Di lorong sekolah menuju kelasnya sekilas Jeanne seperti melihat seseorang. Dia menghentikan langkah dan menilik sejumlah gadis di tepian tangga. Tidak salah lagi. Ada Rossi disana. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Dari gerak-gerik dan mimik gadis-gadis itu rasa-rasanya sedang ada yang tidak beres. Segera Jeanne menghampiri mereka.
"Wajahmu tidak usah tak mengenakan seperti itu dong," pekik salah satu gadis. Dibantu seorang teman, dirinya memojokkan Rossi dalam rasa bersalah.
"Ada apa?" tanya Jeanne.
Rossi menegakkan tatapan menyadari adanya Jeanne. Lantas tangannya terulur memperlihatkan beberapa lembar kertas hasil print yang basah oleh air berwarna kecoklatan. Dari air wajah Rossi jelas sekali jika benda itu miliknya yang rusak disebabkan oleh kedua gadis itu.
"Mengapa bisa jadi seperti itu?" tanya Jeanne lebih tegas.
Si gadis bernama Katherine yang diketahui Jeanne dari name tag di dadanya memberi ekspresi tak bersahabat. Entah mengapa alisnya tampak naik sekali. "Oh, jadi kau ini temannya? Jujur saja, aku tak sengaja bertabrakan dengan temanmu dan tehku mengenai kertas miliknya."
"Jadi? Sudahkah kalian dapat penyelesaian?"
"Ya, aku sudah meminta maaf," sahut Katherine cepat.
Jeanne lantas melirik Rossi. Gadis itu hanya terdiam dengan wajah murung. Benar adanya jika Katherine sudah meminta maaf.
"Adakah kau bisa mengganti kertas miliknya?" pinta Jeanne.
Katherine mengerutkan kening. Tidak setuju. "Aku betul-betul tidak sengaja," katanya.
Jeanne mengangguk cepat. "Ya, aku tahu. Tapi maaf saja tidak cukup. Biar kutebak, kertas itu adalah esai untuk tugas bahasa, betul?"
"Ya, Jean," kata Rossi lemas.
"Nah, hari ini adalah pengumpulan terakhir tugas itu. Itulah mengapa Rossi tidak bisa mentoleransi kesalahanmu."
Katherine menggeleng. Ada kemarahan yang memancar dari matanya. "Maaf, kau ini mengapa? Sebelumnya temanmu tidak meminta aku untuk menggantinya."
"Tapi di dalam hatinya dia meminta itu. Aku teman dekatnya jadi aku tahu."
"Tapi bagaimana caranya? Jika kuberikan tugasmu besok akan sama saja, kan? Kau tetap akan terlambat—"
"Tidak perlu. Kau bisa menggunakan komputer di perpustakaan lalu memprintnya," tutur Jeanne menyalip.
"Hah?" Katherine sedikit terkejut. Entah apa yang apa di pikirannya saat ini. Dia justru segera melipat tangan di depan dada dan berkata, "Kalau sudah tahu, lakukan saja sendiri. Lagipula itu tugasnya, bukan tugasku."
Astaga. Jeanne menggeleng pelan menanggapi bagaimana sikap gadis itu. "Bisakah kau lebih sopan dan bertanggungjawab?"
"Bisakah kau tidak usah ikut campur urusan orang lain?"
Jeanne menghela napas dengan berat. Tatapannya tajam lurus menabrak mata Katherine yang tampak menyebalkan. Ada marah yang meluap-luap dalam hatinya. Beberapa saat kemudian Jeanne memilih pergi dengan membawa kertas basah itu menuju kelas. Tindakan tak terduga. Segera Rossi ikut menyusulnya dan mengabaikan Katherine berdua dengan temannya di tepian tangga.
Sesampainya di kelas Rossi sedikit kebingungan dengan sikap Jeanne yang berbeda dari biasanya. Padahal dia bisa saja mendesak Katherine agar mengganti tugas milik Rossi itu.
"Guru bahasa pasti tidak akan menerima tugas dengan tampilan seperti ini kan, Jean?" tanya Rossi lesu.
Jeanne tak bergeming. Dia hanya duduk dengan tatapan membaca esai milik Rossi. Tak butuh waktu lama bagi Jeanne untuk membaca inti tulisan itu dari lembar pertama sampai lembar terakhir.
"Kau tahu Katherine berasal dari kelas mana?" Jeanne bertanya.
"Kelas dua IPA empat. Ada apa?"
Gadis itu hanya membalas dengan gelengan kepala. Rossi juga malas bertanya lebih lanjut usai melihat Jeanne agak berbeda pagi ini. Biasanya dia tak mudah marah. Dan marahnya Jeanne tidak diam seperti ini. Dia lebih suka mengeluarkan isi hatinya ketika tidak setuju akan sesuatu.
Tak lama guru bahasa datang. Dia membahas sedikit materi dan menyuruh murid-muridnya mengumpulkan tugas. Sedang Rossi hanya bisa memijit kening, meresahkan sekali nasibnya. Apalagi ketika guru bahasa berkata tugas yang terlambat dikumpulkan akan dikurangi lima belas poin. Alamat mendapat nilai merah usai ini.
Ketika jam pelajaran baru berlangsung setengahnya, guru bahasa meminta Jeanne membantunya membawa tugas-tugas ke ruang guru. Tugas lumrah yang sudah bisa Jeanne tangani dan tanpa sepengetahuan Rossi bahwa tugasnya ikut juga dibawa oleh Jeanne. Di ruang guru, gadis itu diminta membantu mengoreksi tugas teman-temannya yang mencapai beratus lembar kertas. Tugas yang tidak mudah.
Dibalik tindakan Jeanne membawa tugas gagal Rossi, dia punya niat terselubung. Seperti dugaannya, di meja guru bahasa sudah terdapat juga tugas serupa dari kelas lain. Niatnya jadi semakin mudah dilancarkan ketika guru bahasa meminta izin mengisi kelas Jeanne untuk beberapa saat. Sehingga dengan sigap dia bisa mencari salah satu tugas gadis dari kelas sebelas IPA empat bernama Katherine.
Yap! Jeanne mendapatkannya. Dengan maksud ingin menukar tugas milik Katherine dengan tugas milik Rossi, tentu Jeanne tidak akan dengan gegabah melangsungkan tindakannya begitu saja. Dia juga harus mengecek isi tugas Katherine. Rupanya tugas gadis itu lumayan bagus. Setidaknya untuk menggantikan nilai Rossi yang kelak akan dikurangi lima belas poin maka tindakan ini tidak buruk juga. Segera Jeanne menghapus nama Masing-masing dari mereka menggunakan tipe-x dan menaruhnya ke tempat masing-masing.
"Apa yang kau lakukan?"
Jeanne tersentak. Gerak refleksnya yang kaku menoleh ke belakang.
Astaga. Rupanya dia tak sendirian berada di ruangan ini. Guru sejarah mendadak bertanggang di belakangnya dengan posisi condong mendekati bahu Jeanne. Ya Tuhan, mengapa pula harus dia?
"Membantu guru bahasa mengoreksi tugas esai, pak," jawab Jeanne pelan sambil berpaling kembali menatap kertas-kertas di hadapannya. Berharap Finn segera pergi.
Sayangnya, lelaki itu justru menarik salah satu kursi terdekat dan duduk menghadap Jeanne. Si sebelahnya. Dia tak berkata apa-apa dan hanya menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu pada meja tempat Jeanne menaruh kertas tugas. Mendadak Jeanne merasa canggung berada sedekat itu dengan guru barunya, pria jangkung dengan balutan kemeja kasual dan rambut yang gondrong.
Terlihat oleh Jeanne mata guru itu berwarna hijau kelabu ketika menatapnya sekilas. Demi memecah kecanggungan Jeannepun bertanya, "Apa kau sedang tidak mengisi kelas, Pak?"
"Ada," jawabnya dengan suara yang berat.
Jeanne kembali meliriknya. Entah mengapa gaya duduk guru itu santai sekali dengan jarak yang tidak dijaganya antara ia dengan Jeanne. Gadis itu kembali bertanya, "Lalu mengapa kau berada disini?"
"Aku ingin melihat pekerjaanmu," katanya dengan suara yang teramat pelan dan agak serak. Suara pria yang tanpa Jeanne pahami entah mengapa membuat bulu di lengannya meremang.
Astaga. Jeanne tak ingin lagi mendengar suara guru itu. Sejauh Jeanne mengenalnya dia memang sudah merasa jika ada yang tidak biasa dengan Finn. Pria itu tidak terbuka tetapi tidak sulit juga didekati. Maka Jeanne memusatkan seluruh perhatiannya pada tugas yang tengah diembannya saja.
"Sepertinya kau menjalin hubungan yang dekat dengan banyak guru."
Jeanne tersenyum getir. "Ya, kurasa begitu."
"Bisakah kau ikat rambutmu?"
Jeanne menoleh. Merasa sedikit bingung mengapa guru satu ini selalu menyuruhnya mengikat rambut. Maka Jeanne segera merogoh ikat rambut dari dalam saku roknya. Tetapi naas. Gerakan itu membuat kakinya menubruk meja sehingga beberapa benda yang bertumpuk di atasnya terjatuh menyenggol botol tinta. Tinta hitam itu seketika memuntahkan muatannya ke meja dan jari-jemari tangan kiri Jeanne. Beberapa tetes yang mengalir di meja juga jatuh ke atas roknya.
"Ya Tuhan!"
Melihat hal itu guru sejarah lantas bangkit dan kembali dengan sekotak tisu. Diberikannya benda itu pada Jeanne. "Bersihkan tanganmu dan mejanya."
"Terimakasih." Walau sebetulnya Jeanne amat malu mengakui tindak cerobohnya itu. Masih terasa degup dadanya berdentum cepat.
"Berikan ikat rambutmu."
Jeanne menatapnya beberapa saat. Terlalu berlebihan jika guru itu akan menguncirkan rambutnya. "Tidak perlu, pak."
"Berikan saja," pintanya dengan nada suara tak terbantah.
Gadis itu akhirnya memberikan ikat rambutnya. Bukan karena ia setuju dengan apa yang akan terjadi tetapi lebih karena dia pasrah saja.
Finn meraih seutas ikat rambut polos berwarna hitam itu. Tanpa rasa canggung jemarinya dengan lemas menyisir kening, leher bagian bawah, dan anak rambut di bagian belakang telinga Jeanne. Yang benar saja. Gadis itu bergidik merasakan geli di area lehernya hingga tanpa sengaja tiba-tiba saja dia berbalik. Seutas rambutnya lepas dari genggaman Finn.
Jeanne menelan ludah. Dia tak bermaksud membuat gurunya itu terkejut. Finn hanya memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Maaf, aku harus pergi ke toilet," Jeanne mengucap permisi. Diapun pergi.
Gadis itu memandang dirinya di depan kaca wastafel begitu sampai. Jemarinya masih berlumuran tinta. Butuh waktu hingga tinta itu benar-benar hilang bekasnya.
Jeanne kembali terbayang akan kejadian menit lalu. Betapa dia yakin akan apa yang dirasanya. Sungguh di balik telinga sebelah kanan dapat dia rasakannya hembusan hangat napas seseorang. Jeanne tak tahu posisi pria selaku gurunya itu ketika tengah mengikat rambutnya. Tetapi dengan apa yang terjadi di balik telinganya, pastilah Finn tengah membungkuk.
"Mengapa rasa-rasanya dia berbeda?" tanya Jeanne dalam getar hati.
Gadis itu tahu umur Finn terbilang muda dibanding guru-guru lainnya. Tetapi tak bisakah sikapnya disesuaikan dengan sesama profesi pada umumnya? Menurut Jeanne, Finn terlalu mendominasi sikapnya di hadapan Jeanne. Hal yang membuatnya mendapat lebih porsi perhatian di hati gadis itu.
Apakah namanya? Jeanne masih belum tahu. Yang ia sadari sampai saat ini adalah ketidakjelasan hatinya dalam memberi indikasi tentang pria itu.
***
Parkiran sepeda di samping gedung sekolah sudah sepi di siang menjelang sore. Jeanne baru keluar pada pukul demikian usai membahas tentang lomba esai bersama guru bahasanya. Tangan Jeanne bersiap menarik sepedanya mundur dari tiang pengunci sepeda tatkala tanpa sengaja dari ujung matanya ia mendapati Finn berjalan mendekat. Tentu dia datang untuk mengambil mobil yang terletak tak jauh dari tempat Jeanne berada. Tetapi tetap saja masih terbayang tentang apa yang terjadi terkahir kali mereka bertemu.
"Hai, Jean."
Praduga tak diharapkan itu terjadi: Finn mendekat dan menyapa.
"Hai, pak." Jeanne menarik sedikit senyum. Melepaskan genggamannya dari ekor sepeda.
"Kurasa tadi aku melihatmu menukar dua buah kertas di tempat berbeda."
Kening Jeanne tampak mengerut. Hal yang tak terduga. "Betul, pak. Adakah yang mau kau sampaikan?"
Finn menarik sedikit bibir. Seutas senyum tertarik pertama kali seumur Jeanne mengenalnya. "Kau telah melakukan tindak kecurangan."
Jeanne menggeleng. Dia tahu setiap kejahatan pasti akan terungkap. Tetapi kasus kali ini jelas berbeda. "Aku punya alasan, pak."
"Tentu saja. Tapi dengan memanfaatkan kedekatan hubunganmu dengan guru bahasa, tindakan itu jadi tampak dua kali lebih buruk."
Jeanne mengulum bibir. Jujur saja dia merasa terintimidasi. "Kumohon dengarlah, pak. Esai milik temanku Rossi tanpa sengaja dirusak oleh seseorang bernama Katherine dari kelas lain. Tetapi gadis itu tidak mau bertanggung jawab. Maka kubuat saja dia menebus kesalahannya."
"Tidakkah ada cara lain?"
"Tentu saja. Ada banyak sekali cara. Tapi tak ada satupun yang bisa diterima oleh gadis seperti dia."
"Jadi menurutmu ini sudah adil?"
Jeanne mengangguk. Sungguh siapa yang lebih tahu perihal keadilan disini dibanding Jeanne yang lahir dan besar di panti asuhan. Keadilan sudah jadi barang lumrah disana. Tidak ada perasaan diistimewakan yang bisa tumbuh di hati anak-anak sepertinya.
"Baiklah." Finn kemudian mengucap permisi lantas pergi.
Kehadiran pria itu benar-benar membuat Jeanne resah. Apa yang akan terjadi setelah ini? Finn bahkan tidak memberitahu Jeanne apakah dia mengadukan hal itu pada guru Bahasa atau tidak. Jeanne menggaruk kepala. Frustasi.
Sore ini sama seperti sore-sore kemarin. Dia tak langsung pulang ke rumah. Ada hal yang harus dilakukannya di sekitar stasiun kereta. Ialah mencari pekerjaan. Pak Tomi juga belum memberi kabar akan lowongan yang hendak ditanyakannya pada produsen tempat ia mengambil banyak buku. Begitupula Hestia. Tidak satupun dia memberitahu ada posisi yang bisa ditempati oleh Jeanne sedang wanita itu punya banyak teman di kampus dan tempat kerja.
"Ingin segera lulus SMA saja rasanya," geming ia seorang diri.
Jeanne lantas kembali menarik ekor sepedanya untuk kemudian dia bawa pergi melaju menuju stasiun kereta di pertigaan jalan.
***
Jeanne bukanlah murid rajin yang biasa sampai di sekolah satu jam sebelum kelas pertama dimulai. Tetapi bukan juga bagian dari murid yang senang datang terlambat. Menyadari dua puluh menit—sejak dirinya baru melewati setengah perjalanan—kelas akan dimulai, dirinya ketar-ketir juga. Kekuatan kakinya mengayuh sepeda mengantarkannya kepada rasa aman sebab kelas baru akan dimulai lima menit lagi ketika ia sampai di parkiran sepeda sekolah.Namun, ada yang sesuatu yang cukup mengejutkannya ketika tiba di depan kelas. Hal itu bukan tatapan orang-orang yang memandangnya dengan ledekan karena kaus kaki yang tinggi sebelah, atau baju yang kusut serta ketidaklengkapan atribut yang dikenakannya akibat terburu-buru pagi ini. Bukan. Hal mengejutkan itu dimulai dari suatu keanehan: mengapa tidak ada seseorang yang berlalu lalang di depan kelasnya seperti hari-hari biasa. Padahal di koridor sebelumnya masih ramai—pertanda kelas belum dimulai.Setelah Jea
Suasana rumah Jeanne amat sangat sepi walau masih pukul tujuh. Tiada yang terdengar kecuali suara jangkrik di pekarangan. Rumahnya tidak besar dan sederhana, hanya ada dua kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan teras dengan halaman yang lumayan luas bersemak belukar. Seluruh jendela dan pintu sudah dikuncinya. Gadis itu hanya merebahkan diri di kamar sambil membaca buku yang dibelinya sore ini dari toko Pak Tomi.Dalam keheningan itu mendadak ada sebuah suara. Bunyinya tertebak berasal kenop pintu depan. Jeanne tinggal menunggu saat-saat dimana seseorang masuk ke dalam kemudian membuka pintu kamarnya."Jean."Benar saja. Seseorang tiba di bingkai pintu kamar Jeanne. Wanita berumur dua puluh satu dengan ransel di punggung."Oh, sudah pulang, kak." Jeanne menyelipkan pembatas buku di halaman terakhir yang dia baca lantas bangkit untuk duduk."Yah, aku bawa makanan nih. Ayo keluar." Sesaat kemudian wanita itu berlalu.Jea
Jeanne menggiring sepedanya menyusuri jalan yang padat kendaraan dan ramai oleh jejeran toko. Jalan ini adalah jalan yang biasa dilaluinya ketika hendak atau pulang dari sekolah. Jika dari rumahnya, Jeanne hanya perlu pergi keluar desa dan menyusuri jalan raya lenggang yang membelah ladang padi hingga tiba di jalan dengan kontruksi yang lebih maju: banyak gedung berlantai dua atau tiga disana, pertokoan, penjual macam-macam barang, penyedia jasa antar, dan di pertigaan itulah pusatnya: ada stasiun kereta di jalan ke arah kanan.Seperti yang dijanjikan Nino, sepeda Jeanne dengan aman ditemuinya di parkiran sekolah pagi-pagi dengan keadaan yang lebih baik. Gadis itu berucap terimakasih pada Nino yang hari ini mau menjemputnya dan sebab dia sudah membantu memperbaiki sepeda itu. "Ucapkan terimakasihku untuk temanmu itu, ya," pesan Jeanne.Itulah mengapa sepulang sekolah ini dirinya sudah kembali menendarai sepeda seorang diri. Daerah ini belum terlalu ramai. Biasany
Di lorong sekolah menuju kelasnya sekilas Jeanne seperti melihat seseorang. Dia menghentikan langkah dan menilik sejumlah gadis di tepian tangga. Tidak salah lagi. Ada Rossi disana. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Dari gerak-gerik dan mimik gadis-gadis itu rasa-rasanya sedang ada yang tidak beres. Segera Jeanne menghampiri mereka."Wajahmu tidak usah tak mengenakan seperti itu dong," pekik salah satu gadis. Dibantu seorang teman, dirinya memojokkan Rossi dalam rasa bersalah."Ada apa?" tanya Jeanne.Rossi menegakkan tatapan menyadari adanya Jeanne. Lantas tangannya terulur memperlihatkan beberapa lembar kertas hasil print yang basah oleh air berwarna kecoklatan. Dari air wajah Rossi jelas sekali jika benda itu miliknya yang rusak disebabkan oleh kedua gadis itu."Mengapa bisa jadi seperti itu?" tanya Jeanne lebih tegas.Si gadis bernama Katherine yang diketahui Jeanne dari name tag di dadanya memberi ekspresi tak be
Jeanne menggiring sepedanya menyusuri jalan yang padat kendaraan dan ramai oleh jejeran toko. Jalan ini adalah jalan yang biasa dilaluinya ketika hendak atau pulang dari sekolah. Jika dari rumahnya, Jeanne hanya perlu pergi keluar desa dan menyusuri jalan raya lenggang yang membelah ladang padi hingga tiba di jalan dengan kontruksi yang lebih maju: banyak gedung berlantai dua atau tiga disana, pertokoan, penjual macam-macam barang, penyedia jasa antar, dan di pertigaan itulah pusatnya: ada stasiun kereta di jalan ke arah kanan.Seperti yang dijanjikan Nino, sepeda Jeanne dengan aman ditemuinya di parkiran sekolah pagi-pagi dengan keadaan yang lebih baik. Gadis itu berucap terimakasih pada Nino yang hari ini mau menjemputnya dan sebab dia sudah membantu memperbaiki sepeda itu. "Ucapkan terimakasihku untuk temanmu itu, ya," pesan Jeanne.Itulah mengapa sepulang sekolah ini dirinya sudah kembali menendarai sepeda seorang diri. Daerah ini belum terlalu ramai. Biasany
Suasana rumah Jeanne amat sangat sepi walau masih pukul tujuh. Tiada yang terdengar kecuali suara jangkrik di pekarangan. Rumahnya tidak besar dan sederhana, hanya ada dua kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan teras dengan halaman yang lumayan luas bersemak belukar. Seluruh jendela dan pintu sudah dikuncinya. Gadis itu hanya merebahkan diri di kamar sambil membaca buku yang dibelinya sore ini dari toko Pak Tomi.Dalam keheningan itu mendadak ada sebuah suara. Bunyinya tertebak berasal kenop pintu depan. Jeanne tinggal menunggu saat-saat dimana seseorang masuk ke dalam kemudian membuka pintu kamarnya."Jean."Benar saja. Seseorang tiba di bingkai pintu kamar Jeanne. Wanita berumur dua puluh satu dengan ransel di punggung."Oh, sudah pulang, kak." Jeanne menyelipkan pembatas buku di halaman terakhir yang dia baca lantas bangkit untuk duduk."Yah, aku bawa makanan nih. Ayo keluar." Sesaat kemudian wanita itu berlalu.Jea
Jeanne bukanlah murid rajin yang biasa sampai di sekolah satu jam sebelum kelas pertama dimulai. Tetapi bukan juga bagian dari murid yang senang datang terlambat. Menyadari dua puluh menit—sejak dirinya baru melewati setengah perjalanan—kelas akan dimulai, dirinya ketar-ketir juga. Kekuatan kakinya mengayuh sepeda mengantarkannya kepada rasa aman sebab kelas baru akan dimulai lima menit lagi ketika ia sampai di parkiran sepeda sekolah.Namun, ada yang sesuatu yang cukup mengejutkannya ketika tiba di depan kelas. Hal itu bukan tatapan orang-orang yang memandangnya dengan ledekan karena kaus kaki yang tinggi sebelah, atau baju yang kusut serta ketidaklengkapan atribut yang dikenakannya akibat terburu-buru pagi ini. Bukan. Hal mengejutkan itu dimulai dari suatu keanehan: mengapa tidak ada seseorang yang berlalu lalang di depan kelasnya seperti hari-hari biasa. Padahal di koridor sebelumnya masih ramai—pertanda kelas belum dimulai.Setelah Jea