Setelah acara resepsi pernikahan, Della langsung diajak pulang ke rumah Salsa, karena sudah tradisi jika wanita pasti pulang ke rumah keluarga mempelai pria. Tadinya Della merasa benar-benar sungkan juga belum terbiasa, apalagi harus tidur di kamar yang asing baginya. Namun, Dimas mengatakan jika ini hanya sementara, karena tidak mungkin bagi mereka langsung pulang ke rumah kontrakkan Della, Dimas tak ingin menyakiti hati Salsa.
Begitu masuk kamar Dimas, Della dibuat melongo dengan luasnya kamar pemuda itu.
"Kamar segede gini, tidur sendirian. Emang nggak takut?" tanya Della seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, matanya mengeskplore setiap sudut kamar.
"Bukankah sekarang ada kamu," jawab Dimas yang iseng berbisik di telinga Della.
Della langsung mengedikkan pundak, merasa geli karena napas hangat Dimas menggelitik bulu-bulu halus di belakang telinga.
"Ish ... geli Dim." Della menggosok telinga yang terkena napas Dimas.
Dimas terge
Dimas tertegun mendengar ucapan Della, hingga menepuk jidatnya sendiri. "Malam pertama yang benar-benar sial," gerutu Dimas."Baiklah, tunggu sebentar." Dimas pun berjalan keluar kamar.Dimas berjalan menuruni anak tangga, rumahnya sudah sepi karena mungki orang-orang sudah beristirahat. Hingga Dimas menghentikan langkah ketika sampai di tengah anak tangga, menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan dan menunjukkan pukul 11 malam."Apa masih ada minimarket yang buka di sekitar sini?" tanyanya pada diri sendiri.Hingga Dimas teringat kakak kembarnya, diantara mereka pasti ada yang punya pembalut untuk Della. Dimas kembali naik dan tak jadi turun, kamar pertama yang ditujunya adalah kamar Anggit, kakak pertamanya."Kak, kamu sudah tidur?" Dimas memanggil seraya mengetuk pintu, tapi sepertinya sang kakak sudah beristirahat.Dimas mendesau, lantas berjalan ke kamar kakak keduanya. Dimas melakukan hal sama, mengetuk dan memanggil.
Mentari berhias diri, siap memperlihatkan keindahan di muka bumi, menyapa setiap insan yang ingin menyambut hari.Della terlihat menggerakkan kelopak mata, kini dirinya bangun dan melihat wajah seseorang di hadapan, wajah penuh kedamaian dengan senyum kecil seakan sedang bermimpi sesuatu yang indah. Dengan perlahan Della mencoba menyingkirkan tangan Dimas yang melingkar di pinggang, mencoba bangun karena sungkan jika dirinya tak bangun awal di rumah mertua.Namun, baru akan bergeser untuk turun, Dimas sudah kembali memeluknya, membuat Della harus berhenti bergerak."Mau ke mana?" tanya Dimas dengan suara parau, kelopak matanya masih terpejam tapi tangan memeluk erat pinggang Della."Bangun, nggak enak sama mama Salsa kalau bangun kesiangan," jawab Della seraya menatap wajah bantal Dimas.Dimas menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan. Ia membuka mata, hingga melihat wajah Della yang begitu dekat dengannya."Kenapa sungkan? Tak
Usai sarapan, Dimas ingin kembali ke kamar karena ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Hingga dirinya bertemu dengan Anggit di atas, Dimas melihat dengan jelas kalau kelopak mata sang kakak memang bengkak."Apa semalam kamu menangis?" tanya Dimas ketika Anggit ingin menuruni anak tangga."Hmm ... menangis? Tidak," jawab Anggit mencoba tersenyum ketika menatap sang adik."Semalam aku mendengar suara isakkan, Kakak yakin tidak menangis?" tanya Dimas lagi, merasa tak yakin dengan jawaban Anggit."Ish, menangis apanya? Kamu ini jangan mengada-ada," sangkal Anggit. Wanita itu menengok jam tangan, lantas menghela napas kasar. "Kakak harus pergi, ada janji dengan fotografer, kasihan sudah jauh-jauh datang ke sini kalau tidak bertemu. Bye, Dim."Anggit langsung menuruni anak tangga untuk pergi. Sedangkan Dimas masih menatap punggung Anggit, merasa kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakaknya itu.--Karena rencana bulan madu mer
Della pulang ke rumah dengan kedua tangan penuh belanjaan. Itu kareana Salsa membelikannya barang, berkata jika semua itu adalah hadiah pernikahan mereka. Della masuk ke kamar, lantas meletakkan barang bawaan ke sofa. Ia langsung duduk dan meluruskan kaki.Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi, melihat Della yang sedang menyandarkan kepala dengan posisi menengadah dan mata terpejam. Ia menduga jika Della pasti kelelahan diajak sang mama jalan-jalan. Dimas tahu kalau Salsa akan memberikan apa pun jika sudah menyukai seseorang. Ia mendekat dan berdiri tepat di belakang sofa tempat Della duduk tanpa disadari wanita itu. Dimas menundukkan kepala serta mendekatkan wajah dan mengecup kening sang istri.Apa yang dilakukan Dimas membuat Della terkejut, secara impulsif bangun hingga dahi Della membentur dagu Dimas."Aghh!! Del!" pekik Dimas seraya memegangi dagu.Della yang terkejut memegangi dahi yang membentur dagu Dimas, hingga mentaap sang suami yang ke
Satu minggu semenjak pernikahan Dimas dan Della telah berlalu. Karena mereka menunda bulan madu, membuat Dimas memilih kembali bekerja seperti biasa.Sore itu Della menemani Salsa menjemput Bagas, karena minggu ini adalah jatah Bagas tinggal di rumah Salsa."Bagas mau minta apa? Nanti Oma Salsa belikan." Salsa yang begitu senang karena bisa menghabiskan waktu bersama Bagas, tentu saja ingin memberikan apa yang diminta oleh bocah itu.Della yang duduk di sebelah Salsa, tentunya senang karena putranya memiliki orang-orang yang sangat perhatian dan begitu menyayanginya. Namun, Della sendiri khawatir jika suatu saat Bagas jadi bergantung dan manja dengan Salsa maupun Livia."Es cim." Bagas yang masih cedal, menginginkan eskrim."Es krim? Kalau gigi Bagas berlubang bagaimana?" tanya Salsa yang malah cemas jika cucunya itu makan manis dan dingin."Gocok gigi, Bagas nanti gocok gigi."Salsa menatap heran Bagas yang tahu akan hal itu, s
Della berdiri di depan lemari. Masa datang bulannya sudah selesai sejak kemarin, tapi memang sengaja belum memberitahu Dimas karena takut jika tiba-tiba masih ada sisa yang tertinggal dan keluar lagi ketika berhubungan badan. Della menggigit bibir bawahnya, di lemari banyak pilihan baju tidur, dari piyama berbahan satin, katun, hingga lingerie hadiah dari kedua kakak iparnya. sejujurnya Della merasa canggung dan gugup. Jika diam takut mengecewakan Dimas dan dikata berbohong. Namun, jika bilang juga masih merasa gugup, karena sudah tak melakukan itu selama hampir tiga tahun semenjak dirinya hamil Bagas.Hanya demi menyenangkan serta tak mengecewakan Dimas yang sudah sangat sabar menanti dirinya semenjak berpacaran, akhirnya Della menggunakan piyama satin yang memang terlihat sedikit tipis. Ia ragu memakai lingerie, merasa aneh jika mengenakan pakaian kekurangan bahan itu.Della menengok jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Dimas belum juga kemb
Sang surya berhias diri, siap menyapa dan menduduki tahta untuk menggantikan rembulan yang kembali ke peraduan. Dua insan yang baru saja menghabiskan malam pertama mereka, tampak enggan membuka mata meski suara burung dan sinar matahari mulai menelusup masuk melewati celah jendela."Dim." Della sudah bangun, menatap wajah sang suami yang begitu dengan dengannya."Hmm ...." Hanya suara dehaman yang terdengar. Dimas masih memejamkan mata, kedua tangan memeluk erat tubuh Della."Kamu tidak bangun? Apa tidak ke kantor?" tanya Della. Suaranya terdengar pelan, karena sebenarnya merasa malu dengan percintaan panas mereka semalam.Dimas membuka kelopak mata perlahan, hingga kemudian menatap Della dengan mata masih mengantuk."Aku tidak mau ke kantor, mau di sini sama kamu," jawab Dimas manja. Bahkan sengaja menutup mata lagi, serta meletakkan dagu di pucuk kepala Della.
Karena Della sudah tidak dalam halangan. Siang itu Dimas pergi ke ruang Anggara untuk mengajukan cuti."Ada apa jam segini ke sini, hmm? Kamu ingin ngajak Papa bolos kerja," seloroh Anggara ketika melihat putranya datang ke ruangan pada jam kerja.Dimas tertawa mendengar candaan sang papa, hingga memilih duduk di kursi yang terdapat di depan meja Anggara."Mana berani aku ngajak bolos, yang ada aku dipecat tak hormat nanti," kelakar Dimas.Anggara ikut tertawa, hingga mencoba bersikap serius karena tahu jika putranya datang ke sana pasti ada yang ingin disampaikan padanya."Ada apa? Apa kamu perlu bantuan?" tanya Anggara."Ya, sebenarnya aku mau ambil cuti yang pernah Papa janjikan waktu itu," jawab Dimas seraya mengusap tengkuk berulang kali."Cuti? Ah, apa sudah bebas?" tanya Anggara ambigu."Ya, aku ingin mengajakn