“Jangan Tuan! Jangan lakukan ini sama Nana!” jerit Nana di saat Marvel meraih sebelah tangannya.
“Hey, Aku tidak akan melakukan apa-apa denganmu. Sadarlah! Lihat! Aku bukan pria itu!?” seru Marvel seraya mengguncang tangan Nana agar gadis itu tak semakin histeris.
Nana mendongak dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Tatapannya mengabur, namun ia bisa melihat dengan jelas siapa laki-laki yang berada di hadapannya.
Nana menjatuhkan diri, berlutut di depan Marvel seraya meletakkan kedua tangannya, menyatu di depan wajahnya, memohon pertolongan agar laki-laki itu mau melindunginya.
“Tolong saya, Tuan?”
Marvel memijat pelipisnya, ia merasa iba sekaligus pusing. Dengan gerakan cepat ia pun menarik kedua tangan Nana agar gadis itu kembali berdiri.
“Kamu tidak usah khawatir, aku akan melindungi kamu,” hibur Marvel agar gadis itu tak lagi histeris. “Ayo duduk dulu,” Marvel menuntun Nana kembali duduk di kursi pantri.
Nana menurut ketika Marvel membawanya ke kursi tak jauh dari tempatnya. Ia pun menerima segelas air hangat yang Marvel berikan padanya.
“Sudah lebih baik?” tanya Marvel seraya melipat kedua tangannya di dada dan bersandar di meja pantri.
Nana mengangguk dan mengusap sisa-sisa air mata di kedua pipinya.
“Kamu bisa tinggal di sini untuk sementara waktu,” ucapnya kemudian.
Nana meletakkan gelas di meja pantri. Ia menatap ke arah Marvel yang juga menatapnya.
“Beri saya pekerjaan, Tuan. S-saya bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah. A-asal Tuan mengizinkan saya tinggal di sini,” pinta Nana memelas.
“Aku tidak butuh pembantu!” ucap Marvel datar.
Nana mendadak gusar, kedua tangannya saling bertaut. “Baiklah. K-kalau begitu s-saya akan keluar dari sini. T-terima kasih atas kebaikan Tuan menyelamatkan saya,” tiba-tiba ucapan pria paruh baya dengan Marvel melintas di benaknya. “S-saya akan mencari pekerjaan lain ... Dan mengembalikan uang yang Tuan keluarkan untuk membebaskan saya,” ucap Nana dengan gemetar menahan tangisnya.
‘Astaga Tuhan! Bagaimana aku bisa mendapatkan uang 10 M itu? Gumam Nana dalam hati.”
“Pekerjaan apa yang bisa kamu lakukan selain pekerjaan rumah?” tanya Marvel yang kini memejamkan matanya.
Nana mendongak mendengar pertanyaan Marvel. Ia tampak berpikir. “S-saya belum pernah mempunyai pekerjaan lain selain pekerjaan rumah,” jawab Nana kemudian.
Marvel membuka kedua matanya, “Beristirahatlah dulu, besok aku pikirkan pekerjaan yang cocok untukmu,” titah Marvel seraya berlalu dari hadapan Nana. Namun baru tiga langkah, laki-laki itu berhenti. “Apa tingkat pendidikanmu?”
“SMA, Tuan. Saya baru saja menyelesaikan ujian akhir,” jawab Nana lirih.
“Aku akan kembali lagi besok pagi,” ucap Marvel seraya berjalan keluar dari unitnya.
Klik ...
Setelah suara pintu tertutup, Nana memilih masuk ke kamar yang tadi sempat ia tempati. Ia duduk termenung di atas tempat tidur, mengamati keadaan ruangan itu.
“Dia pasti orang kaya. Semoga hasil ujianku tidak mengecewakan,” Gumam Nana.
Gadis itu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang empuk dan nyaman. Berbeda dengan keadaan kamarnya di rumah bibinya. Nana kembali menghapus air matanya mengingat perlakuan bibinya yang tega menjual dirinya.
Di kediaman Dirgantara ....
Marvel yang baru saja memarkirkan mobilnya di garasi, segera turun ketika mendapati mobil Sang Papa, Aryo Dirgantara parkir di sebelahnya.
“Dari mana kamu?” tanya Aryo datar.
“Ketemu temen,” jawab Marvel singkat.
“Besok jangan lupa meeting bersama Pratama Corporation. Jangan sampai terlambat!” ucap Aryo sambil berlalu dari hadapan putranya.
“Iya, Pa,” jawab Marvel.
Marvel mengikuti Aryo masuk ke dalam. Saat ia sampai di anak tangga di mana kamarnya berada, satu suara wanita yang familiar menyapanya.
“Marvel,”
Marvel berhenti dan membalikkan badan. Di sana tampak seorang wanita paruh baya membawa segelas air putih, berjalan dari dapur ke arahnya.
“Kok Mama belum tidur?” tanya Marvel setelah memeluk dan mencium pipi Rima Dirgantara.
“Tadi Mama udah tidur, hanya saja tiba-tiba merasa haus. Kamu dari mana? Semalam ini baru pulang?” tanya Rima balik.
“Ehm, tadi Marvel mampir ke apartemen bentar. Ada barang yang tertinggal di sana,” jawab Marvel gugup.
Rima mengerutkan dahi heran. Seingatnya sudah lama Sang putra tidak pulang ke apartemen. Rima mengenyahkan pikiran nyeleneh yang mampir di otaknya.
“Ya sudah, buruan istirahat sana!” titah Rima.
“Ayo, Mama juga harus cepat istirahat,” ajak Marvel meraih lengan Rima dan mengambil alih gelas di tangannya.
Setelah mengantarkan Rima ke kamarnya, Marvel segera masuk ke kamarnya sendiri. Pikirannya tertuju kepada Nana yang kini berada di unit apartemen miliknya.
Marvel memilih mengganti bajunya sebelum berbaring di tempat tidurnya.
‘Pekerjaan apa yang cocok untuknya?’
Marvel merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur miliknya. Pikirannya kembali pada kejadian di kelab tadi. Tanpa sadar beberapa jam waktu Marvel tersita untuk memikirkan nasib Nana selanjutnya.
Satu ide muncul di benak Marvel. Laki-laki itu menarik salah satu sudut bibirnya sebelum memutuskan menutup mata untuk beristirahat. Ia akan menyempatkan diri datang ke unit sebelum berangkat ke kantor.
Pagi ini Marvel tampak bangun lebih pagi dari biasanya. Kini laki-laki berpakaian formal dengan kemeja Navy dipadukan celana dan Jas serupa, beserta dasi dengan motif garis, tampak sempurna tanpa cela. Bahkan laki-laki 28 tahun itu terlihat gagah dan lebih tampan dari biasanya. Apalagi senyum yang jarang ia keluarkan tampak tersungging di bibirnya.
Marvel mengambil dompet dan kunci mobil beserta tas kerjanya sebelum keluar dari kamar, menuju ruang makan di mana Sang Mama berada.
“Pagi, Ma?” sapa Marvel seraya memeluk wanita yang amat dicintainya.
“Kok tumben pagi sekali, Vel?” Rima mengabaikan sapaan Marvel. Wanita itu memindai penampilan Sang putra yang tampak berbeda dari biasanya.
“Marvel ada meeting, Ma. Sekalian nanti Marvel ada urusan sebentar,”
“Nanti cepet pulang kan?” tanya Rima cepat.
“Iya, Ma. Begitu pekerjaan Marvel selesai, nanti Marvel cepet pulang kok,” jawab Marvel menenangkan.
“Kamu nggak sarapan dulu?”
Marvel melihat pada jam yang melingkar indah di tangan kirinya. “Enggak, Ma. Nanti Marvel pesen aja sama sekretaris di kantor, atau kalau keburu nanti Marvel beli makanan sendiri,”
Rima mengangguk mengerti.
Setelah izin kepada Sang Mama, Marvel kini berada di jalan menuju unit apartemen miliknya. Namun sebelum sampai di sana, Marvel memutuskan membeli beberapa menu sarapan beraneka ragam. Mulai dari nasi uduk, soto Madura, bakmi pelangi, dan nasi padang.
Marvel berjalan penuh percaya diri membawa 2 kantung plastik di kedua tangannya. Sesekali ia bersenandung untuk menenangkan dirinya.
Klik ....
Pintu apartemen terbuka sesaat setelah Marvel menekan beberapa kata sandi untuk membuka pintu.
Marvel berjalan pelan seolah tak ingin mengganggu keberadaan Nana yang mungkin masih tertidur. Saat ia mencapai pintu dapur, Marvel dikejutkan oleh pemandangan seorang gadis yang menggunakan kaos miliknya yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya, ditambah cepolan rambut ke atas yang menampilkan tekuknya, membuat darah dalam tubuh Marvel berdesir.
Satu rasa yang sempat ia lupakan kembali menyeruak. Dadanya berdetak kencang saat kedua telinganya menangkap suara merdu milik Nana.
Nana yang masih asyik dengan spatula dan makanan di dalam panci belum mengetahui jika ada laki-laki yang mengawasinya, sehingga ia terus menyanyi dan menggoyangkan pinggulnya beberapa kali, mengikuti lirik lagu yang ia nyanyikan.
“T-Tuan,” sapa Nana dengan wajah memerah melihat Marvel di sana ketika ia berbalik.
“Ah, aku bawa sarapan untuk kamu. Nih,” Marvel masuk ke dapur, memberikan dua kantung plastik di tangannya yang langsung disambut oleh Nana.
“I-ini banyak sekali, Tuan. Makanan yang semalam saja masih banyak. Lihat, saya sudah menghangatkannya kembali,” ucap Nana menunjukkan makanan yang kini berada di meja.
“Kamu mau makan itu?”
Nana mengangguk. “Iya, Tuan. Toh makanan ini masih bagus kok. Masih layak dikonsumsi,” jawab Nana.
“Sebaiknya kamu makan makanan yang baru deh. Makanan itu bisa kamu makan siang nanti kalau kamu ingin. Bagaimana?” tawar Marvel.
Satu sejarah mulai terukir hari ini. Marvel yang mempunyai hati dingin seperti es batu, kini mulai banyak berbicara pada seorang gadis asing.
Nana memandang Marvel sejenak kemudian mengangguk.
“Tuan mau sekalian sarapan? Biar Nana siapkan dulu,” ucap Nana sambil tersenyum.
Marvel meneguk ludah. Hatinya tiba-tiba bergetar melihat senyum itu. Ia pun mengambil tempat duduk di salah satu kursi pantri, menunggu Nana yang dengan cekatan memindahkan makanan tadi ke piring.
“Ini Tuan,” Nana menunduk sekilas sebelum ia beranjak. Namun Marvel yang tiba-tiba berdiri menahan salah satu tangan Nana dan membuat Nana gugup. “A-ada apalagi, Tuan?”
“Kamu di sini sarapan juga. Temani aku,” ucap Marvel seraya menarik Nana untuk duduk di seberangnya.
Nana tersentak saat Marvel menarik tangannya, memintanya duduk dan memilih makanan yang tadi ia siapkan. Perasaan gugup dan berdebar membuatnya tak berani menatap Marvel yang sudah duduk dan menikmati makanannya sendiri.
Setelah menyelesaikan sarapan pagi dengan keheningan, Marvel berpamitan kepada Nana untuk segera berangkat ke kantor. Dan anehnya setelah Marvel berpamitan, Nana mengantar laki-laki itu sampai ke depan pintu.
“Hati-hati, Tuan,” ucap Nana lirih.
Marvel tersenyum dan mengacak rambut Nana gemas sebelum melanjutkan langkahnya.
Nana memegang dadanya setelah masuk kembali ke dalam. Ia tidak pernah merasakan debaran ini sebelumnya. Karena memang Nana tidak pernah memandang ke arah laki-laki, atau lebih tepatnya Nana tidak pernah memandang ke arah orang lain.
Untuk beberapa saat Nana masih berdiri di depan pintu yang telah ia tutup, hingga bunyi bel kembali berbunyi. Nana sempat ragu untuk membuka karena jika itu Marvel, maka laki-laki itu akan membukanya sendiri. Namun karena keingintahuannya Nana membukanya.
Di sana tampak seorang wanita paruh baya seusia Sang bibi, dengan penampilan sederhana menatap menyelidik kepadanya. Seketika Nana dilanda ketakutan dan kegugupan. Apalagi saat wanita itu bertanya padanya.
“Siapa kamu?”
Bersambung ....
Nana merasakan gugup luar biasa ketika wanita paruh baya yang tak lain adalah Rima Dirgantara, Mama dari Marvel, menatap menyelidik ke arahnya.“Mau cari siapa, Tante?”Rima mengerutkan dahinya. “Marvel ada?” celetuknya kemudian.“T- Tuan Marvel sudah berangkat ke kantor,” jawab Nana terbata.“Kamu siapanya Marvel?” tanya Rima penasaran.“S-saya ... s- saya ...”“Mama?”Rima menoleh ke arah sumber suara diikuti Nana, di mana Marvel kembali ke unitnya.“Mama ngapain ke sini?”“Jelasin semuanya sama Mama, Marvel!” ucap Rima tegas.Nana membulatkan matanya saat mengetahui siapa wanita yang ada di hadapannya. Kedua kakinya gemetar dan melemas. Tapi sekuat tenaga ia bertahan agar tak jatuh ke lantai dalam waktu dekat.“Nanti Marvel jelasin ke Mama. Pagi ini Marvel ada meeting penting. Lebih baik Mama pulang dulu
“A- apa? B-bagaimana bisa?”>> “Dia kabur,”“L-lalu apa Tuan Dirgantara akan menuntut kita ke polisi?”>> “Aku belum tahu,”Adila hanya bisa menatap layar ponsel miliknya yang berubah menjadi gelap setelah sang penelepon memutuskan secara sepihak.Wanita 56 tahun itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut, memikirkan kemungkinan terburuk tentang apa yang ia lakukan pada Nana.Ceklek ...Seorang pria paruh baya 58 tahun yang masih berpakaian formal khas kantoran, mengernyitkan dahi mendapati Sang istri yang gelisah.“Ada apa, La? Kenapa wajahmu terlihat kusut? Ada masalah?” tanya pria yang bernama Bisma Wijaya.“Lebih dari masalah, Bis,” ucap Adila lesu. Kepalanya mulai berdenyut.“Masalah apa lagi?” Bisma mendekat ke arah Adila dan duduk di samping wanita yang telah menjadi istrinya selama 20 tahun.
“A-Asisten pribadi?” beo Nana.Marvel mengangguk. “Iya.”“A-Apa Nana harus ikut ke mana pun Tuan pergi?” tanya Nana lirih.“Tentu saja. Ke mana pun aku pergi dan melakukan perjalanan bisnis, kamu harus mendampingiku,” jelas Marvel.“Kenapa terdengar seperti seorang istri?” celetuk Nana tanpa sadar.Marvel tertegun mendengar ucapan Nana barusan. Ada desiran aneh dalam hatinya diiringi detakan jantung yang semakin menggila.‘Istri? Pikir Marvel.’Selama ini Marvel hanya jatuh cinta sekali pada gadis saat dirinya masih sekolah SMA. Gadis yang diagung-agungkan akan menjadi pendamping hidup malah mencampakkan Marvel saat mereka baru masuk ke Universitas.Suasana kembali hening karena Nana dan Marvel berkelana dengan pikiran masing-masing, hingga Nana yang lebih dulu menyadari ucapannya barusan tak seharusnya diucapkan.“M-Maaf Tuan, maksud Nana bukan seperti it
“Na, kamu jadi mau lanjut kuliah?” tanya Lisa, sahabat Nana satu-satunya di SMA 26 Jakarta.“Belum tahu Sa,” jawab Nana lesu.Kini mereka berada di belakang kelas setelah menyelesaikan ujian akhirnya.Lisa mengernyit, “Kamu belum bilang ke bibi kamu?”Nana menggeleng. Ia mendesah pasrah.“Kenapa? Kamu kan pintar? Sayang loh Na kalau kamu nggak nerusin kuliah,” tanya Lisa beruntun.“Nana maunya gitu. Tapi, mau bagaimana lagi kalau keadaannya seperti ini.” Nana menghela nafas pelan. “Bisa sekolah di sini saja Nana sudah bahagia,”Tanpa terasa kedua mata Nana berkaca-kaca. Bulir-bulir air mata siap tumpah dalam waktu dekat jika saja Lisa tak mengalihkan pembicaraan mereka.“Ehm, bagaimana kalau kamu cari kerja dulu gitu. Nanti kumpulin uangnya buat kuliah tahun depan. Aku temenin deh. Gimana?” ucap Lisa antusias.Nana tersenyum penuh harapan
Beberapa menit lamanya, Nana mematut wajahnya di depan cermin kecil yang Atik belikan untuknya.Setelah membersihkan diri, Nana segera memakai dress polos pemberian Atik beberapa bulan yang lalu. Dress sederhana sebagai hadiah ulang tahun Nana yang ke 19.Nana mengoleskan tipis bedak tabur bayi ke seluruh wajahnya, tak lupa memulas sedikit pelembab bibir dan mengikat rambut panjangnya. Sekilas Nana tampak cantik meskipun hanya memakai pakaian dan dandanan sederhana.Gadis naif itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum manisnya ketika otaknya mengulang ajakan Adila sore tadi. Sikapnya yang terlalu polos sama seperti Sang ibu yang sudah meninggalkannya sejak ia berumur 4 tahun.“Nana cantik,” celetuk Atik memasuki kamar Nana.“Terima kasih Mbak Atik,” ucap Nana malu-malu. Selalu seperti ini jika ada yang memujinya. Bahkan jika Lisa sekalipun yang mengatakannya.“Ingat pesan Mbak Atik ya, Nana nggak b
Suara keyboard di salah satu ruangan CEO Dirgantara Group menggema seperti melodi lagu yang beruntun dengan berbagai irama.Seorang laki-laki, 28 tahun yang memiliki wajah tampan dan tubuh kekar yang menjulang hingga 180 cm itu tampak fokus ke layar laptop di hadapannya. Sesekali kedua bola mata hitamnya bergerak-gerak ke sana kemari menyesuaikan data di layar dan dokumen yang sedang terbuka di atas meja kerjanya.Laki-laki itu adalah Marvel Dirgantara. Seorang pewaris utama Dirgantara Group dan merupakan anak sulung dari Aryo Dirgantara dan Rima Dirgantara. Laki-laki yang sering dipanggil Marvel itu memiliki adik perempuan 6 tahun lebih muda bernama Rara Ayu Dirgantara, yang masih kuliah di salah satu fakultas bisnis ternama di Jakarta.Marvel adalah sosok pekerja keras yang perfeksionis dan selektif seperti Sang Papa. Dia menjabat sebagai CEO sejak berumur 23 tahun atas permintaan Aryo Dirgantara. Sedangkan Aryo sendiri menjabat sebagai Direktur Utama setelah
“Hahaha .... Kamu jangan sombong anak muda. Dia sudah saya beli dengan harga yang sangat mahal. Jadi kembalikan baik-baik atau saya akan membuatmu tak bisa bicara selamanya,” ucap pria paruh baya yang tak lain adalah Ferdi Adinata dengan lantang.Marvel tersenyum miring sambil mengeratkan salah satu tangannya yang melindungi gadis itu. “Mungkin Anda yang akan menyesal berurusan dengan saya. Saya akan mengganti 10 kali lipat dari uang yang Anda keluarkan. Dan saya akan melaporkan Anda ke pihak berwajib karena menganiaya seorang perempuan. 1 atau 2 pasal mungkin cukup untuk membuat Anda mendekam ke jeruji besi dalam waktu yang lama,” balas Marvel santai.“Terlalu banyak omong!!! Kamu tahu berapa uang yang saya keluarkan?” Ferdi menunjukkan seringainya. Pria itu berjalan mendekat ke arah Marvel. “1 Milyar,” tambahnya.Gadis di dalam pelukan Marvel terkesiap mendengarnya. Ia semakin memeluk erat Marvel seakan meminta p
“A-Asisten pribadi?” beo Nana.Marvel mengangguk. “Iya.”“A-Apa Nana harus ikut ke mana pun Tuan pergi?” tanya Nana lirih.“Tentu saja. Ke mana pun aku pergi dan melakukan perjalanan bisnis, kamu harus mendampingiku,” jelas Marvel.“Kenapa terdengar seperti seorang istri?” celetuk Nana tanpa sadar.Marvel tertegun mendengar ucapan Nana barusan. Ada desiran aneh dalam hatinya diiringi detakan jantung yang semakin menggila.‘Istri? Pikir Marvel.’Selama ini Marvel hanya jatuh cinta sekali pada gadis saat dirinya masih sekolah SMA. Gadis yang diagung-agungkan akan menjadi pendamping hidup malah mencampakkan Marvel saat mereka baru masuk ke Universitas.Suasana kembali hening karena Nana dan Marvel berkelana dengan pikiran masing-masing, hingga Nana yang lebih dulu menyadari ucapannya barusan tak seharusnya diucapkan.“M-Maaf Tuan, maksud Nana bukan seperti it
“A- apa? B-bagaimana bisa?”>> “Dia kabur,”“L-lalu apa Tuan Dirgantara akan menuntut kita ke polisi?”>> “Aku belum tahu,”Adila hanya bisa menatap layar ponsel miliknya yang berubah menjadi gelap setelah sang penelepon memutuskan secara sepihak.Wanita 56 tahun itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut, memikirkan kemungkinan terburuk tentang apa yang ia lakukan pada Nana.Ceklek ...Seorang pria paruh baya 58 tahun yang masih berpakaian formal khas kantoran, mengernyitkan dahi mendapati Sang istri yang gelisah.“Ada apa, La? Kenapa wajahmu terlihat kusut? Ada masalah?” tanya pria yang bernama Bisma Wijaya.“Lebih dari masalah, Bis,” ucap Adila lesu. Kepalanya mulai berdenyut.“Masalah apa lagi?” Bisma mendekat ke arah Adila dan duduk di samping wanita yang telah menjadi istrinya selama 20 tahun.
Nana merasakan gugup luar biasa ketika wanita paruh baya yang tak lain adalah Rima Dirgantara, Mama dari Marvel, menatap menyelidik ke arahnya.“Mau cari siapa, Tante?”Rima mengerutkan dahinya. “Marvel ada?” celetuknya kemudian.“T- Tuan Marvel sudah berangkat ke kantor,” jawab Nana terbata.“Kamu siapanya Marvel?” tanya Rima penasaran.“S-saya ... s- saya ...”“Mama?”Rima menoleh ke arah sumber suara diikuti Nana, di mana Marvel kembali ke unitnya.“Mama ngapain ke sini?”“Jelasin semuanya sama Mama, Marvel!” ucap Rima tegas.Nana membulatkan matanya saat mengetahui siapa wanita yang ada di hadapannya. Kedua kakinya gemetar dan melemas. Tapi sekuat tenaga ia bertahan agar tak jatuh ke lantai dalam waktu dekat.“Nanti Marvel jelasin ke Mama. Pagi ini Marvel ada meeting penting. Lebih baik Mama pulang dulu
“Jangan Tuan! Jangan lakukan ini sama Nana!” jerit Nana di saat Marvel meraih sebelah tangannya.“Hey, Aku tidak akan melakukan apa-apa denganmu. Sadarlah! Lihat! Aku bukan pria itu!?” seru Marvel seraya mengguncang tangan Nana agar gadis itu tak semakin histeris.Nana mendongak dengan air mata yang membasahi kedua pipinya. Tatapannya mengabur, namun ia bisa melihat dengan jelas siapa laki-laki yang berada di hadapannya.Nana menjatuhkan diri, berlutut di depan Marvel seraya meletakkan kedua tangannya, menyatu di depan wajahnya, memohon pertolongan agar laki-laki itu mau melindunginya.“Tolong saya, Tuan?”Marvel memijat pelipisnya, ia merasa iba sekaligus pusing. Dengan gerakan cepat ia pun menarik kedua tangan Nana agar gadis itu kembali berdiri.“Kamu tidak usah khawatir, aku akan melindungi kamu,” hibur Marvel agar gadis itu tak lagi histeris. “Ayo duduk dulu,” Marvel menuntun N
“Hahaha .... Kamu jangan sombong anak muda. Dia sudah saya beli dengan harga yang sangat mahal. Jadi kembalikan baik-baik atau saya akan membuatmu tak bisa bicara selamanya,” ucap pria paruh baya yang tak lain adalah Ferdi Adinata dengan lantang.Marvel tersenyum miring sambil mengeratkan salah satu tangannya yang melindungi gadis itu. “Mungkin Anda yang akan menyesal berurusan dengan saya. Saya akan mengganti 10 kali lipat dari uang yang Anda keluarkan. Dan saya akan melaporkan Anda ke pihak berwajib karena menganiaya seorang perempuan. 1 atau 2 pasal mungkin cukup untuk membuat Anda mendekam ke jeruji besi dalam waktu yang lama,” balas Marvel santai.“Terlalu banyak omong!!! Kamu tahu berapa uang yang saya keluarkan?” Ferdi menunjukkan seringainya. Pria itu berjalan mendekat ke arah Marvel. “1 Milyar,” tambahnya.Gadis di dalam pelukan Marvel terkesiap mendengarnya. Ia semakin memeluk erat Marvel seakan meminta p
Suara keyboard di salah satu ruangan CEO Dirgantara Group menggema seperti melodi lagu yang beruntun dengan berbagai irama.Seorang laki-laki, 28 tahun yang memiliki wajah tampan dan tubuh kekar yang menjulang hingga 180 cm itu tampak fokus ke layar laptop di hadapannya. Sesekali kedua bola mata hitamnya bergerak-gerak ke sana kemari menyesuaikan data di layar dan dokumen yang sedang terbuka di atas meja kerjanya.Laki-laki itu adalah Marvel Dirgantara. Seorang pewaris utama Dirgantara Group dan merupakan anak sulung dari Aryo Dirgantara dan Rima Dirgantara. Laki-laki yang sering dipanggil Marvel itu memiliki adik perempuan 6 tahun lebih muda bernama Rara Ayu Dirgantara, yang masih kuliah di salah satu fakultas bisnis ternama di Jakarta.Marvel adalah sosok pekerja keras yang perfeksionis dan selektif seperti Sang Papa. Dia menjabat sebagai CEO sejak berumur 23 tahun atas permintaan Aryo Dirgantara. Sedangkan Aryo sendiri menjabat sebagai Direktur Utama setelah
Beberapa menit lamanya, Nana mematut wajahnya di depan cermin kecil yang Atik belikan untuknya.Setelah membersihkan diri, Nana segera memakai dress polos pemberian Atik beberapa bulan yang lalu. Dress sederhana sebagai hadiah ulang tahun Nana yang ke 19.Nana mengoleskan tipis bedak tabur bayi ke seluruh wajahnya, tak lupa memulas sedikit pelembab bibir dan mengikat rambut panjangnya. Sekilas Nana tampak cantik meskipun hanya memakai pakaian dan dandanan sederhana.Gadis naif itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum manisnya ketika otaknya mengulang ajakan Adila sore tadi. Sikapnya yang terlalu polos sama seperti Sang ibu yang sudah meninggalkannya sejak ia berumur 4 tahun.“Nana cantik,” celetuk Atik memasuki kamar Nana.“Terima kasih Mbak Atik,” ucap Nana malu-malu. Selalu seperti ini jika ada yang memujinya. Bahkan jika Lisa sekalipun yang mengatakannya.“Ingat pesan Mbak Atik ya, Nana nggak b
“Na, kamu jadi mau lanjut kuliah?” tanya Lisa, sahabat Nana satu-satunya di SMA 26 Jakarta.“Belum tahu Sa,” jawab Nana lesu.Kini mereka berada di belakang kelas setelah menyelesaikan ujian akhirnya.Lisa mengernyit, “Kamu belum bilang ke bibi kamu?”Nana menggeleng. Ia mendesah pasrah.“Kenapa? Kamu kan pintar? Sayang loh Na kalau kamu nggak nerusin kuliah,” tanya Lisa beruntun.“Nana maunya gitu. Tapi, mau bagaimana lagi kalau keadaannya seperti ini.” Nana menghela nafas pelan. “Bisa sekolah di sini saja Nana sudah bahagia,”Tanpa terasa kedua mata Nana berkaca-kaca. Bulir-bulir air mata siap tumpah dalam waktu dekat jika saja Lisa tak mengalihkan pembicaraan mereka.“Ehm, bagaimana kalau kamu cari kerja dulu gitu. Nanti kumpulin uangnya buat kuliah tahun depan. Aku temenin deh. Gimana?” ucap Lisa antusias.Nana tersenyum penuh harapan