"ini gila!" kata Nora.
Dirinya belum sepenuhnya percaya pada apa yang ia alami. mengulang waktu?"Aku takkan mengulangi kebodohanku dimasa lalu! Sampai kapanpun aku takkan memaafkan perbuatan mereka!" Pungkasnya seraya menggenggam selimut.Tapi dirinya bersyukur. Mungkin saja dirinya diberikan kehidupan kedua ini agar dia tak merasakan sakit lagi. Dirinya juga akhirnya mengetahui jika Gian bukanlah sosok pria yang pantas ia hargai dan pertahankanJika ia kembali di waktu saat ia wisuda, maka artinya Reyna masih berada di Negeri seberang. Ia akan pulang saat aku menikah dan bertepatan dengan kelulusan sekolahnya."Nora! Bangun!" sebuah teriakan kembali terdengar dari luar kamar."Iya, Bunda! Nora sudah bangun!" jawabnya berteriak."Aku akan segera memutuskan hubungan dengan pria bajingan itu! Jangan sampai aku kembali menjadi istrinya!" putusnya.Kemudian Nora bergegas untuk bersiap-siap menghadiri prosesi wisudanya yang diadakan di kampusnya.Beberapa saat setelah berbagai prosesi acara wisuda, Nora meminta izin pergi ke kamar mandi kepada kedua orangtuanya, dan mulai meninggalkan ruang aula.Setelah selesai membuang hajatnya, ia bercermin. Memandangi dirinya yang tampak lebih muda dan sangat cantik. "Apakah penyakitku telah sembuh?"Keningnya berkerut memikirkan sesuatu. "Hm, tapi, jika aku melawan Gian sendirian, aku pasti kalah. Aku harus bekerja sama dengan musuh Gian yang lebih kuat." ujarnya. Setelah itu, ia meninggalkan area kamar mandi.Namun, saat di depan pintu masuk aula, Nora tak melihat ada seorang pria yang akan keluar, sehingga, ia menabrak orang tersebut. Refleks ia berpegangan pada kerah jaz yang pria itu kenakan.Sesaat netra Nora bertemu tatap dengan netra berwarna abu-abu miliknya. Pria dengan wajah dingin itu menatap Nora tajam. Dengan cepat, ia melepaskan diri."Sorry," ucap Nora."Hm," Gumam pria itu sembari membenarkan Jaznya. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Nora yang terdiam."Bukankah ..., dia musuh Gian?" ucapnya teringat sesuatu.Nora telah sampai di dalam aula kembali."Selamat sayang! Bunda sangat bangga!" ucap seorang wanita paruh baya dengan girang. Wanita itu adalah Fatiya Sofia, ibunda Nora. Saat ini, rangkaian acara telah selesai."Terimakasih, Bunda! Ini semua berkat Bunda dan Ayah," balas Nora. Kini, ia sudah menjadi seorang Sarjana Desainer."Ayah juga sangat bangga, sebagai hadiah, ayah akan membangunkan sebuah butik sebagai usaha awal kamu," timpal seorang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah dari Nora. Zafran Malvino.Nora menoleh dengan binar ceria dimatanya. "Benarkah!?" katanya memastikan.Zafran mengangguk sebagai jawaban. Tanganya bergerak mengelus kepala Nora. "Benar, apapun untuk putri ayah,""Terimakasih banyak ayah! Nora sayang ayah!" Nora sangat girang. Gadis itu maju kedepan untuk memeluk ayahnya."Ayah saja yang dipeluk?" tanya Fatiya membuat Nora dan Zafran terkekeh."Kemari bunda!" ajak Nora.Dengan senyum tulusnya, Fatiya masuk kedalam pelukan suami berserta anaknya. Membuat kehangatan dalam keluarga itu tercipta."Sayang sekali adikmu tak pulang," ucap Fatiya dalam pelukan mereka yang seketika membuat suasana hati Nora menjadi buruk."Ekhm! Permisi!" ujar seseorang membuat keluarga kecil itu menyudahi acara berpelukan mereka. Kemudian menoleh serentak untuk melihat orang yang berbicara.Mata Nora membulat sesaat setelah melihat orang tersebut. Dirinya sedikit terkejut. Perlahan, rasa benci muncul didalam hatinya tanpa ia hadirkan. Luka dikehidupan sebelumnya, menjadi terasa kembali."Gian?" bukan Nora yang bertanya. Melainkan Fatiya. Memang hubungan antara Nora dengan Gian sudah diketahui oleh kedua orang tua masing-masing. Mereka juga mengetahui bahwa Gian akan menikahi Nora setelah kelulusan gadis itu.Sosok yang dipanggil sedikit tersenyum. Di tangannya terdapat sebuah buket berupa uang berwarna merah dengan jumlah yang tak bisa Nora hitung. Ukuran buket tersebut juga besar."Selamat atas gelarnya baby, ini hadiah dariku untukmu," Kata Gian sembari menyerahkan buket ditangannya.Zafran dan Fatiya tersenyum melihatnya. Sedangkan Nora, tidak ada senyuman sama sekali yang terlihat. Melihat respon Nora, Gian menajamkan pandangannya."Kau tak suka?" tanyanya datar menusuk.Nora memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Ah, seharusnya tidak perlu. Tapi, terimakasih," Jawabnya sembari menerima buket tersebut."Tak apa, ini bahkan bukan apa-apa. Setelah kau menjadi istriku, kau akan mendapatkan segalanya,"Dalam hati Nora mengumpat kepada Gian. Bagaimana bisa pria ini begitu percaya diri bahwa ia bersedia menjadi istrinya. Namun, Nora hanya tersenyum paksa menanggapinya."Ayo sebaiknya kita pulang, Nora butuh istirahat." celetuk Zafran. Entah mengapa setelah mendengar perkataan Gian, pria itu menjadi sedikit ragu akan keputusannya merestui Nora dengan Gian."Baiklah om. Biar Nora menaiki mobil saya, ada hal penting yang akan saya bicarakan setelah ini,"Nora tak bisa menolak saat tanganya sudah digenggam oleh Gian agar mengikutinya menaiki mobil pria itu....."Baiklah langsung saja. Om, tante, seperti ucapan saya waktu itu, setelah Nora lulus saya akan menikahinya. Ini adalah sebuah niat baik saya, nanti malam, saya akan datang bersama dengan kedua orang tua saya untuk meminang Nora menjadi istri saya," jelas Gian panjang lebar.Zafran dan Fatiya masih diam. Mereka berdua saling melirik lalu pandangan mereka berdua tertuju pada putri semata wayang mereka."Bagaimana sayang?" tanya Fatiya lembut.Nora yang duduk di sebelah Gian menatap kedua orangtuanya bergantian. Saat mulutnya sudah terbuka akan menjawab, tiba-tiba bayangan masa lalu saat dikehidupan sebelumnya muncul. Berbagai adegan yang membuat dadanya berdenyut sakit berputar silih berganti dalam ingatannya.Gadis itu menatap Gian yang juga sedang menatapnya. Lalu menatap Zafran dan Fatiya."Tidak!" Jawabnya sembari berdiri.Hal itu sontak membuat ketiga orang tersebut terkejut. Terlebih lagi Gian. Pria itu mengernyitkan keningnya tak suka."Kenapa?" tanyanya.Nora kembali menatap wajah tampan Gian. "Aku tak mau menjadi istrimu!" serunya."Tapi kita sudah memutuskan untuk menikah waktu itu!""Aku membatalkannya!"Orang tua Nora masih diam. Mereka terkejut sekaligus bingung dengan keputusan putri mereka yang tiba-tiba."Tenang sayang, katakan kenapa tiba-tiba kau tak mau menikah dengan Gian?" tanya Fatiya lembut.Nora menggelengkan kepalanya dengan raut ketakutan yang ketara. Bayangan saat dirinya meregang nyawa di hadapan pria yang berniat untuk menikahinya itu masih terekam jelas. Bahkan ia masih ingat bagaimana saat nyawanya ditarik paksa."Aku sudah punya pilihan." jawab Nora spontan."Apa!?" bentak Gian. Pria itu merasa tak terima."Ya! Aku sudah punya pilihan! Aku tak mau menikah denganmu!"Gian menggeram marah. "Katakan siapa!?" Serunya sambil berdiri. Refleks Nora melangkah menjauhi Gian."Beraninya kau membentak putriku!" Seru Zafran sambil menggebrak meja. Pria itu ikut berdiri dan menatap tajam Gian.Pandangan Gian beralih pada Zafran. "Persetan! Aku tak terima! Aku telah bersabar menunggu hingga anakmu itu lulus. Tetapi dengan begitu mudahnya dia tak ingin aku nikahi!" sungutnya."Kau tak bisa memaksakan kehendakmu! Jika putriku tak mau, kau harus menerimanya!""Tidak! Aku akan tetap menikahinya!" Gian masih saja bersikeras."Aku tak mau!" Teriak Nora seraya berjalan mundur."Kau harus mau!""Tidak!" Nora membalikan tubuhnya lalu berlari keluar dari ruang tamu dirumahnya ini. Gadis itu berusaha melarikan diri. Ia pikir, daripada ia dinikahi secara paksa, lebih baik ia mencari tempat persembunyian saja."Nora!" teriak Zafran dan Fatiya."Sialan!" decak Gian. Tanganya bergerak mengambil ponselnya lalu menelepon salah satu anak buahnya."Kejar kekasihku! Dapatkan dia sekarang!" bentaknya pada seseorang dibalik telepon.Setelah menutup panggilan tersebut, tanpa menghiraukan kedua orang tua Nora yang masih berdiri di seberangnya, pria itu berlari keluar dari rumah untuk mengejar Nora.....Dengan nafas tersengal-sengal, Nora masih berlari keluar dari komplek perumahannya. Bagaimana ia akan menikah dengan orang yang akan menghancurkan kehidupannya?Setelah merasa cukup jauh dan merasa tidak ada yang mengejarnya, gadis itu berhenti sejenak guna mengatur nafas.Namun, baru beberapa detik berhenti, ia langsung kembali berlari dengan kencang saat melihat sebuah mobil yang ia ketahui adalah milik Gian sedang menuju kearahnya.Nora berlari dengan sesekali menoleh kebelakang. sayangnya, ia tak terlalu memperhatikan keadaan jalan didepannya. Hingga ia tak sadar sudah keluar jalur untuk pejalan kaki.TIN! TIN! TIN!Bunyi klakson mobil memekakkan telinga Nora sehingga membuatnya berhenti tepat dimana mobil itu akan melaju. Matanya membulat saat melihat mobil yang melaju kencang kearahnya."Aku akan mati dua kali?" lirihnya putus asa.BRAK!~BRAK! Tubuh Nora ambruk sesaat setelah ia ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju. Tubuhnya terguling-guling di atas aspal. Sungguh, tubuhnya terasa remuk redam. Jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum ia memejamkan matanya, ia melihat sesosok pria tak asing yang turun dari mobil dan mengangkat tubuhnya. Pria itu menatap tajam pada sosok dalam gendongannya. Sedikit merasa kesal karena ia sudah memberikan peringatan kepada seorang gadis yang ia tabrak ini. Namun saat ia melihat dari belakang gadis ini terdapat sebuah mobil yang mengejarnya, ia akhirnya tahu sebab gadis ini berlari dengan tergesa-gesa. Tanpa pikir panjang, pria itu memasukkan tubuh Nora kedalam mobilnya. Membawa Nora bersamanya. Setelah mobilnya melaju, pandangan pria itu bertambah tajam setelah melihat banyak mobil berwarna hitam mengejarnya dari belakang. "Sial!" umpatnya. Pria itu mengendarai mobilnya dengan cepat seiring dengan bertambahnya jumlah mobil yang mengejarnya. Sesekali matanya melirik Nora untuk meli
"Apa yang sedang kalian lakukan!?" teriak sebuah suara dari pintu utama. Membuat kedua manusia berbeda jenis itu saling menjauhkan diri. Nora menoleh ke arah pintu. Di sana, terdapat seorang pria paruh baya dengan setelan jaz kantornya sedang berjalan menuju ke arahnya. Setelah sampai, pria itu duduk di sofa seberang. Menatap mereka berdua dengan tatapan mengintimidasi. Lain dengan Nora yang merasa sedikit terintimidasi dengan pria di depannya ini, pria yang duduk di sampingnya justru terlihat jengah. "Dia kekasihmu?" tanya pria tersebut dengan pandangan menelisik saat sudah duduk dengan tegap. "Buk-" "Benar Daddy! Jadi, putra kita tak menyukai sesama jenis!" omongan pria yang bernama Kenzo itu terpotong oleh sang Mommy. "Benarkah? Itu sebuah kabar yang bagus!" Ejek pria paruh baya itu seraya menyilangkan satu kakinya. "Ah, gadis manis, perkenalkan. Aku Adenna Antarez. Mommy dari Kenzo." ucap wanita itu. Kemudian ia menghampiri suaminya dengan membawa sebuah stelan baju simple
"Aku sudah menjadi istri seorang Kenzo Albar Antarez?" gumam Nora. Kini, di sebuah ballroom hotel yang disewa oleh keluarga Nora dan Kenzo, tengah diadakan sebuah pesta besar-besaran setelah berlangsungnya prosesi pernikahan antara Kenzo dan Nora. Seminggu setelah kejadian di mana Nora melarikan diri, keduanya sepakat untuk menikah secepatnya. Dan tepat di hari ini, mereka berusaha telah resmi menjadi sepasang suami istri.Kenzo, pria itu tengah dikerumuni oleh para partner bisnisnya yang hadir. Begitu juga dengan Nora yang sedang asyik bercerita dengan teman-temannya. Suasana meriah sangat terasa saat diiringi oleh musik dari penyanyi ternama yang turut diundang hadir untuk memeriahkan pesta pernikahan ini. "Kau mengatakan tak ingin cepat menikah! Tapi lihat sekarang, kau justru mendahuluiku. Saat kau tinggal bersama suamimu, aku akan sendirian nanti. Hm, Tapi, apakah kau benar-benar yakin?" tanya Angel. Ia adalah teman dekat Nora semenjak masa SMA. "Tidak apa-apa, kurasa pilihan
"Kenapa kau begitu cantik baby?" tanya Gian, sebelah alisnya terangkat. Sementara tangan pria itu berangsur mengelus pipi mulus Nora. Nora memalingkan wajahnya hanya untuk menghindari sentuhan Gian. "Lepaskan aku, berengsek!" Nora berusaha melepas ikatan tambang tebal yang melilit tubuhnya. Nahas, sekuat apa pun gerakannya tak mampu melepas jeratan. Gian tertawa mengejek seraya berjalan ke arah sofa di hadapan Nora. Lalu, ia duduk di sana dengan menyilangkan kakinya. "Berusahalah sekuat tenaga baby, paling tidak pergelangan tanganmu yang akan putus nanti," kelakarnya. Gian menatap Nora yang terduduk di atas ranjang king size miliknya. "Salahmu sendiri meninggalkanku begitu saja!" Gian mulai murka. Melihatnya Nora hanya mampu menatap pria itu penuh rasa benci. Bagaimana bisa di masa lalu dirinya begitu mencintai pria gila penuh obsesi ini? Ia tak habis pikir. "Kenapa kau membawaku kemari sialan?!" tanya Nora, emosinya memuncak. "Kenapa kata-katamu itu kasar sekali baby? S
"Mau pergi ke mana, baby?" Nora tersentak saat mendengar suara Gian berbisik di telinganya. Nora membalikkan badannya, menemukan sang mantan kekasihnya menatap tajam. "Pintar juga kau bisa terlepas." Gian terkekeh. Perlahan pria itu berjalan mendekati Nora. Jantung Nora berdegup kencang. Ia menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata yang malah di mata Gian nampak menggoda. "Dan kunci itu, kau begitu hati-hati saat mengambilnya baby," ujar Gian. Nora mengernyit. Bagaimana Gian bisa tahu? Atau jangan-jangan pria itu telah terbangun saat ia mencoba mengambil kunci tadi? Seakan mendengar racauan Nora, Gian bersuara, "Saat aku tertidur, aku kira mendengar suara seekor tikus. Ternyata memang terdapat seekor tikus kecil sedang menyelinap untuk mencuri kunci." Setelahnya Gian terkekeh. Nora mencebik, dia tak suka disamakan dengan tikus. Sementara itu, Gian kembali melangkahkan kaki mendekatinya. "Jangan mendekat!" perintah Nora. Gian tertawa. "Apakah kau t
"Sudah kukatakan kau takkan bisa terlepas dariku, baby." Gian bersuara tepat di telinga Nora, membuat tubuh Gadis itu langsung menegang. Bulu-bulu kuduknya serasa berdiri semua. Perlahan tangan Gian mulai mendekap tubuh Nora dari belakang. Lalu dengan cepat ia mengeluarkan sebuah suntikan berisi sebuah cairan bius. Jlep! Jarum suntikan itu menancap di tengkuk Nora. Nora bisa merasakan sesuatu mulai mengalir dalam tubuhnya. Dalam hitungan detik tubuhnya ambruk tak sadarkan diri. Selepasnya, Gian langsung membawa Nora dalam gendongannya. "Kau hanya milikku baby," gumam Gian. Pria itu menatap wajah cantik Nora dengan jarak yang sangat dekat. "Pergi ke markas sekarang!" titahnya pada seluruh anak buah yang ada dan. Mereka mengangguk serempak dan segera menjalankan tugas. Menyiapkan mobil sedan hitam dan mengendarainya menuju markas. Begitu pula dengan Gian, ia memasukkan Nora ke dalam mobilnya dan mendudukkan tubuhnya di kursi samping kemudi. Kala Gian memasangkan sabuk p
"Awss, di mana aku?" Nora meringis. Ia baru saja terbangun dan mendapati kaki serta tangan yang telah terikat sebuah rantai. Sementara posisi tubuhnya terlentang membentuk huruf X. Pandangannya menjelajah ke sekeliling ruangan, nampak desain serba coklat keemasan. Kamarnya terlihat nyaman untuk dihuni. Namun, tidak untuk Nora. "Kenapa aku bisa berada disini?" lirih Nora, "diikat lagi?" lanjutnya setelah menyadari bahwa kini ia disandera kembali oleh Gian. "Dasar obsesi gila!" maki Nora. Dia mencoba menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Nahas, percuma. Tidak ada yang berubah kecuali kulitnya terasa panas dan perih akibat tergesek rantai besi. Nora tak menyerah. Ia terus berusaha menggerakkan tangan dan kakinya berharap setidaknya rantai yang mengikatnya akan terputus. Gerakan itu menimbulkan suara gemerincing dan mengakibatkan pergelangannya semakin terluka. Nora menghela napas kasar. Dia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Usahanya gagal dan sia-s
"Apa katamu!?" Deg. Nora tersentak. Tubuhnya menegang kaku. Dengan cepat ia menoleh ke arah pintu. Saat telah melihat siapa yang berada di dekat pintu, matanya membulat ketika melihat orang yang ia kenali tengah berdiri di sana. Perlahan Nora menetralkan napasnya. Lalu, berjalan pelan menuju ke arah pintu. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya. Saat mendengar suara Nora, sontak saja dua orang yang tengah asyik berdebat seketika terhenti. Mereka dengan serempak melihat pada Nora. "Nyonya!" seru mereka berdua. "Sstt!" Nora menempelkan jari telunjuknya di bibir. Ia memberi kode agar mereka berdua masuk ke dalam kamar. Setelah menengok ke sekeliling memastikan keadaan telah aman, mereka segera mengikuti perintah Nora. Klek! Nora menutup pintu dan menguntungkan. Setelah memasuki kamar, dua orang yang ikut masuk menghela napas lega. Mereka juga melepaskan masker yang menutupi wajah. "Syukurlah kami tak ketahuan Nyonya," ucap salah satu dari dua orang berjenis kelamin la
"Hahaha!" Nora tertawa terbahak-bahak dengan menatap Reyna tajam. Ekspresi bengis terpampang jelas di wajah cantiknya. "Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu, Reyna,"Di depan Reyna, Nora berdiri tegak. Gadis itu mengambil sebuah botol berisi racun di dalam saku jaketnya. Sorot mata Nora tampak dingin, seperti cahaya remang yang memantul di permukaan cairan berbahaya itu. Dia terlihat tak berperasaan, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Minum ini, Reyna," perintahnya dengan suara datar, seolah mengabaikan rasa takut yang terpancar dari Reyna. "Jika kau memang menyesal, buktikan padaku."Reyna menatap botol itu, mulutnya terasa kering. "Kak, tolong… jangan lakukan ini!" ucapnya, suara penuh kepanikan. "Kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain. Ingat Kak! Kita pernah menjadi saudara!"Nora mengangkat bahu, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saudara? Aakah kau benar-benar percaya bahwa kita masih bisa menjadi saudara lagi setelah semua yang kau lak
Nora menatap ke arah hutan yang gelap, napasnya teratur namun penuh semangat. "Waktunya telah tiba. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini, Kenzo." "Ayo kita lakukan. Jika Reyna ada di sini, kita akan menemukannya."Nora merasakan getaran di sakunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Ayah di layar. Dengan sedikit keraguan, ia mengangkat telepon."Nora, kami semua mendukungmu," suara Ayahnya terdengar tenang namun tegas, "Reyna telah melampaui batas. Dia tidak hanya mengkhianati kita, tapi juga merusak kehormatan keluarga. Kau tahu apa yang harus dilakukan."Suara Bundanya kemudian terdengar, lembut namun penuh kepastian, "Kami percaya padamu, Nak. Ini bukan lagi soal pribadi, tapi soal keluarga. Jika kau ragu, ingatlah betapa Reyna telah membuat kita terluka."Nora menggenggam ponselnya lebih erat, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Kenzo. "Ayah dan Bunda telah berbicara. Semua mendukung kita," katanya, matanya berbinar dengan tekad yang baru.Kenzo mengangg
"Ken!" Nora menatap Kenzo yang juga tengah menatapnya saat ini. Gadis itu menyibak rambutnya yang berkeringat. Keheningan di dalam markas segera pecah menjadi sorakan kegembiraan. Para anggota mafia, yang sebelumnya tegang menyaksikan pertarungan, kini bersorak merayakan kemenangan Nora atas Gian. Suara tawa dan teriakan penuh semangat menggema di seluruh ruangan, menandakan bahwa mereka telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini menjadi ancaman bagi mereka."Untuk Nyonya Nora!" teriak salah satu anggota, mengangkat senjata dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorakan lainnya menyusul, menyebar dengan cepat seperti api. "Dia telah menyelamatkan kita semua!"Kenzo berdiri di samping Nora, wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Ia mengamati sekeliling, menyaksikan bagaimana para anggotanya merayakan keberhasilan itu. "Kita tidak boleh berpuas diri!”" Kenzo mengangkat suaranya di atas keributan. "Kemenangan ini bukanlah akhir. Masih ada tugas penting yang menunggu
"Mulai sekarang, kita bergerak. Temukan Reyna, hidup atau mati."Para anggota mafia mulai bergerak cepat, mengambil posisi dan menjalankan perintah. Nora berdiri di samping Kenzo, matanya bersinar penuh ambisi dan kebencian. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah akhir dari perseteruannya dengan Reyna. Tapi kali ini, ia tidak hanya akan menang—ia akan memastikan Reyna tak pernah kembali.Ketegangan di dalam markas Kenzo tiba-tiba memuncak ketika suara deru mesin mobil dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Pintu masuk utama dibuka dengan paksa, dan rombongan mafia yang dipimpin oleh Gian melangkah masuk dengan agresif. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah tertutup oleh masker, menunjukkan bahwa mereka datang untuk bertarung. Gian, sosok tinggi besar dengan tatapan menakutkan, berdiri di depan kelompoknya. Senyumnya penuh tantangan saat ia melihat ke arah Kenzo dan anggota mafia yang berkumpul. "Kenzo," ia menyapa dengan nada mengejek. "Dengar, malam ini aku akan mengambil kemb
"Ck! Aku takkan membiarkan Nora hidup lebih lama! Besok. Yah, Besok. Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melenyapkannya dan merebut Kak Kenzo!" .... Di sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, markas mafia yang dipimpin oleh Kenzo dipenuhi dengan para anggotanya yang berkumpul di tengah malam. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya kekuningan, menerangi wajah-wajah tegang dan bersiap. Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi peta, dokumen, dan foto-foto Reyna. Suara berisik dari para anggota mafia yang berbicara dan mengasah senjata memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang yang tak terelakkan. Kenzo berdiri di depan semua orang, tubuhnya tegak, mata tajamnya memandang serius pada anak buahnya yang berjumlah puluhan. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dingin, penuh ketegasan. Rambut hitamnya tersisir rapi, namun aura di sekelilingnya memancarkan bahaya yang tak bisa disangkal. Di tangannya, sebuah pistol berlapis perak tergenggam erat. "Reyna tidak bis
Nora berhenti sejenak di depan pintu, memandang Sam dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu baik-baik saja, Sam?"Sontak, Sam mengangukkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku baik-baik saja, Nyonya," jawabnya. "Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi, kita akan melakukan pencarian untuk menemukan jalang itu. Kita akhiri saja semuanya. Aku yakin. Semua anggota keluarga kita akan merasa tenang jika benalu itu lenyap." Kenzo menajamkan matanya. .... Dalam kegelapan malam, Reyna berlari tanpa henti, menerobos ranting-ranting kasar dan daun-daun lebat di hutan yang seolah mencoba menahannya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi karena gemetar perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Tangan kirinya masih berlumuran darah Hercules, pria yang pernah begitu mencintainya. Nafasnya berat, namun ia terus berlari, seolah mencoba melarikan diri dari bayang-bayang perbuatan yang baru saja dilakukannya."Tidak ada jalan kembali," gumamnya dalam hati, matanya membara
"Astaga..." "Nora!?" seru suara yang tidak asing dari belakang membuat gadis itu menolehkan kepalanya dengan cepat untuk melihat sosok yang telah memanggilnya. "Kenzo?" Nora menatap suaminya yang tiba-tiba sudah berada di sini bersama Sam. Kedua pria itu mendekat dan melihat Hercules yang masih tergeletak di atas lantai. Kenzo langsung membawa tubuh Nora ke dalam pelukannya dengan erat untuk menumpahkan rasa khawatirnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo penuh kekhawatiran. Nora menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi, pria ini." Rossa menunjuk tubuh Hercules dengan tatapan dingin. "Sam, cek keadaannya!" Aroma darah yang samar menyeruak di udara, membuat perut Sam terasa mual. Hercules tergeletak tak bergerak di lantai, genangan darah tampak mulai mengering di sekitarnya.Sam mendekati tubuh itu dengan hati-hati. Wajah Hercules pucat, matanya terbuka kosong, tidak lagi bernafas. Sam berlutut, memeriksa denyut nadinya di leher, tapi seperti yang sudah ia duga, tidak ada
Sesaat kemudian, wajah Kenzo terkena lampu sorot dari sebuah mobil yang berjalan mendekat. Tak lama, mobil itu berhenti di dekatnya dan terlihatlah siapa yang mengemudikan mobil tersebut. "Tuan!" seru Sam dari dalam mobil yang mana hal itu membuat Kenzo langsung berdiri dan bergerak cepat masuk ke dalam mobil. Setelah Kenzo masuk, mobil pun kembali melaju dengan cepat membelah jalanan yang terlihat cukup senggang. ....Rossa, dengan gerak langkah hati-hati, menelusuri lorong sempit menuju apartemen Hercules yang telah dirinya ketahui. Cahaya bulan yang redup dari jendela di ujung lorong cukup memberikan penerangan baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa dendam dan sedikit kekalutan mengisi udara di sekitarnya. Dia tahu bahwa Reyna dan pria itu sedang ada di dalam. Langkahnya semakin pelan saat dia mendekati pintu apartemen.Dengan cekatan, Rossa menyelipkan kunci cadangan yang berhasil ia peroleh dari mencari ke sekitar area pintu dan ternyata kunci itu berada
Di sisi lain, Kenzo yang berada di dalam kamar mengerjapkan matanya ketika tangannya meraba-raba ke samping dan tidak menemukan keberadaan sang istri di sampingnya. "Nora!?" panggil Kenzo dengan suara keras. "Dimana dia?" Pria itu bangun dari tidurnya dan beranjak duduk. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan sang Istri. Pintu kamar tertutup rapat. Pintu kamar mandi pun sama. Kenzo turun dari atas ranjang dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Saat ini, Kenzo telah keluar dari dalam kamar. Suasana rumah yang sepi seketika menyambutnya. Tanpa memikirkan penghuni lain akan merasa terganggu atau tidak, pria itu akhirnya berteriak. "Nora!" panggilnya yang mana hal itu membuat suaranya menggema di seluruh penjuru rumah. Kenzo dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada istrinya saat ini, mengingat baru saja mereka telah mengalami insiden mengerikan di area villa tersebut. Pria itu tidak tahu sa