Jeanne bukanlah murid rajin yang biasa sampai di sekolah satu jam sebelum kelas pertama dimulai. Tetapi bukan juga bagian dari murid yang senang datang terlambat. Menyadari dua puluh menit—sejak dirinya baru melewati setengah perjalanan—kelas akan dimulai, dirinya ketar-ketir juga. Kekuatan kakinya mengayuh sepeda mengantarkannya kepada rasa aman sebab kelas baru akan dimulai lima menit lagi ketika ia sampai di parkiran sepeda sekolah.
Namun, ada yang sesuatu yang cukup mengejutkannya ketika tiba di depan kelas. Hal itu bukan tatapan orang-orang yang memandangnya dengan ledekan karena kaus kaki yang tinggi sebelah, atau baju yang kusut serta ketidaklengkapan atribut yang dikenakannya akibat terburu-buru pagi ini. Bukan. Hal mengejutkan itu dimulai dari suatu keanehan: mengapa tidak ada seseorang yang berlalu lalang di depan kelasnya seperti hari-hari biasa. Padahal di koridor sebelumnya masih ramai—pertanda kelas belum dimulai.
Setelah Jeanne betul-betul memasuki kelas, tahulah dia bahwa di kelasnya sudah terduduk seorang lelaki di meja guru. Maka dirinya paham mengapa teman-teman sekelas bertingkah tenang dengan duduk di meja masing-masing.
"E.... Selamat pagi, Pak." Jeanne sedikit membungkukkan badan begitu berada di dekat meja guru.
"Ya, selamat pagi," jawab guru itu pelan dan singkat saja lantas kembali tertunduk memandangi kertas di hadapannya yang diduga buku pelajaran atau absensi kelas.
Jeanne menghela napas lega begitu duduk di kursinya. Pagi ini menjadi pagi yang tidak biasa. Udara yang dihirupnya sepanjang jalan menuju sekolah tidak terasa segar. Kekhawatiran akan terlambat membuat suhu tubuh Jeanne naik. Dan semakin deras saja keringatnya menyadari ada sesosok guru yang sudah datang di kelas sebelum jam pelajaran dimulai.
"Kau kesiangan, Jean?"
Rossi, teman sebangkunya bertanya pelan.
Jeanne menatapnya sambil menghela napas. "Yah, jamku ternyata mati dari semalam."
"Lalu kak Hestia juga kesiangan?"
Jeanne menggeleng. "Dia tidak pulang semalam. Oh ya, ngomong-ngomong siapa pria itu?"
Rossi menggerutkan kening sambil menggeleng. "Entah. Dia belum mengenalkan diri. Sepertinya guru sejarah baru."
Jeanne menaikkan alis. Raut tak percayanya tampak begitu menyebalkan. "Kok aku tidak yakin. Sepertinya dia masih muda. Wah, bisa selisih empat puluh tahun umurnya dengan guru sejarah kita yang lama—"
"Sudahlah, Jean, aku juga tak tahu. Kita lihat saja sebentar lagi."
Rossi berpaling dan menghadap ke depan. Menatap jam dinding. Gadis itu teman sebangku dan teman terdekat Jeanne di sekolah. Rossi memiliki gaya rambut pendek belah tengah dan suka memakai bando—tipikal gadis feminim. Dia tak punya catatan kejahatan atau kenakalan saat bersekolah di sekolah ini ataupun di sekolah sebelumnya. Selain memiliki penampilan yang rapih, Rossi juga amat hati-hati dalam melakukan sesuatu dan rajin berorganisasi. Beruntung juga Jeanne bisa berteman dengannya.
Bel dimulainya kelas pertama berbunyi monoton. Seisi kelas Jeanne tampak lebih hening dari biasanya. Mereka amat sangat siap mendengar pernyataan tentang siapakah guru itu.
"Selamat pagi. Perkenalkan, saya guru sejarah baru kalian. Akibat suatu alasan, guru sejarah kalian yang lama mengajukan pengurangan jam kerja sehingga kini saya menggantikanya. Nama saya Finn Arthur. Kalian bisa memanggil Finn. Saya akan melanjutkan materi yang telah kalian pelajari sejauh ini. Apakah ada pertanyaan?"
Finn Arthur, guru baru itu menatap sekilas satu persatu muridnya. Penuturannya cukup lancar dan dia tampak sangat percaya diri walau dengan air wajah yang datar saja. Betul sekali perkataan Jeanne, Finn terlampau muda untuk menggantikan guru sejarah lama. Pria itu memiliki rambut hitam lebat yang sedikit memanjang sehingga ia tampak casual dengan kemeja biru pucat yang digulung lengannya. Dibanding menjadi guru, Finn lebih terbaca oleh banyak orang sebagai sesosok mahasiswa.
"Aku memiliki pertanyaan." Seorang siswa di baris terbelakang mengangkat tangan.
"Ya, silahkan."
"Apakah gaya mengajarmu sama seperti guru sejarah lama kami?"
"Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara guru sejarah lamamu mengajar."
Siswa itu mengulum bibir. Mencari diksi yang tepat untuk mendeskripsikan maksudnya. "Dia mengajar sambil membaca buku, tidak beranjak dari kursinya, tidak memperhatikan apakah kami mendengar atau tidak, dan terkadang suaranya tidak terdengar selama kelas berlangsung."
Finn menatapnya beberapa saat. Dia tidak memelotot, hanya memandang sayu saja sambil memikirkan sebuah jawaban. "Apakah kau senang karena dengan begitu kau bebas, tak perlu mendengarkan, dan bisa tidur dengan tenang?"
"Ya, memang itu yang aku lakukan."
Seketika tatapan murid-murid menghambur pada si penjawab. Selain karena telah mengkritik, pengakuan yang tanpa rasa bersalah itu memantik api di hati sebagian murid. Sudah mengkritik, oh, ternyata si pengkritik itu sendiri tak taat aturan. Miris bukan?
Finn menghela napas lalu terduduk di kursinya. Dia mengatupkan jari-jemarinya di dagu. "Kalau begitu, mungkin gaya mengajarku tidak jauh berbeda dengan guru sejarah lamamu."
Si siswa yang jadi sorotan itu mengerutkan kening. Pengharapannya tidak berbuah manis. "Mengapa begitu?!"
"Karena itu yang kau senangi. Mengapa menuntut orang lain melakukan perubahan sementara kau tidak berubah dari kesenangan yang sebetulnya tidak baik untukmu?!"
Kelas menjadi betul-betul hening. Keheningan ini terasa berbeda karena seorang guru sejarah untuk pertama kali membentak seorang murid dari kelas Jeanne dan guru tersebut adalah guru baru. Belum setengah jam pertemuan dengannya berlangsung, murid di kelas langsung mendapat impresif tersendiri mengenai siapa gurunya kali ini.
Siswa di baris belakang itu hanya tertunduk. Tak ada tampak ingin membalas. Dirinya barangkali terlalu mudah memberi nilai, tak tahu bahwa guru barunya yang tampak muda tidak hadir untuk menjadi teman, melainkan untuk menjadi guru seutuhnya.
"Baiklah, ada pertanyaan lagi?"
Pandangan Finn menyapu seisi kelas. Dia lantas mendapat jawaban 'tidak ada' dari salah satu muridnya.
Dia nengabsen satu-satu persatu siswa sambil melirik sekilas untuk mengenali murid barunya. Tiba nama Jeanne dipanggil. Gadis itu mengangkat tangan sambil berkata hadir. Tetapi ada sedikit keanehan karena Finn memanggil namanya untuk yang kedua kali.
Jeanne yang semula tertunduk memainkan pensil mekaniknya seketika menegakkan pandangan sambil bertutur hadir. Lagi. Diapun mendapati Finn yang ternyata sudah menatapnya untuk sepersekian detik. Jeanne sedikit salah tingkah—bertanya apa yang salah dengan dirinya?
Di tengah gadis itu membiaskan air wajah binggung, Finn akhirnya berdeham. Dia mengalihkan pandangan sambil bertutur pelan, "Ikat rambutmu dengan benar."
Jeanne mengangguk dan berkata, "Baik, Pak."
***
"Apa kau suka dengan Pak Finn, Jean?"
"Aku suka dengan cara mengajarnya," jawab Jeanne cepat. Dia masih punya setengah roti untuk ditandaskan. Bersama Rossi, Jeanne menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah. Duduk di kursi melingkar di bawah pohon yang teduh.
"Dengan sikapnya?"
Jeanne berdeham. Berupaya menelan makanannya cepat-cepat. "Sikap apa?"
"Sikapnya... kepada Anton tadi."
"Yah, aku suka. Aku menyukai kejujuran dan keterbukaan. Sikap Pak Finn tadi cukup mengena untuk memberitahu seperti apa dirinya."
Mata Rossi menyipit. "Seperti apa?"
"Menyeramkan."
Mereka lantas terkikik bersama. Jeanne meraih minuman rasa lemon yang dibelinya di kantin. Gerakan ibu jarinya lihai membuka penutup kaleng minuman itu. Dia lantas menenggaknya. Sambil menikmati aliran air yang mengarus di tenggorokan, matanya melirik ke sisi samping kanan. Jeanne menemukan figur seseorang yang searah dengan keberadaan dirinya.
Jeanne melepas pagutan bibirnya di kaleng minuman lantas menengok siapa seseorang itu. Oh, dia adalah Finn. Berdiri di Koridor yang membelah taman sekolah. Dia memandang lurus dan tatatapannya tepat bertemu dengan Jeanne saat ini.
Astaga. Gadis itu kembali menghadap lurus ke depan—berpikir, apa betul dirinya yang tengah ditatap oleh Finn? Dia kembali memastikan. Oh, ternyata betul. Finn masih memperhatikannya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Air wajahnya datar saja, tidak menunjukkan ekspresi tertentu kecuali bahwa dirinya sedang fokus memperhatikan sesuatu. Jeanne akhirnya sedikit menarik bibir, menyapa dengan senyuman seadanya. Tetapi guru baru itu justru beranjak pergi.
***
Pukul dua lebih dua puluh. Jeanne mengangkat ekor sepedanya, berusaha mendirikan sepedanya diatas stand. Dia lantas berderap mendekati toko buku. Menyapa seorang penjaga sekaligus pemilik toko itu, "Selamat sore, Pak."
Lelaki tambun yang tengah memperbaiki kusen jendela tokonya itu mengangkat wajah. Dia menyeringai lebar. "Oh, Hai, Jeanne. Kau baru pulang sekolah?"
"Betul, Pak. Ada apa dengan kusenmu? Sudah keropos?"
Bapak itu menegakkan badannya. Dia menunjuk ke salah satu bagian atap. Atapnya tidak lagi putih, ada noda kecoklatan membekas disana. "Lihat! Atap itu bocor sejak lama. Aku tak terlalu peduli karena kalaupun bocor, bocornya berada diluar toko, bukan di dalam. Ternyata kebocoran itu membuat air rembes ke kusen jendela dan kusen ini akhirnya rapuh."
Bapak tambun itu mengangkat bahu, apalah daya. "Aku baru saja memperbaiki atapnya. Dan sekarang tinggal memperbaiki kusennya."
Jeanne terkekeh. "Wah, untung hari sedang cerah ya, Pak. Pekerjaanmu jadi mudah. Ngomong-ngomong dimana istrimu?"
Si bapak tambun menghentikan pekerjaannya. Di depan tokonya terdapat dua kursi dengan satu meja berbahan besi dan bercat putih. Disitulah kemudian si bapak tambun mendudukan diri. "Dia baru saja pulang. Ada apa, Jean?"
"Oh, aku tak ada keperluan dengannya, Pak. Hanya saja pasti segar sekali makan semangka di tengah hari yang terik ini, kan?"
Si bapak tambun tertawa. Suaranya terdengar berat dan lepas. "Betul, kau betul, Jean. Aku akan minta istriku membeli semangka jika ia sudah kembali. Jadi, apa buku kau sudah habis dibaca?"
Jeanne mengangguk. "Apa kau punya buku baru, Pak?"
"Ya, ya, aku baru saja mendapatkannya kemarin. Masuk dan lihat-lihatlah."
Jeanne menyeringai. Senang.
Toko buku ini baru ditemuinya sebulan lalu. Pak Tomi, pemiliki toko ini menjual berbagai buku: buku baru dan buku lama juga perlengkapan belajar. Hal yang memantik ketertarikan Jeanne untuk datang adalah bahwa toko ini menjual buku-buku lama. Yaitu buku terbitan lama yang didapat dari agen penerbit langsung atau dari seseorang (buku bekas). Buku-buku klasik dan sastra terbitan pertama sering Pak Tomi dapatkan untuk kemudian dijualnya di tokonya dengan harga yang terbilang murah untuk ukuran barang antik.
Tokonya tidaklah besar. Buku-buku yang dijual juga tidak sebanyak buku-buku yang dijual di toko buku di kota. Tetapi ruangannya nyaman dan bersih, rak-rak buku ditata sejajar dan hanya dalam enam baris—karena keterbatasan tempat. Buku-buku lama dan antik diletakkannya di rak yang bersebelahan dengan meja kasir. Tempat itu adalah yang paling lama Jeanne kunjungi. Dia suka berbincang mengenai buku yang dirasanya menarik dengan Pak Tomi yang duduk dibalik meja kasir.
Namun, kini Jeanne hanya seorang diri. Ada yang ingin ia tanyakan mengenai satu buku yang digenggamnya. Sayangnya Pak Tomi sedang ada pekerjaan. Jeanne mengambil posisi dengan duduk di sudut ruangan. Dia membawa satu buku bekas yang tidak disegel. Membacanya saat itu juga.
Sepuluh menit berlalu. Jeanne yakin dirinya tak bisa berhenti membaca buku ini jika tetap dilanjutkan. Menengok meja kasir, ternyata Pak Tomi sudah berada disana. Maka Jeanne segera menghampirinya.
"Pekerjaanmu sudah selesai, Pak?"
Pak Tomi mengangguk. "Sudah, sudah. Buku apa yang kau baca?"
"Pride and Prejudice. Aku tak bisa berhenti membacanya, Pak." Jeanne terkekeh.
"Ya, aku sudah tahu isinya sejak lama. Seleramu bagus, Jean."
"Ah, ya, satu buku itu. Aku ingin tahu apa cerita itu betul-betul pernah terjadi di kota kita atau hanya fiksi—"
Jeanne beranjak dua langkah ke kiri. Menapaki tepian rak di samping meja kasir. Berusaha mencari buku yang sebelumnya ia temukan. Itu dia! Buku itu dilihatnya, oh, tetapi tangan seseorang lebih dulu mengambilnya. Jeanne segera memastikan. Oh astaga. Betapa terkejutnya ia. Seseorang itu ternyata Finn, guru barunya.
Aksi Jeanne menjadi tersendat. Dan mengapa guru itu bisa-bisanya berada disini? Jeanne menelan ludah. Berusaha menyapa, "Selamat sore, Pak. Kebetulan sekali. Apa kau tertarik dengan buku itu?"
Finn mengalihkan tatapannya dari buku kepada Jeanne. Air wajah dia tetap sama: datar dan tidak ramah. Hal yang membuat Jeanne sedikit enggan dan terganggu karena sikap yang ditunjukkan Finn terbilang angkuh menyadari dirinya adalah seorang guru. "Saya sedang membacanya."
"Oh, baiklah, Pak. Saya permisi."
Jeanne berbalik dan kehilangan selera berlama-lama di toko ini. Tetapi suara guru yang tak diharapkan itu justru mengetuk bahunya. "Apa rumahmu di sekitar sini, Jean?"
"Ya, Pak."
Finn lalu mengangguk sekali. Mempersilahkan Jeanne pergi.
Pak Tomi tanpa disangka ternyata memperhatikan sejak tadi. Dia berkata pelan pada Jeanne yang wajahnya sedang suntuk, "Dia datang tepat setelah kau masuk tadi."
Jeanne menatap Pak Tomi yang dari air wajahnya berkata bahwa Finn adalah pelanggan baru di toko ini. "Dia guru baruku, Pak. Baru hari ini mengajar."
Pak Tomi mengangguk pelan-pelan. Sebetulnya ada raut bingung yang terpancar disana. Tetapi bapak tambun itu tak membahas lebih lanjut dan membiarkan Jeanne membayar bukunya. "Terimakasih, Pak. Aku pulang."
Jeanne meletakkan buku yang baru dibelinya di keranjang sepeda yang berada di depan. Sekali lirik dirinya langsung tahu bahwa Finn menuju tempat ini menggunakan sebuah mobil.
Tak lama setelah Jeanne pergi menggoes sepedanya, Finn keluar dari toko itu. Dia merasa tak bisa keluar bersamaan dengan Jeanne sebagaimana ketika ia masuk tadi. Pak Tomi memberi perhatian yang mencolok dan itu terbaca oleh Finn. Bahwa tingkahnya memperhatikan Jeanne dari jauh lantas bersikap cuek ketika dekat itu sudah tertangkap mata Pak Tomi. Finn menyadari kalau dirinya terlalu tergesa dan kurang adaptasi. Dirinya perlu sekali belajar memanipulasi dan mengambil simpati orang mulai sejak saat ini.
***
Suasana rumah Jeanne amat sangat sepi walau masih pukul tujuh. Tiada yang terdengar kecuali suara jangkrik di pekarangan. Rumahnya tidak besar dan sederhana, hanya ada dua kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi dan teras dengan halaman yang lumayan luas bersemak belukar. Seluruh jendela dan pintu sudah dikuncinya. Gadis itu hanya merebahkan diri di kamar sambil membaca buku yang dibelinya sore ini dari toko Pak Tomi.Dalam keheningan itu mendadak ada sebuah suara. Bunyinya tertebak berasal kenop pintu depan. Jeanne tinggal menunggu saat-saat dimana seseorang masuk ke dalam kemudian membuka pintu kamarnya."Jean."Benar saja. Seseorang tiba di bingkai pintu kamar Jeanne. Wanita berumur dua puluh satu dengan ransel di punggung."Oh, sudah pulang, kak." Jeanne menyelipkan pembatas buku di halaman terakhir yang dia baca lantas bangkit untuk duduk."Yah, aku bawa makanan nih. Ayo keluar." Sesaat kemudian wanita itu berlalu.Jea
Jeanne menggiring sepedanya menyusuri jalan yang padat kendaraan dan ramai oleh jejeran toko. Jalan ini adalah jalan yang biasa dilaluinya ketika hendak atau pulang dari sekolah. Jika dari rumahnya, Jeanne hanya perlu pergi keluar desa dan menyusuri jalan raya lenggang yang membelah ladang padi hingga tiba di jalan dengan kontruksi yang lebih maju: banyak gedung berlantai dua atau tiga disana, pertokoan, penjual macam-macam barang, penyedia jasa antar, dan di pertigaan itulah pusatnya: ada stasiun kereta di jalan ke arah kanan.Seperti yang dijanjikan Nino, sepeda Jeanne dengan aman ditemuinya di parkiran sekolah pagi-pagi dengan keadaan yang lebih baik. Gadis itu berucap terimakasih pada Nino yang hari ini mau menjemputnya dan sebab dia sudah membantu memperbaiki sepeda itu. "Ucapkan terimakasihku untuk temanmu itu, ya," pesan Jeanne.Itulah mengapa sepulang sekolah ini dirinya sudah kembali menendarai sepeda seorang diri. Daerah ini belum terlalu ramai. Biasany
Di lorong sekolah menuju kelasnya sekilas Jeanne seperti melihat seseorang. Dia menghentikan langkah dan menilik sejumlah gadis di tepian tangga. Tidak salah lagi. Ada Rossi disana. Apa yang sedang gadis itu lakukan? Dari gerak-gerik dan mimik gadis-gadis itu rasa-rasanya sedang ada yang tidak beres. Segera Jeanne menghampiri mereka."Wajahmu tidak usah tak mengenakan seperti itu dong," pekik salah satu gadis. Dibantu seorang teman, dirinya memojokkan Rossi dalam rasa bersalah."Ada apa?" tanya Jeanne.Rossi menegakkan tatapan menyadari adanya Jeanne. Lantas tangannya terulur memperlihatkan beberapa lembar kertas hasil print yang basah oleh air berwarna kecoklatan. Dari air wajah Rossi jelas sekali jika benda itu miliknya yang rusak disebabkan oleh kedua gadis itu."Mengapa bisa jadi seperti itu?" tanya Jeanne lebih tegas.Si gadis bernama Katherine yang diketahui Jeanne dari name tag di dadanya memberi ekspresi tak be