Kyra meneguk habis segelas air minum setelah menyelesaikan satu mangkuk sup rumput laut dengan disuapi oleh Richard. Lelaki di hadapannya itu tersenyum gemas saat Kyra berserdawa.
“Ma—af, tidak sengaja,” lirih Kyra, biasanya dia tidak melakukan hal sekonyol itu.
“Tidak masalah, Sayang. Itu berarti kau menikmati sup buatanku, ‘kan?” timpal Richard, senyuman masih bertahan pada bibir tebalnya.
“Hm … Sangat nikmat. Kalau saja aku belum kenyang, aku ingin minta dibuatkan lagi.” Kyra tidak membual soal rasa masakan yang dibuat oleh Richard, itu benar-benar nikmat.
“Masih ada banyak hari untuk kita lalui bersama, Sayang. Aku akan lebih sering memasak untukmu,” ucap Richard.
Richard lantas membenahi piranti makan.
“Biar aku saja yang mencuci.” Kyra menahan mangkuk yang akan Richard bawa ke wastafel.
Biasanya memang Kyra yang memasak dan mencuci piring bekas mereka makan, tetapi kali ini Richard melarang wanita itu melakukannya.
“Aku saja. Kau tidak boleh melakukan apa-apa mala mini,” larang Richard.
Selesai dengan urusan di wastafel, Richard mengeringkan tangan. Kemudian beranjak duduk pada kursi di sebelah Kyra lagi. Kyra serta-merta menyenderkan kepala pada bahu Richard.
“Maaf, aku tidak sempat membeli hadiah yang layak untukmu, Sayang, “ ujar Richard. “Sepanjang perjalanan ke sini, aku sudah memikirkan hadiah paling istimewa, tetapi sepertinya harus ditunda sampai beberapa bulan ke depan,” imbuhnya sedikit kecewa.
Kyra mengernyit heran. “Memang hadiah macam apa sampai harus ditunda?”
“Malam panjang tanpa jeda,” bisik Richard seduktif, tidak lupa kedua alis yang bergerak naik turun untuk menggoda.
Decakan lirih terlontar dari bibir Kyra mengiringi tangan yang memukul lengan Richard, membuat lelaki itu tergelak.
Namun, sepertinya lelaki tampan itu benar-benar berniat melalui malam panjang bersama Kyra tanpa jeda. Dia menolak saat Kyra mengajaknya beristirahat. Richard terus saja mengobrol ini dan itu, seolah tidak ada lagi hari esok untuk dijalani bersama.
Richard begitu senang dengan kabar kehamilan Kyra. Bahkan dia sudah merencanakan beberapa hal yang akan dilakukan bersama anaknya kelak, merancang masa depan si jabang bayi, mulai dari pendidikan sampai semua hal sudah dipikirkan matang-matang.
“Baiklah, Tuan Richard Parker. Apa pun yang kau rencanakan, akan kita wujudkan. Sekarang ayo tidur. Ini sudah malam,” ajak Kyra.
Richard melirik pada jam yang tergantung di dinding. Tidak terasa sudah hampir tengah malam. Dia lantas membopong tubuh mungil Kyra menuju kamar dan membaringkannya perlahan di ranjang. Richard menyusul berbaring di samping Kyra, saling berhadapan. Richard tersenyum manis memandangi paras ayu wanita terkasih.
“Sayang, apa yang sangat kau inginkan untuk hadiah ulang tahunmu?” tanya Richard. “Aku akan memberikan apa pun yang kau mau.”
Kyra mengigit bibir bawah, kebiasaan saat dilanda kegamangan. Wanita itu menimbang keinginan terbesar dalam hidupnya. Ada satu hal yang sangat ingin Kyra pinta sejak lama, tetapi urung dia ungkapkan. Mungkin tidak saat ini. Atau tidak akan pernah sama sekali.
“Cukup peluk aku saja malam ini,” pungkas Kyra.
===!!===!!===
Kyra menghela napas dengan berat ketika tidak mendapati Richard pada sisi ranjang di sebelahnya. Bukan kali pertama Kyra terbangun tanpa keberadaan Richard seperti saat ini. Acap kali pekerjaan menjadi alasan kepergian Richard di pagi buta. Kyra maklum, Richard adalah pebisnis andal dengan berbagai bisnis yang dikelola. Terkadang, setumpuk berkas membuat Richard tidak mengenal akhir pekan atau hari libur nasional yang lain.
Jarak antara Kota Midtown dengan South East juga menjadi salah satu rintangan bagi hubungan dua insan yang saling mencintai itu. Richard seringnya berkunjung ke South East setiap akhir pekan. Jika sedang beruntung, dia bisa datang 2 kali dalam satu minggu. Bisa juga hanya datang sekali pada pertengahan bulan. Tergantung bagaimana tingkat kepadatan rutinitasnya di Midtown.
Sejak awal Richard datang dan mereka menyepakati komitmen, Kyra sudah tahu risiko yang harus ditanggung olehnya. Untuk itu, dia tidak banyak memberi tuntutan kepada Richard. Lagi pula, lelaki itu benar-benar memperlakukan Kyra dengan sangat baik selama ini.
”Selamat pagi, Sayang.” Suara berat dari arah pintu mengagetkan Kyra.
Wanita itu pikir Richard sudah pergi dari apartemen mereka.
”Kau masih di sini?” tanya Kyra heran.
”Memangnya aku harus di mana?” Richard balik bertanya. “Kau tidak suka bersamaku, hm?”
Langkah jenjang Richard dibawa mendekati Kyra yang masih terduduk di tepian ranjang.
”Kupikir kau sudah pulang ke Midtown.” Kyra mencebikkan bibir tebalnya.
Richard menundukkan pandangan pada wajah yang terlihat sendu itu. Dia lantas mendekap tubuh Kyra dan memberi kecupan pada pucuk kepala.
”Aku belum mendapatkan morning kiss-ku. Bagaimana bisa aku pergi tanpa itu?” Richard tersenyum penuh arti.
Sejurus kemudian kedua belah keping bibir tebal mereka saling beradu dalam kecupan lembut nan intim.
”Ayo bangun. Aku sudah menyiapkan sarapan,” ajak Richard.
Kyra sedikit malu. Seharusnya dia yang memasak untuk Richard. Bukan terbalik seperti ini.
Lantaran Kyra masih saja bergeming, Richard berinisiatif membopong wanita mungil tersebut.
Kyra memekik terkejut. “Kau mengagetkanku,” gerutunya, seraya melingkarkan kedua tangan pada leher Richard.
Si lelaki tampan terkekeh menimpali gerutuan Kyra, “Kau berpikir terlalu lama, Sayang. Aku sudah kelaparan,” timpalnya.
Begitu mereka sampai di dapur, Richard menurunkan Kyra dengan hati-hati. Dua mangkuk nasi campur dengan lauk tumisan daging, sayur rebus, rumput laut, irisan sayur dan telur setengah matang, sudah tersaji di meja makan.
”Aku hanya bisa menyiapkan ini. Atau kau mau makan yang lain?” Richard menawari.
Gelengan beriring senyum semringah menjadi pertanda jika Kyra tidak masalah dengan pilihan menu dari Richard. Pada dasarnya, apa pun yang Richard berikan, Kyra pasti akan menerima dengan suka cita tanpa protes.
Kyra segera duduk berdampingan dengan Richard. Di sela menikmati sarapan bersama, Richard kembali mengungkit soal rencana kunjungan ke dokter kandungan hari ini.
”Kurasa aku pergi sendiri saja besok,” ucap Kyra.
”Kenapa begitu? Aku juga ingin tahu keadaan bayi kita.” Richard meletakan sendok sejenak hanya untuk mengelus perut datar Kyra.
Wanita itu menggigit bibir bawah. Kyra tidak bermaksud membuat Richard kecewa, tetapi ada hal lain yang ingin dilakukannya hari ini.
“Kau ingin pergi ke tempat lain?” Richard cukup peka jika itu menyangkut Kyra.
”Aku ingin berkunjung ke rumah ibu,” lirih Kyra.
Kegiatan sarapan mereka terhenti, Richard bahkan menunda kunyahan pada mulutnya, kemudian terdiam dalam hening. Sementara itu, Kyra mengaduk-aduk makanannya. Sama-sama terdiam.
Debas lirih terhela dari lubang hidung Richard. Dia sangat tahu tidak mudah bagi Kyra untuk mengungkapkan keinginan tersebut.
”Habiskan dulu sarapanmu, Sayang. Setelah itu, kita baru mengunjungi ibu. Lalu ke dokter kandungan,” pungkas Richard mengambil keputusan.
Kyra serta-merta menatap lelaki jangkung itu, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Akan tetapi, senyum tulus yang terbit pada bibir tebal Richard, meyakinkan Kyra bahwa lelaki terkasihnya tersebut tidak sedang membual.
Dengan semangat Kyra menghabiskan sarapannya cepat-cepat.
“Uhuk!” Kyra tersedak.
“Pelan-pelan saja, Sayang.” Richard dengan sigap menyodorkan gelas berisi air minum dan menepuk-nepuk punggung Kyra perlahan.
Sejak pindah ke apartemen yang Richard beli, Kyra hanya sekali mengunjungi ibunya. Jadi, ini adalah momen yang sangat dia tunggu dari dulu.
-to be continued-
Roda Mercedes-Benz AMG G65 yang Richard kemudikan, berhenti melaju tepat di depan sebuah rumah mungil dengan cat biru. Kyra segera melepas kaitan sabuk pengaman dan membuka mobil pintu. Langkah pendeknya terlihat begitu ringan menapaki halaman yang tidak terlalu luas, berhias jejeran krisan aneka warna.Richard tersenyum gemas melihat tingkah Kyra tersebut. Richard mengikuti di belakang.Ketika sampai di depan pintu, uluran tangan Kyra yang hendak mengetuk, urung dan turun kembali ke samping badan. Dia lantas berbalik dengan wajah menunduk. Tingkat kepercayaan diri Kyra menurun drastis, nyalinya menjadi ciut hanya untuk menemui ibu sendiri.”Kita pulang saja,” ajak Kyra lirih.”Ada apa, Sayang?” Richard menatap Kyra dengan heran.Beberapa detik yang lalu, Kyra tampak begitu bersemangat. Akan tetapi, tiba-tiba menjadi lesu seperti ini. Richard yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kyra hingga berubah secara mendadak.
Kyra melepaskan diri dari pelukan Richard. Dia mengurai langkah tanpa tenaga menuju ke arah Nyonya Amber. Richard menatap waspada lalu tersentak ketika Kyra tiba-tiba menekuk kedua lutut, dan bersimpuh di hadapan Nyonya Amber.“Ibu ….“ Suara Kyra terdengar begitu nelangsa.Richard masih menahan diri untuk tidak menarik Kyra dari posisi berlututnya. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh Kyra saat ini, bisa
Dua pasang mata yang sama-sama bulat itu masih saling menatap satu sama lain dalam keheningan. Richard senantiasa menunggu Kyra membuka bibir tebalnya untuk bertutur kata, mengucapkan permohonan yang dia maksud beberapa saat lalu. Meskipun Richard diliputi perasaan was-was, tetapi laki-laki itu berusaha untuk tetap tenang. Richard tidak mau menunjukkan ekspresi gelisah di hadapan Kyra yang juga sedang dilanda gundah akibat perlakuan dan penolakan dari Nyonya Amber.Sementara itu, Kyra tetap bergeming. Dia membungkam mulut rapat-rapat setelah mengucapkan dua kata terakhir yang sengaja dia beri jeda. Bukan maksud Kyra mengulur-ulur waktu. Dia hanya sedang mempertimbangkan berbagai macam risiko yang akan terjadi jika keinginan terpendamnya selama ini diungkapkan sekarang juga.Beberapa hal bisa saja terjadi kepada hubungan Richard dan Kyra. Kemungkinan paling buruk yang Kyra dapatkan adalah kehilangan Richard, meskipun dia sangat tahu bahwa Richard tidak akan mungkin mele
Setelah dua hari selama akhir pekan lalu menetap di South East menemani Kyra, Richard kembali ke Midtwon untuk menjalankan aktivitasnya di kota itu. Sebagai anak tunggal dari Keluarga Parker, tentu saja bukan hal aneh jika Richard dilimpahi tanggung jawab atas keberlangsungan perusahaan milik sang ayah.“Kau sudah pulang, Nak?” Nyonya Parker menyapa kedatangan Richard di rumah mereka.Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan sang ibu.“Sudah sarapan?” tanya Nyonya Parker lagi.Richard kembali memberi jawaban berupa anggukan. Sebelum kembali ke Midtown, Richard lebih dulu menikmati makan paginya bersama Kyra.“Rich!” seru Tuan Parker memanggil dari ruang keluarga.“Iya, Ayah?” sahut Richard sambil menoleh ke arah laki-laki itu.“Bisa ikut ayah sebentar? Ada yang perlu ayah bicarakan denganmu.” Tuan Parker tidak menunggu persetujuan dari Richard meskipun d
“Halo, Rich!” sapa sebuah suara melalui panggilan telepon.Richard menyalakan pelantang suara pada layar telepon genggam dan membiarkannya tergeletak di atas meja. Suara si penelepon menggema di ruang kerja berukuran 3 X 3 meter persegi tersebut. Sementara itu, kedua tangan Richard sibuk membolak-balik berkas yang sedang diperiksa olehnya.“Kau sedang di mana, Rich?” Suara yang sama kembali terdengar.“Di kantor.” Richard menjawab dengan singkat.Ada jeda beberapa saat. Baik Richard maupun wanita di seberang sambungan telepon itu sama-sama terdiam. Kedua manik mata Richard terus saja sibuk bergulir dari kiri ke kanan untuk membaca setiap kalimat yang tertera pada lembaran kontrak kerja.“Kapan kau akan pulang ke rumah, Rich?” tanya si penelepon lagi.Richard tidak langsung menjawab. Ada ragu yang menyelusup dalam dada dan itu membuatnya enggan untuk memberikan janji tanpa kepastian atas pertany
Ponsel Richard berdering untuk yang ke sekian kali. Semula dia sempat mengabaikan panggilan yang masuk berurut-turut itu. Akan tetapi, kali ini Richard serta-merta menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menerimanya. “Halo, Sayang!” sapa Richard dengan suara riang. Meskipun penat tengah menyerang, nyatanya mendengar suara wanita terkasihnya bisa menjadi suntikan semangat bagi Richard. “Eum ....” Kyra terdengar ragu-ragu untuk berbicara. “Apa terjadi sesuatu?” tebak Richard, keraguan Kyra sering kali menjadi pertanda akan hal yang kurang baik. “Tidak ada,” jawab Kyra lugas. “Lalu?” “Hanya rindu,” ucap Kyra dengan suara lirih. Richard tersenyum, penatnya musnah bersama pengakuan Kyra yang manis barusan. Selama ini, Richard yang sering kali mengumbar kata cinta juga rindu, sedangkan Kyra hanya menimpali kalimat-kalimat yang Richard ucapkan. “Kenapa kau diam?” Kyra merasa diabaikan. “Aku senang karena kau
Bab IXPenolakan Nyonya Amber terhadap dirinya adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Kyra. Ditambah lagi, perempuan yang dulu selalu memberikan perlindungan terhadap Kyra, saat ini memilih menghindari tatapannya. Bahkan Nyonya Amber menepis dengan kasar genggaman tangan Kyra.“Ibu ....” Kyra memanggil dengan lirih, sarat akan rasa putus asa. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati Nyonya Amber dan mendapatkan satu kata maaf dari perempuan itu. "Kumohon ... jangan seperti ini."Nyonya Amber bergeming, tidak menanggapi panggilan dari Kyra yang nelangsa. Tanpa berminat sedikit pun untuk mengurai kata-kata, Nyonya Amber membawa langkah kakinya pergi dari hadapan Kyra.“Ibu ... maafkan, aku.” Ucapan tulus Kyra tersapu oleh angin, karena dia hanya bisa menatap sendu pada punggung Nyonya Amber yang perlahan-lahan mulai menjauh.Genangan cairan bening di kedua pelupuk mata bulat Kyra, menelan habis hasratnya un
Richard memerlukan waktu setidaknya satu jam untuk menenangkan Kyra. Wanita kesayangan Richard itu tidak berhenti menyalahkan diri sendiri atas perseteruan yang terjadi antara dirinya dengan Nyonya Amber. Meskipun Richard berulang kali mengatakan bahwa itu bukan semata-mata karena kesalahan yang dilakukan oleh Kyra, tetapi tetap saja tangisnya sulit untuk diredakan.“Kau pasti belum makan, ‘kan?” Richard mengurai pelukannya, setelah Kyra tidak lagi berurai air mata. Dan wanita pemilik sepasang mata bulat itu mengangguk lirih.Perasaan sedih membuat Kyra kehilangan napsu makan, dia tidak merasakan lapar sama sekali.“Aku akan memasak untukmu.” Richard mengambil inisiatif untuk beranjak ke dapur.Akan tetapi, Kyra segera menahan langkah Richard. “Biar aku saja,” ucapnya.Richard juga pasti belum makan. Setiap kali datang berkunjung, Richard sengaja mengosongkan perutnya demi bisa menikmati makanan yang dimasa
*Selamat membaca*Richard sedang duduk memangku Cavero sambil menunggu Kyra yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Bocah lelaki pemilik tubuh gempal di pangkuan Richard tersebut sedang dalam masa aktif. Cavero tidak mau diam sedikit pun. Bibir tebal si bayi terus berceloteh meski tanpa arti yang jelas.“Nananana … “ Cavero menepuk - nepuk kedua tangan, sekali - sekali liurnya menetesi lengan Richard yang melingkari perut gembul itu.“Jagoan Ayah semangat sekali.” Richard terus bersikap siaga untuk menjaga supaya bocah lelaki kesayangannya itu tidak jatuh dari pangkuan.“Sama seperti ayahnya, Cavero tidak mau diam,” sahut Kyra tanpa menoleh ke arah Richard dan Cavero. Tangan Kyra masih fokus menuang bubur ke dalam mangkuk.Beberapa detik setelah itu, langkah pendek- pendek Kyra terdengar mendekat ke arah meja makan, tempat di mana dua lelaki kesayangan
*Selamat membaca*Cavero adalah anugerah terindah yang hadir menyempurnakan kehidupan Kyra. Sejak kehadiran Cavero dalam rahim Kyra, keadaan menjadi lebih baik secara perlahan-lahan. Hubungan Nyonya Amber dan Richard saat ini pun sudah seperti pasangan ibu mertua dan anak menantu pada umumnya. Richard tidak lagi menyebut Nyonya Amber dengan sebutan ‘Nyonya’. Nyonya Amberjuga
Butuh waktu selama lima hari untuk pemulihan bagi Kyra setelah melakukan prosedur operasi sesar di rumah sakit. Akhirnya, Kyra dan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu diizinkan pulang oleh dokter. Richard tentu saja merasa senang bukan main, dia bahkan mengabaikan semua urusan di perusahaan, baik milik Tuan Parker maupun miliknya sendiri. Richard mengalihkan seluruh tanggung jawab dan tugas penting kepada Calvin. Richard sudah mempersiapkan berbagai macam alibi untuk tinggal lebih lama di North Island. Kelahiran bayi pertamanya dengan Kyra, tentu saja patut untuk dirayakan. Richard ingin selalu bersama dua orang tersayangnya itu. ”Rich … “ Kyra memanggil Richard dengan suara lirih. “Hm?” Richard menyahut tanpa mengalihkan perhatian pada bayi laki-lakinya. “Apa tidak masalah?” tanya Kyra tiba-tiba. “Apanya?” Richard kali ini menatap Kyra dan balik bertanya. “Kau terlalu lama meninggalkan Midtown. Bagaimana dengan pekerjaanm
Kyra meringis lirih seraya bergerak tertatih menuju ke arah kamar mandi. Belakangan ini dia sering mengalami kontraksi palsu, di mana perutnya begitu terasa melilit dengan dorongan mengejan, tetapi yang terjadi ternyata hanya desakan untuk membuang air dalam kemih.“Ibu!” Kyra memekik dari dalam kamar mandi.Nyonya Amber segera menghampiri dan membuka pintu kamar mandi yang sengaja tidak dikunci. Wanita itu menjadi sedikit panik ketika air ketuban tampak membasahi kedua paha bagian dalam Kyra.Bibi Juni yang ikut menghampiri, segera tanggap memanggil sopir yang Richard sediakan untuk berjaga jika hal darurat semacam ini terjadi. Ketiga orang tersebut kemudian membawa Kyra ke rumah sakit terdekat. Mereka yakin sudah waktunya Kyra untuk melahirkan.Sementara itu di Midtown, Richard sedang bersiap untuk bertemu klien setelah makan siang, tetapi pikirannya mulai resah karena pesan teks yang dia kirimkan sejak pagi tadi belum kunjung mendapatkan ba
Mendekati hari persalinan, Richard semakin protektif kepada Kyra. Ketika sedang berada jauh di Midtwon, lelaki itu akan menghubungi Kyra melalui panggilan video, hampir setiap tiga puluh menit satu kali. Jangan lupakan pesan singkat yang dikirim nyaris tanpa jeda. Bahkan, ketika Richard sedang dalam rapat direksi sekalipun.Nyonya Amber juga tidak kalah protektif dari Richard. Kyra tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apa pun di rumah. Bahkan, hanya sekadar membersihkan debu di meja makan. Apalagi melakukan hobinya memasak di dapur, Nyonya Amber melarang Kyra.
Kyra patut bersyukur atas kehamilannya saat ini. Meskipun semula Kyra ragu dan mengkhawatirkan perihal kehadiran sang jabang bayi, sekarang itu menjadi anugerah terindah dalam hidupnya. Selain Nyonya Amber yang bersedia membuka pintu maaf bagi Kyra, kini hubungan sang ibu dengan Richard pun perlahan-lahan mulai membaik.Awalnya Nyonya Amber memilih pulang ke South East setiap Richard berkunjung, seperti kesepakatan yang mereka buat, tetapi lama kelamaan Nyonya Amber mulai terbiasa menerima keberadaan Richard. Dan tidak lagi keberatan tinggal di bawah atap yang sama dengan si anak konglomerat.Senyum manis tersemat di bibir Kyra ketika melihat dua orang yang dicintainya itu bahu membahu menghias kamar si jabang bayi. Sekali-sekali Richard dan Nyonya Amber akan beradu argumen jika tidak menemukan kesepahaman. Seperti saat ini, Nyonya Amber ingin kamar bayi dicat warna biru, sedangkan Richard mengusulkan merah muda saja.“Biru lebih netral. Bisa untuk bayi pe
Tinggal seorang diri ketika Richard berada di Midtown menjalankan kesibukannya, tidak membuat Kyra hanya duduk manis tanpa melakukan apa-apa. Perut Kyra yang sudah semakin besar sering jalannya waktu kehamilan pun bukan alasan untuk dia berdiam diri di rumah. Kyra tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Jika orang-orang lain melakukan healing dengan berlibur, memasak justru menjadi momen paling menyenangkan bagi Kyra. Saat di dapur bersama peranti memasaknya, Kyra bisa sedikit melupakan segala kegundahan. Bahkan sekali-sekali Kyra sempat mengabaikan panggilan masuk ataupun pesan elektronik dari Richard. Namun, sejak Richard mengomel panjang lebar karena mengkhawatirkannya, Kyra selalu menempatkan telepon genggam tidak jauh dari jangkauan. Supaya dia bisa mendengar dering ketika Richard menghubungi. “Ya Tuhan!” Kyra nyaris saja melempar wajan dari tangan karena terkejut oleh dering ponselnya.
Bab 19Richard menarik napas dalam-dalam sebelum turun dari mobil. Langkah tegapnya kemudian menapaki paving blok yang terpasang di halaman rumah, membentuk jalanan setapak menuju pintu utama. Bunga warna-warni berjejer menghias di kanan dan kiri. Nyonya Parker yang merawat itu semua dengan telaten.‘Andai Kyra di sini, dia pasti betah,’ gumam Richard.Setipe dengan Nyonya Parker, Kyra juga menyukai berbagai jenis bunga. Mungkin itu menurun dari Nyonya Amber yang juga hobi merawat tanaman. Bahkan di halaman rumah Nyonya Amber yang tidak begitu luas, terdapat deretan krisan aneka warna. Richard tidak tahu kenapa wanita tersebut memilih krisan dari sekian banyak bunga yang ada.“Selamat datang, Tuan Rich,” sapa seorang pelayan yang tiba-tiba membukakan pintu utama untuk Richard.Seolah-olah kedatangan Richard sudah dapat terendus oleh indra pembauan si pelayan. Atau mungkin di rumah mewah itu terpasang radar yang bisa mendet
“Maaf. Aku tidak seharusnya mengatakan itu, aku—”“Sayang ….” Richard menyela ucapan Kyra. “Untuk apa meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apa pun,” imbuhnya menenangkan.“Tapi ….” Kyra menggantung kalimatnya, ia tahu betul perbincangan tentang Nyonya Amber sering kali tidak membawa akhir yang menyenangkan, justru hanya menyisakan kecanggungan.