Share

Perfect Wife (Dangerous)
Perfect Wife (Dangerous)
Author: Ciaz

BAB 1

# Florida, Amerika Serikat 19:20 pm

"Lean, kamu yakin akan kembali, Nak?" Pertanyaan yang berasal dari pria paruh baya yang tak lain adalah Anthony, dia berada di ambang pintu kamar cucunya, Leanne yang tengah membelakanginya menghadap ke arah jendela besar.

"Cepat atau lambat, pasti aku akan kembali, Kek." Sahut Leanne seraya berbalik ke arah seseorang yang sangat berharga.

Kakeknya adalah seseorang yang mengulurkan tangan kepadanya. Membawanya pergi dari keterpurukan. Pria yang satu tahun lalu itu telah kehilangan orang yang sangat dia cintai. Sang istri yang telah berpulang kepada-NYA.

"Baiklah, apa barang-barangmu telah kamu siapkan? Besok pagi kamu diantar jet pribadi kita." Ucap Anthony.

"Dan kamu jangan menolaknya." Lanjutnya cepat sebelum cucunya protes.

"Huh, baiklah." Ucap Leanne mengalah sebab perkataan Kakeknya yang tidak bisa ia bantah.

"Terimakasih untuk kasih sayang selama ini yang telah Kakek dan mendiang Nenek berikan padaku. Aku sangat menyayangi kalian." Ucap Leanne tulus, ia menghampiri Anthony seraya memeluknya.

"Kamu ini membuat Kakek berat saja melepas kepergian cucu kesayangan Kakek." Ucap Anthony yang terdengar sedih. Usapan lembut Anthony berikan pada rambut cucunya.

"Memangnya cucu Kakek berapa? Hanya aku satu-satunya cucu Kakek, loh." Canda Leanne seraya melepaskan pelukan mereka.

"Atau jangan-jangan.... Kakek?!" Menatap curiga yang di balas sentilan di keningnya.

"Kau ini dengan pikiran buruk mu, Kakek hanya mencintai Nenekmu seorang yang sampai kapanpun tidak bisa di gantikan siapapun." Ujar Anthony penuh keteguhan. Dia dan Leanne saling melempar senyum.

"Lean percaya, cinta Kakek hanya untuk wanita cantik dan baik hati seperti nenek seorang." Ucap Leanne.

"Dan kamu, Nak. Cucu Kakek yang paling berharga." Ucap Anthony membuat mereka saling berpelukan kembali, penuh kasih dan sayang.

*****

#Sementara itu di belahan dunia lainnya.....

Seorang pria tampan, dengan balutan jas hitam turun dari mobil sport mewahnya yang mengkilap. Setiap orang yang melihatnya akan berfikir, berapa Dollar yang di keluarkan untuk membeli sebuah mobil mewah itu.

Damian Regan Romanov adalah salah satu billionare muda , pemilik property, perhotelan dan salah satu perusahaan penerbangan ternama.

Melangkahkan kaki kedalam gedung tinggi pencakar langit yang begitu indah, kuat dan megah.

ROMANOV GROUP COMPANY sebuah tulisan besar pertama kali, yang akan menarik perhatian orang saat melangkahkan kakinya ke dalam. Mewah dan Elegant yang tampak membuatnya bersinar.

Banyak pasang mata yang menatap ke arahnya kagum dan sapaan hormat, yang di balas dengan wajah datar dan dinginnya,namun tidak membuat para karyawan wanita kecewa, malah mereka sangat ingin menjadi salah satu teman kencan CEO nya itu walau hanya semalam.

Berjalan menuju sebuah benda besi yang berdiri angkuh, khusus untuk seorang petinggi yang sekarang menginjakkan kakinya ke dalam lift yang akan mengantarkannya ke lantai atas tempat ruangannya berada.

Saat pintu lift terbuka, Seorang pria yang cukup tampan tengah berdiri menyambutnya, berdiri hormat.

"Pagi bos," Sapanya dan berjalan di belakang atasannya sambil membukakan pintu.

Memperlihatkan sebuah ruangan besar minimalis, namun elegant berwarna hitam putih , berlantai kaca keramik hitam mengkilat jauh dari debu, sebuah sofa hitam cukup besar dan di sana tepat dekat kaca besar, nan tinggi sebuah meja dan kursi yang membelakangi gedung-gedung tinggi lainnya. Sehingga membuatnya terlihat dominant di ruangan ini.

"Apa jadwalku hari ini. " Ucap Damian seraya duduk dan membuka dokumen yang berada di atas mejanya.

"Pertemuan dengan Client anda dari Jepang Tamayaka Group dan makan siang dengan pacar anda." Ucapnya yang di akhiri dengusan oleh asisten yang merangkap sebagai sahabatnya juga.

Hanya sahabatnya lah yang bersikap tidak sopan kepadanya seperti itu.

"Di mana sopan santunmu padaku selaku Bos mu." Ucapnya datar.

"Aku sebagai sahabatmu. Kenapa kamu masih saja berhubungan dengan wanita jalang itu. "Ucapnya mengalihkan pembicaraan.

"Jaga ucapanmu Jo!! Sarah kekasihku. Apa kau ingin aku pecat! "Tegur dan ancamannya pada Joshua.

"Silahkan, jika itu yang kau inginkan!" Ucapnya tak peduli.

"Keluarlah! Aku tidak ingin berdebat denganmu. " Usirnya dan Joshua berlalu begitu saja, membuat Damian geram dengan kelakuan temannya itu, kalau saja sahabatnya itu tidak bagus dalam pekerjaan sudah ia pecat dari dulu.

*****

Selesai rapat dengan rekan bisnisnya yang dari jepang itu, ia kembali menekuni kertas-kertas yang menghasilkan uang itu dengan serius.

"Baby," Hingga suara manja yang membuatnya mengalihkan pandangan dari kertas yang di pegang, pada seorang wanita cantik dengan baju seksi yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang profesional bak model. Menghampirinya duduk di atas pangkuannya, merangkul pundak kokoh dan mencium bibirnya dengan mesra, membuat ia terlena dan membalas ciuman kekasihnya tak kalah mesra hingga suara seseorang menghentikan aktivitas mereka.

"Apakah ini yang kamu lakukan di kantor dengan menyewa seorang jalang saat kamu bekerja Damian?!" Ucapan wanita paruh baya yang terdengar tajam. Membuat mereka terkejut dan segera melepaskan ciuman panas mereka serta menjauhkan diri masing - masing.

"Ma, dia Sarah kekasihku." Ucapnya dengan tenang agar tidak terpancing dengan emosinya sendiri, karena mendengar ucapan kasar Mama-nya pada kekasih hatinya.

"Kamu masih saja berhubungan dengan wanita murahan ini." Tunjuknya pada Sarah yang berada di samping Damian berdiam diri.

"Kenapa kau masih disini cepat pergi!" Usirnya keras pada Sarah sambil menunjuk pintu keluar.

"Pergilah nanti ku hubungi." Bisik Damian pada Sarah yang langsung di turuti olehnya.

Sarah yang keluar dari ruangan itu di hadapkan dengan Joshua yang berada di meja depan pintu yang memandang nya jijik.

Namun Sarah tetaplah Sarah yang dengan angkuhnya berjalan tanpa memperdulikan sekitar.

*****

Di dalam ruangan....

"Datanglah besok malam ke Restoran milik keluarga kita jam 7 malam. Mama tidak menerima penolakanmu Damian." Ucapnya yang tidak ingin di bantah saat melihat anaknya akan protes.

"Mama pergi." Ucapnya berbalik dan sebelum ia mencapai pintu,"Putuskan wanita itu, Mama tidak ingin kau masih memiliki hubungan dengannya." Lanjutnya lagi tanpa menoleh ke belakang dan berlalu pergi.

Damian yang melihat ibunya pergi hanya diam, dan memikirkan kenapa ibunya itu tidak suka dengan Sarah ia baik dan cantik. Padahal dia dan Sarah sudah setahun berpacaran, di pertemukan di acara fashion show , ia yang menjadi salah satu client dan Sarah salah satu model di acara itu.

Damian yang tidak ingin memikirkan lagi segera beranjak pergi, untuk makan siang dengan kekasihnya yang sempat tertunda. Mengambil jas yang sempat ia buka saat bekerja dan keluar dari ruangan.

"Aku pergi dan kemungkinan tidak akan kembali ke kantor, jika ada dokumen yang harus ku tanda tangani besok saja." Perintahnya pada Joshua dan berlalu memasuki lift untuk membawa ia turun ke lobby.

Joshua yang melihat dan mendengar itu hanya bisa mendengus, tahu akan ke mana bos nya itu. Siapa lagi kalau bukan wanita yang ia benci. Wanita munafik yang ingin sekali Joshua lenyapkan di dunia ini, dumelnya dalam hati sambil membereskan file-file yang berada di atas mejanya.

▪️▪️▪️▪️▪️

Leanne menghembuskan nafasnya dengan pelan setelah ia kembali ke tanah airnya. Pandangannya menatap dingin sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar di hadapannya. Rumah masa kecil nya hingga remaja, tatapan Leanne menyapu keseluruhan rumah, tak ada yang berubah kecuali dindingnya yang terlihat baru di cat, selebihnya masih persis sama seperti ditinggalkan delapan tahun yang lalu.

Sekelebat bayangan masa lalu bermain di memorinya yang membuatnya tersenyum dingin.

Pahitnya masalalu membuat sesosok Leanne memiliki pondasi yang kuat untuk hidupnya.

Leanne memejamkan matanya, mengusir semua kenangan buruk yang merasuk pikirannya.

Aku tidak boleh mengingat kenangan itu, jika tidak ingin kaki ini berbalik arah meninggalkan tempat ini, batinnya.

Dengan langkah dan hati yang mantap. Leanne langkahkan kakinya dengan menggeret koper ke gerbang yang telah dibukakan, melewati dan berjalan lurus ke depan menyusuri macam-macam tanaman hias.

Di sana dengan jarak yang tidak terlalu jauh berdiri sepasang suami istri paruh baya yang menatap ke arahnya. Tersirat jelas di wajah tua mereka akan nya raut kesedihan dan kerinduan. Namun bagi Leanne semua itu tidak ada artinya, semuanya memuakkan.

Saling menghampiri, dengan tatapan yang tak pernah lepas sekalipun. Wanita paruh baya yang tak lain adalah Anita memelukku erat Leanne. Leanne yang merasakan pelukan seorang ibu yang hangat yang sejak dulu pernah ia inginkan, tiba-tiba saja terasa hampa.

Membalas balik pelukannya pun Leanne sudah tidak ada keinginan. Leanne di antara mereka terasa seperti orang asing, karena tidak mendapatkan balasan dari Leanne. Anita melepaskan pelukannya, terlihat wajah kecewanya karena mendapatkan pengabaian dari anaknya. Leanne sendiri sejak tadi tidak melepaskan tatapan datarnya, ia tidak peduli.

"Bagaimana kabarmu? Ibu sangat merindukanmu, Nak. Kamu semakin cantik dan juga tinggi." Ucap Anita menangkup wajah Leanne.

"Baik." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Leanne membuat senyuman miris terbit di bibir Anita.

"Ayah." Panggil Anita pada suaminya, Harris yang terdiam melihat interaksi ibu dan anaknya. Harris melangkah pelan lalu ia memeluk Leanne dengan erat. Menyalurkan rasa rindu dan rasa bersalah nya juga saat di masa lalu. Sama seperti tadi Harris pun tidak mendapatkan balasan pelukan dari Leanne.

Leanne merasakan bahunya bergetar, dan dia yakin ayahnya tengah menangis di atas bahunya yang masih memeluknya. Sebuah kata memasuki telinganya.

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah." Ucap Harris di sela-sela ia menangis.

Tangan Leanne mengepal erat, tidak ingin apa yang terjadi sekarang membuat Leanne lemah kembali. Leanne mengalihkan pandangannya pada Anita yang sudah menangis deras. Anita menghampiri mereka berdua lalu memeluk mereka begitu erat. Berulang kali permohonan kata maaf yang mereka ucapkan, namun tidak ada satu kata patah pun yang keluar dari bibir Leanne. Ia terdiam dengan pandangan dingin. Hatinya tidak tersentuh sama sekali dengan keharuan mereka.

*****

"Istirahatlah Nak. Kamu pasti sangat lelah, setelah perjalanan jauh." Ucap Anita yang baru saja mengantarkan Leanne masuk ke kamarnya yang dulu.

"Ibu akan panggil kamu ketika makan malam tiba." Ucapnya lagi sebelum berlalu ke arah pintu keluar dan menutupnya.

Setelah kepergian Anita dengan pintu yang sudah tertutup rapat, Leanne mengedarkan pandangannya pada setiap penjuru kamar yang pernah ia tempati dulu. Tidak ada yang berubah dengan dinding warna biru laut, meja rias, dan piagam prestasi nya sejak dulu saat masa High School. Masih tertata rapih di atas meja belajar, kecuali tirai jendela yang sudah di ganti berwarna biru muda bermotif.

Setelah selesai meneliti tidak banyak yang berubah, Leanne segera membuka koper dan mengambil piyama panjang, karena Leanne yakin baju yang berada didalam lemari tidak sesuai ukurannya sekarang.

Sepuluh menit waktu untuk membersihkan diri. Leanne berjalan keluar dari kamar mandi yang transparan. Namun ada tirai yang menutup semua dari dalam.

Leanne membaringkan tubuhnya yang di rasa sangat lelah di atas ranjangnya, ia mencari ponsel yang masih berada di dalam tas yang tergeletak di atas meja sisi ranjangnya.

Leanne memberikan kabar pada Anthony bahwa ia telah sampai di Indonesia.

Setelah menelepon Anthony, ponselnya ia simpan di atas meja dan membaringkan tubuhnya kembali. Sebelum semuanya gelap sempat Leanne dengar ada notifikasi yang masuk pada ponselnya, namun Leanne yang terlalu lelah ia abaikan karena rasa kantuk yang menyerang dirinya.

*****

Leanne yang sudah bangun dari tidurnya beberapa menit lalu kini sedang berjalan keluar dari kamarnya. Setelah Anita memberitahukan jika mereka waktunya makan malam. Leanne menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan.

Di sana sudah ada Anita dan Harris yang tengah menunggunya. Hanya ada mereka berdua.

Tidak ingin menanyakan seseorang yang pernah ikut andil dalam masalalu nya, membuat Leanne makan dalam diam.

Suara Harris memecahkan keheningan di antara mereka.

"Anne, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Harris bertanya menatap Leanne dengan hangat. Meskipun Leanne tidak melihat ke arahnya.

"Atau kamu bisa bekerja di kantor Ayah." Lanjutnya yang di setujui oleh Anita.

"Tidak. Aku hanya akan membuka toko bunga saja." Ucapan Leanne yang bernada datar tanpa melihat mereka berdua.

"Apa kamu yakin? Atau ayah akan men— " Sebelum Harris menyelesaikan ucapannya, Leanne sudah terlebih dahulu menyelanya.

"Tidak. Ini keputusanku." Ucap Leanne penuh penekanan seraya pandangannya menatap ke arah mereka.

Harris yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas, melihat keras kepalaan Leanne yang membuatnya harus mengalah.

"Baiklah. Apa perlu Ibu dan Ayah carikan tempat untuk membuka toko mu, dan mencarikan produsen bunganya." Ucap Anita penuh harapnya.

"Tidak perlu. Semuanya sudah di atur dan siap untuk di tempati. Apa aku bisa pergi melanjutkan tidurku?" Tanya Leanne dan tanpa mendengar jawaban mereka Leanne pun langsung segera beranjak dari sana.

Mengabaikan wajah kecewa mereka dengan senyum getir yang mereka tampilkan.

*****

Jam 7 pagi yang cerah, kini Leanne berada di depan sebuah ruko berlantai dua, Flower's House toko bunga yang didirikan Leanne ini cukup besar dari ruko ruko yang lainnya.

Sebelum Leanne kembali dari New York, ia sudah mempersiapkan semuanya.

Leanne berjalan ke arah toko bunganya, membuka kaca pintu besar yang langsung di sambut dengan berbagai bunga indah dan juga harum.

Kasir setinggi dada berwarna coklat jati yang terdapat pot pot kecil yang berisi berbagai macam bunga. Di dekat tangga ke lantai atas pun ada. Leanne berjalan naik ke lantai atas yang akan ia jadikan kantor merangkap kamar tidurnya jika ia terlalu malas untuk pulang.

Di lantai atas ruangannya sangat rapih dan bersih semua tatanan sesuai keinginan Leanne.

Suara ponsel berdering, membuat Leanne yang tengah meneliti ruangan harus terhenti.

Saat di lihat siapa yang meneleponnya yang ternyata Anita membuat Leanne gamang. Di angkatnya atau tidak panggilan itu. Namun yang Leanne yakini, Anita akan terus meneleponnya sampai panggilannya Leanne jawab.

"Halo." Ucap Leanne saat panggilan Anita ia jawab.

"Halo Nak, apakah bisa nanti pulang jangan terlalu sore. Kita akan makan malam di luar, dan kita harus bersiap-siap terlebih dahulu" Suara Anita dengan sebuah pinta yang bertubi-tubi membuat Leanne mengernyit heran.

"Jam berapa makan malamnya?" Tanya Leanne sambil berjalan kembali ke lantai satu.

"Jam 7 malam kita harus tiba di sana." Sahut Anita di seberang sana.

Leanne yang baru saja tiba di tangga terakhir melihat seorang pelanggan yang masuk kedalam tokonya.

"Hm. Aku tutup telponnya karena ada pelanggan." Ucap Leanne sambil memperhatikan seorang pelanggan wanita paruh baya yang tengah melihat lihat bunga-bunganya.

"Baiklah, hati-hati di jalan pulangnya." Ucap Anita yang penuh perhatian.

"Hm." Jawab Leanne yang langsung menutup sambungan telepon. Leanne menghampiri seorang pelanggan wanita paruh baya itu.

"Selamat datang di Flower's House." Sapa Leanne menyambut ramah pelanggan pertamanya.

"Apa di sini ada bunga yang seperti melambangkan cinta dan kasih sayang?" Tanya wanita paruh baya itu.

"Tentu ada. Mawar putih salah satunya. Berapa tangkai yang anda perlukan, Nyonya?" Tanya Leanne.

"Panggil aku Rose itu namaku." Ucap Rose tersenyum tak kalah ramah.

"Anda dan nama anda sama-sama cantik." Puji Leanne tulus pada Rose yang masih terlihat cantik di usianya.

"Oh, terimakasih, kamu pun tidak kalah cantiknya. Tante butuh satu ikat saja, Nak." Ucap Rose balik memuji sebelum memesan pesanannya.

"Baiklah satu ikat sama dengan sepuluh tangkai bunga, dan kebetulan anda pelanggan pertamaku. Aku berikan diskon untuk anda." Ucap Leanne yang membuat Rose berbinar.

"Waahh!! Benarkah? Semoga toko mu selalu ramai banyak pembelinya, ya." Ucap Rose mendoakan.

"Terimakasih, tunggulah dan duduk di sofa sana. Akan aku siapkan bunganya untuk anda." Ucap Leanne sambil menunjuk sebuah sofa dan meja kecil berwarna merah dekat kaca.

Leanne pergi menyiapkan pesanan Rose dengan cepat dan teliti untuk memperlihatkan cantiknya bunga yang ia rangkai.

"Waaahh rangkaian bunganya cantik sekali." Ucap Rose setelah Leanne menyelesaikan pesanannya.

"Terimakasih, Tante Rose. Jangan lupa untuk membeli lagi bunga disini." Ucap Leanne.

"Pasti. Tante akan menjadi pelanggan tetap di sini." Ucap Rose dengan mata binarnya yang membuat Leanne tersenyum kecil.

*****

Suasana hening dan wajah tegang kedua orang tua Leanne menyelimuti mereka yang berada di dalam mobil. Mobil menuju tempat dimana mereka akan makan malam di sebuah restauran ternama yang ada di kota itu.

Setelah tiba mereka pun masuk dan di sambut oleh pramusaji untuk menunjukkan tempat yang telah Anita reservasi. Namun yang membuat Leanne bingung adalah tempat yang di tunjukkan si pramusaji sudah ada yang menempati, dan sekarang Leanne tahu kedua orang tua Leanne memang sengaja makan malam bersama mereka.

"Halo Harris, akhirnya kau datang." Ucap lelaki paruh baya yang berjabat tangan dengan Harris.

"Maaf Daniel, sedikit kendala di jalan membuat kami terlambat." Balas Harris tak enak hati pada teman sekaligus rekan bisnisnya.

"Rose, senang bertemu denganmu." Ucap Anita sambil menghampirinya.

"Aku juga Anita, dan kau tetap saja cantik." Ucap Rose dan mereka saling cipika-cipiki lalu berpelukan.

"Harris kenalkan ini anakku, Damian." Ucap Daniel seraya memperkenalkan pria yang lebih muda darinya.

"Damian Regan Romanov, Om." Ucapnya tegas namun sopan.

"Ini anakku Leanne Athena Mavros yang baru pulang dari New York." Ucap Harris.

"Oh! Kamu gadis penjual bunga itu, 'kan? Ternyata kita di pertemukan lagi sayang." Ucap Rose yang baru menyadari kehadiran Leanne. Karena sejak tadi Leanne mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rose memeluk Leanne, lalu ia menatap Leanne dengan lembut.

"Kau kenal anakku, Rose?" Tanya Anita yang membuat semua penasaran.

"Iya Anita, dan aku salah satu pembeli bunga di toko anakmu, tidak aku sangka gadis cantik ini adalah anak kalian." Ucap Rose yang masih menatap Leanne lembut dan hangat.

Mendengar ucapan Rose, membuat mereka mengangguk mengerti.

"Ya sudah, kita duduk dulu dan pesan makanannya baru kita lanjutkan mengobrolnya." Ucap Daniel.

Mereka pun memesan dan memakan makanan yang sudah di sajikan oleh pelayan, serta mengobrol di sela-sela acara makan mereka.

▪️▪️▪️▪️▪️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status