"Mereka sudah di hutan," lapor Biantara yang bergegas kembali ke sisi Wira dan tersenyum dingin.Perangkap sudah dipasang dengan baik. Rencana mereka sudah mulai dijalankan. Begitu Sucipto dan lainnya melewati hutan ini, kedua belah pihak akan bertemu.Hanya saja, hutan ini tidak sesederhana yang terlihat. Kini, hutan ini tidak ada bedanya dengan jaring yang menunggu ikan terperangkap."Saatnya beraksi," perintah Wira sambil melambaikan tangannya.Bukannya Wira suka menyerang secara diam-diam. Hanya saja, kerugian yang dideritanya kali ini terlalu besar. Dia tentu tidak ingin menambah kerugian sehingga memanfaatkan hutan ini untuk mencapai tujuannya. Dengan begitu, jumlah korban juga akan berkurang.Biantara mengangguk, lalu menghunuskan pedangnya dan masuk ke hutan.Wira bangkit dengan perlahan. Di situasi seperti ini, dia tentu harus menampakkan diri supaya Sucipto tidak mati penasaran."Aku ikut." Tiba-tiba, Thalia muncul dari belakang dan merangkul lengan Wira.Wira menunjuk Tengku
Wira terkekeh-kekeh menatap Tengku. Mendengar ini, Leli pun melemparkan pisaunya. Dia tahu bahwa Tengku tidak akan bisa hidup lama. Kematiannya hanya masalah waktu. Jika dibandingkan dengan Tengku, Leli lebih ingin melihat kematian Sucipto.Pada saat yang sama, di hutan. Begitu Sucipto dan lainnya masuk, mereka melihat anak panah yang memenuhi langit. Meskipun semua yang mengikuti adalah prajurit elite, mereka tetap kewalahan menghadapi serangan mendadak ini. Banyak prajurit yang tewas!Kini, 30% dari pasukan Sucipto tergeletak di atas genangan darah. Sebagian besar segera turun dari kuda dan melindungi diri dengan tubuh kuda mereka."Sialan! Ada perangkap di sini! Sebenarnya siapa yang ingin melawanku? Apa mungkin Izhar benar? Semua ini rencana Wira? Tapi, Wira ada di Kota Hanoe. Gimana mungkin dia tiba-tiba bisa kemari? Pasti ada yang salah!" seru Sucipto.Orang-orang yang mengikuti di belakang segera mengeluarkan perisai untuk melindungi Sucipto."Kalau terus bertahan di sini, kita
Thalia, Leli, dan Biantara mengikuti di belakang Wira. Anggota jaringan mata-mata di sekitar juga maju. Selain itu, masih ada para bawahan Wira yang berjaga di sekeliling kuil.Sucipto tidak ada bedanya dengan ayam yang menunggu untuk disembelih. Dia sudah dikepung. Meskipun menunggang kuda hebat, dia tetap tidak bisa melarikan diri dari kepungan ini.Ini karena para anggota jaringan mata-mata itu memiliki meriam tangan. Sepertinya, Wira bertekad untuk membunuh Sucipto hari ini.Ketika berada di dalam hutan, mereka tidak menggunakan meriam tangan dan hanya mengandalkan panah untuk menekan lawan.Namun, sekarang mereka telah menggunakan senjata yang lebih canggih. Bagaimana Sucipto dan bawahannya bisa selamat?Di situasi seperti ini, Sucipto tahu tidak ada gunanya memohon. Dia langsung melempar tombaknya, lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Aku sudah menduga semua ini. Aku nggak akan berbasa-basi karena aku memang kalah.""Kamu memang jenderal hebat. Meskipun kamu penguasa Provins
"Dasar tercela!" maki Leli sambil mengepalkan tangan dengan erat. Dia ingin sekali menghabisi Sucipto! Bagaimana bisa ada orang yang begitu tidak tahu terima kasih di dunia ini?"Kamu bisa memiliki pencapaian sekarang berkat Ratu. Ratu baru wafat, tapi kamu mendesak Pangeran Osman sampai dia harus melarikan diri, bahkan kamu hampir membunuhnya! Apa kamu nggak merasa malu pada Ratu?" bentak Leli.Suara Leli terdengar sangat nyaring. Ini pertama kalinya Wira melihat Leli seperti ini. Sepertinya, Leli benar-benar marah kali ini.Tidak ada yang perlu diherankan. Lagi pula, hubungan Leli dengan Jihan sangat dekat. Jihan yang memberi Leli anugerah sebagai wanita paling berbakat di Kerajaan Nuala. Bagaimana mungkin Leli tidak merasa sedih saat melihat Kerajaan Nuala seperti ini?Sucipto terkekeh-kekeh. Dia mendorong Biantara, lalu menghampiri Leli dan berujar, "Ratu memang baik padaku. Berkat Ratu, aku baru bisa mempunyai prestasi seperti ini.""Tapi tanpa bantuanku, Kerajaan Nuala nggak mung
"Kamu yakin mereka hanya akan mendengarkan komandomu?" tanya Wira dengan tidak acuh."Aku yakin kamu nggak mungkin bisa menghasut mereka untuk melawanku!" sahut Sucipto dengan dingin.Wira menggeleng dan berkata, "Aku tentu nggak punya kemampuan seperti itu. Aku juga nggak ingin melakukan hal seperti itu. Buang-buang waktu saja. Waktuku jauh lebih berharga dari yang kamu bayangkan.""Jadi, apa maksudmu barusan?" tanya Sucipto."Sepertinya kamu sudah melupakan Pangeran Osman ya?" tanya Wira balik.Satu pertanyaan singkat ini langsung membuat Sucipto tersadar kembali. Dia memekik, "Kamu diam-diam memancingku ke luar kota bukan cuma untuk membunuhku, tapi juga untuk merebut kekuasaan militerku!""Osman bekerja sama denganmu. Dia pasti sudah tiba di ibu kota, 'kan? Kalau tebakanku nggak salah, yang mengawalnya pasti adalah Jenderal Trenggi. Apa aku benar?"Wira mengangguk sambil tersenyum. Saat ini, Sucipto dan bawahannya tidak akan bisa ke mana pun, apalagi mengancam keselamatan Osman. Ja
Bagaimana bisa mereka mengampuni nyawa penindas yang kejam ini? Tanpa perlindungan Sucipto sekalipun, Tengku tetap akan melakukan kejahatan seperti itu. Apalagi, sudah ada yang mati karena perbuatan Tengku. Pria ini tentu harus diberi pelajaran!"Tuan Wira ...." Sucipto sama sekali tidak peduli pada sikap kedua wanita itu. Dia hanya menatap Wira dengan tatapan memohon.Wira menggeleng dan menyahut, "Aku nggak suka membinasakan seluruh keluarga, jadi aku nggak bakal menyulitkan keluargamu. Tapi, ini bukan berarti aku akan melepaskan Tengku. Dia harus mati. Kamu seharusnya tahu semua yang telah dilakukannya, 'kan?""Aku bisa menjamin selain kamu dan putramu, anggota keluarga lainnya bakal hidup damai." Hanya ini yang bisa dilakukan Wira untuk Sucipto. Dia tidak bercanda. Dia tidak mungkin membinasakan seluruh keluarga Sucipto hanya karena kesalahan seorang.Jika melakukan hal seperti itu, apa bedanya Wira dengan monster? Tidak ada yang berani melawan karena Wira yang memegang kuasa untuk
Sore hari itu, Wira dan lainnya kembali ke ibu kota. Semua berjalan lancar sesuai keinginan Wira.Di bawah bantuan Trenggi, Osman berhasil menguasai seluruh kekuasaan militer Sucipto. Kedelapan jenderal itu pun sudah berkumpul di ibu kota dan menunggu perintah dari Osman.Adapun Baris, dia masih kecil. Meskipun telah terjadi begitu banyak hal, dia tidak tahu apa pun dan hanya bermain dengan jangkrik di belakang istana."Tuan Wira, terima kasih banyak atas bantuanmu. Kalau nggak ada kamu, kami nggak bakal berhasil menstabilkan situasi secepat ini. Beri tahu saja aku kalau butuh bantuan. Aku nggak akan menolak sedikit pun," ujar Osman kepada Wira. Mereka sedang duduk di taman istana.Leli dan Thalia mengobrol di sekitar taman. Suasana di istana menjadi sangat damai sekarang.Wira melambaikan tangan sambil tersenyum. Kemudian, dia menyahut, "Aku dan ibumu berteman. Masalahmu juga masalahku. Tentunya, aku bukan sekadar membantumu, tapi membantu seluruh rakyat. Aku nggak ingin melihat merek
"Kalau begitu, aku akan mengundang mereka malam ini untuk makan bersama, lalu memberi tahu mereka untuk melupakan kejadian sebelumnya. Masalah ini nggak akan pernah diungkit lagi setelah hari ini," ucap Osman.Wira mengangguk sambil memuji dengan tersenyum. "Bagus!""Omong-omong, kamu adalah pahlawan Kerajaan Nuala sekaligus penyelamatku. Kamu harus hadir malam ini ya! Pesta ini diadakan khusus untukmu!" undang Osman yang tersenyum tulus.Wira melambaikan tangan sambil menyahut, "Aku nggak akan hadir. Aku nggak tertarik dengan pesta semacam ini. Aku ingin menikmati malam dengan istriku saja."Osman sontak terbatuk dan wajahnya memerah. Wira pun terkekeh-kekeh, lalu menghampiri Thalia. Thalia pun menatap Wira dengan heran sambil bertanya, "Kalian sudah selesai mengobrol?"Wira mengangguk dan membalas, "Sudah. Urusan selanjutnya nggak ada hubungannya dengan kita lagi. Kita akan bersenang-senang 2 hari di sini, lalu pulang ke dusun."Thalia tidak merasakan keanehan apa pun. Lagi pula, dia