Roda Mercedes-Benz AMG G65 yang Richard kemudikan, berhenti melaju tepat di depan sebuah rumah mungil dengan cat biru. Kyra segera melepas kaitan sabuk pengaman dan membuka mobil pintu. Langkah pendeknya terlihat begitu ringan menapaki halaman yang tidak terlalu luas, berhias jejeran krisan aneka warna.
Richard tersenyum gemas melihat tingkah Kyra tersebut. Richard mengikuti di belakang.
Ketika sampai di depan pintu, uluran tangan Kyra yang hendak mengetuk, urung dan turun kembali ke samping badan. Dia lantas berbalik dengan wajah menunduk. Tingkat kepercayaan diri Kyra menurun drastis, nyalinya menjadi ciut hanya untuk menemui ibu sendiri.
”Kita pulang saja,” ajak Kyra lirih.
”Ada apa, Sayang?” Richard menatap Kyra dengan heran.
Beberapa detik yang lalu, Kyra tampak begitu bersemangat. Akan tetapi, tiba-tiba menjadi lesu seperti ini. Richard yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kyra hingga berubah secara mendadak.
”Tidak ada apa-apa,” elak Kyra.
Richard tidak percaya ucapan Kyra. Wajah Kyra menyiratkan sebaliknya.
“Sayang … katakan ada apa?” desak Richard.
Kyra menghela lirih. “Kurasa bukan hari ini waktu yang tepat untuk bertemu dengan ibu,” ucapnya pasrah.
Richard menahan lengan Kyra ketika akan beranjak dari rumah itu. Kepalan tangan kiri Richard tanpa ragu mengetuk pintu berpelitur cokelat itu.
”Richard ….” Kyra gugup setengah mati, padahal dia hanya akan menemui ibu sendiri, bukan ibu tiri.
”Kita tidak akan tahu kapan waktu yang tepat, jika tidak pernah mau mencobanya, Sayang,” bisik Richard.
Kembali pintu itu diketuk oleh Richard lantaran tidak kunjung terbuka. Richard mengeratkan genggaman pada jemari mungil Kyra yang terasa bergetar, mengisyaratkan jika mereka akan melalui semuanya bersama.
“Tidak apa-apa.” Richard berbisik lembut diakhiri senyuman yang meneduhkan.
Setelah beberapa kali mengetuk, pintu itu akhirnya terbuka juga. Menampilkan sang pemilik rumah yang semula menyambut dengan senyum ramah. Akan tetapi, seketika menunjukkan kedataran pada raut wajah setelah melihat tamu yang datang adalah Richard dan Kyra.
Tidak menolak, pula tidak mempersilakan, Nyonya Amber kembali masuk ke rumah, mengabaikan dua orang tamu tidak diundang itu tetap berdiri di ambang pintu yang dia biarkan terbuka lebar.
Kyra menahan lengan Richard saat hendak melangkahkan kaki memasuki rumah. Kepalanya menggeleng kecil. Sorot mata Kyra jelas sekali menyiratkan kegamangan.
“Kita … pulang saja,” ulang Kyra mengajak.
Senyum tipis itu masih bertahan pada bibir tebal Richard, sementara kedua mata besarnya menatap teduh pada wanita yang tampak sangat risau.
”Tidak apa-apa, Sayang. Kita sudah di sini. Kalau menyerah sekarang, kita tidak akan pernah bisa memperbaiki hubungan dengan ibu,” ucap Richard membujuk Kyra sekaligus meyakinkannya.
Kyra menelan ludah gugup. Genggaman eratnya dielus lembut oleh Richard. Anggukan dari Richard perlahan mengikis keraguan yang menghampiri Kyra.
“Ayo kita masuk,” ajak Richard.
Kyra kemudian ikut melangkah bersama Richard memasuki rumah bernuansa biru itu. Sama sekali tidak berubah sejak kepergian Kyra dari sana.
Nyonya Amber sudah duduk di sofa ruang tamu. Dia masih membungkam mulut rapat-rapat, tidak berbasa-basi sedikit pun untuk mempersilakan dua orang itu duduk. Apalagi menawari mereka minum. Kedua tangan Nyonya Amber bersedekap di depan dada. Dia membangun pertahanan diri sekuat tenaga. Sangat sulit bagi Nyonya Amber untuk berhadapan kembali dengan putri semata wayangnya.
Richard mengambil inisiatif untuk duduk dan menarik Kyra turut duduk di sampingnya. Richard tetap menunjukkan sikap ramah, meskipun Nyonya Amber tampak menahan amarah. Sedangkan Kyra terus saja dilanda gundah.
”Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabar Ibu?” Richard membuka pembicaraan.
”Aku bukan ibumu!” elak Nyonya Amber bersungut-sungut.
Richard dapat merasakan tangan Kyra gemetar dalam genggamannya. Sudah pasti Kyra terluka mendengar sahutan Nyonya Amber, meskipun kalimat itu ditujukan bukan untuk dirinya.
”Aku sangat membenci orang yang datang dan pergi sesuka hati. Dan aku sedang malas menerima tamu. Jadi sebaiknya kalian pergi. Tidak perlu datang lagi ke sini lain kali.” Nyonya Amber mengucapkan itu dengan nada pelan dan raut wajah datar, tetapi sarat akan pengusiran sekaligus penolakan.
Sebulir cairan bening menetesi punggung tangan kanan Richard yang terpangku di atas paha Kyra. Lelaki itu menoleh. Hati Richard terenyuh mendapati gurat kesedihan pada wajah wanita terkasih.
Richard sangat memaklumi apabila Nyonya Amber begitu menaruh rasa benci terhadap dirinya, tetapi kebencian itu tidak semestinya dialamatkan juga pada Kyra —putri kandung satu-satunya. Dan Richard tidak suka ketika Kyra bermuram durja seperti saat ini.
”Baiklah. Kami permi— ” Ucapan Richard tidak tuntas lantaran Kyra mendadak melepas genggaman tangannya kemudian lari terbirit ke kamar mandi, sambil menutup mulut.
Nyonya Amber terbengong melihat apa yang Kyra lakukan itu. Namun, pada detik selanjutnya Nyonya Amber tampak begitu kesal saat mendengar suara Kyra dari dalam kamar mandi. Dia seperti sedang memuntahkan sesuatu.
”Apa dia sedang hamil?” tanya Nyonya Amber retorik.
Anggukan Richard menimbulkan dengkusan berat dan lelah dari bibir wanita paruh baya itu.
”Kami datang untuk memberitahukan kabar bahagia itu kepada Ibu,” timpal Richard.
Nyonya Amber mendecih remeh. “Bahagia untuk siapa?”
Richard menahan diri untuk tidak menyahut. Dia tahu, emosi tidak akan bisa diluluhkan dengan cara menentang.
“Bahagia untukmu, bukan berarti bahagia untuk yang lain,” cibir Nyonya Amber.
Richard tertampar telak oleh kalimat yang diucapkan Nyonya Amber. Meskipun Richard sangat meyakini bahwa kebahagiannya adalah kebahagiaan bagi Kyra juga. Dan bagi Richard, tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan dengan keberadaan Kyra dalam hidupnya.
”Ibu … Ibu tahu bukan, kami saling mencintai?”
Nyonya Amber membuang muka, enggan memandang Richard dengan wajah memelasnya.
”Itu sebelum kau menjadi seorang pecundang.” Nyonya Amber kembali bersungut kesal.
”Anda boleh membenci saya, tetapi saya mohon … jangan menghukum Kyra seperti ini,” pinta Richard tulus.
”Kau yang membuat putriku sengsara!” tuduh Nyonya Amber murka.
Richard memejamkedua mata untuk menekan amarah dalam dada. Meskipun Richard mengakui kealpaan sendiri, tetapi dia tidak terima dituduh telah menyengsarakan Kyra. Selama mereka hidup bersama, Richard berusaha merangkai bahagia. Tidak satu kali pun Richard menyakiti wanita itu. Kyra selalu tersenyum dan bahagia bersama Richard.
”Ibu … saya mohon jangan seperti ini pada putri Ibu sendiri.” Richard masih membujuk, tetapi wanita baya itu agaknya memang memiliki hati yang sekeras baja.
Nyonya Amber menggigit bibirnya keras, kemudian berujar, “Putriku sudah lama tiada sejak dia memilih tetap bersamamu tanpa persetujuan dariku.”
“I—ibu ….“ Suara lirih itu terdengar lara.
Richard menoleh, mendapati Kyra tengah berdiri mematung di ambang pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Kalimat dari bibir Nyonya Amber sungguh membuat hati Kyra semakin hancur.
Lelaki itu segera menyongsong tubuh gemetar Kyra. Richard tahu Kyra adalah wanita tegar, tetapi hormon dalam tubuhnya saat ini membuat dia tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik. Kyra menangis tergugu dalam pelukan Richard.
Nyonya Amber menoleh pada Richard dan Kyra, pemandangan itu membuatnya merotasikan kedua mata dengan jenuh. Lagi-lagi Nyonya Amber mendengkus keras.
”Hentikan drama kalian dan segera pergi dari rumah ini!” usir Nyonya Amber lantang.
- To be continued -
Kyra melepaskan diri dari pelukan Richard. Dia mengurai langkah tanpa tenaga menuju ke arah Nyonya Amber. Richard menatap waspada lalu tersentak ketika Kyra tiba-tiba menekuk kedua lutut, dan bersimpuh di hadapan Nyonya Amber.“Ibu ….“ Suara Kyra terdengar begitu nelangsa.Richard masih menahan diri untuk tidak menarik Kyra dari posisi berlututnya. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh Kyra saat ini, bisa
Dua pasang mata yang sama-sama bulat itu masih saling menatap satu sama lain dalam keheningan. Richard senantiasa menunggu Kyra membuka bibir tebalnya untuk bertutur kata, mengucapkan permohonan yang dia maksud beberapa saat lalu. Meskipun Richard diliputi perasaan was-was, tetapi laki-laki itu berusaha untuk tetap tenang. Richard tidak mau menunjukkan ekspresi gelisah di hadapan Kyra yang juga sedang dilanda gundah akibat perlakuan dan penolakan dari Nyonya Amber.Sementara itu, Kyra tetap bergeming. Dia membungkam mulut rapat-rapat setelah mengucapkan dua kata terakhir yang sengaja dia beri jeda. Bukan maksud Kyra mengulur-ulur waktu. Dia hanya sedang mempertimbangkan berbagai macam risiko yang akan terjadi jika keinginan terpendamnya selama ini diungkapkan sekarang juga.Beberapa hal bisa saja terjadi kepada hubungan Richard dan Kyra. Kemungkinan paling buruk yang Kyra dapatkan adalah kehilangan Richard, meskipun dia sangat tahu bahwa Richard tidak akan mungkin mele
Setelah dua hari selama akhir pekan lalu menetap di South East menemani Kyra, Richard kembali ke Midtwon untuk menjalankan aktivitasnya di kota itu. Sebagai anak tunggal dari Keluarga Parker, tentu saja bukan hal aneh jika Richard dilimpahi tanggung jawab atas keberlangsungan perusahaan milik sang ayah.“Kau sudah pulang, Nak?” Nyonya Parker menyapa kedatangan Richard di rumah mereka.Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang ibu.“Sudah sarapan?” tanya Nyonya Parker lagi.Richard kembali memberi jawaban berupa anggukan. Sebelum kembali ke Midtown, Richard lebih dulu menikmati makan paginya bersama Kyra.“Rich!” seru Tuan Parker memanggil dari ruang keluarga.“Iya, Ayah?” sahut Richard sambil menoleh ke arah laki-laki itu.“Bisa ikut ayah sebentar? Ada yang perlu ayah bicarakan denganmu.” Tuan Parker tidak menunggu persetujuan dari Richard meskipun d
“Halo, Rich!” sapa sebuah suara melalui panggilan telepon.Richard menyalakan pelantang suara pada layar telepon genggam dan membiarkannya tergeletak di atas meja. Suara si penelepon menggema di ruang kerja berukuran 3 X 3 meter persegi tersebut. Sementara itu, kedua tangan Richard sibuk membolak-balik berkas yang sedang diperiksa olehnya.“Kau sedang di mana, Rich?” Suara yang sama kembali terdengar.“Di kantor.” Richard menjawab dengan singkat.Ada jeda beberapa saat. Baik Richard maupun wanita di seberang sambungan telepon itu sama-sama terdiam. Kedua manik mata Richard terus saja sibuk bergulir dari kiri ke kanan untuk membaca setiap kalimat yang tertera pada lembaran kontrak kerja.“Kapan kau akan pulang ke rumah, Rich?” tanya si penelepon lagi.Richard tidak langsung menjawab. Ada ragu yang menyelusup dalam dada dan itu membuatnya enggan untuk memberikan janji tanpa kepastian atas pertany
Ponsel Richard berdering untuk yang ke sekian kali. Semula dia sempat mengabaikan panggilan yang masuk berurut-turut itu. Akan tetapi, kali ini Richard serta-merta menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menerimanya. “Halo, Sayang!” sapa Richard dengan suara riang. Meskipun penat tengah menyerang, nyatanya mendengar suara wanita terkasihnya bisa menjadi suntikan semangat bagi Richard. “Eum ....” Kyra terdengar ragu-ragu untuk berbicara. “Apa terjadi sesuatu?” tebak Richard, keraguan Kyra sering kali menjadi pertanda akan hal yang kurang baik. “Tidak ada,” jawab Kyra lugas. “Lalu?” “Hanya rindu,” ucap Kyra dengan suara lirih. Richard tersenyum, penatnya musnah bersama pengakuan Kyra yang manis barusan. Selama ini, Richard yang sering kali mengumbar kata cinta juga rindu, sedangkan Kyra hanya menimpali kalimat-kalimat yang Richard ucapkan. “Kenapa kau diam?” Kyra merasa diabaikan. “Aku senang karena kau
Bab IXPenolakan Nyonya Amber terhadap dirinya adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Kyra. Ditambah lagi, perempuan yang dulu selalu memberikan perlindungan terhadap Kyra, saat ini memilih menghindari tatapannya. Bahkan Nyonya Amber menepis dengan kasar genggaman tangan Kyra.“Ibu ....” Kyra memanggil dengan lirih, sarat akan rasa putus asa. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati Nyonya Amber dan mendapatkan satu kata maaf dari perempuan itu. "Kumohon ... jangan seperti ini."Nyonya Amber bergeming, tidak menanggapi panggilan dari Kyra yang nelangsa. Tanpa berminat sedikit pun untuk mengurai kata-kata, Nyonya Amber membawa langkah kakinya pergi dari hadapan Kyra.“Ibu ... maafkan, aku.” Ucapan tulus Kyra tersapu oleh angin, karena dia hanya bisa menatap sendu pada punggung Nyonya Amber yang perlahan-lahan mulai menjauh.Genangan cairan bening di kedua pelupuk mata bulat Kyra, menelan habis hasratnya un
Richard memerlukan waktu setidaknya satu jam untuk menenangkan Kyra. Wanita kesayangan Richard itu tidak berhenti menyalahkan diri sendiri atas perseteruan yang terjadi antara dirinya dengan Nyonya Amber. Meskipun Richard berulang kali mengatakan bahwa itu bukan semata-mata karena kesalahan yang dilakukan oleh Kyra, tetapi tetap saja tangisnya sulit untuk diredakan.“Kau pasti belum makan, ‘kan?” Richard mengurai pelukannya, setelah Kyra tidak lagi berurai air mata. Dan wanita pemilik sepasang mata bulat itu mengangguk lirih.Perasaan sedih membuat Kyra kehilangan napsu makan, dia tidak merasakan lapar sama sekali.“Aku akan memasak untukmu.” Richard mengambil inisiatif untuk beranjak ke dapur.Akan tetapi, Kyra segera menahan langkah Richard. “Biar aku saja,” ucapnya.Richard juga pasti belum makan. Setiap kali datang berkunjung, Richard sengaja mengosongkan perutnya demi bisa menikmati makanan yang dimasa
Richard sangat jarang memeriksa mutasi rekening tabungan yang dia miliki. Akan tetapi, kali ini Richard perlu melakukan itu untuk keperluan administrasi bank dalam transaksi jual beli gedung yang akan dia jadikan kantor perusahaan barunya di North Island.Memiliki beberapa rekening membuat Richard sedikit bingung dan ternyata dia salah mengakses akun. Yang saat ini sedang terpampang di layar komputer jinjingnya adalah catatan kredit dan debit dari rekening lain. Richard memberikan sebuah kartu kredit dan debit kepada Kyra sebagai pegangan. Sebab, Richard melarang wanita terkasihnya tersebut untuk mencari uang sendiri. Richard memenuhi semua kebutuhan Kyra setiap bulan. Apa saja yang Kyra mau, Richard pasti akan berikan. Meskipun Kyra sangat jarang meminta ini dan itu.Kerutan tergurat pada kening Richard setelah membaca deretan angka yang dikirimkan kepada nomor rekening asing. Nominalnya cukup besar dan dilakukan beberapa waktu lalu. Kalau Richard tidak salah ingat, i
*Selamat membaca*Richard sedang duduk memangku Cavero sambil menunggu Kyra yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Bocah lelaki pemilik tubuh gempal di pangkuan Richard tersebut sedang dalam masa aktif. Cavero tidak mau diam sedikit pun. Bibir tebal si bayi terus berceloteh meski tanpa arti yang jelas.“Nananana … “ Cavero menepuk - nepuk kedua tangan, sekali - sekali liurnya menetesi lengan Richard yang melingkari perut gembul itu.“Jagoan Ayah semangat sekali.” Richard terus bersikap siaga untuk menjaga supaya bocah lelaki kesayangannya itu tidak jatuh dari pangkuan.“Sama seperti ayahnya, Cavero tidak mau diam,” sahut Kyra tanpa menoleh ke arah Richard dan Cavero. Tangan Kyra masih fokus menuang bubur ke dalam mangkuk.Beberapa detik setelah itu, langkah pendek- pendek Kyra terdengar mendekat ke arah meja makan, tempat di mana dua lelaki kesayangan
*Selamat membaca*Cavero adalah anugerah terindah yang hadir menyempurnakan kehidupan Kyra. Sejak kehadiran Cavero dalam rahim Kyra, keadaan menjadi lebih baik secara perlahan-lahan. Hubungan Nyonya Amber dan Richard saat ini pun sudah seperti pasangan ibu mertua dan anak menantu pada umumnya. Richard tidak lagi menyebut Nyonya Amber dengan sebutan ‘Nyonya’. Nyonya Amberjuga
Butuh waktu selama lima hari untuk pemulihan bagi Kyra setelah melakukan prosedur operasi sesar di rumah sakit. Akhirnya, Kyra dan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu diizinkan pulang oleh dokter. Richard tentu saja merasa senang bukan main, dia bahkan mengabaikan semua urusan di perusahaan, baik milik Tuan Parker maupun miliknya sendiri. Richard mengalihkan seluruh tanggung jawab dan tugas penting kepada Calvin. Richard sudah mempersiapkan berbagai macam alibi untuk tinggal lebih lama di North Island. Kelahiran bayi pertamanya dengan Kyra, tentu saja patut untuk dirayakan. Richard ingin selalu bersama dua orang tersayangnya itu. ”Rich … “ Kyra memanggil Richard dengan suara lirih. “Hm?” Richard menyahut tanpa mengalihkan perhatian pada bayi laki-lakinya. “Apa tidak masalah?” tanya Kyra tiba-tiba. “Apanya?” Richard kali ini menatap Kyra dan balik bertanya. “Kau terlalu lama meninggalkan Midtown. Bagaimana dengan pekerjaanm
Kyra meringis lirih seraya bergerak tertatih menuju ke arah kamar mandi. Belakangan ini dia sering mengalami kontraksi palsu, di mana perutnya begitu terasa melilit dengan dorongan mengejan, tetapi yang terjadi ternyata hanya desakan untuk membuang air dalam kemih.“Ibu!” Kyra memekik dari dalam kamar mandi.Nyonya Amber segera menghampiri dan membuka pintu kamar mandi yang sengaja tidak dikunci. Wanita itu menjadi sedikit panik ketika air ketuban tampak membasahi kedua paha bagian dalam Kyra.Bibi Juni yang ikut menghampiri, segera tanggap memanggil sopir yang Richard sediakan untuk berjaga jika hal darurat semacam ini terjadi. Ketiga orang tersebut kemudian membawa Kyra ke rumah sakit terdekat. Mereka yakin sudah waktunya Kyra untuk melahirkan.Sementara itu di Midtown, Richard sedang bersiap untuk bertemu klien setelah makan siang, tetapi pikirannya mulai resah karena pesan teks yang dia kirimkan sejak pagi tadi belum kunjung mendapatkan ba
Mendekati hari persalinan, Richard semakin protektif kepada Kyra. Ketika sedang berada jauh di Midtwon, lelaki itu akan menghubungi Kyra melalui panggilan video, hampir setiap tiga puluh menit satu kali. Jangan lupakan pesan singkat yang dikirim nyaris tanpa jeda. Bahkan, ketika Richard sedang dalam rapat direksi sekalipun.Nyonya Amber juga tidak kalah protektif dari Richard. Kyra tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apa pun di rumah. Bahkan, hanya sekadar membersihkan debu di meja makan. Apalagi melakukan hobinya memasak di dapur, Nyonya Amber melarang Kyra.
Kyra patut bersyukur atas kehamilannya saat ini. Meskipun semula Kyra ragu dan mengkhawatirkan perihal kehadiran sang jabang bayi, sekarang itu menjadi anugerah terindah dalam hidupnya. Selain Nyonya Amber yang bersedia membuka pintu maaf bagi Kyra, kini hubungan sang ibu dengan Richard pun perlahan-lahan mulai membaik.Awalnya Nyonya Amber memilih pulang ke South East setiap Richard berkunjung, seperti kesepakatan yang mereka buat, tetapi lama kelamaan Nyonya Amber mulai terbiasa menerima keberadaan Richard. Dan tidak lagi keberatan tinggal di bawah atap yang sama dengan si anak konglomerat.Senyum manis tersemat di bibir Kyra ketika melihat dua orang yang dicintainya itu bahu membahu menghias kamar si jabang bayi. Sekali-sekali Richard dan Nyonya Amber akan beradu argumen jika tidak menemukan kesepahaman. Seperti saat ini, Nyonya Amber ingin kamar bayi dicat warna biru, sedangkan Richard mengusulkan merah muda saja.“Biru lebih netral. Bisa untuk bayi pe
Tinggal seorang diri ketika Richard berada di Midtown menjalankan kesibukannya, tidak membuat Kyra hanya duduk manis tanpa melakukan apa-apa. Perut Kyra yang sudah semakin besar sering jalannya waktu kehamilan pun bukan alasan untuk dia berdiam diri di rumah. Kyra tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Jika orang-orang lain melakukan healing dengan berlibur, memasak justru menjadi momen paling menyenangkan bagi Kyra. Saat di dapur bersama peranti memasaknya, Kyra bisa sedikit melupakan segala kegundahan. Bahkan sekali-sekali Kyra sempat mengabaikan panggilan masuk ataupun pesan elektronik dari Richard. Namun, sejak Richard mengomel panjang lebar karena mengkhawatirkannya, Kyra selalu menempatkan telepon genggam tidak jauh dari jangkauan. Supaya dia bisa mendengar dering ketika Richard menghubungi. “Ya Tuhan!” Kyra nyaris saja melempar wajan dari tangan karena terkejut oleh dering ponselnya.
Bab 19Richard menarik napas dalam-dalam sebelum turun dari mobil. Langkah tegapnya kemudian menapaki paving blok yang terpasang di halaman rumah, membentuk jalanan setapak menuju pintu utama. Bunga warna-warni berjejer menghias di kanan dan kiri. Nyonya Parker yang merawat itu semua dengan telaten.‘Andai Kyra di sini, dia pasti betah,’ gumam Richard.Setipe dengan Nyonya Parker, Kyra juga menyukai berbagai jenis bunga. Mungkin itu menurun dari Nyonya Amber yang juga hobi merawat tanaman. Bahkan di halaman rumah Nyonya Amber yang tidak begitu luas, terdapat deretan krisan aneka warna. Richard tidak tahu kenapa wanita tersebut memilih krisan dari sekian banyak bunga yang ada.“Selamat datang, Tuan Rich,” sapa seorang pelayan yang tiba-tiba membukakan pintu utama untuk Richard.Seolah-olah kedatangan Richard sudah dapat terendus oleh indra pembauan si pelayan. Atau mungkin di rumah mewah itu terpasang radar yang bisa mendet
“Maaf. Aku tidak seharusnya mengatakan itu, aku—”“Sayang ….” Richard menyela ucapan Kyra. “Untuk apa meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apa pun,” imbuhnya menenangkan.“Tapi ….” Kyra menggantung kalimatnya, ia tahu betul perbincangan tentang Nyonya Amber sering kali tidak membawa akhir yang menyenangkan, justru hanya menyisakan kecanggungan.