“Kamu mau ke mana?” tanya Flavia. “Ke kamar.” Bian menjawab dengan polosnya. “Kamu tidak mau menemani aku?” Entah kenapa Flavia merasa tidak rela jika Bian ke kamarnya. Dia ingin ditemani seperti tadi siang.Bian mengulas senyumnya. Ternyata sang istri kini sedikit manja. Tentu saja Bian tidak mau kehilangan kesempatan itu. “Aku hanya akan gosok gigi dan cuci muka saja. Setelah itu, aku akan ke kamarmu untuk menemanimu” Bian menjelaskan pada Flavia. Tangannya membelai lembut wajah Flavia. Flavia merasa senang ketika Bian ke kamarnya bukan untuk tidur. Jadi paling tidak, dia tidak akan tidur sendiri malam ini. “Aku aka menunggu kamu di kamar.” Malu-malu Flavia menatap Bian. Kemudian dengan segera dia berbalik. Tak mau terlalu lama ditatap oleh Bian. Karena jelas pipinya yang menghangat memberikan rona merah. Bian tersenyum melihat aksi malu-malu istrinya. Ternyata itu sifat asli sang istri. Malu-malu ketika berada di dekatnya. Bian tak mau berlama-lama. Dia segera ke kamarnya un
“Bukan begitu. Hanya tumben saja.” Flavia jadi salah tingkah ketika sang suami menggoda. “Aku hanya tidak ingin membuatmu tidak nyaman saja.” Bian memang tidak mau membuat Flavia menjauh. “Tapi, jika kamu sudah merasa nyaman, aku bisa membukanya.” “Tidak-tidak.” Flavia menggeleng. Ini saja sudah membuat jantung Flavia kacau balau, bagaimana jika sampai Bian membuka bajunya.Bian tersenyum. Dia merasakan istrinya yang sedikit panik. Dia tahu sang istri belum siap melakukan hubungan suami istri. Jadi tentu saja itu membuatnya harus lebih bersabar. Jangan sampai membuat sang istri tidak nyaman. “Sudah cepatlah tidur.” Bian mengeratkan pelukannya. Meminta sang istri untuk segera tidur.Di dalam pelukan Bian, Flavia memejamkan matanya. Perlahan Flavia menemukan kenyamanan di dalam diri Bian. *** Bian merasa tengannya pegal sekali. Semalaman Flavia memakai tangannya sebagai bantal. Flavia yang tak bergerak dan mengubah posisi membuat Bian tidak bisa bergerak
Flavia sudah lebih baik. Jadi dia memutuskan untuk bekerja. Dia meminta Bian untuk memakai mobil saja ke kantor. Mengingat Flavia merasa tidak nyaman jika harus naik motor saat datang bulan. Bian tidak masalah. Dia tentu saja ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Di kantor Bian dan Flavia bekerja seperti biasa. Mereka menempatkan diri ketika berada di kantor. Sekali pun mereka adalah sepasang suami istri. Bian yang mendapati telepon dari daddy-nya, langsung segera ke ruangan sang daddy. Untuk menemui daddy-nya. Di depan ruangan sang daddy, Bian mengetuk pintu terlebih dulu. Kemudian baru mendorong pintu agar pintu terbuka. “Pagi, Pak.” Bian yang membuka pintu, langsung menyapa. “Masuk, Bi.” Daddy Bryan yang melihat Bian segera mempersilakan putranya itu untuk masuk. Bian segera duduk di kursi yang berada di depan meja kerja sang daddy. “Flavia sudah sehat?” Daddy Bryan berbasa-basi. “Sudah, Dad. Dia sudah mulai kerja.” Bian menceritakan keadaan istrinya. Daddy Bryan meng
“Benar. Tidak ada pertemanan antara wanita dan laki-laki dalam arti sesungguhnya.” El pun menimpali. Karena pada akhirnya pertemanan itu tetap akan menyisakan cinta di hati mereka. Flavia hanya mendengarkan obrolan tersebut. Tak memberikan tanggapan apa pun. Mereka berempat menikmati makan. Freya menceritakan jika anak-anak sedang ada kegiatan tak jauh dari kantor Adion. Karena itu, mereka memutuskan untuk makan bersama. “Coba rasakan es krim ini.” Bian menyuapi Flavia rasa vanila. “Aku tidak suka.” Flavia sedikit merengek menolak pemberian Bian.“Coba dulu, jangan coklat terus. Kamu harus coba rasa lain.” Bian memaksa sang istri. Flavia pun mencoba es krim vanila milik Bian. Rasanya tidak mengecewakan. Walaupun tetap dia menyukai rasa coklat.Pemandangan Bian dan Flavia itu tertangkap oleh El dan Freya. Dua orang itu bingung. Freya dan El tahu jika Bian dan Flavia tidak sedekat itu sampai main suap-suapan.“Mereka sudah jatuh cinta?” tanya Freya pada suaminya berbisik.“Entah. A
Pokoknya aku mau mie instan.” Flavia berjalan meninggalkan Bian. Dia kesal ketika Bian melarangnya makan mie instan. Tadi mereka pergi ke supermarket, ketika Bian mengetahui jika Flavia membeli mie instan, tentu saja dia melarang untuk membuatnya. Mie instan tidak baik untuk perut jadi tentu saja Bian tidak mengizinkan. Namun, Flavia tidak mau mendengar. Dia beralasan mie instan sudah dibeli, jadi tentu saja harus dibuat. Hal itu membuat perdebatan antara Flavia dan Bian. Keduanya masih dengan pendiriannya. “Sudah aku bilang bukan jika itu tidak baik. Terserah kamu mau marah. Aku tetap tidak akan mengizinkan.” Bian tetap pada pendiriannya. “Kalau begitu aku marah.” Flavia mempercepat langkah kakinya. “Marah saja.” Bian membiarkan Flavia yang begitu kesal berjalan lebih dulu. Lebih baik sang istri marah dari pada nanti sang istri sakit. Mommy Shea dan Daddy Bryan melihat bagaimana Flavia meninggalkan Bian. Tampak wajah Bian yang begitu kasihan sekali. Sebagai ibu, Mommy Shea benar
Flavia langsung mendaratkan kecupan di pipi Bian. “Sayang, bibirmu basah kuah mie.” Bian menjauh dari Flavia. Pipinya pasti bau kuah mie rasa kaldu sapi. Flavia hanya tertawa. “Bagus, pipimu menjadi pipi rasa sapi.” Dia senang sekali melihat wajah Bian yang panik ketika dicium. Flavia yang selesai mencium memilih pergi, karena takut Bian membalasnya. Sayangnya, Bian tidak melepaskan Flavia begitu saja. Dia segera menarik Flavia, dan membuat istrinya itu jatuh ke dalam pelukannya. Membuat Flavia jatuh ke pangkuan Bian. “Mau ke mana kamu?” tanya Bian. Flavia tertawa ketika tertangkap oleh suaminya. “Mau menghindar?” Bian mengunci pergerakan Flavia dengan memeluk istrinya itu. “Iya, karena aku tahu kamu pasti akan membalasnya.” Flavia menatap Bian dengan wajah dihiasi senyuman. Dia tahu apa yang dipikirkan suaminya. “Jika kamu tahu harusnya kamu tidak lari.” Biang mengikis jarak di antara mereka. Perlahan, dia mendekatkan bibirnya. “Perutku sakit.” Flavia tiba-tiba mengeluh. Bi
Flavia pulas berada dipelukan Bian. Sejak mengatakan cinta, mereka berdua memang memutuskan untuk tinggal di kamar yang sama. Namun, tentu saja di kamar Flavia. Sebenarnya, Bian sudah mengajak Flavia tidur di kamarnya saja. Karena tempat tidur Bian lebih besar. Sayangnya, Flavia tidak mau. Dia memilih untuk tidur di kamarnya saja. Bian tidak punya pilihan. Tak mau memaksa apa yang dilakukan oleh Flavia. “Selamat pagi, Sayang.” Bian menyapa Flavia yang sedang membuka matanya. Panggilan itu sudah melekat pada Flavia sejak mereka mengungkapkan cinta.Flavia tersenyum ketika suaminya menyapa. Dia merasa jika sang suami benar-benar menggemaskan sekali. Apalagi ketika memangil ‘sayang’.“Selamat pagi.” Flavia membalas sapaan sang suami.“Sayang.” Bian menambahkan panggilan itu. “Aku masih susah memanggil seperti itu.” Flavia malu. Karena belum pernah memanggil seperti itu. “Karena itu kamu harus membiasakan. Ayo cepat panggil ‘sayang’.” Bian tak sabar mendengar panggilan itu. “Iya, Say
“Nanti saja, Daddy akan tahu.” Bian tersenyum. Sebenarnya Daddy Bryan penasaran. Namun, melihat senyum Bian, dia menduga jika Bian akan memberikan berita baik. ***Akhir pekan begitu cepatnya. Bian dan Flavia bersiap untuk ke rumah orang tua Flavia. Hari ini mereka akan makan siang bersama-sama. Bian dan Flavia sengaja berangkat pagi agar dapat membantu mommy dan daddy-nya di rumah. “Kamu belum selesai?” Di dalam perjalanan Bian bertanya. “Selesai apa?” tanya Flavia bingung. “Selesai datang bulan.” Bian memperjelas apa yang ditanyakan. Flavia akhirnya tahu apa yang ditanyakan sang suami. “Biasanya tujuh hari.” Flavia menjelaskan pada suaminya. “Memang kenapa?” tanyanya penasaran. “Aku hanya ingin tahu saja. Jadi aku bersiap untuk tetap sabar dengan mood-mu yang berubah-ubah.” Bian tersenyum menggoda. “Apa menyebalkan ketika aku bad mood?” tanyanya memastikan. “Iya.” Bian mengatakan jujur. “Kenapa jujur sekali?” Flavia seketika kesal. Karena ternyata suaminya mengatakan jika
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber