Bian meraih gelas yang dibawa sang istri. “Semoga perutmu akan lebih baik.” Flavia mengangguk. Bian ke dapur untuk meletakkan gelasnya. Dia juga mengambil botol kompres agar Flavia kembali menghangatkan perutnya agar jauh lebih baik. Flavia bosan di kamar jadi dia memilih untuk tiduran di sofa sambil memegangi botol kompres untuk menempelkannya di perutnya. Bian tentu saja menemani sang istri. Dia memilih duduk di sofa. Kemudian mengangkat kepala Flavia dan memindahkannya di pahanya. Membiarkan Flavia berbantalkan pahanya. Flavia hanya tersenyum saja. Perasaannya begitu bahagia sekali karena bisa berada dekat dengan sang suami seperti ini.Bian membelai lembut rambut Flavia. Rambut Flavia yang panjang begitu lembut sekali. Membuat Bian senang memainkannya. “Jika kamu membelai aku, bisa-bisa aku akan tidur lagi.” Flavia merasa sentuhan Bian begitu lembut sekali. Sehingga membuatnya merasa begitu membuatnya mengantuk. “Tidurlah. Kamu justru harus banyak istirahat. Agar lupa rasa
“Kamu mau ke mana?” tanya Flavia. “Ke kamar.” Bian menjawab dengan polosnya. “Kamu tidak mau menemani aku?” Entah kenapa Flavia merasa tidak rela jika Bian ke kamarnya. Dia ingin ditemani seperti tadi siang.Bian mengulas senyumnya. Ternyata sang istri kini sedikit manja. Tentu saja Bian tidak mau kehilangan kesempatan itu. “Aku hanya akan gosok gigi dan cuci muka saja. Setelah itu, aku akan ke kamarmu untuk menemanimu” Bian menjelaskan pada Flavia. Tangannya membelai lembut wajah Flavia. Flavia merasa senang ketika Bian ke kamarnya bukan untuk tidur. Jadi paling tidak, dia tidak akan tidur sendiri malam ini. “Aku aka menunggu kamu di kamar.” Malu-malu Flavia menatap Bian. Kemudian dengan segera dia berbalik. Tak mau terlalu lama ditatap oleh Bian. Karena jelas pipinya yang menghangat memberikan rona merah. Bian tersenyum melihat aksi malu-malu istrinya. Ternyata itu sifat asli sang istri. Malu-malu ketika berada di dekatnya. Bian tak mau berlama-lama. Dia segera ke kamarnya un
“Bukan begitu. Hanya tumben saja.” Flavia jadi salah tingkah ketika sang suami menggoda. “Aku hanya tidak ingin membuatmu tidak nyaman saja.” Bian memang tidak mau membuat Flavia menjauh. “Tapi, jika kamu sudah merasa nyaman, aku bisa membukanya.” “Tidak-tidak.” Flavia menggeleng. Ini saja sudah membuat jantung Flavia kacau balau, bagaimana jika sampai Bian membuka bajunya.Bian tersenyum. Dia merasakan istrinya yang sedikit panik. Dia tahu sang istri belum siap melakukan hubungan suami istri. Jadi tentu saja itu membuatnya harus lebih bersabar. Jangan sampai membuat sang istri tidak nyaman. “Sudah cepatlah tidur.” Bian mengeratkan pelukannya. Meminta sang istri untuk segera tidur.Di dalam pelukan Bian, Flavia memejamkan matanya. Perlahan Flavia menemukan kenyamanan di dalam diri Bian. *** Bian merasa tengannya pegal sekali. Semalaman Flavia memakai tangannya sebagai bantal. Flavia yang tak bergerak dan mengubah posisi membuat Bian tidak bisa bergerak
Flavia sudah lebih baik. Jadi dia memutuskan untuk bekerja. Dia meminta Bian untuk memakai mobil saja ke kantor. Mengingat Flavia merasa tidak nyaman jika harus naik motor saat datang bulan. Bian tidak masalah. Dia tentu saja ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Di kantor Bian dan Flavia bekerja seperti biasa. Mereka menempatkan diri ketika berada di kantor. Sekali pun mereka adalah sepasang suami istri. Bian yang mendapati telepon dari daddy-nya, langsung segera ke ruangan sang daddy. Untuk menemui daddy-nya. Di depan ruangan sang daddy, Bian mengetuk pintu terlebih dulu. Kemudian baru mendorong pintu agar pintu terbuka. “Pagi, Pak.” Bian yang membuka pintu, langsung menyapa. “Masuk, Bi.” Daddy Bryan yang melihat Bian segera mempersilakan putranya itu untuk masuk. Bian segera duduk di kursi yang berada di depan meja kerja sang daddy. “Flavia sudah sehat?” Daddy Bryan berbasa-basi. “Sudah, Dad. Dia sudah mulai kerja.” Bian menceritakan keadaan istrinya. Daddy Bryan meng
“Benar. Tidak ada pertemanan antara wanita dan laki-laki dalam arti sesungguhnya.” El pun menimpali. Karena pada akhirnya pertemanan itu tetap akan menyisakan cinta di hati mereka. Flavia hanya mendengarkan obrolan tersebut. Tak memberikan tanggapan apa pun. Mereka berempat menikmati makan. Freya menceritakan jika anak-anak sedang ada kegiatan tak jauh dari kantor Adion. Karena itu, mereka memutuskan untuk makan bersama. “Coba rasakan es krim ini.” Bian menyuapi Flavia rasa vanila. “Aku tidak suka.” Flavia sedikit merengek menolak pemberian Bian.“Coba dulu, jangan coklat terus. Kamu harus coba rasa lain.” Bian memaksa sang istri. Flavia pun mencoba es krim vanila milik Bian. Rasanya tidak mengecewakan. Walaupun tetap dia menyukai rasa coklat.Pemandangan Bian dan Flavia itu tertangkap oleh El dan Freya. Dua orang itu bingung. Freya dan El tahu jika Bian dan Flavia tidak sedekat itu sampai main suap-suapan.“Mereka sudah jatuh cinta?” tanya Freya pada suaminya berbisik.“Entah. A
Pokoknya aku mau mie instan.” Flavia berjalan meninggalkan Bian. Dia kesal ketika Bian melarangnya makan mie instan. Tadi mereka pergi ke supermarket, ketika Bian mengetahui jika Flavia membeli mie instan, tentu saja dia melarang untuk membuatnya. Mie instan tidak baik untuk perut jadi tentu saja Bian tidak mengizinkan. Namun, Flavia tidak mau mendengar. Dia beralasan mie instan sudah dibeli, jadi tentu saja harus dibuat. Hal itu membuat perdebatan antara Flavia dan Bian. Keduanya masih dengan pendiriannya. “Sudah aku bilang bukan jika itu tidak baik. Terserah kamu mau marah. Aku tetap tidak akan mengizinkan.” Bian tetap pada pendiriannya. “Kalau begitu aku marah.” Flavia mempercepat langkah kakinya. “Marah saja.” Bian membiarkan Flavia yang begitu kesal berjalan lebih dulu. Lebih baik sang istri marah dari pada nanti sang istri sakit. Mommy Shea dan Daddy Bryan melihat bagaimana Flavia meninggalkan Bian. Tampak wajah Bian yang begitu kasihan sekali. Sebagai ibu, Mommy Shea benar
Flavia langsung mendaratkan kecupan di pipi Bian. “Sayang, bibirmu basah kuah mie.” Bian menjauh dari Flavia. Pipinya pasti bau kuah mie rasa kaldu sapi. Flavia hanya tertawa. “Bagus, pipimu menjadi pipi rasa sapi.” Dia senang sekali melihat wajah Bian yang panik ketika dicium. Flavia yang selesai mencium memilih pergi, karena takut Bian membalasnya. Sayangnya, Bian tidak melepaskan Flavia begitu saja. Dia segera menarik Flavia, dan membuat istrinya itu jatuh ke dalam pelukannya. Membuat Flavia jatuh ke pangkuan Bian. “Mau ke mana kamu?” tanya Bian. Flavia tertawa ketika tertangkap oleh suaminya. “Mau menghindar?” Bian mengunci pergerakan Flavia dengan memeluk istrinya itu. “Iya, karena aku tahu kamu pasti akan membalasnya.” Flavia menatap Bian dengan wajah dihiasi senyuman. Dia tahu apa yang dipikirkan suaminya. “Jika kamu tahu harusnya kamu tidak lari.” Biang mengikis jarak di antara mereka. Perlahan, dia mendekatkan bibirnya. “Perutku sakit.” Flavia tiba-tiba mengeluh. Bi
Flavia pulas berada dipelukan Bian. Sejak mengatakan cinta, mereka berdua memang memutuskan untuk tinggal di kamar yang sama. Namun, tentu saja di kamar Flavia. Sebenarnya, Bian sudah mengajak Flavia tidur di kamarnya saja. Karena tempat tidur Bian lebih besar. Sayangnya, Flavia tidak mau. Dia memilih untuk tidur di kamarnya saja. Bian tidak punya pilihan. Tak mau memaksa apa yang dilakukan oleh Flavia. “Selamat pagi, Sayang.” Bian menyapa Flavia yang sedang membuka matanya. Panggilan itu sudah melekat pada Flavia sejak mereka mengungkapkan cinta.Flavia tersenyum ketika suaminya menyapa. Dia merasa jika sang suami benar-benar menggemaskan sekali. Apalagi ketika memangil ‘sayang’.“Selamat pagi.” Flavia membalas sapaan sang suami.“Sayang.” Bian menambahkan panggilan itu. “Aku masih susah memanggil seperti itu.” Flavia malu. Karena belum pernah memanggil seperti itu. “Karena itu kamu harus membiasakan. Ayo cepat panggil ‘sayang’.” Bian tak sabar mendengar panggilan itu. “Iya, Say