Pokoknya aku mau mie instan.” Flavia berjalan meninggalkan Bian. Dia kesal ketika Bian melarangnya makan mie instan. Tadi mereka pergi ke supermarket, ketika Bian mengetahui jika Flavia membeli mie instan, tentu saja dia melarang untuk membuatnya. Mie instan tidak baik untuk perut jadi tentu saja Bian tidak mengizinkan. Namun, Flavia tidak mau mendengar. Dia beralasan mie instan sudah dibeli, jadi tentu saja harus dibuat. Hal itu membuat perdebatan antara Flavia dan Bian. Keduanya masih dengan pendiriannya. “Sudah aku bilang bukan jika itu tidak baik. Terserah kamu mau marah. Aku tetap tidak akan mengizinkan.” Bian tetap pada pendiriannya. “Kalau begitu aku marah.” Flavia mempercepat langkah kakinya. “Marah saja.” Bian membiarkan Flavia yang begitu kesal berjalan lebih dulu. Lebih baik sang istri marah dari pada nanti sang istri sakit. Mommy Shea dan Daddy Bryan melihat bagaimana Flavia meninggalkan Bian. Tampak wajah Bian yang begitu kasihan sekali. Sebagai ibu, Mommy Shea benar
Flavia langsung mendaratkan kecupan di pipi Bian. “Sayang, bibirmu basah kuah mie.” Bian menjauh dari Flavia. Pipinya pasti bau kuah mie rasa kaldu sapi. Flavia hanya tertawa. “Bagus, pipimu menjadi pipi rasa sapi.” Dia senang sekali melihat wajah Bian yang panik ketika dicium. Flavia yang selesai mencium memilih pergi, karena takut Bian membalasnya. Sayangnya, Bian tidak melepaskan Flavia begitu saja. Dia segera menarik Flavia, dan membuat istrinya itu jatuh ke dalam pelukannya. Membuat Flavia jatuh ke pangkuan Bian. “Mau ke mana kamu?” tanya Bian. Flavia tertawa ketika tertangkap oleh suaminya. “Mau menghindar?” Bian mengunci pergerakan Flavia dengan memeluk istrinya itu. “Iya, karena aku tahu kamu pasti akan membalasnya.” Flavia menatap Bian dengan wajah dihiasi senyuman. Dia tahu apa yang dipikirkan suaminya. “Jika kamu tahu harusnya kamu tidak lari.” Biang mengikis jarak di antara mereka. Perlahan, dia mendekatkan bibirnya. “Perutku sakit.” Flavia tiba-tiba mengeluh. Bi
Flavia pulas berada dipelukan Bian. Sejak mengatakan cinta, mereka berdua memang memutuskan untuk tinggal di kamar yang sama. Namun, tentu saja di kamar Flavia. Sebenarnya, Bian sudah mengajak Flavia tidur di kamarnya saja. Karena tempat tidur Bian lebih besar. Sayangnya, Flavia tidak mau. Dia memilih untuk tidur di kamarnya saja. Bian tidak punya pilihan. Tak mau memaksa apa yang dilakukan oleh Flavia. “Selamat pagi, Sayang.” Bian menyapa Flavia yang sedang membuka matanya. Panggilan itu sudah melekat pada Flavia sejak mereka mengungkapkan cinta.Flavia tersenyum ketika suaminya menyapa. Dia merasa jika sang suami benar-benar menggemaskan sekali. Apalagi ketika memangil ‘sayang’.“Selamat pagi.” Flavia membalas sapaan sang suami.“Sayang.” Bian menambahkan panggilan itu. “Aku masih susah memanggil seperti itu.” Flavia malu. Karena belum pernah memanggil seperti itu. “Karena itu kamu harus membiasakan. Ayo cepat panggil ‘sayang’.” Bian tak sabar mendengar panggilan itu. “Iya, Say
“Nanti saja, Daddy akan tahu.” Bian tersenyum. Sebenarnya Daddy Bryan penasaran. Namun, melihat senyum Bian, dia menduga jika Bian akan memberikan berita baik. ***Akhir pekan begitu cepatnya. Bian dan Flavia bersiap untuk ke rumah orang tua Flavia. Hari ini mereka akan makan siang bersama-sama. Bian dan Flavia sengaja berangkat pagi agar dapat membantu mommy dan daddy-nya di rumah. “Kamu belum selesai?” Di dalam perjalanan Bian bertanya. “Selesai apa?” tanya Flavia bingung. “Selesai datang bulan.” Bian memperjelas apa yang ditanyakan. Flavia akhirnya tahu apa yang ditanyakan sang suami. “Biasanya tujuh hari.” Flavia menjelaskan pada suaminya. “Memang kenapa?” tanyanya penasaran. “Aku hanya ingin tahu saja. Jadi aku bersiap untuk tetap sabar dengan mood-mu yang berubah-ubah.” Bian tersenyum menggoda. “Apa menyebalkan ketika aku bad mood?” tanyanya memastikan. “Iya.” Bian mengatakan jujur. “Kenapa jujur sekali?” Flavia seketika kesal. Karena ternyata suaminya mengatakan jika
Mommy Shea menatap putranya. Guratan kesedihan terlihat jelas dari wajahnya. Mommy Shea merasa jika Bian benar-benar akan memutuskan hubungan dengan Flavia jika mereka berpisah nanti. “Jika kami berpisah dan dia ke sini. Yang ada akan membuat calon istriku kelak risih. Lagi pula bagaimana jika nanti aku punya calon istri. Apa Mommy tidak kasihan padanya jika Mommy masih dekat dengan Flavia.” Bian menahan tawanya. Dia senang sekali menggoda mommy-nya. Tadi, Bian hendak mengambil minum. Saat sampai di dapur, dia mendengar pembicaraan dari mommy dan istrinya. Hal itu membuat Bian akhirnya memutuskan untuk mengerjai sang mommy. Mommy Shea hanya mengembuskan napasnya. Mau menyalahkan siapa dalam hal ini, tentu saja di tidak tau. Anaknya sama keras kepalanya dengan menantunya. Jadi dia tidak bisa mengatakan apa-apa. “Sepertinya yang lain sudah datang. Ayo, Mommy kita ke depan.” Freya yang mendengar suara Anka dan Rigel. Menduga jika keluarga Maxton sudah datang. Mommy Shea pun memilih
Mendengar jawaban Bian dan Flavia, Mommy Shea segera meletakkan kotak di atas meja. Dia segera berdiri dan menghampiri anak dan menantunya. Dipelukanya dua orang yang begitu disayanginya itu. Pelukan sayang yang begitu tulus dari seorang ibu. Semua keluarga ikut bahagia mendengar jika Bian dan Flavia tidak jadi berpisah. Tentu saja ini adalah kabar bahagia. Seperti halnya yang dipikirkan Mommy Shea. Saat memeluk Bian dan Flavia, tiba-tiba Mommy Shea memukul Bian. “Dasar anak nakal,” ucapnya sambil melepaskan pelukan. “Mom, kenapa aku dipukul?” protes Bian. “Karena kamu mengerjai Mommy. Apalagi?” Mommy Shea kembali memukul Bian. Bian tersenyum ketika dipukul sang mommy. Dia memang tadi mengerjai mommy-nya. Bian yang tidak tega pun memeluk sang mommy. “Maaf.” Satu kata yang diucapkan Bian. “Kamu memang seperti daddy-mu. Mudah sekali minta maaf.” Mommy Shea memberikan komentar atas permintaan maaf Bian. Daddy Bryan yang duduk manis menggeleng heran. Dirinya tidak melakukan apa-ap
Flavia terperangah mendengar ucapan Bian. Dia agak sedikit bingung dengan ucapan Bian. “Maksudnya … maksudnya ….” Bian langsung tertawa melihat wajah panik Flavia. Sang istri benar-benar menggemaskan sekali. Dia segera mencubit pipi sang istri. “Tenanglah, aku tidak akan memaksa jika kamu belum siap.” Bian memang tidak benar-benar serius dengan apa yang diucapkannya tadi. Bian segera berbalik, tetapi Flavia menariknya. Membuat Bian kembali menoleh pada sang istri. Tatapannya mengisyaratkan apa pertanyaan kenapa sang istri menariknya. “Aku belum selesai datang bulan. Katanya masa subur wanita itu sepuluh hari sampai tujuh belas hari dari pertama kali datang bulan. Ini masih enam hari. Jadi masih sekitar empat hari. Apa kamu mau menunggu.” Flavia ragu-ragu mengatakannya. Bian terkesiap. Dia tidak menyangka jika sang istri benar-benar siap. Hanya karena terhalang datang bulan, tentu saja mereka tidak akan melakukannya. “Tentu saja aku akan menunggu.” Jika masih ada waktu, tentu s
“Apa perubahan wajahku terlihat?” Bian menatap Flavia. “Jelas terlihat.” Flavia menarik tangan Bian. “Apa kamu tahu jika aku dekat dengannya lagi?” Sambil menggenggam tangan suamiya.“Sedikit.” Bian mengatakan apa adanya. Tanpa menutupi apa yang dirasakan. Flavia tahu jika Bian pasti merasakan ketakutan di dalam hatinya. Hal itu wajar, mengingat Nevan pernah singgah di hatinya. “Aku milikmu, kenapa harus takut?” Flavia menatap sang suami untuk meyakinkan sang suami. “Aku belum memiliki kamu seutuhnya.” Bian mengembuskan napasnya. Merasa takut jika sampai kehilangan Flavia. “Maksudnya?” Flavia bingung dengan ucapan Bian. Lalu pikirannya melayang memikirkan jika mereka belum melakukan hubungan suami istri secara sadar. “Aku janji kamu akan memiliki aku seutuhnya.” Flavia meyakinkan Bian. Satu kecupan mendarat di pipi Bian. Flavia ingin Bian percaya padanya. Kecupan dari sang istri seperti sihir. Seketika menenangkan sekali. Seketika Bian merasa yakin istrinya tidak akan tergoda de