Daddy Bryan, Bian, dan Flavia mengecek keadaan proyek. Flavia yang turun ke lapangan segera memakai alat tempurnya. Dia memakai sarung tangan, kaos kaki, dan masker untuk menutupi wajahnya. Setiap ke proyek dia selalu memastikan jika pakaiannya panjang. Agar tidak ada celah sama sekali kulitnya terpapar sinar matahari. Bian yang melihat hal itu merasa aneh. Flavia sudah seperti orang yang berada di dalam musim dingin. Padahal jelas cuaca begitu panas. “Kamu mau mau apa memakai itu semua?” Bian tertawa melihat Flavia yang berusaha menutupi kulitnya. “Tentu saja agar melindungi kulitku.” Flavia menjawab apa adanya. Daddy Bryan sudah tahu kebiasaan Flavia. Jadi tentu saja dia tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. “Pantas kulitnya tetap putih walaupun orang lapangan.” Bian bergumam mengomentari Flavia. Mereka bertiga segera turun ke lapangan. Tak lupa mereka memakai helm keselamatan dan juga sepatu boots. Untuk memastikan mereka aman saat di lokasi proyek. “Kenapa ukurannya t
Bian ingat jelas jika sebelum dirinya masuk, Flavia sudah masuk ke kamarnya. Lalu kenapa gadis itu berada di kamar sang daddy? Bian pikir memisahkan kamar sang daddy dengan Flavia membuat akan jauh lebih aman. Karena mereka tidak akan bisa ke kamar masing-masing dengan pintu penghubung. Namun, ternyata pikirannya salah. Flavia tetap ke kamar sang daddy, dan dengan tenangnya lewat pintu depan. “Sedang apa kamu di sini?” Bian menatap Flavia seperti baru saja mendapatkan buruan. Tinggal menerkamnya saja. Bian begitu penasaran sekali. Untuk apa Flavia di kamar sang daddy. “Aku—” “Bi.” Belum sempat Flavia menjawab, Daddy Bryan keluar. Dia yang mendengar suara sang anak dan segera menghampiri. Bian menatap sang daddy dan Flavia semakin tajam. Rahangnya mengeras. Dia merasa jika kecurigaannya selama ini adalah benar. Jika Flavia dan daddy-nya memiliki hubungan. “Apa ini alasan Daddy keluar kota dengan Flavia?” Bian menatap sang daddy dengan penuh amarah. Ingin rasanya dia melampiaskan k
Bian jelas tahu, jika pintu terbuka akan membuat suara terdengar. Petugas hotel pasti akan datang jika mendengar keributan. Karena itu, Bian memilih untuk menutup pintu. “Jelas ingin mendengar pengakuanmu.” Bian mengayunkan langkahnya. Flavia memundurkan tubuhnya. Sialnya, tepat di belakangnya adalah tembok. Jadi dia tidak bisa lari. Gerakan cepat Bian yang mengunci pergerakan Flavia pun, membuat Flavia semakin tak punya celah untuk lari lagi. “Pengakuan apa maksudmu?” Alih-alih kabur, Flavia memilih untuk berani menatap Bian. Pria yang memiliki tinggi seratus delapan puluh dua centimeter itu membuatnya sedikit mendongak. “Pengakuan jika kamu menyukai Bryan Adion.” Bian tanpa berbasa-basi segera bertanya hal itu. Dari analisa jawaban sang daddy, dia menyimpulkan. Jika sang daddy menyangkal kedekatannya dengan Flavia, artinya memang tidak ada rasa pada Flavia. Jadi dia harus memastikan pada Flavia yang sengaja mendekati sang daddy. Jadi dia sampai memaksa masuk hanya karena i
Bian keluar dari kamarnya bersamaan dengan Flavia yang keluar dari kamar. Flavia menatap malas pada Bian. Dia masih kesal karena ulah Bian kemarin. Tadi, Daddy Bryan sudah mengirim pesan jika dia pergi ke restoran lebih dulu. Karena ingin menikmati kopi lebih dulu. Hal itu membuat Bian dan Flavia harus ke restoran berdua. Mereka berjalan berdua ke lift. Sampai di lift pun tidak ada yang bicara sama sekali. Semua memilih diam. Bagaimana cara aku bicara dengannya? Bian justru bingung memulainya. Dia merasa tidak enak dengan sikapnya kemarin. Hanya saja, jika dia meminta maaf, tentu saja dia tidak mau. Itu pasti membuatnya akan sangat malu sekali. Dia kenapa seperti orang bingung. Flavia merasa aneh ketika melihat Bian tampak gelisah. Seperti ada yang mengganggu pikirannya. Sampai lift terbuka pun tidak ada yang bicara sama sekali. Mereka berdua memilih bungkam. Bian dan Flavia berjalan beriringan ke restoran. Dari kejauhan sudah tampak Daddy Bryan menikmati secangkir kopi
Kakek dan nenek Bian semua sudah meninggal. Yang terakhir tahun lalu adalah neneknya yang meninggal. Dari pihak Maxton pun juga sama. Sudah tidak ada satu pun. Tinggal generasi penerus mereka saja. Walaupun terkadang berkumpul terasa kurang, mereka mulai beradaptasi sedikit demi sedikit. Satu per satu keluarga datang. Mereka saling menyapa satu dengan yang lain. Anak-anak kecil yang datang pun tak kalah membuat suasana menjadi ramai. “Hai, Bi, bagaimana kabarmu?” Daddy Regan langsung memeluk keponakannya. Sore baru dia datang. Tadi pagi dia ada acara main golf dengan teman bisnisnya. Baru pulang saat sore. “Baik, Dad.” Bian tersenyum. “Maaf belum ke rumah.” “Santai saja. Lagi pula sekarang sudah bertemu bukan.” Daddy Regan tersenyum sambil menepuk bahu Bian. “Sudah syukur kamu mau pulang. Masalah menemui kami bisa belakangan.” Papa Erix menambahkan. “Iya, Pa. Akhirnya aku pulang juga.” Bian memeluk Papa Erix sejenak. “Membuat Bian pulang ternyata mudah.” El tersenyum. “Wah … a
Flavia sampai di rumah papa dan mamanya. Tadi dia dihubungi untuk datang ke rumah. Rasanya, Flavia malas sekali jika diminta pulang. Baginya jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tidak dengan rumah papa dan mamanya. “Kamu akhirnya pulang juga.” Mama Agnesia menyambut dengan pertanyaan sindiran. “Bukankah papa yang memintaku pulang.” Flavia melirih sinis dan segera mengayunkan langkahnya. Dia merasa sedikit kesal dengan pertanyaan dari mama tirinya itu. Mama Agnes biasa orang memanggilnya. Merasa kesal sekali. Anak tirinya itu selalu saja tidak pernah mau bersikap baik padanya. Padahal dari kecil, dirinya yang mengurusnya. Flavia yang datang segera ke ruang kerja papanya. Sebelum masuk ruang kerja papanya, dia mengetuk pintu. “Kamu sudah pulang, Sayang.” Harry Claire menyambut sang anak. Dia segera berdiri dari kursinya menghampiri anaknya. Sebuah rentangan tangan diberikannya, menyambut anaknya ke dalam pelukannya.Flavia tersenyum. Dia senang melihat papanya yang meny
“Papa mau kenalkan kamu dengan seorang pria.” Saat sarapan hendak dimulai, Papa Harry memberitahu Flavia. Flavia yang baru saja hendak duduk begitu terkejut. Kedua bola mata indahnya membulat sempurna. Masih pagi, tetapi papanya sudah membawa kabar buruk untuknya. Mama Agnes tak kalah terkejut. Suaminya tidak mengatakan apa pun perihal ini. Tidak ada obrolan sama sekali perihal ini. “Sayang, sudah tidak jaman anak-anak dikenalkan. Biasanya mereka mencari sendiri.” Mama Agnes mencoba membujuk suaminya. Jika sampai Flavia bertemu dengan pria, tentu saja usahanya akan sia-sia. Flavia menatap mama tirinya. Dia tahu kenapa mamanya itu mengatakan itu. Dia tahu maksud dari ucapan mama tirinya itu. “Aku akan menemuinya, Pa.” Seolah sedang menabuh genderang perang, Flavia menyetujui apa yang dikatakan oleh papanya. Mama Agnes menatap kesal. Anak tirinya benar-benar keterlaluan. Sudah dibantu, tetapi justru menerima permintaan itu. Seolah sengaja sekali menerima tawaran itu karena dirinya
“Da … Grandma … da Grandpa.” Kean dan Lean melambaikan tangannya ketika mobil melaju. “Hati-hati di jalan. Langsung kabari nanti.” Mommy Shea melambaikan tangan. “Iya, nanti Kean suruh Uncle kabari Grandma.” Bian hanya bisa menggeleng. Keponakannya enak sekali ketika menjawab. Dengan segera dia menaikkan kaca mobil agar dua bocah itu duduk manis. “Uncle, kenapa hanya Uncle yang tidak punya anak?” Pertanyaan itu terlontar mengisi keheningan di dalam mobil.Bian yang menyetir, melihat dua bocah kecil itu dari pantulan kaca di atas dashboard. Pertanyaan itu begitu menggelitik sekali. Pertanyaan khas anak-anak yang ditanyakan berdasarkan apa yang dilihatnya. “Karena Uncle belum punya istri. Jadi belum punya anak.” Bian menjawab di sela-sela fokusnya pada jalanan. “Kenapa Uncle tidak punya istri?” tanya Lean yang penasaran. Bian mengembuskan napas. Berusaha untuk tetap sabar. Benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana caranya menjawab pertanyaan anak-anak. “Karena belum ada perempua
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber