# Florida, Amerika Serikat 19:20 pm
"Lean, kamu yakin akan kembali, Nak?" Pertanyaan yang berasal dari pria paruh baya yang tak lain adalah Anthony, dia berada di ambang pintu kamar cucunya, Leanne yang tengah membelakanginya menghadap ke arah jendela besar. "Cepat atau lambat, pasti aku akan kembali, Kek." Sahut Leanne seraya berbalik ke arah seseorang yang sangat berharga. Kakeknya adalah seseorang yang mengulurkan tangan kepadanya. Membawanya pergi dari keterpurukan. Pria yang satu tahun lalu itu telah kehilangan orang yang sangat dia cintai. Sang istri yang telah berpulang kepada-NYA. "Baiklah, apa barang-barangmu telah kamu siapkan? Besok pagi kamu diantar jet pribadi kita." Ucap Anthony. "Dan kamu jangan menolaknya." Lanjutnya cepat sebelum cucunya protes. "Huh, baiklah." Ucap Leanne mengalah sebab perkataan Kakeknya yang tidak bisa ia bantah. "Terimakasih untuk kasih sayang selama ini yang telah Kakek dan mendiang Nenek berikan padaku. Aku sangat menyayangi kalian." Ucap Leanne tulus, ia menghampiri Anthony seraya memeluknya. "Kamu ini membuat Kakek berat saja melepas kepergian cucu kesayangan Kakek." Ucap Anthony yang terdengar sedih. Usapan lembut Anthony berikan pada rambut cucunya. "Memangnya cucu Kakek berapa? Hanya aku satu-satunya cucu Kakek, loh." Canda Leanne seraya melepaskan pelukan mereka. "Atau jangan-jangan.... Kakek?!" Menatap curiga yang di balas sentilan di keningnya. "Kau ini dengan pikiran buruk mu, Kakek hanya mencintai Nenekmu seorang yang sampai kapanpun tidak bisa di gantikan siapapun." Ujar Anthony penuh keteguhan. Dia dan Leanne saling melempar senyum. "Lean percaya, cinta Kakek hanya untuk wanita cantik dan baik hati seperti nenek seorang." Ucap Leanne. "Dan kamu, Nak. Cucu Kakek yang paling berharga." Ucap Anthony membuat mereka saling berpelukan kembali, penuh kasih dan sayang. ***** #Sementara itu di belahan dunia lainnya..... Seorang pria tampan, dengan balutan jas hitam turun dari mobil sport mewahnya yang mengkilap. Setiap orang yang melihatnya akan berfikir, berapa Dollar yang di keluarkan untuk membeli sebuah mobil mewah itu. Damian Regan Romanov adalah salah satu billionare muda , pemilik property, perhotelan dan salah satu perusahaan penerbangan ternama. Melangkahkan kaki kedalam gedung tinggi pencakar langit yang begitu indah, kuat dan megah. ROMANOV GROUP COMPANY sebuah tulisan besar pertama kali, yang akan menarik perhatian orang saat melangkahkan kakinya ke dalam. Mewah dan Elegant yang tampak membuatnya bersinar. Banyak pasang mata yang menatap ke arahnya kagum dan sapaan hormat, yang di balas dengan wajah datar dan dinginnya,namun tidak membuat para karyawan wanita kecewa, malah mereka sangat ingin menjadi salah satu teman kencan CEO nya itu walau hanya semalam. Berjalan menuju sebuah benda besi yang berdiri angkuh, khusus untuk seorang petinggi yang sekarang menginjakkan kakinya ke dalam lift yang akan mengantarkannya ke lantai atas tempat ruangannya berada. Saat pintu lift terbuka, Seorang pria yang cukup tampan tengah berdiri menyambutnya, berdiri hormat. "Pagi bos," Sapanya dan berjalan di belakang atasannya sambil membukakan pintu. Memperlihatkan sebuah ruangan besar minimalis, namun elegant berwarna hitam putih , berlantai kaca keramik hitam mengkilat jauh dari debu, sebuah sofa hitam cukup besar dan di sana tepat dekat kaca besar, nan tinggi sebuah meja dan kursi yang membelakangi gedung-gedung tinggi lainnya. Sehingga membuatnya terlihat dominant di ruangan ini. "Apa jadwalku hari ini. " Ucap Damian seraya duduk dan membuka dokumen yang berada di atas mejanya. "Pertemuan dengan Client anda dari Jepang Tamayaka Group dan makan siang dengan pacar anda." Ucapnya yang di akhiri dengusan oleh asisten yang merangkap sebagai sahabatnya juga. Hanya sahabatnya lah yang bersikap tidak sopan kepadanya seperti itu. "Di mana sopan santunmu padaku selaku Bos mu." Ucapnya datar. "Aku sebagai sahabatmu. Kenapa kamu masih saja berhubungan dengan wanita jalang itu. "Ucapnya mengalihkan pembicaraan. "Jaga ucapanmu Jo!! Sarah kekasihku. Apa kau ingin aku pecat! "Tegur dan ancamannya pada Joshua. "Silahkan, jika itu yang kau inginkan!" Ucapnya tak peduli. "Keluarlah! Aku tidak ingin berdebat denganmu. " Usirnya dan Joshua berlalu begitu saja, membuat Damian geram dengan kelakuan temannya itu, kalau saja sahabatnya itu tidak bagus dalam pekerjaan sudah ia pecat dari dulu. ***** Selesai rapat dengan rekan bisnisnya yang dari jepang itu, ia kembali menekuni kertas-kertas yang menghasilkan uang itu dengan serius. "Baby," Hingga suara manja yang membuatnya mengalihkan pandangan dari kertas yang di pegang, pada seorang wanita cantik dengan baju seksi yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang profesional bak model. Menghampirinya duduk di atas pangkuannya, merangkul pundak kokoh dan mencium bibirnya dengan mesra, membuat ia terlena dan membalas ciuman kekasihnya tak kalah mesra hingga suara seseorang menghentikan aktivitas mereka. "Apakah ini yang kamu lakukan di kantor dengan menyewa seorang jalang saat kamu bekerja Damian?!" Ucapan wanita paruh baya yang terdengar tajam. Membuat mereka terkejut dan segera melepaskan ciuman panas mereka serta menjauhkan diri masing - masing. "Ma, dia Sarah kekasihku." Ucapnya dengan tenang agar tidak terpancing dengan emosinya sendiri, karena mendengar ucapan kasar Mama-nya pada kekasih hatinya. "Kamu masih saja berhubungan dengan wanita murahan ini." Tunjuknya pada Sarah yang berada di samping Damian berdiam diri. "Kenapa kau masih disini cepat pergi!" Usirnya keras pada Sarah sambil menunjuk pintu keluar. "Pergilah nanti ku hubungi." Bisik Damian pada Sarah yang langsung di turuti olehnya. Sarah yang keluar dari ruangan itu di hadapkan dengan Joshua yang berada di meja depan pintu yang memandang nya jijik. Namun Sarah tetaplah Sarah yang dengan angkuhnya berjalan tanpa memperdulikan sekitar. ***** Di dalam ruangan.... "Datanglah besok malam ke Restoran milik keluarga kita jam 7 malam. Mama tidak menerima penolakanmu Damian." Ucapnya yang tidak ingin di bantah saat melihat anaknya akan protes. "Mama pergi." Ucapnya berbalik dan sebelum ia mencapai pintu,"Putuskan wanita itu, Mama tidak ingin kau masih memiliki hubungan dengannya." Lanjutnya lagi tanpa menoleh ke belakang dan berlalu pergi. Damian yang melihat ibunya pergi hanya diam, dan memikirkan kenapa ibunya itu tidak suka dengan Sarah ia baik dan cantik. Padahal dia dan Sarah sudah setahun berpacaran, di pertemukan di acara fashion show , ia yang menjadi salah satu client dan Sarah salah satu model di acara itu. Damian yang tidak ingin memikirkan lagi segera beranjak pergi, untuk makan siang dengan kekasihnya yang sempat tertunda. Mengambil jas yang sempat ia buka saat bekerja dan keluar dari ruangan. "Aku pergi dan kemungkinan tidak akan kembali ke kantor, jika ada dokumen yang harus ku tanda tangani besok saja." Perintahnya pada Joshua dan berlalu memasuki lift untuk membawa ia turun ke lobby. Joshua yang melihat dan mendengar itu hanya bisa mendengus, tahu akan ke mana bos nya itu. Siapa lagi kalau bukan wanita yang ia benci. Wanita munafik yang ingin sekali Joshua lenyapkan di dunia ini, dumelnya dalam hati sambil membereskan file-file yang berada di atas mejanya. ▪️▪️▪️▪️▪️ Leanne menghembuskan nafasnya dengan pelan setelah ia kembali ke tanah airnya. Pandangannya menatap dingin sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar di hadapannya. Rumah masa kecil nya hingga remaja, tatapan Leanne menyapu keseluruhan rumah, tak ada yang berubah kecuali dindingnya yang terlihat baru di cat, selebihnya masih persis sama seperti ditinggalkan delapan tahun yang lalu. Sekelebat bayangan masa lalu bermain di memorinya yang membuatnya tersenyum dingin. Pahitnya masalalu membuat sesosok Leanne memiliki pondasi yang kuat untuk hidupnya. Leanne memejamkan matanya, mengusir semua kenangan buruk yang merasuk pikirannya. Aku tidak boleh mengingat kenangan itu, jika tidak ingin kaki ini berbalik arah meninggalkan tempat ini, batinnya. Dengan langkah dan hati yang mantap. Leanne langkahkan kakinya dengan menggeret koper ke gerbang yang telah dibukakan, melewati dan berjalan lurus ke depan menyusuri macam-macam tanaman hias. Di sana dengan jarak yang tidak terlalu jauh berdiri sepasang suami istri paruh baya yang menatap ke arahnya. Tersirat jelas di wajah tua mereka akan nya raut kesedihan dan kerinduan. Namun bagi Leanne semua itu tidak ada artinya, semuanya memuakkan. Saling menghampiri, dengan tatapan yang tak pernah lepas sekalipun. Wanita paruh baya yang tak lain adalah Anita memelukku erat Leanne. Leanne yang merasakan pelukan seorang ibu yang hangat yang sejak dulu pernah ia inginkan, tiba-tiba saja terasa hampa. Membalas balik pelukannya pun Leanne sudah tidak ada keinginan. Leanne di antara mereka terasa seperti orang asing, karena tidak mendapatkan balasan dari Leanne. Anita melepaskan pelukannya, terlihat wajah kecewanya karena mendapatkan pengabaian dari anaknya. Leanne sendiri sejak tadi tidak melepaskan tatapan datarnya, ia tidak peduli. "Bagaimana kabarmu? Ibu sangat merindukanmu, Nak. Kamu semakin cantik dan juga tinggi." Ucap Anita menangkup wajah Leanne. "Baik." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Leanne membuat senyuman miris terbit di bibir Anita. "Ayah." Panggil Anita pada suaminya, Harris yang terdiam melihat interaksi ibu dan anaknya. Harris melangkah pelan lalu ia memeluk Leanne dengan erat. Menyalurkan rasa rindu dan rasa bersalah nya juga saat di masa lalu. Sama seperti tadi Harris pun tidak mendapatkan balasan pelukan dari Leanne. Leanne merasakan bahunya bergetar, dan dia yakin ayahnya tengah menangis di atas bahunya yang masih memeluknya. Sebuah kata memasuki telinganya. "Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah." Ucap Harris di sela-sela ia menangis. Tangan Leanne mengepal erat, tidak ingin apa yang terjadi sekarang membuat Leanne lemah kembali. Leanne mengalihkan pandangannya pada Anita yang sudah menangis deras. Anita menghampiri mereka berdua lalu memeluk mereka begitu erat. Berulang kali permohonan kata maaf yang mereka ucapkan, namun tidak ada satu kata patah pun yang keluar dari bibir Leanne. Ia terdiam dengan pandangan dingin. Hatinya tidak tersentuh sama sekali dengan keharuan mereka. ***** "Istirahatlah Nak. Kamu pasti sangat lelah, setelah perjalanan jauh." Ucap Anita yang baru saja mengantarkan Leanne masuk ke kamarnya yang dulu. "Ibu akan panggil kamu ketika makan malam tiba." Ucapnya lagi sebelum berlalu ke arah pintu keluar dan menutupnya. Setelah kepergian Anita dengan pintu yang sudah tertutup rapat, Leanne mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru kamar yang pernah ia tempati dulu. Tidak ada yang berubah dengan dinding warna biru laut, meja rias, dan piagam prestasi nya sejak dulu saat masa High School. Masih tertata rapih di atas meja belajar, kecuali tirai jendela yang sudah di ganti berwarna biru muda bermotif. Setelah selesai meneliti tidak banyak yang berubah, Leanne segera membuka koper dan mengambil piyama panjang, karena Leanne yakin baju yang berada didalam lemari tidak sesuai ukurannya sekarang. Sepuluh menit waktu untuk membersihkan diri. Leanne berjalan keluar dari kamar mandi yang transparan. Namun ada tirai yang menutup semua dari dalam. Leanne membaringkan tubuhnya yang di rasa sangat lelah di atas ranjangnya, ia mencari ponsel yang masih berada di dalam tas yang tergeletak di atas meja sisi ranjangnya. Leanne memberikan kabar pada Anthony bahwa ia telah sampai di Indonesia. Setelah menelepon Anthony, ponselnya ia simpan di atas meja dan membaringkan tubuhnya kembali. Sebelum semuanya gelap sempat Leanne dengar ada notifikasi yang masuk pada ponselnya, namun Leanne yang terlalu lelah ia abaikan karena rasa kantuk yang menyerang dirinya. ***** Leanne yang sudah bangun dari tidurnya beberapa menit lalu kini sedang berjalan keluar dari kamarnya. Setelah Anita memberitahukan jika mereka waktunya makan malam. Leanne menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan. Di sana sudah ada Anita dan Harris yang tengah menunggunya. Hanya ada mereka berdua. Tidak ingin menanyakan seseorang yang pernah ikut andil dalam masalalu nya, membuat Leanne makan dalam diam. Suara Harris memecahkan keheningan di antara mereka. "Anne, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Harris bertanya menatap Leanne dengan hangat. Meskipun Leanne tidak melihat ke arahnya. "Atau kamu bisa bekerja di kantor Ayah." Lanjutnya yang di setujui oleh Anita. "Tidak. Aku hanya akan membuka toko bunga saja." Ucapan Leanne yang bernada datar tanpa melihat mereka berdua. "Apa kamu yakin? Atau ayah akan men— " Sebelum Harris menyelesaikan ucapannya, Leanne sudah terlebih dahulu menyelanya. "Tidak. Ini keputusanku." Ucap Leanne penuh penekanan seraya pandangannya menatap ke arah mereka. Harris yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas, melihat keras kepalaan Leanne yang membuatnya harus mengalah. "Baiklah. Apa perlu Ibu dan Ayah carikan tempat untuk membuka toko mu, dan mencarikan produsen bunganya." Ucap Anita penuh harapnya. "Tidak perlu. Semuanya sudah di atur dan siap untuk di tempati. Apa aku bisa pergi melanjutkan tidurku?" Tanya Leanne dan tanpa mendengar jawaban mereka Leanne pun langsung segera beranjak dari sana. Mengabaikan wajah kecewa mereka dengan senyum getir yang mereka tampilkan. ***** Jam 7 pagi yang cerah, kini Leanne berada di depan sebuah ruko berlantai dua, Flower's House toko bunga yang didirikan Leanne ini cukup besar dari ruko ruko yang lainnya. Sebelum Leanne kembali dari New York, ia sudah mempersiapkan semuanya. Leanne berjalan ke arah toko bunganya, membuka kaca pintu besar yang langsung di sambut dengan berbagai bunga indah dan juga harum. Kasir setinggi dada berwarna coklat jati yang terdapat pot pot kecil yang berisi berbagai macam bunga. Di dekat tangga ke lantai atas pun ada. Leanne berjalan naik ke lantai atas yang akan ia jadikan kantor merangkap kamar tidurnya jika ia terlalu malas untuk pulang. Di lantai atas ruangannya sangat rapih dan bersih semua tatanan sesuai keinginan Leanne. Suara ponsel berdering, membuat Leanne yang tengah meneliti ruangan harus terhenti. Saat di lihat siapa yang meneleponnya yang ternyata Anita membuat Leanne gamang. Di angkatnya atau tidak panggilan itu. Namun yang Leanne yakini, Anita akan terus meneleponnya sampai panggilannya Leanne jawab. "Halo." Ucap Leanne saat panggilan Anita ia jawab. "Halo Nak, apakah bisa nanti pulang jangan terlalu sore. Kita akan makan malam di luar, dan kita harus bersiap-siap terlebih dahulu" Suara Anita dengan sebuah pinta yang bertubi-tubi membuat Leanne mengernyit heran. "Jam berapa makan malamnya?" Tanya Leanne sambil berjalan kembali ke lantai satu. "Jam 7 malam kita harus tiba di sana." Sahut Anita di seberang sana. Leanne yang baru saja tiba di tangga terakhir melihat seorang pelanggan yang masuk kedalam tokonya. "Hm. Aku tutup telponnya karena ada pelanggan." Ucap Leanne sambil memperhatikan seorang pelanggan wanita paruh baya yang tengah melihat lihat bunga-bunganya. "Baiklah, hati-hati di jalan pulangnya." Ucap Anita yang penuh perhatian. "Hm." Jawab Leanne yang langsung menutup sambungan telepon. Leanne menghampiri seorang pelanggan wanita paruh baya itu. "Selamat datang di Flower's House." Sapa Leanne menyambut ramah pelanggan pertamanya. "Apa di sini ada bunga yang seperti melambangkan cinta dan kasih sayang?" Tanya wanita paruh baya itu. "Tentu ada. Mawar putih salah satunya. Berapa tangkai yang anda perlukan, Nyonya?" Tanya Leanne. "Panggil aku Rose itu namaku." Ucap Rose tersenyum tak kalah ramah. "Anda dan nama anda sama-sama cantik." Puji Leanne tulus pada Rose yang masih terlihat cantik di usianya. "Oh, terimakasih, kamu pun tidak kalah cantiknya. Tante butuh satu ikat saja, Nak." Ucap Rose balik memuji sebelum memesan pesanannya. "Baiklah satu ikat sama dengan sepuluh tangkai bunga, dan kebetulan anda pelanggan pertamaku. Aku berikan diskon untuk anda." Ucap Leanne yang membuat Rose berbinar. "Waahh!! Benarkah? Semoga toko mu selalu ramai banyak pembelinya, ya." Ucap Rose mendoakan. "Terimakasih, tunggulah dan duduk di sofa sana. Akan aku siapkan bunganya untuk anda." Ucap Leanne sambil menunjuk sebuah sofa dan meja kecil berwarna merah dekat kaca. Leanne pergi menyiapkan pesanan Rose dengan cepat dan teliti untuk memperlihatkan cantiknya bunga yang ia rangkai. "Waaahh rangkaian bunganya cantik sekali." Ucap Rose setelah Leanne menyelesaikan pesanannya. "Terimakasih, Tante Rose. Jangan lupa untuk membeli lagi bunga disini." Ucap Leanne. "Pasti. Tante akan menjadi pelanggan tetap di sini." Ucap Rose dengan mata binarnya yang membuat Leanne tersenyum kecil. ***** Suasana hening dan wajah tegang kedua orang tua Leanne menyelimuti mereka yang berada di dalam mobil. Mobil menuju tempat dimana mereka akan makan malam di sebuah restauran ternama yang ada di kota itu. Setelah tiba mereka pun masuk dan di sambut oleh pramusaji untuk menunjukkan tempat yang telah Anita reservasi. Namun yang membuat Leanne bingung adalah tempat yang di tunjukkan si pramusaji sudah ada yang menempati, dan sekarang Leanne tahu kedua orang tua Leanne memang sengaja makan malam bersama mereka. "Halo Harris, akhirnya kau datang." Ucap lelaki paruh baya yang berjabat tangan dengan Harris. "Maaf Daniel, sedikit kendala di jalan membuat kami terlambat." Balas Harris tak enak hati pada teman sekaligus rekan bisnisnya. "Rose, senang bertemu denganmu." Ucap Anita sambil menghampirinya. "Aku juga Anita, dan kau tetap saja cantik." Ucap Rose dan mereka saling cipika-cipiki lalu berpelukan. "Harris kenalkan ini anakku, Damian." Ucap Daniel seraya memperkenalkan pria yang lebih muda darinya. "Damian Regan Romanov, Om." Ucapnya tegas namun sopan. "Ini anakku Leanne Athena Mavros yang baru pulang dari New York." Ucap Harris. "Oh! Kamu gadis penjual bunga itu, 'kan? Ternyata kita di pertemukan lagi sayang." Ucap Rose yang baru menyadari kehadiran Leanne. Karena sejak tadi Leanne mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rose memeluk Leanne, lalu ia menatap Leanne dengan lembut. "Kau kenal anakku, Rose?" Tanya Anita yang membuat semua penasaran. "Iya Anita, dan aku salah satu pembeli bunga di toko anakmu, tidak aku sangka gadis cantik ini adalah anak kalian." Ucap Rose yang masih menatap Leanne lembut dan hangat. Mendengar ucapan Rose, membuat mereka mengangguk mengerti. "Ya sudah, kita duduk dulu dan pesan makanannya baru kita lanjutkan mengobrolnya." Ucap Daniel. Mereka pun memesan dan memakan makanan yang sudah di sajikan oleh pelayan, serta mengobrol di sela-sela acara makan mereka. ▪️▪️▪️▪️▪️Dua keluarga yang di satukan dalam rangka makan malam itu telah menyelesaikan makanan mereka masing-masing, terlihat raut kedua pasangan suami istri itu yang ingin menyampaikan suatu hal penting dari inti malam ini. "Jadi bagaimana menurutmu Harris? Kamu setuju 'kan, jika anak kita di satukan dengan cara menikahkan mereka, agar hubungan pertemanan kita semakin erat." Ucap Daniel dengan lugasnya. Membuat Leanne yang sedari tadi diam melihat ke arahnya begitu pun Damian. "Ya, aku setuju kapan pernikahannya akan di laksanakan." Ucap Harris. "Lebih cepat lebih bagus. Iya 'kan Anita?"Tanya Rose. "Bagaimana kalau dua minggu dari sekarang. Kita akan mulai mempersiapkannya Rose." Ucap Anita begitu bersemangat. Para orangtua itu sibuk dengan pembicaraan mereka seolah orang yang berada di meja itu hanya mereka. Membuat anak mereka bertanya-tanya siapa yang mereka bicarakan dan pernikahan siapa yang akan di laksanakan dengan waktu secepat itu. "Apa yang kalian bicarakan? Siapa yang
DAMIAN "WHAT?! Kau akan menikah?!" Aku yang sudah tahu respons Sarah hanya diam, dan ia yang menatapku nyalang. "KAU ANGGAP HUBUNGAN KITA APA DAMIAN?!!" Bentak Sarah yang kali ini malah membuatku geram, berani sekali dia meninggikan suaranya. "JAGA UCAPAN MU SARAH!!" Bentakku balik yang langsung membuatnya menciut dan terdiam. "Kamu tega padaku Damian." Ucapnya pelan. "Hei tenanglah, pernikahan ini tidak akan lama." Ucapku melembutkan suara. "Apa maksudmu?" Tanya Sarah penasaran. "Pernikahan ini hanya akan aku jalani selama satu tahun, dan setelahnya aku akan menceraikan wanita itu." Jawabku sambil merangkulnya. "Ini demi Mama yang ingin aku menikahi wanita pilihannya." Lanjut memberi alasan sebenarnya. "Benarkah kamu akan segera menceraikan wanita itu, setelah waktunya tiba?" Tanya Sarah sambil memandangku lekat. "Ya." Ucapku singkat. "Apa kita harus backstreet setelah kamu menikah Damian?" Tanya Sarah yang sudah mulai tenang. "Ya, kecuali pada wanita yang aka
LEANNE Hari ini di mana aku akan menikah. Setelah beberapa minggu yang lalu di adakannya acara pertunangan yang sederhana. Hanya keluarga saja yang menghadiri itu pun di rumahku. Hotel berbintang salah satu aset milik Romanov Grup, yang di mana acara pernikahan akan di selenggarakan. Seorang diri di kamar salah satu Hotel yang ku tempati saat ini setelah penata rias menyelesaikan semuanya. Kini aku tengah berdiri di depan cermin melihat pantulan diriku sendiri, yang sudah di balut dengan gaun pengantin. Berwarna putih tulang, berlengan panjang yang memperlihatkan bahu telanjangku serta punggungku, dan ekor gaun yang menjuntai panjang. Wajahku yang sudah di make-up senatural mungkin, tidak menutup kemuraman di raut wajahku. Helaan napas kasar yang bisa ku keluarkan, hinga terdengar pintu yang terbuka dan wanita paruh baya tak lain ibuku berjalan masuk ke arahku yang masih menatapnya dari cermin. "Kamu sangat cantik sekali sayang." Ucapnya sambil mengusap pipiku dengan lem
LEANNE Niat awal hanya memejamkan mata sejenak, ternyata aku ketiduran di dalam bathtub. Di rasa sudah cukup lama aku segera bergegas membilas tubuh di bawah shower, dengan air hangat. Aku tidak tahu sudah berapa lama membuatku tertidur di dalam air, sehingga kulit jari tanganku mengeriput. Mematikan Shower dan membungkus tubuh dengan handuk yang sudah tersedia. Serta memakai pakaian yang ku bawa sendiri, karena semua baju yang di bawakan para orangtua di dalam koper tidak layak ku pakai. Apa yang di harapkan dari pernikahan hasil perjodohan ini? Tidak ada pengharapan apapun, sebab aku maupun Damian membuat pernikahan ini hanya sebuah kesepakatan saja. Kesepakatan untuk kepentingan masing-masing. Setelah memakai piyama panjang, segera aku keluar. Tepat saat membuka pintu betapa terkejutnya aku. Damian yang sudah berdiri menjulang di depanku, membuat aku harus mendongakkan kepala, dengan perbandingan tinggi kami yang sangat kentara lumayan jauh. Aku yang memiliki tinggi 176 dan
Suara ketukan dari pintu, membuat Leanne yang tertidur pulas kini mulai mengerjapkan kedua matanya terbuka perlahan. Masih terdengar suara ketukan, membuat Leanne yang hendak bangun dari tidurnya terhenti. Sebuah tangan kekar, dan berbulu yang melingkari pinggangnya membuat Leanne menolehkan kepalanya ke samping. Menatap diam ke arah suaminya, dan terputus oleh suara ketukan pintu yang tidak berhenti. Di singkirkan pelan tangan itu dari pinggangnya, dan turun di atas kasur setelah belitan tangan Damian dari pinggangnya terlepas. Berjalan ke arah pintu, dan membukanya pelan. "Oh, Anne! Maafkan Mama yang telah mengganggu tidur kalian. Mama hanya ingin memberitahu kalian, bahwa yang lainnya sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama. " Ucap Rose. "Tidak apa-apa, Ma. Justru aku yang harusnya meminta maaf, karena sudah merepotkan Mama membangunkan kami yang bangun kesiangan." Ucap Leanne tak enak hati. "Mama mengerti, kok. Kaliankan pengantin baru. Jadi wajar saja kalau kalian
Damian yang sudah rapih dengan setelan kantornya, keluar dari kamarnya lalu menuruni tangga hendak pergi ke kantor. Saat tiba di bawah ujung tangga ia melihat Leanne yang menghampirinya. "Regan, sarapanlah dulu sebelum kamu berangkat bekerja." Ucap Leanne yang memakai celemek bermotif bunga sakura terlihat cantik dengan rambut hitam nya yang di cepol asal. "Regan?" Tanya Damian heran. "Ya. Apa kamu tidak keberatan jika aku memanggilmu seperti itu?" Tanya Leanne. "Hm..tidak masalah." Jawab Damian acuh tak acuh. "Dan... seharusnya kamu tidak perlu menyiapkan sarapan untukku. Lagian aku tidak terbiasa untuk sarapan pagi yang berat." Lanjutnya. "Regan, aku tahu jika pernikahan ini hanya untuk sementara. Tapi aku ingin, selama kita masih berstatus suami istri. Aku ingin menjalankan segala hal keperluan mu sebagai seorang istri." Ucap Leanne. "Aku tidak bisa lepas dari tanggung jawabku. Maka dari itu, sarapanlah dulu sebelum kamu berangkat. Walaupun hanya sedikit saja kamu m
*****Leanne turun serta membayar argo taxi, setelah tiba di kediaman orang tuanya.Berjalan ke arah pintu serta mengetuknya, sampai tiba seseorang membukanya dari dalam. "Ternyata kamu, Nak?" Tanya Anita ketika siapa yang bertamu. "Di mana suamimu?" Tanyanya lagi sambil melihat ke arah belakang putrinya, namun tidak menemukan siapapun. "Aku kesini hanya mengambil barangku yang tertinggal." Ucap Leanne membuat Anita sedih. Semampu mungkin, ia memasang wajah bahagianya menyambut kedatangan putrinya. "Apa perlu ibu bantu?" Tawarnya. "Tidak usah." Ucap Leanne dan menerobos masuk tanpa melirik ke arah Anita. Leanne berjalan ke arah tangga di mana kamarnya berada di lantai dua. Masuk kamarnya serta mengambil barang yang ia perlukan. Mengambil kunci mobilnya yang terakhir kali ia simpan di laci meja nakas. Hendak berbalik ke arah pintu gerakkannya terhenti ketika ibunya berada di dalam ruangan yang sama dengannya. "Nak, makanlah dulu kebetulan ibu memasak makanan kesukaanmu."
***** "Anda........bukankah wanita pemilik toko bunga itu?" Tanya Mr. Davidson kepada Leanna. "Sayang, dia pemilik toko bunga yang tadi pagi aku beli bunga di sana, sekaligus orang yang memberimu bunga selain aku." Jelas Mr. Davidson melihat kebingungan istrinya. "Ahh, benarkah?! Kalau begitu saya berterima kasih kepada anda, dan bunganya sangat cantik. Saya Amanda, dan ini suami saya Federick. " Ucap Amanda memperkenalkan diri serta suaminya Mr. Davidson. "Sama - sama, saya senang jika Mrs. Davidson menyukai bunganya. Saya Anne." Ucap Leanna. "Panggil Amanda saja, dan kamu istri dari Mr. Romanov?" Tanya Amanda yang di angguki Leanna. "Mr. Damian, maaf saat anda menikah. Saya tidak bisa hadir, karena itu saya tidak mengenali istri anda saat saya beli bunga di tokonya. Kalian sepasang suami istri yang serasi." Ucap Federick di akhiri pujiannya pada Damian dan juga Leanne. "Tidak apa - apa Mr. Davidson. Terima kasih, dan kalian pun begitu terlihat sangat serasi. Apalagi ka
***** Leanne dan bayinya sudah di pindahkan di ruang rawat. Tentunya dengan kelas VVIP, ruang rawat Leanne di hias begitu indahnya dengan pernak-pernik warna biru keemasan. Leanne tengah menggendong bayinya dan Damian duduk di atas brankar di samping Leanne. Merangkul bahu Leanne dengan mesra. Untuk saat ini hanya ada mereka. Orang tua Leanne maupun Damian mereka yang tengah di luar kota sedang dalam perjalanan pulang dan menuju rumah sakit. "Sudah ada nama untuk anak kita, Regan." Mendengar istrinya menyebut 'anak kita' membuat perasaan Damian selalu menghangat. "Ya." Sahut Damian dengan ibu jarinya yang mengusap pipi merah anaknya. Leanne menatap Damian. "Apa?" Tanyanya. Damian menatap istrinya. "Leander Ergan Alpha Romanov. Putra kita yang akan menjadi pemimpinnya Romanov." Ucapnya. Leanne tersenyum. "Bagus sekali." Ucapnya, lalu tatapan Leanne mengarah kembali pada bayinya yang sudah di beri nama Leander Ergan Alpha Romanov. "Sangat cocok untukmu, Sayang."
***** NAKARI HOSPITAL UNIVERSITY Damian yang berada di depan pintu ruangan persalinan terus saja mondar-mandir. Bukan tanpa alasan kenapa Damian seperti itu dengan suasana hatinya yang terus cemas. Sebab hari ini Leanne akan segera melahirkan. Satu jam lalu lebih tepatnya sebelum Leanne di bawa ke rumah sakit. Leanne yang berada di rumah bersama dengan damian yang sudah mulai cuti untuk tidak ke kantor semenjak kandungan Leanne sudah memasuki HPL. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan menyusuri halaman belakang. Awalnya Leanne baik-baik saja saat mereka masih mengelilingi halaman, namun saat Damian masuk kembali ke mansion untuk mengambilkan topi untuk Leanne pakai di kamarnya. Tiba-tiba saja Leanne merasakan sakit di perutnya. Ada dua orang pelayan yang menemani Leanne, namun melihat Leanne yang kesakitan mereka di buat panik. Hingga harus Leanne 'lah yang mengingatkan mereka jika mereka harus memanggil Damian. Salah satu dari mereka berlar
***** Damian yang baru saja selesai meeting, masuk ke dalam ruangannya. Ia segera mengecek ponselnya yang tadi ia tinggalkan sebab ia charger. Damian melihat ada beberapa notifikasi yang masuk. Di antaranya sebuah pesan dari bawahannya yang selama ini ia perintahkan untuk menjaga dan mengawasi istrinya secara diam-diam. "Apa ini?!!" Damian terlihat marah saat melihat potret istrinya yang di kirimkan oleh mata-matanya. Foto pertama di mana foto itu berisi istrinya yang tengah memasuki mobil hendak pergi keluar. Damian marah karena saat ini pakaian istrinya begitu sexy sekali. Gaun pendek berwarna maroon yang sebatas paha dengan sebuah blazer hitam menutupi bahunya, namun tetap saja istrinya sangat terlihat sexy apalagi dengan perutnya yang sudah membesar. Kandungan Leanne saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Dalam beberapa bulan ini begitu banyak perubahan pada istrinya semenjak hamil. Selain moodnya yang sering berubah- ubah, cara berpakaian istrinya pun selalu me
***** Damian menuntun Leanne dengan hati-hati sebab mata Leanne masih tertutup kain dasi. Masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Di mana di dalam ruangan itu sudah di hias indah sedemikian rupa. Bukan hanya itu saja, akan tetapi ada Rose dan Daniel serta Anita dan Harris. Dari arah lain ada Joshua yang baru saja datang sambil membawa popper party di tangannya. Damian membawa Leanne ke tengah-tengah mereka. Damian berdiri di belakang tubuh Leanne, lalu ia berkata. "Kamu sudah siap Love?" Tanya Damian berbisik pelan pada telinga Leanne. "Ya." Sahut Leanne yang sudah tidak sabar agar ikatan di matanya di lepaskan. Damian melepaskan ikatan itu dan dengan perlahan menjauhkan kain dasi itu dari Leanne. POP!!! Suara letusan keras itu terdengar disertai dengan keluarnya confetti ke udara. "SURPRISE!!!!" Seruan dari sekitarnya membuat Leanne melihat siapa-siapa saja yang ada. Bukan hanya kedua mertuanya saja, kedua orangtuanya pun ada. "Happy anniversary untuk kalian
***** Beberapa bulan kemudian..... Hari ini weekend, Leanne dan Damian berencana pergi ke pusat perbelanjaan. Damian tengah menerima telepon di lantai bawah sambil menunggu Leanne yang belum selesai bersiap-siap. "Jo kamu harus pastikan semuanya sempurna sesuai dengan rencana." Ucap Damian mewanti-wanti Joshua di seberang sana. Damian melihat kehadiran istrinya yang tengah menuruni tangga. "Jangan ada kesalahan apapun." Tandas Damian sekali lagi ia memperingati Joshua. Belum sempat Joshua membalas ucapan Damian, sambungan telepon sudah di putuskan sepihak oleh Damian. Damian menghampiri Leanne dengan tatapan penuh pemujaan. Sebab Leanne hari ini tampil sangat cantik dengan riasannya. Bukan hari ini saja setiap hari pun istrinya selalu tampil cantik. Leanne yang biasanya tidak terlalu sering memakai dress entah kenapa sudah beberapa bulan ini selalu memakai dress dengan juga selalu merias diri. Bahkan Damian selalu di buat heran saat berada di rumah pun istrinya
***** Venesia, Italia. Ya, mereka berdua Leanne dan Damian kini sudah berada di kota romantis itu. Kedatangan mereka tak lain adalah untuk bulan madu. Seperti apa yang sudah mereka rencanakan setelah urusan Leanne selesai mereka akan berbulan madu dan Damian menyerahkan semua tujuan mereka pada Leanne. Dan pada akhirnya Leanne memilih Venesia. Leanne dan Damian baru saja check-in kamar hotel. Sebenarnya keinginan Damian dirinya ingin tinggal di apartemen, bukan hanya menyewanya melainkan membeli salah satu apartemen di sana yang pastinya memiliki nilai tinggi dari segi kualitas dan kuantitasnya. Namun keinginan itu harus pupus karena Leanne sendiri menolak tegas, sebab mereka tinggal di Venesia hanya beberapa hari. Bagi Leanne itu pemborosan, akan tetapi berbeda dengan pemikiran bisnis Damian. Membeli apartemen di Venesia sama saja untuk investasi. Namun apalah daya karena terlalu cinta mungkin sudah masuk level budak cinta Damian pun mematuhi perkataan istrinya. Setibany
***** Leanne yang baru saja tiba di rumah heran saat mendengar suara tawa. Saat ia berjalan masuk ke dalam dan terus berjalan ke arah ruang makan ternyata suara tawa itu berasal dari Kakeknya dan juga suaminya. Leanne di buat bingung apa yang sudah terjadi pada mereka selama dirinya pergi sehingga mereka terlihat bercengkrama dengan akrabnya. Tidak seperti awal bertemu kakeknya kurang baik menyambut suaminya. "Oh Princess, kamu sudah pulang. Ayo sini kita makan bersama." Ajak Anthony saat melihat Leanne yang masuk ke ruang makan. Leanne berjalan ke arah kursi duduk di samping Damian. Leanne melihat hidangan yang masih tersaji utuh. "Kalian belum memulainya?" Tanya Leanne. "Kami menunggu mu Princess, lagian belum lama juga kami di sini." Sahut Anthony. "Padahal Kakek bisa saja duluan. Kakek harus menjaga kesehatan Kakek, jangan telat soal makan." Peringat Leanne. "Hanya hari ini saja, lagipula jarang-jarang bisa makan bersama seperti ini." Ucap Anthony. Damian me
***** Leanne dan Damian melanjutkan penerbangan mereka lagi ke Amerika. Dan kini mereka baru saja tiba di Bandara Internasional John F. Kennedy. Setibanya di bandara, sudah ada orang yang menunggu kehadiran Leanne dan Damian. Leanne perkirakan itu bawahannya Damian. Karena Leanne sendiri tidak memberitahukan kedatangannya ke sini pada Anthony atau pun Noel. Mobil melaju menuju kediaman Anthony, hingga beberapa menit kemudian mereka pun tiba di tujuan. Di depan gerbang kediaman Anthony. Karena pintu gerbang yang tertutup, Leanne menyembulkan kepalanya. Lalu sebuah CCTV bergerak mengscan wajahnya. Leanne memasukkan diri kembali ke dalam mobil dan tidak membutuhkan lima menit pun pintu gerbang mulai terbuka. "Keamanan disini patut aku tiru." Ucap Damian. "Semenjak Nenek meninggal Kakek jadi tidak terlalu suka banyak orang. Banyaknya bodyguard yang di pekerjakan di sini pun itu untuk keamanan Nenek, karena untuk mengurangi resiko aku sendiri memilih tinggal di apartemen s
***** Leanne dan Damian sudah mendarat di negara yang di juluki negeri matahari terbit itu dan kini mereka berada di dalam mobil yang di sopiri oleh Scott, bodyguard Damian yang baru Leanne lihat lagi. Leanne melihat ke arah jalan raya, tahu kemana tujuan mereka Leanne menatap Damian dengan tatapan menelisiknya. "Kenapa?" Tanya Damian. Tangan mengusap pipi Leanne dengan lembut. "Kamu menyuruhnya mengikuti ku sampai ke sini?" Tanya Leanne sambil melirik Scott. Tahu kemana pembicaraan istrinya, Damian tersenyum kecil. "Aku khawatir kamu kenapa-napa." Ucap Damian memberikan alasannya. Tahu dengan sifat Damian yang selalu mengawasinya Leanne pun tidak banyak bertanya lagi. Beberapa menit kemudian, mobil pun sudah sampai tujuan. Di mana tempat itu adalah sebuah pemakaman. Ya, Leanne kembali mengunjungi makam Raigan lagi. Leanne dan Damian berjalan bersama masuk ke dalam pemakaman. Leanne sengaja mengajak Damian. Mereka tiba di depan makam Reigan. Leanne meletakkan