"Apa yang sedang kalian lakukan!?" teriak sebuah suara dari pintu utama. Membuat kedua manusia berbeda jenis itu saling menjauhkan diri.
Nora menoleh ke arah pintu. Di sana, terdapat seorang pria paruh baya dengan setelan jaz kantornya sedang berjalan menuju ke arahnya. Setelah sampai, pria itu duduk di sofa seberang. Menatap mereka berdua dengan tatapan mengintimidasi.Lain dengan Nora yang merasa sedikit terintimidasi dengan pria di depannya ini, pria yang duduk di sampingnya justru terlihat jengah."Dia kekasihmu?" tanya pria tersebut dengan pandangan menelisik saat sudah duduk dengan tegap."Buk-""Benar Daddy! Jadi, putra kita tak menyukai sesama jenis!" omongan pria yang bernama Kenzo itu terpotong oleh sang Mommy."Benarkah? Itu sebuah kabar yang bagus!" Ejek pria paruh baya itu seraya menyilangkan satu kakinya."Ah, gadis manis, perkenalkan. Aku Adenna Antarez. Mommy dari Kenzo." ucap wanita itu. Kemudian ia menghampiri suaminya dengan membawa sebuah stelan baju simple untuk Nora. Setelah menyerahkan pakaian itu dan diterima baik oleh Nora, ia duduk di samping suaminya."Dan ini," Adenna merangkul lengan pria paruh baya tersebut. "Radhika Antarez. Daddy Kenzo," lanjutnya.Nora menganggukan kepalanya dan tersenyum paksa. Sejujurnya dia tengah merasa bingung harus merespons seperti apa."Kau apakan gadis ini Ken?" tanya Radhika tegas.Kenzo duduk dengan tegap. "Aku menabraknya." jawabnya.Pandangan Radhika beralih pada Nora. "Siapa nama panjangmu?" tanyanya."Ellenora Arabelle Laurelyn, om." jawab Nora."Ellenora? Kau putri Zafran?" tanya Radhika memastikan.Sesaat Nora bingung bagaimana Radhika bisa tahu. "Benar om," jawabnya. "Bagaimana om bisa tahu?""Wah, berarti kau putri dari Fatiya bukan?" sambung Adenna. Nora mengangguk lagi."Ah, kami berteman baik dengan mereka. Kebetulan kami baru saja pulang dari luar Negeri. Jadi, kami belum sempat berkabar dengan mereka berdua. Tak disangka, kau sudah tumbuh besar," kata Adenna.Nora terkejut mendengarnya. Ia juga tak menyangka kepergiannya akan mempertemukannya dengan teman kedua orang tuanya. Diam-diam Nora bersyukur akan hal itu."Jangan dipercaya," celetuk Kenzo. Nora menoleh dengan tatapan bingung."Aku masih normal," lanjutnya yang membuat Nora seketika mengerti apa maksud pria ini. Gadis itu menghela nafas."Bisa tidak, jika berbicara jangan setengah-setengah," ucap Nora. Gian hanya menggelengkan kepalanya.Adenna hanya tersenyum melihat sebuah interaksi dihadapannya. "Dia memang seperti itu Nora. Persis dengan suami tante. Untung saja, sekarang sudah lebih baik." katanya."Jadi, Daddy sudah memutuskan. Kau akan menikah dengan Nora, Kenzo." ujar Radhika.Dua orang dihadapinya ini menatap Radhika dengan pandangan tak terima."Daddy beri kamu waktu berpikir sebentar. Kau tahu apa konsekuensinya Kenzo. Sekarang, Daddy akan membawa Mommy untuk sebuah urusan." Setelah mengatakan itu, Radhika beranjak diikuti oleh Adenna yang hanya tersenyum kepada mereka berdua.Hening. Tidak ada yang membuka suara terlebih dahulu setelah kepergian Radhika dan Adenna."Jadi, bagaimana?" tanya Kenzo memecah keheningan.Nora memegang kepalanya yang terasa pusing. "Bagaimana apanya?" ia balik bertanya."Pernikahan." jawab Kenzo dingin."Aku tak tahu."Nora menghela nafas. "Jika boleh tahu, apa konsekuensi yang tadi Daddymu katakan?"Kenzo menoleh sesaat. "Aku harus menikah besok." ia menjeda. "Dengan gadis pilihan mereka." lanjutnya membuat Nora terkejut."Besok?" tanyanya tak percaya. Kenzo mengangguk.Kemudian gadis itu juga terdiam menerawang hal-hal yang telah lalu. Tentang bagaimana nasibnya di masa lalu dan tentang Gian yang akan menikahinya secara paksa. Sungguh Nora tak menginginkan hal itu terjadi.Dirinya masih ingin membalaskan dendam masa lalunya. Ia pikir, lebih baik menikah dengan Kenzo saja jika begitu. Ini adalah sebuah jalan pintas agar selamat dari Gian."Jika boleh jujur, aku sangat membenci Gian." ucap Nora lalu menyenderkan punggungnya. Pandangannya melihat ke arah langit-langit ruangan.Kenzo mendengarkan. Namun, ia belum memperlihatkan reaksi apapun."Aku sangat-sangat membencinya hingga rasanya aku ingin melenyapkannya! Sangat tak sudi aku menjadi istrinya." lanjut Nora. "Dan ..., kau mengenalnya bukan?"Pria itu mengangguk sebagai jawaban. "Dugaanku benar. Kau salah satu musuhnya kan? Tapi, setahuku, tak ada yang mau berteman dengan Gian karena ia seorang Mafia. Identitasnya juga jarang di ketahui banyak orang. Justru orang-orang yang mengenalnya itu kebanyakan adalah musuhnya. Musuh yang ingin menjatuhkannya. Jadi jika kau mengenalnya maka ...."Nora menoleh cepat pada Kenzo. Tanganya bergerak mencengkram kerah jaz yang pria itu kenakan seraya menatapnya tajam penuh kecurigaan."Kau juga seorang Mafia!?" tanyanya histeris. "Katakan! Siapa nama panjangmu!" tekan Nora dengan tatapan mengintimidasi.Sedangkan yang ditatap hanya balik menatap datar. "Kenzo Albar Antarez." jawabnya datar.Refleks Nora melepaskan cengkeramannya. Dan menutup mulutnya tak menyangka."Kau musuh Gian yang membunuh Moiz!?" tanyanya lagi. Kenzo menaikkan sebelah alisnya seraya berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk.Nora tahu tentang penyerangan yang membuat Gian amat membenci Kenzo. Di masa malu, pria itu telah melenyapkan anak buah kesayangan Gian. Sehingga, terjadi permusuhan sampai sekarang.Nora terdiam sesaat. Berbagai rencana balas dendam yang telah ia susun rapi dan bingung akan memulainya dari mana kini mulai menemukan sebuah jalan. Ia tak rela jika Gian dan Reyna akan hidup tenang. Ia seperti mendapatkan pencerahan dari aksi melarikan dirinya ini.Senyum sinis tersungging di bibirnya. Hal itu tak luput dari perhatian Kenzo. Pria itu sedari tadi mengamati berbagai ekspresi yang ditunjukkan oleh Nora.Gadis itu menatap Kenzo dengan senyum licik. "Apakah kau menyukai gadis yang akan menikah denganmu itu?" tanyanya."Tentu tidak!""Kau mengenalnya?""Tidak!"Nora semakin tersenyum licik hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit. "Lebih cantik aku atau dia?""Tentu dirimu," jawab Kenzo refleks. Seketika ia menyesali apa yang telah ia katakan.Nora tertawa senang. "Jadi, Ayo menikah!" Ajak Nora. Kedua tangan gadis itu menyentuh rahang Kenzo dan menariknya. membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja.Kenzo tak habis pikir. Baru kali ini ada seorang gadis yang berani berperilaku seperti ini kepadanya. Pasalnya, ia adalah seorang Mafia terkejam yang paling ditakuti sehingga mempunyai banyak saingan. Namun, apa yang Nora lakukan ini tak menunjukan tanda ketakutan sedikitpun."Kita buat suatu kesepakatan!" ucap Nora. Ia akan memanfaatkan situasi yang terjadi sebaik mungkin. "Bantu aku membalaskan dendam pada pria bajingan itu. Dan, kau menikah denganku. Lalu kau akan terhindar dari gadis jelek itu,""Ini tak merugikan siapapun. Kita saling menguntungkan. Terlebih, kedua orang tua kita sudah saling mengenal. Jadi, ini sangat memudahkan kita," lanjut Nora.Kenzo masih terdiam. Ia paham akal licik gadis dihadapannya ini. Ia pikir tak rugi juga jika ia menyetujuinya. Namun, pandangannya justru tertuju pada bibir gadis ini yang sangat menguji jiwa lelakinya."Aku juga akan membantumu untuk menyingkirkan pria bajingan itu. Jadi, bagaimana?" Tangan Nora bergerak mengusap lembut rahang Kenzo. Entah apa yang dilakukannya saat ini.Dipikirannya, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Seingatnya juga, Kenzo ini adalah seorang pengusaha kaya raya yang mempunyai aset tak terhingga. Hal itu semakin membuatnya bertekad harus mendapatkan Kenzo.Kenzo terpejam sesaat dan memandang Nora dingin. Tanganya terangkat meraih kepala gadis pemberani ini.Dalam hati sebenarnya Nora sedikit gugup. Terlebih saat melihat tangan Kenzo terangkat ia menjadi menerka-nerka, apakah ia akan ditampar karena lancang? Atau, ia akan dipukul?Nora memejamkan matanya saat merasakan telapak tangan Kenzo meraih tengkuknya.Cup!Mata Nora membulat sempurna. Hingga sudah sepuluh detik Kenzo masih terdiam dengan menempelkan bibir pria itu di bibirnya.Nora mendorong dada bidang Kenzo dan menatapnya horor. "Kau!?"Kenzo tersenyum miring seraya menaikkan sebelah alisnya. "kenapa?" ucapnya. Ia menjilat bibirnya dan mengecap rasa yang tertinggal. "Manis," katanya."Kau gila! Ciuman pertamaku!" ucap Nora merasa tak terima. Ia bersiap untuk menjauh dari Kenzo namun pria itu malah meraih pinggangnya dan merapatkan tubuh mereka.Mereka saling menatap sejenak. Netra abu-abu milik Kenzo menembus dalam netra amber milik Nora. Saling menerawang dengan pikiran masing-masing."Ayo menikah denganku," kata Kenzo."Aku sudah menjadi istri seorang Kenzo Albar Antarez?" gumam Nora. Kini, di sebuah ballroom hotel yang disewa oleh keluarga Nora dan Kenzo, tengah diadakan sebuah pesta besar-besaran setelah berlangsungnya prosesi pernikahan antara Kenzo dan Nora. Seminggu setelah kejadian di mana Nora melarikan diri, keduanya sepakat untuk menikah secepatnya. Dan tepat di hari ini, mereka berusaha telah resmi menjadi sepasang suami istri.Kenzo, pria itu tengah dikerumuni oleh para partner bisnisnya yang hadir. Begitu juga dengan Nora yang sedang asyik bercerita dengan teman-temannya. Suasana meriah sangat terasa saat diiringi oleh musik dari penyanyi ternama yang turut diundang hadir untuk memeriahkan pesta pernikahan ini. "Kau mengatakan tak ingin cepat menikah! Tapi lihat sekarang, kau justru mendahuluiku. Saat kau tinggal bersama suamimu, aku akan sendirian nanti. Hm, Tapi, apakah kau benar-benar yakin?" tanya Angel. Ia adalah teman dekat Nora semenjak masa SMA. "Tidak apa-apa, kurasa pilihan
"Kenapa kau begitu cantik baby?" tanya Gian, sebelah alisnya terangkat. Sementara tangan pria itu berangsur mengelus pipi mulus Nora. Nora memalingkan wajahnya hanya untuk menghindari sentuhan Gian. "Lepaskan aku, berengsek!" Nora berusaha melepas ikatan tambang tebal yang melilit tubuhnya. Nahas, sekuat apa pun gerakannya tak mampu melepas jeratan. Gian tertawa mengejek seraya berjalan ke arah sofa di hadapan Nora. Lalu, ia duduk di sana dengan menyilangkan kakinya. "Berusahalah sekuat tenaga baby, paling tidak pergelangan tanganmu yang akan putus nanti," kelakarnya. Gian menatap Nora yang terduduk di atas ranjang king size miliknya. "Salahmu sendiri meninggalkanku begitu saja!" Gian mulai murka. Melihatnya Nora hanya mampu menatap pria itu penuh rasa benci. Bagaimana bisa di masa lalu dirinya begitu mencintai pria gila penuh obsesi ini? Ia tak habis pikir. "Kenapa kau membawaku kemari sialan?!" tanya Nora, emosinya memuncak. "Kenapa kata-katamu itu kasar sekali baby? S
"Mau pergi ke mana, baby?" Nora tersentak saat mendengar suara Gian berbisik di telinganya. Nora membalikkan badannya, menemukan sang mantan kekasihnya menatap tajam. "Pintar juga kau bisa terlepas." Gian terkekeh. Perlahan pria itu berjalan mendekati Nora. Jantung Nora berdegup kencang. Ia menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata yang malah di mata Gian nampak menggoda. "Dan kunci itu, kau begitu hati-hati saat mengambilnya baby," ujar Gian. Nora mengernyit. Bagaimana Gian bisa tahu? Atau jangan-jangan pria itu telah terbangun saat ia mencoba mengambil kunci tadi? Seakan mendengar racauan Nora, Gian bersuara, "Saat aku tertidur, aku kira mendengar suara seekor tikus. Ternyata memang terdapat seekor tikus kecil sedang menyelinap untuk mencuri kunci." Setelahnya Gian terkekeh. Nora mencebik, dia tak suka disamakan dengan tikus. Sementara itu, Gian kembali melangkahkan kaki mendekatinya. "Jangan mendekat!" perintah Nora. Gian tertawa. "Apakah kau t
"Sudah kukatakan kau takkan bisa terlepas dariku, baby." Gian bersuara tepat di telinga Nora, membuat tubuh Gadis itu langsung menegang. Bulu-bulu kuduknya serasa berdiri semua. Perlahan tangan Gian mulai mendekap tubuh Nora dari belakang. Lalu dengan cepat ia mengeluarkan sebuah suntikan berisi sebuah cairan bius. Jlep! Jarum suntikan itu menancap di tengkuk Nora. Nora bisa merasakan sesuatu mulai mengalir dalam tubuhnya. Dalam hitungan detik tubuhnya ambruk tak sadarkan diri. Selepasnya, Gian langsung membawa Nora dalam gendongannya. "Kau hanya milikku baby," gumam Gian. Pria itu menatap wajah cantik Nora dengan jarak yang sangat dekat. "Pergi ke markas sekarang!" titahnya pada seluruh anak buah yang ada dan. Mereka mengangguk serempak dan segera menjalankan tugas. Menyiapkan mobil sedan hitam dan mengendarainya menuju markas. Begitu pula dengan Gian, ia memasukkan Nora ke dalam mobilnya dan mendudukkan tubuhnya di kursi samping kemudi. Kala Gian memasangkan sabuk p
"Awss, di mana aku?" Nora meringis. Ia baru saja terbangun dan mendapati kaki serta tangan yang telah terikat sebuah rantai. Sementara posisi tubuhnya terlentang membentuk huruf X. Pandangannya menjelajah ke sekeliling ruangan, nampak desain serba coklat keemasan. Kamarnya terlihat nyaman untuk dihuni. Namun, tidak untuk Nora. "Kenapa aku bisa berada disini?" lirih Nora, "diikat lagi?" lanjutnya setelah menyadari bahwa kini ia disandera kembali oleh Gian. "Dasar obsesi gila!" maki Nora. Dia mencoba menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Nahas, percuma. Tidak ada yang berubah kecuali kulitnya terasa panas dan perih akibat tergesek rantai besi. Nora tak menyerah. Ia terus berusaha menggerakkan tangan dan kakinya berharap setidaknya rantai yang mengikatnya akan terputus. Gerakan itu menimbulkan suara gemerincing dan mengakibatkan pergelangannya semakin terluka. Nora menghela napas kasar. Dia menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Usahanya gagal dan sia-s
"Apa katamu!?" Deg. Nora tersentak. Tubuhnya menegang kaku. Dengan cepat ia menoleh ke arah pintu. Saat telah melihat siapa yang berada di dekat pintu, matanya membulat ketika melihat orang yang ia kenali tengah berdiri di sana. Perlahan Nora menetralkan napasnya. Lalu, berjalan pelan menuju ke arah pintu. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya. Saat mendengar suara Nora, sontak saja dua orang yang tengah asyik berdebat seketika terhenti. Mereka dengan serempak melihat pada Nora. "Nyonya!" seru mereka berdua. "Sstt!" Nora menempelkan jari telunjuknya di bibir. Ia memberi kode agar mereka berdua masuk ke dalam kamar. Setelah menengok ke sekeliling memastikan keadaan telah aman, mereka segera mengikuti perintah Nora. Klek! Nora menutup pintu dan menguntungkan. Setelah memasuki kamar, dua orang yang ikut masuk menghela napas lega. Mereka juga melepaskan masker yang menutupi wajah. "Syukurlah kami tak ketahuan Nyonya," ucap salah satu dari dua orang berjenis kelamin la
Seketika, mereka bertiga menegang saat mendengar suara Gian dari luar. Meski panik mereka tetap berusaha tidak menimbulkan suara. Nora memberikan kode agar Niel dan Zi bersembunyi, sementara Nora segera berjalan menuju pintu. Klek! Nora membuka kunci dan membuka pintunya sedikit. Terlihat Gian yang tengah berdiri di sana. Nora menyembulkan kepalanya melongok keluar. "Gian?" panggilnya. "Kau kenapa baby?" Gian yang hendak melangkah memasuki kamar di hentikan oleh Nora. "Jangan masuk dulu Gian! Em .... aku tengah membersihkan diri tadi dan belum sempat berganti baju." Nora beralasan. Gian justru menyeringai senang. "Baguslah aku akan masuk saja." Tubuhnya bergerak membuka pintu. Namun, Nora tetap menahannya. "E-eh! Gian tunggulah sebentar, kau tak ingin melihatku memakai lingerie merah di dalam lemari itu?" goda Nora dengan terpaksa. Matanya mengedip dengan genit. "Tenang saja, aku takkan melarikan diri seperti dalam pikiranmu itu," lanjutnya. Gian terdiam menimban
"Cuih!" Gian meludahkan wine dari dalam mulutnya. Hal itu sontak membuat Nora tersentak. Dalam pikirannya, apakah Gian telah mengetahui ia mencampurkan sesuatu ke dalam wine yang diminumnya? Nora menatap Gian dengan pandangan bertanya yang di balas tatapan intens dari Gian. "Kenapa?" tanya Nora. Terdengar napas Gian memburu dengan dada naik turun seperti menahan sesuatu. Pria itu mengusap bibirnya yang terdapat sisa-sisa wine. "Aku sudah tak tahan," jawab Gian disertai suara geraman seakan menahan sesuatu. Nora mengernyitkan dahinya bingung. "Ayo!" Gian tiba-tiba saja menarik tangan Nora. Nora yang tak siap pun, tak bisa menghindari tangan Gian yang mencekal lengannya. Prah! Gelas di tangan Nora jatuh dan hancur menjadi kepingan kecil. Itu disebabkan oleh sentakan Gian yang menarik tangannya. "Apa maksudmu?!" tanya Nora panik. Gian tak menjawab dan langsung menyeret Nora memasuki kamar. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan tubuh Nora di atas ranjang. Nora m
"Hahaha!" Nora tertawa terbahak-bahak dengan menatap Reyna tajam. Ekspresi bengis terpampang jelas di wajah cantiknya. "Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu, Reyna,"Di depan Reyna, Nora berdiri tegak. Gadis itu mengambil sebuah botol berisi racun di dalam saku jaketnya. Sorot mata Nora tampak dingin, seperti cahaya remang yang memantul di permukaan cairan berbahaya itu. Dia terlihat tak berperasaan, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Minum ini, Reyna," perintahnya dengan suara datar, seolah mengabaikan rasa takut yang terpancar dari Reyna. "Jika kau memang menyesal, buktikan padaku."Reyna menatap botol itu, mulutnya terasa kering. "Kak, tolong… jangan lakukan ini!" ucapnya, suara penuh kepanikan. "Kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain. Ingat Kak! Kita pernah menjadi saudara!"Nora mengangkat bahu, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saudara? Aakah kau benar-benar percaya bahwa kita masih bisa menjadi saudara lagi setelah semua yang kau lak
Nora menatap ke arah hutan yang gelap, napasnya teratur namun penuh semangat. "Waktunya telah tiba. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini, Kenzo." "Ayo kita lakukan. Jika Reyna ada di sini, kita akan menemukannya."Nora merasakan getaran di sakunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Ayah di layar. Dengan sedikit keraguan, ia mengangkat telepon."Nora, kami semua mendukungmu," suara Ayahnya terdengar tenang namun tegas, "Reyna telah melampaui batas. Dia tidak hanya mengkhianati kita, tapi juga merusak kehormatan keluarga. Kau tahu apa yang harus dilakukan."Suara Bundanya kemudian terdengar, lembut namun penuh kepastian, "Kami percaya padamu, Nak. Ini bukan lagi soal pribadi, tapi soal keluarga. Jika kau ragu, ingatlah betapa Reyna telah membuat kita terluka."Nora menggenggam ponselnya lebih erat, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Kenzo. "Ayah dan Bunda telah berbicara. Semua mendukung kita," katanya, matanya berbinar dengan tekad yang baru.Kenzo mengangg
"Ken!" Nora menatap Kenzo yang juga tengah menatapnya saat ini. Gadis itu menyibak rambutnya yang berkeringat. Keheningan di dalam markas segera pecah menjadi sorakan kegembiraan. Para anggota mafia, yang sebelumnya tegang menyaksikan pertarungan, kini bersorak merayakan kemenangan Nora atas Gian. Suara tawa dan teriakan penuh semangat menggema di seluruh ruangan, menandakan bahwa mereka telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini menjadi ancaman bagi mereka."Untuk Nyonya Nora!" teriak salah satu anggota, mengangkat senjata dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorakan lainnya menyusul, menyebar dengan cepat seperti api. "Dia telah menyelamatkan kita semua!"Kenzo berdiri di samping Nora, wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Ia mengamati sekeliling, menyaksikan bagaimana para anggotanya merayakan keberhasilan itu. "Kita tidak boleh berpuas diri!”" Kenzo mengangkat suaranya di atas keributan. "Kemenangan ini bukanlah akhir. Masih ada tugas penting yang menunggu
"Mulai sekarang, kita bergerak. Temukan Reyna, hidup atau mati."Para anggota mafia mulai bergerak cepat, mengambil posisi dan menjalankan perintah. Nora berdiri di samping Kenzo, matanya bersinar penuh ambisi dan kebencian. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah akhir dari perseteruannya dengan Reyna. Tapi kali ini, ia tidak hanya akan menang—ia akan memastikan Reyna tak pernah kembali.Ketegangan di dalam markas Kenzo tiba-tiba memuncak ketika suara deru mesin mobil dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Pintu masuk utama dibuka dengan paksa, dan rombongan mafia yang dipimpin oleh Gian melangkah masuk dengan agresif. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah tertutup oleh masker, menunjukkan bahwa mereka datang untuk bertarung. Gian, sosok tinggi besar dengan tatapan menakutkan, berdiri di depan kelompoknya. Senyumnya penuh tantangan saat ia melihat ke arah Kenzo dan anggota mafia yang berkumpul. "Kenzo," ia menyapa dengan nada mengejek. "Dengar, malam ini aku akan mengambil kemb
"Ck! Aku takkan membiarkan Nora hidup lebih lama! Besok. Yah, Besok. Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melenyapkannya dan merebut Kak Kenzo!" .... Di sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, markas mafia yang dipimpin oleh Kenzo dipenuhi dengan para anggotanya yang berkumpul di tengah malam. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya kekuningan, menerangi wajah-wajah tegang dan bersiap. Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi peta, dokumen, dan foto-foto Reyna. Suara berisik dari para anggota mafia yang berbicara dan mengasah senjata memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang yang tak terelakkan. Kenzo berdiri di depan semua orang, tubuhnya tegak, mata tajamnya memandang serius pada anak buahnya yang berjumlah puluhan. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dingin, penuh ketegasan. Rambut hitamnya tersisir rapi, namun aura di sekelilingnya memancarkan bahaya yang tak bisa disangkal. Di tangannya, sebuah pistol berlapis perak tergenggam erat. "Reyna tidak bis
Nora berhenti sejenak di depan pintu, memandang Sam dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu baik-baik saja, Sam?"Sontak, Sam mengangukkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku baik-baik saja, Nyonya," jawabnya. "Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi, kita akan melakukan pencarian untuk menemukan jalang itu. Kita akhiri saja semuanya. Aku yakin. Semua anggota keluarga kita akan merasa tenang jika benalu itu lenyap." Kenzo menajamkan matanya. .... Dalam kegelapan malam, Reyna berlari tanpa henti, menerobos ranting-ranting kasar dan daun-daun lebat di hutan yang seolah mencoba menahannya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi karena gemetar perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Tangan kirinya masih berlumuran darah Hercules, pria yang pernah begitu mencintainya. Nafasnya berat, namun ia terus berlari, seolah mencoba melarikan diri dari bayang-bayang perbuatan yang baru saja dilakukannya."Tidak ada jalan kembali," gumamnya dalam hati, matanya membara
"Astaga..." "Nora!?" seru suara yang tidak asing dari belakang membuat gadis itu menolehkan kepalanya dengan cepat untuk melihat sosok yang telah memanggilnya. "Kenzo?" Nora menatap suaminya yang tiba-tiba sudah berada di sini bersama Sam. Kedua pria itu mendekat dan melihat Hercules yang masih tergeletak di atas lantai. Kenzo langsung membawa tubuh Nora ke dalam pelukannya dengan erat untuk menumpahkan rasa khawatirnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo penuh kekhawatiran. Nora menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi, pria ini." Rossa menunjuk tubuh Hercules dengan tatapan dingin. "Sam, cek keadaannya!" Aroma darah yang samar menyeruak di udara, membuat perut Sam terasa mual. Hercules tergeletak tak bergerak di lantai, genangan darah tampak mulai mengering di sekitarnya.Sam mendekati tubuh itu dengan hati-hati. Wajah Hercules pucat, matanya terbuka kosong, tidak lagi bernafas. Sam berlutut, memeriksa denyut nadinya di leher, tapi seperti yang sudah ia duga, tidak ada
Sesaat kemudian, wajah Kenzo terkena lampu sorot dari sebuah mobil yang berjalan mendekat. Tak lama, mobil itu berhenti di dekatnya dan terlihatlah siapa yang mengemudikan mobil tersebut. "Tuan!" seru Sam dari dalam mobil yang mana hal itu membuat Kenzo langsung berdiri dan bergerak cepat masuk ke dalam mobil. Setelah Kenzo masuk, mobil pun kembali melaju dengan cepat membelah jalanan yang terlihat cukup senggang. ....Rossa, dengan gerak langkah hati-hati, menelusuri lorong sempit menuju apartemen Hercules yang telah dirinya ketahui. Cahaya bulan yang redup dari jendela di ujung lorong cukup memberikan penerangan baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa dendam dan sedikit kekalutan mengisi udara di sekitarnya. Dia tahu bahwa Reyna dan pria itu sedang ada di dalam. Langkahnya semakin pelan saat dia mendekati pintu apartemen.Dengan cekatan, Rossa menyelipkan kunci cadangan yang berhasil ia peroleh dari mencari ke sekitar area pintu dan ternyata kunci itu berada
Di sisi lain, Kenzo yang berada di dalam kamar mengerjapkan matanya ketika tangannya meraba-raba ke samping dan tidak menemukan keberadaan sang istri di sampingnya. "Nora!?" panggil Kenzo dengan suara keras. "Dimana dia?" Pria itu bangun dari tidurnya dan beranjak duduk. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan sang Istri. Pintu kamar tertutup rapat. Pintu kamar mandi pun sama. Kenzo turun dari atas ranjang dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Saat ini, Kenzo telah keluar dari dalam kamar. Suasana rumah yang sepi seketika menyambutnya. Tanpa memikirkan penghuni lain akan merasa terganggu atau tidak, pria itu akhirnya berteriak. "Nora!" panggilnya yang mana hal itu membuat suaranya menggema di seluruh penjuru rumah. Kenzo dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada istrinya saat ini, mengingat baru saja mereka telah mengalami insiden mengerikan di area villa tersebut. Pria itu tidak tahu sa