Kyra Dellaina sejak beberapa saat lalu terus menggigit bibir bawahnya. Dia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Gundah sedang mendera hati perempuan itu. Di tangan kanan Kyra, tergenggam benda putih serupa stik es krim yang baru saja dia gunakan untuk mengecek kandungan hormon dalam cairan urinnya.
Dua garis merah muncul pada penunjuk hasil alat tes kehamilan tersebut. Garis-garis yang semula tampak samar itu perlahan berubah menjadi sangat tegas.
Positif.
“Aku hamil?” Kyra bergumam sambil mengelus perutnya yang masih rata. Dia menghentikan gerak bolak-baliknya dan memilih duduk di ranjang untuk menenangkan diri.
Hasil yang Kyra dapatkan tersebut, sudah tidak diragukan lagi. Itu tespek ketiga yang Kyra coba selama tiga hari berturut-turut dan hasilnya tetap sama. Bukan garis satu, juga bukan garis samar. Jelas segumpal darah telah membentuk janin dan bernaung di dalam rahimnya. Hanya perlu menunggu selama sembilan bulan untuk membawanya lahir ke dunia.
“Ini tidak salah.” Kyra menahan senyuman, keraguan masih membayang.
Sesekali perempuan mungil berparas ayu itu menarik napas panjang, lantas menghelanya dengan sangat berat. Kyra bingung bagaimana harus mengambil sikap. Bukan Kyra tidak bahagia atas kehamilan tersebut, hanya saja dia khawatir lelakinya menanggapi dengan pandangan yang berbeda. Mereka memiliki kesepakatan tidak tertulis mengenai hal-hal semacam itu.
“Apa yang harus kulakukan?” Kyra kebingungan.
Di lain tempat.
Gardenia putih dengan semburat kekuningan pada bagian tengah kelopak, dirangkai apik bersama beberapa tangkai baby's breath berwarna senada dalam balutan kertas kado merah muda. Aromanya semerbak, membawa perasaan penuh romansa dan kebahagiaan.
Lelaki Parker dengan setelan jas single breasted berwarna abu-abu itu tersenyum semringah ketika seorang florist menyerahkan buket bunga cantik tersebut kepadanya.
“Bunga yang indah cocok untuk diberikan kepada wanita terindah,” celetuk sang penjual bunga. ”Pilihan Anda sangat tepat, Tuan,” imbuhnya memberikan pujian.
Penjual bunga tersebut tentu saja tidak berbicara asal. Saat memesan tadi, Richard meminta diberi bunga paling istimewa sebagai tanda cinta untuk wanita terkasih.
“Terima kasih. Ini sangat cantik.” Richard menyerahkan kartu debit untuk membayar.
Senyuman lelaki bernama lengkap Richard Parker itu kian tersungging lebar. Buket bunga tersebut memang ditujukan untuk wanita terindah, yang juga paling dicintai oleh Richard.
Setelah transaksi pembayaran dilakukan, pemilik toko bunga itu menyerahkan kembali kartu debit milik Richard.
“Terima kasih telah membeli bunga dari toko kami. Semoga wanita Anda menyukainya, Tuan. Dan semoga hari Anda menyenangkan.”
Richard mengangguk kecil untuk menimpali ujaran pemilik toko. Aroma segar nan manis yang menguar dari kelopak-kelopak bunga cantik itu mengantarkan perasaan damai dalam dada Richard. Lelaki berparas menawan itu lantas mengurai langkah meninggalkan Eksoluxion Florist setelah membayar. Dia menuju mobil hitam yang terparkir di halaman toko bunga.
Dengan sangat hati-hati, Richard meletakkan buket bunga pada kursi penumpang di sebelah kiri. Dia lalu kembali tersenyum menatap rangkaian cantik bunga-bunga itu sambil membayangkan reaksi wanita tersayangnya saat mendapat perlakuan romantis nanti. Sudah lama sekali, Richard tidak membelikan bunga seperti yang dia lakukan sekarang. Belakangan ini, banyak urusan di kantor yang menyita waktu Richard.
Hari ini istimewa, tentu saja wanita kesayangan Richard layak mendapatkan perlakuan yang istimewa juga.
Setelah memastikan sabuk pengamannya dikenakan dengan benar, Richard melajukan mobil dengan bersenandung riang untuk menemui wanita tercinta.
“Semoga tidak ada yang merusak hari istimewa ini,” harap Richard.
Mobil hitam itu kembali melaju membelah jalanan, dengan latar semburat jingga yang tumpah ruah di langit sore.
Kyra masih terus mondar-mandir memikirkan apa yang harus dia katakan pada Richard. Tiba-tiba, suara pintu apartement terbuka membuat jantungnya semakin berdebar tidak karuan. Disusul derap langkah yang menuju kamar di mana dia berada sekarang. Kyra serta-merta bangkit dari duduknya dan menyembunyikan tespek tersebut ke dalam saku celana. Lalu dia bersiap menyambut lelaki kesayangan.
“Sayang ... kau di mana?” Suara berat yang sarat akan cinta itu menyapa merdu kedua gendang telinga Kyra.
Sekali lagi Kyra menghela dan mengembuskan napas untuk mengatur kegugupan.
“Sayang, kau datang?” Kyra menyongsong lelaki jangkung yang memeluk erat. Seperti biasa.
Pelukan itu lantas diurai oleh Richard.
“Untukmu.” Buket bunga dari Richard serta-merta berpindah ke tangan Kyra.
Kedua mata bulat Kyra berbinar bahagia. dia menyesap aroma semerbak dari kelopak-kelopak putih nan cantik itu.
”Selamat ulang tahun!” ucap Richard lembut.
Lagi-lagi kecupan dari Richard mendarat di kening Kyra.
“Terima kasih, Sayang.” Kyra kembali memeluk lelaki tampan kesayangan.
Richard Parker, satu-satunya lelaki yang berhasil membuat Kyra terlalu jatuh dalam cinta. Lelaki itu tersenyum begitu lebar sebelum menghujani kecupan di pucuk kepala Kyra, juga kening dan berakhir pada bibir tebalnya. Selalu seperti itu ritual yang dilakukan setiap kali Richard datang.
Kyra mengeratkan pelukannya. Sungguh, dia tidak pernah ingin melepas lelaki ini sedetik saja. Perempuan itu suka sekali dengan aroma tubuh Richard yang menenangkan. Kyra menyukai pelukan hangat Richard. Kyra sangat menyukai bibir tebal lelaki yang senatiasa memberikan kecupan lembut. Singkatnya, Kyra terlalu terpesona pada segala hal yang ada di dalam diri Richard Parker.
Richard masih memejamkan mata ketika Kyra melepaskan diri perlahan dari pelukan eratnya. Perlahan Richard membuka mata dan tatapan mereka bertemu.
Kyra menatap manik kecokelat-cokelatan itu dengan gamang. Ada kabar yang harus dia beri tahu. Tidak mungkin bisa disembunyikan.
“Sayang, ada apa?” Richard dapat menangkap raut cemas pada wajah ayu wanitanya yang begitu kentara.
“Aku … “ Kyra tampak begitu ragu.
“Katakan, Sayang. Ada apa?” Richard membelai pipi kanan yang sedikit lebih berisi dari hari-hari sebelum ini.
Kyra menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tatapan lembut Richard membangkitkan sedikit kepercayaan diri perempuan itu.
“Aku … hamil.” Kyra dengan sedikit gamang menyodorkan tespek yang sempat dia sembunyikan.
Rona wajah Richard berubah datar. Garis bibir yang semula melengkung ke atas, lenyap seketika. Mata Richard menatap nanar pada tespek di genggaman tangan kanan Kyra yang gemetar. Keheningan sejenak menguasai dua orang yang kini saling menatap dalam diam.
Kecemasan Kyra terbukti nyata, Richard tampak tidak menginginkan kehamilan itu terjadi.
Kyra masih menunggu bibir tebal Richard yang terkatup rapat itu, mengucapkan kata. Meskipun itu sebuah penolakan, tidak mengapa.
“Aku mandi dulu.” Richard jelas melarikan diri dari tatapan Kyra yang menuntut reaksi atas pernyataannya barusan.
Namun, Kyra tidak bisa menahan ketika lelaki kesayangan berlalu meninggalkannya. Kyra hanya menatap sendu pada tespek di genggaman tangan kanan, bergantian dengan buket bunga pada tangan kiri.
“Anakku .... “ Kyra bergumam lirih.
Angan Kyra lantas menduga berbagai kemungkinan yang akan terjadi andai Richard benar-benar tidak menghendaki kehamilan tersebut.
“Ibu akan membujuk Ayah. Tenang saja. Ayah bukan orang jahat.” Kyra berbicara seolah janin dalam kandungan bisa mendengarkan apa yang baru saja diucapkan olehnya.
-To be continued-
Richard tidak pernah menghabiskan waktu lama seperti sekarang ini hanya untuk membasuh tubuhnya. Sudah hampir satu jam dan lelaki itu belum juga kembali dari kamar mandi. Kyra menanti di tepian ranjang dengan perasaan was-was. Dia memangku kedua tangan, jemarinya saling meremas. Pandangan mata Kyra gelisah menunggu pintu kamar terbuka lagi. Sekali-sekali Kyra melirik tespek yang dia letakkan di atas nakas, berdampingan dengan buket gardenia pemberian Richard beberapa saat lalu.“Apa Richard marah? Mungkinkah dia tidak senang.” Kyra menerka-nerka apa yang Richard rasakan setelah mendapat kabar kehamilannya. Sebab, ekspresi Richard tadi sedikit sulit untuk diterjemahkan.Kyra kembali menggigit bibir tebal bagian bawahnya ketika pintu kamar terbuka, menampilkan Richard dengan rambut yang masih basah dan tetesan air berjatuhan. Kyra beranjak mendekati Richard, berdiri tepat di hadapan lelaki yang lebih tinggi darinya itu .“Kau … tidak
Kyra meneguk habis segelas air minum setelah menyelesaikan satu mangkuk sup rumput laut dengan disuapi oleh Richard. Lelaki di hadapannya itu tersenyum gemas saat Kyra berserdawa.“Ma—af, tidak sengaja,” lirih Kyra, biasanya dia tidak melakukan hal sekonyol itu.“Tidak masalah, Sayang. Itu berarti kau menikmati sup buatanku, ‘kan?” timpal Richard, senyuman masih bertahan pada bibir tebalnya.“Hm … Sangat nikmat. Kalau saja aku belum kenyang, aku ingin minta dibuatkan lagi.” Kyra tidak membual soal rasa masakan yang dibuat oleh Richard, itu benar-benar nikmat.“Masih ada banyak hari untuk kita lalui bersama, Sayang. Aku akan lebih sering memasak untukmu,” ucap Richard.Richard lantas membenahi piranti makan.“Biar aku saja yang mencuci.” Kyra menahan mangkuk yang akan Richard bawa ke wastafel.Biasanya memang Kyra yang memasak dan mencuci piring bekas mereka
Roda Mercedes-Benz AMG G65 yang Richard kemudikan, berhenti melaju tepat di depan sebuah rumah mungil dengan cat biru. Kyra segera melepas kaitan sabuk pengaman dan membuka mobil pintu. Langkah pendeknya terlihat begitu ringan menapaki halaman yang tidak terlalu luas, berhias jejeran krisan aneka warna.Richard tersenyum gemas melihat tingkah Kyra tersebut. Richard mengikuti di belakang.Ketika sampai di depan pintu, uluran tangan Kyra yang hendak mengetuk, urung dan turun kembali ke samping badan. Dia lantas berbalik dengan wajah menunduk. Tingkat kepercayaan diri Kyra menurun drastis, nyalinya menjadi ciut hanya untuk menemui ibu sendiri.”Kita pulang saja,” ajak Kyra lirih.”Ada apa, Sayang?” Richard menatap Kyra dengan heran.Beberapa detik yang lalu, Kyra tampak begitu bersemangat. Akan tetapi, tiba-tiba menjadi lesu seperti ini. Richard yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kyra hingga berubah secara mendadak.
Kyra melepaskan diri dari pelukan Richard. Dia mengurai langkah tanpa tenaga menuju ke arah Nyonya Amber. Richard menatap waspada lalu tersentak ketika Kyra tiba-tiba menekuk kedua lutut, dan bersimpuh di hadapan Nyonya Amber.“Ibu ….“ Suara Kyra terdengar begitu nelangsa.Richard masih menahan diri untuk tidak menarik Kyra dari posisi berlututnya. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh Kyra saat ini, bisa
Dua pasang mata yang sama-sama bulat itu masih saling menatap satu sama lain dalam keheningan. Richard senantiasa menunggu Kyra membuka bibir tebalnya untuk bertutur kata, mengucapkan permohonan yang dia maksud beberapa saat lalu. Meskipun Richard diliputi perasaan was-was, tetapi laki-laki itu berusaha untuk tetap tenang. Richard tidak mau menunjukkan ekspresi gelisah di hadapan Kyra yang juga sedang dilanda gundah akibat perlakuan dan penolakan dari Nyonya Amber.Sementara itu, Kyra tetap bergeming. Dia membungkam mulut rapat-rapat setelah mengucapkan dua kata terakhir yang sengaja dia beri jeda. Bukan maksud Kyra mengulur-ulur waktu. Dia hanya sedang mempertimbangkan berbagai macam risiko yang akan terjadi jika keinginan terpendamnya selama ini diungkapkan sekarang juga.Beberapa hal bisa saja terjadi kepada hubungan Richard dan Kyra. Kemungkinan paling buruk yang Kyra dapatkan adalah kehilangan Richard, meskipun dia sangat tahu bahwa Richard tidak akan mungkin mele
Setelah dua hari selama akhir pekan lalu menetap di South East menemani Kyra, Richard kembali ke Midtwon untuk menjalankan aktivitasnya di kota itu. Sebagai anak tunggal dari Keluarga Parker, tentu saja bukan hal aneh jika Richard dilimpahi tanggung jawab atas keberlangsungan perusahaan milik sang ayah.“Kau sudah pulang, Nak?” Nyonya Parker menyapa kedatangan Richard di rumah mereka.Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang ibu.“Sudah sarapan?” tanya Nyonya Parker lagi.Richard kembali memberi jawaban berupa anggukan. Sebelum kembali ke Midtown, Richard lebih dulu menikmati makan paginya bersama Kyra.“Rich!” seru Tuan Parker memanggil dari ruang keluarga.“Iya, Ayah?” sahut Richard sambil menoleh ke arah laki-laki itu.“Bisa ikut ayah sebentar? Ada yang perlu ayah bicarakan denganmu.” Tuan Parker tidak menunggu persetujuan dari Richard meskipun d
“Halo, Rich!” sapa sebuah suara melalui panggilan telepon.Richard menyalakan pelantang suara pada layar telepon genggam dan membiarkannya tergeletak di atas meja. Suara si penelepon menggema di ruang kerja berukuran 3 X 3 meter persegi tersebut. Sementara itu, kedua tangan Richard sibuk membolak-balik berkas yang sedang diperiksa olehnya.“Kau sedang di mana, Rich?” Suara yang sama kembali terdengar.“Di kantor.” Richard menjawab dengan singkat.Ada jeda beberapa saat. Baik Richard maupun wanita di seberang sambungan telepon itu sama-sama terdiam. Kedua manik mata Richard terus saja sibuk bergulir dari kiri ke kanan untuk membaca setiap kalimat yang tertera pada lembaran kontrak kerja.“Kapan kau akan pulang ke rumah, Rich?” tanya si penelepon lagi.Richard tidak langsung menjawab. Ada ragu yang menyelusup dalam dada dan itu membuatnya enggan untuk memberikan janji tanpa kepastian atas pertany
Ponsel Richard berdering untuk yang ke sekian kali. Semula dia sempat mengabaikan panggilan yang masuk berurut-turut itu. Akan tetapi, kali ini Richard serta-merta menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menerimanya. “Halo, Sayang!” sapa Richard dengan suara riang. Meskipun penat tengah menyerang, nyatanya mendengar suara wanita terkasihnya bisa menjadi suntikan semangat bagi Richard. “Eum ....” Kyra terdengar ragu-ragu untuk berbicara. “Apa terjadi sesuatu?” tebak Richard, keraguan Kyra sering kali menjadi pertanda akan hal yang kurang baik. “Tidak ada,” jawab Kyra lugas. “Lalu?” “Hanya rindu,” ucap Kyra dengan suara lirih. Richard tersenyum, penatnya musnah bersama pengakuan Kyra yang manis barusan. Selama ini, Richard yang sering kali mengumbar kata cinta juga rindu, sedangkan Kyra hanya menimpali kalimat-kalimat yang Richard ucapkan. “Kenapa kau diam?” Kyra merasa diabaikan. “Aku senang karena kau
*Selamat membaca*Richard sedang duduk memangku Cavero sambil menunggu Kyra yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Bocah lelaki pemilik tubuh gempal di pangkuan Richard tersebut sedang dalam masa aktif. Cavero tidak mau diam sedikit pun. Bibir tebal si bayi terus berceloteh meski tanpa arti yang jelas.“Nananana … “ Cavero menepuk - nepuk kedua tangan, sekali - sekali liurnya menetesi lengan Richard yang melingkari perut gembul itu.“Jagoan Ayah semangat sekali.” Richard terus bersikap siaga untuk menjaga supaya bocah lelaki kesayangannya itu tidak jatuh dari pangkuan.“Sama seperti ayahnya, Cavero tidak mau diam,” sahut Kyra tanpa menoleh ke arah Richard dan Cavero. Tangan Kyra masih fokus menuang bubur ke dalam mangkuk.Beberapa detik setelah itu, langkah pendek- pendek Kyra terdengar mendekat ke arah meja makan, tempat di mana dua lelaki kesayangan
*Selamat membaca*Cavero adalah anugerah terindah yang hadir menyempurnakan kehidupan Kyra. Sejak kehadiran Cavero dalam rahim Kyra, keadaan menjadi lebih baik secara perlahan-lahan. Hubungan Nyonya Amber dan Richard saat ini pun sudah seperti pasangan ibu mertua dan anak menantu pada umumnya. Richard tidak lagi menyebut Nyonya Amber dengan sebutan ‘Nyonya’. Nyonya Amberjuga
Butuh waktu selama lima hari untuk pemulihan bagi Kyra setelah melakukan prosedur operasi sesar di rumah sakit. Akhirnya, Kyra dan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu diizinkan pulang oleh dokter. Richard tentu saja merasa senang bukan main, dia bahkan mengabaikan semua urusan di perusahaan, baik milik Tuan Parker maupun miliknya sendiri. Richard mengalihkan seluruh tanggung jawab dan tugas penting kepada Calvin. Richard sudah mempersiapkan berbagai macam alibi untuk tinggal lebih lama di North Island. Kelahiran bayi pertamanya dengan Kyra, tentu saja patut untuk dirayakan. Richard ingin selalu bersama dua orang tersayangnya itu. ”Rich … “ Kyra memanggil Richard dengan suara lirih. “Hm?” Richard menyahut tanpa mengalihkan perhatian pada bayi laki-lakinya. “Apa tidak masalah?” tanya Kyra tiba-tiba. “Apanya?” Richard kali ini menatap Kyra dan balik bertanya. “Kau terlalu lama meninggalkan Midtown. Bagaimana dengan pekerjaanm
Kyra meringis lirih seraya bergerak tertatih menuju ke arah kamar mandi. Belakangan ini dia sering mengalami kontraksi palsu, di mana perutnya begitu terasa melilit dengan dorongan mengejan, tetapi yang terjadi ternyata hanya desakan untuk membuang air dalam kemih.“Ibu!” Kyra memekik dari dalam kamar mandi.Nyonya Amber segera menghampiri dan membuka pintu kamar mandi yang sengaja tidak dikunci. Wanita itu menjadi sedikit panik ketika air ketuban tampak membasahi kedua paha bagian dalam Kyra.Bibi Juni yang ikut menghampiri, segera tanggap memanggil sopir yang Richard sediakan untuk berjaga jika hal darurat semacam ini terjadi. Ketiga orang tersebut kemudian membawa Kyra ke rumah sakit terdekat. Mereka yakin sudah waktunya Kyra untuk melahirkan.Sementara itu di Midtown, Richard sedang bersiap untuk bertemu klien setelah makan siang, tetapi pikirannya mulai resah karena pesan teks yang dia kirimkan sejak pagi tadi belum kunjung mendapatkan ba
Mendekati hari persalinan, Richard semakin protektif kepada Kyra. Ketika sedang berada jauh di Midtwon, lelaki itu akan menghubungi Kyra melalui panggilan video, hampir setiap tiga puluh menit satu kali. Jangan lupakan pesan singkat yang dikirim nyaris tanpa jeda. Bahkan, ketika Richard sedang dalam rapat direksi sekalipun.Nyonya Amber juga tidak kalah protektif dari Richard. Kyra tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apa pun di rumah. Bahkan, hanya sekadar membersihkan debu di meja makan. Apalagi melakukan hobinya memasak di dapur, Nyonya Amber melarang Kyra.
Kyra patut bersyukur atas kehamilannya saat ini. Meskipun semula Kyra ragu dan mengkhawatirkan perihal kehadiran sang jabang bayi, sekarang itu menjadi anugerah terindah dalam hidupnya. Selain Nyonya Amber yang bersedia membuka pintu maaf bagi Kyra, kini hubungan sang ibu dengan Richard pun perlahan-lahan mulai membaik.Awalnya Nyonya Amber memilih pulang ke South East setiap Richard berkunjung, seperti kesepakatan yang mereka buat, tetapi lama kelamaan Nyonya Amber mulai terbiasa menerima keberadaan Richard. Dan tidak lagi keberatan tinggal di bawah atap yang sama dengan si anak konglomerat.Senyum manis tersemat di bibir Kyra ketika melihat dua orang yang dicintainya itu bahu membahu menghias kamar si jabang bayi. Sekali-sekali Richard dan Nyonya Amber akan beradu argumen jika tidak menemukan kesepahaman. Seperti saat ini, Nyonya Amber ingin kamar bayi dicat warna biru, sedangkan Richard mengusulkan merah muda saja.“Biru lebih netral. Bisa untuk bayi pe
Tinggal seorang diri ketika Richard berada di Midtown menjalankan kesibukannya, tidak membuat Kyra hanya duduk manis tanpa melakukan apa-apa. Perut Kyra yang sudah semakin besar sering jalannya waktu kehamilan pun bukan alasan untuk dia berdiam diri di rumah. Kyra tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Jika orang-orang lain melakukan healing dengan berlibur, memasak justru menjadi momen paling menyenangkan bagi Kyra. Saat di dapur bersama peranti memasaknya, Kyra bisa sedikit melupakan segala kegundahan. Bahkan sekali-sekali Kyra sempat mengabaikan panggilan masuk ataupun pesan elektronik dari Richard. Namun, sejak Richard mengomel panjang lebar karena mengkhawatirkannya, Kyra selalu menempatkan telepon genggam tidak jauh dari jangkauan. Supaya dia bisa mendengar dering ketika Richard menghubungi. “Ya Tuhan!” Kyra nyaris saja melempar wajan dari tangan karena terkejut oleh dering ponselnya.
Bab 19Richard menarik napas dalam-dalam sebelum turun dari mobil. Langkah tegapnya kemudian menapaki paving blok yang terpasang di halaman rumah, membentuk jalanan setapak menuju pintu utama. Bunga warna-warni berjejer menghias di kanan dan kiri. Nyonya Parker yang merawat itu semua dengan telaten.‘Andai Kyra di sini, dia pasti betah,’ gumam Richard.Setipe dengan Nyonya Parker, Kyra juga menyukai berbagai jenis bunga. Mungkin itu menurun dari Nyonya Amber yang juga hobi merawat tanaman. Bahkan di halaman rumah Nyonya Amber yang tidak begitu luas, terdapat deretan krisan aneka warna. Richard tidak tahu kenapa wanita tersebut memilih krisan dari sekian banyak bunga yang ada.“Selamat datang, Tuan Rich,” sapa seorang pelayan yang tiba-tiba membukakan pintu utama untuk Richard.Seolah-olah kedatangan Richard sudah dapat terendus oleh indra pembauan si pelayan. Atau mungkin di rumah mewah itu terpasang radar yang bisa mendet
“Maaf. Aku tidak seharusnya mengatakan itu, aku—”“Sayang ….” Richard menyela ucapan Kyra. “Untuk apa meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apa pun,” imbuhnya menenangkan.“Tapi ….” Kyra menggantung kalimatnya, ia tahu betul perbincangan tentang Nyonya Amber sering kali tidak membawa akhir yang menyenangkan, justru hanya menyisakan kecanggungan.