Flavia terperangah mendengar ucapan Bian. Dia agak sedikit bingung dengan ucapan Bian. “Maksudnya … maksudnya ….” Bian langsung tertawa melihat wajah panik Flavia. Sang istri benar-benar menggemaskan sekali. Dia segera mencubit pipi sang istri. “Tenanglah, aku tidak akan memaksa jika kamu belum siap.” Bian memang tidak benar-benar serius dengan apa yang diucapkannya tadi. Bian segera berbalik, tetapi Flavia menariknya. Membuat Bian kembali menoleh pada sang istri. Tatapannya mengisyaratkan apa pertanyaan kenapa sang istri menariknya. “Aku belum selesai datang bulan. Katanya masa subur wanita itu sepuluh hari sampai tujuh belas hari dari pertama kali datang bulan. Ini masih enam hari. Jadi masih sekitar empat hari. Apa kamu mau menunggu.” Flavia ragu-ragu mengatakannya. Bian terkesiap. Dia tidak menyangka jika sang istri benar-benar siap. Hanya karena terhalang datang bulan, tentu saja mereka tidak akan melakukannya. “Tentu saja aku akan menunggu.” Jika masih ada waktu, tentu s
“Apa perubahan wajahku terlihat?” Bian menatap Flavia. “Jelas terlihat.” Flavia menarik tangan Bian. “Apa kamu tahu jika aku dekat dengannya lagi?” Sambil menggenggam tangan suamiya.“Sedikit.” Bian mengatakan apa adanya. Tanpa menutupi apa yang dirasakan. Flavia tahu jika Bian pasti merasakan ketakutan di dalam hatinya. Hal itu wajar, mengingat Nevan pernah singgah di hatinya. “Aku milikmu, kenapa harus takut?” Flavia menatap sang suami untuk meyakinkan sang suami. “Aku belum memiliki kamu seutuhnya.” Bian mengembuskan napasnya. Merasa takut jika sampai kehilangan Flavia. “Maksudnya?” Flavia bingung dengan ucapan Bian. Lalu pikirannya melayang memikirkan jika mereka belum melakukan hubungan suami istri secara sadar. “Aku janji kamu akan memiliki aku seutuhnya.” Flavia meyakinkan Bian. Satu kecupan mendarat di pipi Bian. Flavia ingin Bian percaya padanya. Kecupan dari sang istri seperti sihir. Seketika menenangkan sekali. Seketika Bian merasa yakin istrinya tidak akan tergoda de
Sampai di lobi, Flavia melihat supir yang sudah menunggunya. Rasanya Flavia sudah tidak sabar. Dia segera masuk ke mobil dan duduk manis. Supir segera melajukan mobilnya ketika Flavia masuk ke mobil. Saat perjalanan, ponsel Flavia berbunyi. Suaminya kembali menghubunginya. Kali ini hanya pesan singkat yang dikirim sang suami. [Aku sudah pesan kamar. Aku sudah siapkan baju juga. Kamu ganti saja dan setelah itu kamu bisa ke lantai paling atas untuk bertemu denganku.] Mendapati pesan itu Flavia tersenyum. Sepertinya suaminya memang sudah mempersiapkan semuanya untuknya. Rasanya tak sabar bertemu suaminya. Mobil akhirnya sampai di hotel. Flavia segera turun dari mobilnya. Kemudian masuk ke hotel. Tempat yang ingin ditujunya adalah lobi. Karena ingin meminta kunci kamar hotel. “Fla.” Suara memanggil nama Flavia. Mendengar namanya dipanggil, Flavia segera berhenti. Saat memutar tubuhnya, dia melihat Nevan di sana. Dia sedikit bingung karena melihat Nevan di hotel yang sama deng
“Iya, aku bercinta dengan mereka.” Bian menjawab tanpa ada keraguan. Flavia terdiam. Ada rasa sakit terselip di hatinya. Bian tidak sama sekali menutupi apa yang dilakukannya. “Mungkin kamu terkejut, tetapi aku tidak berniat menutupi semuanya. Dari pada kamu dengar dari orang lain, lebih baik dengar dari mulutku sendiri.” Sayangnya, aku sudah mendengar dari orang lain. “Kapan terakhir kali kamu menjalin hubungan?” Flavia kembali bertanya. Dia ingin tahu kapan terakhir kali Bian melakukan hubungan intim dengan kekasihnya.“Tiga tahun yang lalu. Kami memutuskan hubungan, dan sejak itu aku tidak menjalin hubungan dengan siapa pun.” Sejak putus cinta memang Bian lebih fokus dengan pekerjaanya. Flavia masih terdiam. Dia benar-benar bingung harus menanggapi apa. “Aku tahu, pasti kamu kecewa, tetapi aku bisa jamin, tidak akan ada yang datang tiba-tiba untuk meminta pertanggungjawaban karena kami melakukan dengan pengaman. Aku juga bisa jamin jika aku sehat dari penyakit.” Bian meyakink
Semalaman Flavia menangis. Dia benar-benar memikirkan apa yang harus dilakukannya. Flavia memilih berangkat ke kantor lebih dulu. Karena tidak mau bertemu dengan Bian dalam waktu ini. Di jalan, Bian melewati mobil Flavia. Flavia yang melihat hal itu merasa sedikit sakit. Beberapa waktu ini, mereka selalu pergi berdua, tetapi justru kali ini mereka berangkat terpisah. Flavia berusaha untuk tetap menenangkan hatinya. Mobil Flavia sampai di tempat parkir. Selang beberapa saat motor Bian sampai di tempat parkir juga. Flavia memilih menunggu Bian untuk masuk lebih dulu karena tidak mau menjadi pusat perhatian dari orang-orang. Saat melihat Bian masuk, barulah Flavia masuk ke kantornya. Beruntung lobi tidak terlalu ramai. Jadi Flavia bisa leluasa. Sayangnya, tepat di lift, Bian masih berdiri di depan lift. Rasanya bertemu dengan Bian membuat Flavia tidak nyaman. Bian sengaja melewatkan lift tadi. Dia ingin menunggu istrinya. Tadi, Bian lihat sang istri sengaja menunggunya masuk lebih du
“Setiap orang punya masa lalu buruk. Kita tidak bisa menjadi hakim atas apa yang mereka lakukan dulu. Jika kamu yakin dia akan berubah, lupakan masa lalunya. Lihatlah dia yang sekarang, dan berjalannya ke masa depan bersama.” Mommy Shea tersenyum. Flavia merasakan ketenangan yang tidak pernah didapatkannya. Tak pernah dia mencurahkan isi hati pada seorang ibu. Mendapati Mommy Shea yang menasehati dengan lembut membuatnya merasa jika kini dia memiliki ibu. Tanpa sadar Flavia menangis. Dia merasa terharu ketika ada orang yang menasehatinya. Mommy Shea yang melihat Flavia menangis langsung bangun dan mendekati menantunya itu. Dia duduk di samping sang menantu. “Kenapa, Fla?” Mommy Shea merangkul bahu menantunya. “Aku baru ini mendapatkan nasihat. Baru kali ini ada tempat untukku bertanya. Sebelumnya aku tidak punya tempat bertanya.” Flavia menatap Mommy Shea. Mommy Shea tahu jika Flavia tinggal dengan mama tirinya. Berpikir, mungkin tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu.
Bian melihat projek yang dibuat Al. Sepupunya itu ada-ada saja membuat taman kaca. Projek ini katanya untuk pernikahan. Bian melihat sendiri, karena tadi kakaknya bilang sudah melihat. Jadi dia melihatnya sendiri. Taman kaca tampak indah dengan bunga-bunga di sekitarnya. Di tengah adalah ruang kosong yang bisa diisi dengan kursi-kursi saat acara pernikahan. Flavia mencari Bian ke taman kaca. Dilihatnya Bian berada di taman kaca sendiri. Tampak suaminya itu sedang berdiri sambil memerhatikan sekitar. Dengan segera Flavia menghampiri, dia langsung memeluk suaminya itu dari belakang. Punggung lebar yang selalu nyaman untuk bersandar itu tak pernah berubah. Selalu nyaman untuk tempatnya bersandar. “Jangan tinggalkan aku.” Air mata Flavia mengalih ketika memeluk sang suami. Dia tidak rela jika harus berpisah dari suaminya itu. Bian cukup terkejut ketika Flavia tiba-tiba memeluknya. Dengan segera dia berbalik untuk melihat wajah sang istri. Dilihatnya sang istri yang menangis sambil meme
Flavia melihat Ghea, Freya, Shera, dan Dearra di sana. Mereka menyambut Flavia yang baru saja masuk. Melihat kakak-kakak iparnya, tentu saja membuat Flavia bingung. “Kakak di sini?” tanya Flavia bingung. “Iya, kami di sini. Untuk meriasmu.” Freya menjawab dengan senyum di wajahnya. Flavia masih dalam kebingungannya. “Merias untuk apa?” Dia yang bingung pun segera bertanya. “Sudah, ayo kita tidak punya banyak waktu.” Ghea segera menarik adik iparnya itu untuk duduk. Flavia hanya bisa terpaku saja ketika melihat akan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti kejutan apa yang disiapkan Bian untuknya, sampai kakak-kakaknya turun tangan semuanya. Freya merias wajah Flavia bersama Shera, sedangkan Ghea dan Dearra merapikan rambut Flavia. Satu tubuh dikeroyok empat orang. Tak butuh waktu lama, akhirnya Flavia selesai juga berias. Wajah Flavia tak kalah cantik ketika dirias oleh penata rias. “Sekarang pakai gaunnya.” Ghea segera menyerahkan gaun pada Flavia. Flavia melihat gaun dari pant