Tahun ini Bunga memasuki usia yang ke 19 tahun. Namun sikapnya yang dewasa membuat ia disegani lawan bicara. Berasal dari sebuah SMA favorit di kotanya membuat Bunga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia masuk ke kampus putih itu bukan karena koneksi tapi karena memang karena prestasi. Ia lulus dengan nilai terbaik bersama Surya dan Bayu walau awalnya ia sangat tidak percaya.
Papan pengumuman terpampang jelas di matanya. Bunga tidak berani melihat namanya ada di sana atau tidak, yang diingatnya adalah ratusan peserta yang ikut ujian masuk saat itu dan mereka adalah lulusan terbaik dari SMA masing-masing. Bunga mendesah resah dan memulai mencari namanya diurutan terbawah.
Ia melihat di deretan yang lulus cadangan tapi tidak ada namanya di sana, kecemasan mulai merayap membayangkan wajah ayah yang kecewa.
Dengan sedikit keberanian ia beranikan diri memulai dari lulusan paling bontot, urutan ke 45. Innalilahi ternyata namanya juga tidak ada, hingga urutan ke 10 pun tidak ada. Bunga menyerah, berbalik badan dan menuju parkiran di mana motor Hondanya berada. Kesedihan merayapi hatinya, sudah jelas dimatanya betapa kecewanya ayah nanti. Ia kecewa walau sisi hatinya yang lain sedikit bersorak, kalau ia tidak lulus di Akper berarti ia bisa kuliah di FKIP seperti keinginannya, senyum kecil terbit di bibir pink alaminya.
Ayah pasti akan sedikit kecewa tapi ayah pasti tidak akan memaksakan kehendaknya pada Bunga. Sebagai putri tunggal Bunga tidak menjadi sosok yang manja malah Bunga sudah mandiri sejak belia, ibunya yang seorang guru membuatnya sering ditinggal mengajar sampai sore, di rumah kadang hanya berdua dengan ayah saja kalau ayah tidak ke laut. Dulu saat Bunga kecil, ayah suka pergi ke laut dan meninggalkannya berhari hari tapi sekarang ayah sudah memiliki kapal ikan sendiri, ayah hanya perlu mengawasi sesekali saja karena anak buah Ayah secara rutin dan ke rumah memberi laporan. Selain kapal ikan, ayah Bunga juga punya usaha pembuatan perahu. Bunga juga sering ikut kalau ayah sedang ada borongan pembuatan perahu.
Ayah memperkenalkan Bunga sebagai bidadari kecilnya yang cantik dan berharga sehingga tidak ada seorang pun yang berani menganggunya. Bermain pasir dan membuat istana adalah kegemaran Bunga sambil menunggu ayah menyelesaikan pekerjaannya tapi setelah Bunga beranjak remaja ayah sudah sangat jarang mengajak Bunga. Ayah tidak mau banyak lelaki melihat anak gadisnya, sungguh ayah adalah ayah yang posesif.
Bunga tiba di rumah dan memarkirkan motornya dengan lesu. Dengan langkah gontai ia memasuki rumah yang nampak sepi. Ucapan salamnya nyaris tidak terdengar, lemas seluruh tubuhnya apalagi saat melihat ayah yang bergegas menyambut dengan mata berbinar. Bunga merasa bibirnya tiba-tiba kelu, kegembiraan yang tadi sempat hadir di hatinya lenyap seketika melihat ayah yang menatapnya dengan mata berbinar.
"Anak ayah lulus kan? Anak ayah akan jadi perawat tiga tahun lagi." ucap ayah semangat sambil merangkul Bunga, membuat Bunga semakin sedih saja.
"Maafkan Bunga, Yah. Bunga gagal. Nama Bunga tidak ada di antara mereka yang berhasil lulus. Bunga sudah mengecewakan Ayah, " tukas Bunga tanpa gairah.
Ayah mengibaskan tangannya dan menggelengkan kepalanya, ia sangat yakin kalau Bunga lulus.
"Tidak mungkin. Pasti kamu salah lihat. Sekarang ayo kita lihat sama-sama. Ayah yakin kamu lulus." kata ayah antusias membuat Bunga semakin merasa bersalah.
Ada penyesalan di hatinya saat ingat bagaimana ia menyelesaikan tes nya waktu itu. Hanya setengah hati karena Bunga ingin sekali menjad guru tapi ayah malah menyuruhnya jadi perawat. Sekarang keyakinan ayah padanya membuat hatinya seperti diiris belati, pedih, sakit sekali.
"Ayo ikut ayah." seru ayah yang sudah berada di atas motor.
"Mas, sudahlah. Jangan buat Bunga semakin sedih," sela ibu yang tiba-tiba muncul sambil membaca secangkir kopi dan sepiring camilan. Bunga melirik sekilas dan mencomot kue apem yang nampak menggugah selera, mengembang seperti bunga mawar.
"Wah ada kue apem kesukaanku,"
Bunga mengunyah kue apemnya dan memandang Ayah yang masih kekeuh pada pendiriannya.
"Ayo kita lihat sekali lagi. Ayah tidak percaya kamu tidak lulus!"
"Biarkan Bunga menghabiskan makanannya dulu, Mas. Sabar saja, tidak akan berubah kok hasilnya," ujar Ibu lagi sambil melirik Ayah yang sangat tidak sabaran.
Ayah lalu menyeruput kopinya dengan buru-buru lalu memberi kode pada Bunga agar cepat menghabiskan kue apemnya dan naik ke atas motor.
Dengan langkah berat Bunga mengikuti ayahnya dan ikut duduk membonceng di belakang. Perjalanan ke kampus terasa begitu cepat, membuat dada bunga berdebar lebih kencang. Tangisnya hampir pecah membayangkan bagaimana kecewanya Ayahnya nanti.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba dan semenit kemudian ayah sudah berteriak gembira sambil menghampiri dan memeluk putrinya dengan penuh haru, membuat Bunga menjadi serba salah.
"Apa kata ayah, anak ayah pasti lulus. Kamu itu kalau liat pengumuman dibaca dengan teliti jangan asal cepat saja!" tukas Ayah membuat Bunga melepaskan rangkulan ayahnya dan bergegas ke papan pengumuman. Ia masih tidak percaya bagaimana namanya yang semula tidak ada bisa secepat itu terdapat di sana. Sungguh tidak masuk akal.
"Lihat yang teratas. Nama Bunga Eka Raflesia ada di urutan pertama!" pekik Ayah masih dengan nada riang.
Bunga membelalakkan matanya tidak percaya. Benar kata ayah, namanya salah satu yang ada di deretan paling atas, pantas saja ia tidak menemukannya di bawah apalagi di cadangan. Bunga seperti tidak mempercayai sendiri, atau ini karma karena ia memang berniat agar tidak lulus.
"Bunga lulus, Yah. Bunga lulus!" teriak Bunga sambil menatap papan pengumuman itu sekali lagi dengan pandangan masih tak percaya.
Bunga tidak tahu harus senang atau menangis saat itu. Tapi melihat kegembiraan ayah dan senyumnya yang tidak pernah lepas dari wajahnya membuat Bunga ikut gembira. Mungkin ini takdir yang harus Bunga jalani, Ia harus ridho dengan pilihan orang tuanya.
"Alhamdulillah akhirnya Bunga bisa membuat ayah bahagia." katanya lirih.
"Ayah selalu yakin anak ayah pasti jadi yang terbaik. Nanti belajarlah dengan sungguh-sungguh. Ayah akan bekerja lebih keras buat membiayai kuliahmu." seru Ayah lagi dengan nada bangga sambil menepuk pundak Bunga pelan. Di matanya sudah terbayang putrinya dalam balutan seragam putih menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Sangat membanggakan.
"Ayah tidak usah khawatir masalah biaya. Cukup ayah siapkan uang masuk karena di semester ketiga Bunga sudah mendapatkan uang saku yang lebih dari cukup buat membayar kuliah sendiri. Kampus ini kan memiliki ikatan dinas, Yah. Jadi ayah tidak perlu bekerja lebih keras buat Bunga."
"Alhamdulillah kalau begitu tapi Ayah tetap akan bekerja lebih keras lagi agar anak ayah tidak terkendala biaya buat praktek nanti." seru Ayah senang.
"Itu masih lama, Ayah. Ayah tidak perlu memikirkannya sekarang,"
"Harus. Ayah mau yang terbaik buat anak Ayah,"
Bunga sangat terharu melihat kepedulian dan kasih sayang ayah padanya, ia lalu memeluk ayah dengan sayang, ayah pun memeluk putri kebanggaanya itu lalu mereka beranjak pulang.
"Aduh!" Bunga nyaris tersungkur saat sebuah batu menghalangi langkahnya. Lamunannya buyar seketika. Bayu yang sejak tadi memperhatikan Bunga dari balik pohon hampir saja keluar dari persembunyiannya buat menolong Bunga, syukur ia masih bisa menahannya. Ia juga lega saat dilihatnya Bunga baik-baik saja dan tidak jatuh.
"Syukurlah dia tidak apa-apa,"
Bersambung
Bayu menarik nafas lega saat dilihatnya Bunga berhasil menyeimbangkan tubuhnya dan tidak jatuh terhempas saat sebuah batu menghalangi jalannya."Syukurlah. Aku tidak perlu keluar dari persembunyianku dan ketahuan mengikuti gadis itu. Bisa malu aku nanti kalau belum-belum sudah tertangkap basah." ujar Bayu pelan pada dirinya sendiri.Ia lega sekali. Sambil mengusap dadanya sendiri kini ekor matanya kembali mengikuti kemana Bunga melangkah.Gadis itu sudah merubah prinsip seorang Bayu yang semula tidak peduli pada seorang perempuan pun sekarang mulai memperhatikan setiap pergerakan Bunga.Bayu ingat, dulu waktu di SMA teman perempuannya yang juga menggunakan kerudung sering mendapatkan perlakuan tidak adil di sekolahnya hanya karena pakaian mereka tapi Bayu tidak terlalu perduli, bahkan melihatnya sebagai sebuah tontonan saja.Banyak diantara mereka akhirnya melepas kerudung di jam sekolah dan memakainya kembali saat jam sekolah selesai. Ada si
"Serius?" kejar Bayu lagi."Pelangi sudah seperti adik aja buatku. Gak lebih.""Adik ketemu gede maksudnya?" kekeh Bayu mencoba menggoda Surya.Bayu tergelak dan Surya menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha menyakinkan Bayu. Setelah itu pandangannya menerawang ke langit malam. Rembulan yang wajahnya tertutup separoh seolah sedang tersenyum padanya. Dalam hati Surya mengakui, pandangan pertamanya pada Bunga menggetarkan perasaan suka. Namun setelah ia renungkan, ternyata hatinya bukan sekedar suka kepada lawan jenis, melainkan ada rasa rindu yang ganjil di hatinya.Surya merindukan jalan yang bisa mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Jalan yang sudah lama ia cari sejak ia memutuskan buat meninggalkan kehidupannya di pulau seberang dan memutuskan buat merantau ke pulau Sumatera mengikuti saudara dari orang tuanya.Bayu melihat Surya yang tampak melamun dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Bayu sangat yakin, Surya punya perasaan y
Sementara itu, Bunga menuju mushola kampus yang terletak paling ujung gedung kuliahnya nanti. Terletak di bawah pohon mangga yang rindang, memberi kesan seram di waktu malam.Bunga lalu mengambil wudhu dan membasuh sebagian tubuhnya yang gerah lalu menghabiskan malamnya dengan bermunajat kepada Rabb-Nya.Tangisnya pecah, mengadu dan bercerita panjang keluh kesahnya kepada Sang Maha Cinta. Terbayang di matanya bagaimana selama dua Minggu belakang ini, ia digodok dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Sangat jauh dari bayangan Bunga saat baru menginjakkan kakinya di Akademi Keperawatan Depkes tersebut.Entah Bunga yang terlalu naif atau memang para seniornya yang begitu usil mengerjai anak baru sepertinya, yang pasti banyak hal yang menurut Bunga tidak seharusnya diberlakukan bagi mahasiswa kesehatan seperti mereka. Masa ospek di kampus seperti ajang balas dendam dan mengerjai para yunior yang tidak pernah membantah walau
Bunga mendesah, mengakhiri curhatannya pada Sang Pencipta dengan doa agar ia terhindar dari keburukan dan diberikan segala kebaikan selama ia menempuh pendidikan di kampus yang sudah ia pilih.Perlahan ia mulai melangkah keluar dari mushola, memperhatikan sekelilingnya yang nampak kelam dan berjalan kembali menuju tempat acara yang sekarang mulai sepi."Syukurlah acaranya sudah berakhir,"Dilihatnya Seiko di pergelangan kirinya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas saja sudah sepi, rupanya acara sudah benar-benar selesai."Bunga...!" teriak satu suara memanggilnya. Bunga menoleh cepat ke asal suara dengan ekspresi kaget dan tersenyum saat dilihatnya ternyata Mustika tengah berlari menghampirinya."Tika...! Hampir aja aku kena serangan jantung saking kagetnya," sahut Bunga sambil tersenyum."Ternyata betul kau ada di sini. Aku mencarimu sejak tadi. Kulihat kau keluar ruangan tapi setelah kutunggu kau tidak kembali lagi aku menca
Bunga mulai menyiapkan segala sesuatu buat masuk asrama. Sejak pulang kampus tadi malam ia sudah disibukkan dengan membuat daftar barang yang harus dia beli buat keperluan masuk asrama. Mulai dari peralatan mencuci sampai perlengkapan pribadi dan juga makanan dan minuman yang akan menemani kalau Bunga sedang ada kegiatan menulis karena selain kesibukan sebagai mahasiswi, Bunga tidak akan meninggalkan hobbynya sebagai penulis. Untuk mendukung hobby menulisnya Bunga juga harus membawa perlengkapan menulis dan tentu saja Snack buat menemaninya agar tidak mengantuk.Sepasang mata mengamati Bunga dari balik tirai tanpa Bunga sadari. Ayah melihat anak gadisnya begitu sibuk sampai tidak menyadari kehadirannya lalu ayah berjalan ke belakang mencari ibu Melati yang sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan bekal buat dibawa Melati ke asrama nanti."Bu, Bunga sepertinya sangat sibuk di kamarnya padahal ini kan hari libur. Kuliahnya juga masih seminggu lagi..
"Bunga!" panggil satu suara yang lebih mirip bentakan itu pada Bunga. Suara yang asing di telinga Bunga tapi Bunga tetap menoleh pada asal suara. Hanya sekilas karena ia tidak melihat siapa pun, lalu gadis berkerudung putih itu kembali melangkah dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan seakan suara tadi hanyalah angin lalu yang mengusik indera pendengaran, sama sekali tidak penting buat diindahkan apalagi sampai menarik perhatiannya.Petrus adalah kakak tingkatnya tapi Bunga tidak tertarik buat melayani laki-laki itu. Ia melenggang meninggalkan Petrus yang berusaha buat menjajari langkahnya."Bunga, tunggu...!"Bunga menghentikan langkahnya dan melihat Petrus sekilas lalu mengalihkan pandangannya."Ada apa? Kenapa menghindar?" tanya Petrus mengejar pandangan mata Bunga yang beralih dengan sangat cepat dan sekarang malah seperti enggan melihat ya."Harusnya aku yang nanya. Ada apa memanggil dan mengejarku!" ujar Bunga jengah."Kakak
Belum hilang keterkejutannya, Petrus mendapat kejutan berikutnya karena Bunga yang biasanya tidak berani melihat langsung mukanya jadi menatapnya tajam, seakan ingin mengukitinya hidup-hidup. Petrus bergidik ngeri."Kakak bilang apa barusan?" tanya Bunga hampir mirip bentakan ditengah isakan yang hampir meledak. Bunga merasa terhina dan benar-benar merasa tidak dihargai mendapat ungkapan seperti itu. Ia merasa kerudungnya belum cukup buat membentengi dirinya dari tatapan mata laki-laki yang memiliki penyakit di dalam hatinya.Petrus semakin serba salah melihat kedua netra beritis coklat gelap gadis di depannya sudah berkaca kaca. Perasaan bersalah menyusup di hatinya, membuat ia sangat merasa bodoh dan tidak tahu diri."Kakak mencintaimu...!" ulang Petrus me nyakinkan Bunga yang ia rasa belum mengerti yang tadi ia ucapkan."Cinta kakak bilang? Apa kakak tidak salah orang hah?" Bunga kini benar-benar membentak laki-laki di depannya. Beberapa pasang mata ya
Apel pagi sudah berakhir, semua mahasiswa menuju kelas masing-masing buat menerima mata kuliah jam pertama. Bunga melangkahkan kakinya menuju mushola, tempat biasa ia mengawali hari setelah apel pagi selesai. 4 rakaat Dhuha akan selalu Bunga jalankan sambil menunggu petugas piket menyiapkan segala sesuatu buat perkuliahan nanti. Mustika sudah hapal kebiasaan Bunga tapi ia belum bisa mengikuti jejak gadis itu dan memilih buat langsung masuk ke dalam kelas. "Aku langsung masuk kelas ya, Nga. Kamu mau sholat dulu kan?" tutur Mustika sambil berjalan meninggalkan Bunga yang langsung bergegas ke mushola. Selesai melaksanakan sholat Bunga langsung menuju ke kelas yang terdapat paling ujung tapi di depan ruangan angkatan 3 Bunga dicegat dan langsung ditarik masuk ke ruangan. Di dalam ruangan yang kosong itu sudah ada Margaret dan 4 orang temannya yang menatap Bunga dengan pandangan meremehkan. Mata Margaret menyapu Bunga dari ujung kaki sampai pucuk kepala yang