulang bersamamu. Apa kau ada solusi lain untuk sepedaku?"
Nino mengulum bibir. Menimbang-nimbang suatu hal. Lantas dia mengangguk.
Akhirnya Jeanne pulang bersama Nino siang ini. Rumah Nino searah dengan rumah Jeanne dan lelaki itu mengendarai sepeda motor—kendaraan yang terbilang jarang digunakan oleh anak sekolah. Kondisi saat ini tentu jauh lebih nyaman untuk Jeanne dibanding menggoes sepeda. Ah, beruntung sekali lelaki itu.
Ketika sepeda motor yang mereka kendarai akan keluar dari gerbang sekolah, seruan-seruan dari teman Nino terdengar sahut bersahutan. Hal itu karena pemandangan ini terlihat tabu. Sebelumnya Nino tidak pernah membawa gadis pulang bersamanya. Tidak seperti Jeanne yang memberi tanggapan dengan diam menatap lurus ke jalan, Nino justru membalas sahutan itu dengan seringai dan tawa yang lebar.
"Jean," panggil Nino agak berteriak.
"Iya."
"Semoga ban sepedamu setiap hari bocor."
"Hah?" Jeanne memukul punggung lelaki itu. "Enak saja!"
"Aku serius, Jean. Aku senang mengantarmu pulang walaupun itu setiap hari hahaha."
Jeanne cemberut. Dia teringat suatu hal. Sesaat sebelum pulang dari sekolah, Nino menjanjikannya bahwa temannya yang memiliki jasa tambal ban terdekat dari sekolah akan membawa sepeda Jeanne pulang dan membawanya kembali esok pagi. Jasa tambal ban terdekat itu tidak searah dengan jalan pulang Jeanne sehingga Nino meminta bantuan temannya saja. "Pokoknya sepedaku sudah harus ada besok, ya, No!"
"Kupastikan ada, Jean."
"Okay."
"Tapi aku serius dengan perkataanku yang tadi."
"Ah, sudahlah, No. Mengendara saja yang benar!"
Nino terkekeh saja. Suasana hatinya senang sekali siang ini. Ia mengantar Jeanne tepat sampai di depan rumahnya.
"Ummm, aku baru saja pindah kesini," tutur Jeanne usai melihat Nino yang sedikit bingung menatap rumah kecil itu bersemak tinggi-tinggi.
"Oh, begitu rupanya."
"Yah, terimakasih, No."
Nino tersenyum. Mengangguk. Tanpa disangka kemudian jemarinya bergerak menyisir lembut rambut Jeanne yang berantakan akibat tersibak angin di jalan. Lelaki itu terkekeh mendapati Jeanne jadi sedikit canggung.
***
Jeanne menggiring sepedanya menyusuri jalan yang padat kendaraan dan ramai oleh jejeran toko. Jalan ini adalah jalan yang biasa dilaluinya ketika hendak atau pulang dari sekolah. Jika dari rumahnya, Jeanne hanya perlu pergi keluar desa dan menyusuri jalan raya lenggang yang membelah ladang padi hingga tiba di jalan dengan kontruksi yang lebih maju: banyak gedung berlantai dua atau tiga disana, pertokoan, penjual macam-macam barang, penyedia jasa antar, dan di pertigaan itulah pusatnya: ada stasiun kereta di jalan ke arah kanan.Seperti yang dijanjikan Nino, sepeda Jeanne dengan aman ditemuinya di parkiran sekolah pagi-pagi dengan keadaan yang lebih baik. Gadis itu berucap terimakasih pada Nino yang hari ini mau menjemputnya dan sebab dia sudah membantu memperbaiki sepeda itu. "Ucapkan terimakasihku untuk temanmu itu, ya," pesan Jeanne.Itulah mengapa sepulang sekolah ini dirinya sudah kembali menendarai sepeda seorang diri. Daerah ini belum terlalu ramai. Biasany
Di lorong sekolah menuju kelasnya sekilas Jeanne seperti melihat seseorang. Dia menghentikan langkah dan menilik sejumlah gadis di tepian tangga. Tidak salah lagi. Ada Rossi disana. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Dari gerak-gerik dan mimik gadis-gadis itu rasa-rasanya sedang ada yang tidak beres. Segera Jeanne menghampiri mereka."Wajahmu tidak usah tak mengenakan seperti itu dong," pekik salah satu gadis. Dibantu seorang teman, dirinya memojokkan Rossi dalam rasa bersalah."Ada apa?" tanya Jeanne.Rossi menegakkan tatapan menyadari adanya Jeanne. Lantas tangannya terulur memperlihatkan beberapa lembar kertas hasil print yang basah oleh air berwarna kecoklatan. Dari air wajah Rossi jelas sekali jika benda itu miliknya yang rusak disebabkan oleh kedua gadis itu."Mengapa bisa jadi seperti itu?" tanya Jeanne lebih tegas.Si gadis bernama Katherine yang diketahui Jeanne dari name tag di dadanya memberi ekspresi tak be
Jeanne bukanlah murid rajin yang biasa sampai di sekolah satu jam sebelum kelas pertama dimulai. Tetapi bukan juga bagian dari murid yang senang datang terlambat. Menyadari dua puluh menit—sejak dirinya baru melewati setengah perjalanan—kelas akan dimulai, dirinya ketar-ketir juga. Kekuatan kakinya mengayuh sepeda mengantarkannya kepada rasa aman sebab kelas baru akan dimulai lima menit lagi ketika ia sampai di parkiran sepeda sekolah.Namun, ada yang sesuatu yang cukup mengejutkannya ketika tiba di depan kelas. Hal itu bukan tatapan orang-orang yang memandangnya dengan ledekan karena kaus kaki yang tinggi sebelah, atau baju yang kusut serta ketidaklengkapan atribut yang dikenakannya akibat terburu-buru pagi ini. Bukan. Hal mengejutkan itu dimulai dari suatu keanehan: mengapa tidak ada seseorang yang berlalu lalang di depan kelasnya seperti hari-hari biasa. Padahal di koridor sebelumnya masih ramai—pertanda kelas belum dimulai.Setelah Jea