PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 18)Genangan air mata Arumi menggenangi kelopak matanya yang terlihat sembap. Mengalir deras menghiasi pipi, mengilap bening bercampur dengan riasan bedak dan turut meleleh laksana banjir magma. Isak sendu pun sesekali menggema di antara suara besar KH. Bashori yang tengah melafalkan kalimat-kalimat mukadimah.Acara lamaran Basil Basyiruddin bin KH. Anam Al Fathoni terhadap Arumi Nasha Lazeta binti KH. Bashori pada hari Ahad itu, baru saja berlangsung. Hampir semua kepala tertunduk khidmat mendengarkan wejangan dari shahibul bait, serta di antaranya turut larut dalam kesedihan yang dirasakan oleh pihak perempuan. Tidak terkecuali Umi Afifah dan Azizah sendiri. Kedua perempuan ibu dan anak tersebut, sesekali melirik lirih pada Arumi dengan dera hati yang serupa."Kamu benar-benar sudah menghubungi Nak Izan 'kan, Izah?" tanya Umi Afifah setengah berbisik pada Azizah, sesaat sebelum acara dimulai di dalam kamar Arumi."Sudah, U
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 19)"Maka dengan ini, saya selaku wakil dari pihak keluarga perempuan, dengan ini menyatakan bahwa saudari Arumi Nasha Lazeta binti Bapak Kiai Haji Bashori, Insyaa Allah, akan menjadi calon istri dari …." Suara pemandu acara lamaran, tiba-tiba terhenti. Seiring dengan munculnya deru suara sebuah kendaraan datang dari arah halaman rumah.Jika saja Arumi tidak langsung bereaksi, mungkin pernyataan dari perwakilan pihak keluarganya tadi akan terus berlanjut."M-mas Izan!" seru gadis itu mengejutkan para tamu undangan, terlebih bagi ayahnya sendiri, KH. Bashori.Arumi lekas bangkit dari duduknya dan menatap lekat ke arah pintu depan. Umi Afifah dan Azizah pun turut berdiri di samping gadis tersebut."Arumi? Duduklah, Nak," pinta Umi Afifah kebingungan dan merasa tidak enak dengan tatapan semua orang yang berkumpul di ruangan tersebut."Umi, itu Mas Izan datang, Umi!" seru Arumi kembali sembari menunjuk-nunjuk ke arah halaman rum
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 20)Semua yang berada di tempat itu serempak terdiam. Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara. Bahkan untuk sekadar batuk saja, lebih memilih untuk pergi menjauh sebentar, lalu kembali usai tenggorokannya kembali mereda.KH. Anam menoleh pada putranya, Basil Basyiruddin, yang duduk di samping. Lalu menepuk lengan lelaki muda tersebut."Ada apa, Abi?" tanya Basil usai balik menatap ayahnya. Tampak sekali, raut wajah anak muda itu kuyu. Sorot matanya pun terpancar aura lesu."Sepertinya … kita harus membicarakan lagi perihal antum itu dengan Kiai Abas," kata KH. Anam mengawali pembicaraan."Tapinya … Abah Kiai 'kan, sedang sakit, Bi," balas Basil dengan suara pelan, lantas melirik pada sosok Hamizan yang berdiri tidak jauh dari tempat duduk mereka berdua. Kekasih Arumi itu tertunduk, tanpa mempedulikan orang-orang di sekeliling tempat tersebut. Hanya ada mereka bertiga, serta beberapa orang santri laki-laki.KH. Anam
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 21)“Astaghfirullahal’adziim … a-apa … eh, bicara apa aku barusan? Astaghfirullah … astaghfirullah ….” Berkali-kali Umi Afifah melafalkan istighfar dengan kedua telapak tangan menutupi mulut, dan mata terpejam rapat.‘Ya Allah, mengapa aku bisa selancang ini? Aku benar-benar tidak sadar. Ampuni aku, Gusti Nu Agung,’ imbuh wanita tersebut di dalam hati. ‘Bukankah orang bertanya padaku ini, salah satu istri dari Kiai Anam? Sekaligus, ibu tirinya Nak Basil sendiri.’Jika saja Umi Afifah merasa syok dengan keteledorannya tadi, lain hal dengan Hamizan. Lelaki ini berpikir bahwa ucapan ibu kekasihnya tersebut memang sebuah kejujuran yang pernah didengar sepanjang menjalin hubungan khusus dengan Arumi. Di sisi lain, justru menyayangkan, karena hal itu dilakukan tepat di dekat keluarga Basil sendiri. Terlebih, di belakang sana berdiri dua sosok terkait.Memperhatikan gelagat yang teramat tidak menyenangkan tersebut, buru-buru Kiai
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 22)" … Innalillāhi wainnailaihi rāji'uun," ucap Kiai Anam usai mendengarkan penuturan kisah hidup Hamizan. "Jadi Nak Hamizan ini tinggal sendiri di rumah?"Laki-laki muda itu tersenyum, lalu mengangguk pelan. Seolah sudah terbiasa dengan keadaan dirinya sekarang dan sudah merelakan kematian kedua orangtuanya sejak lama."Ada dua orang yang tinggal bersama saya, Pak Kiai. Mang Karta dan Bi Inah. Mereka berdua, sudah lama ikut dengan keluarga kami, sejak saya masih kecil dulu," jawab Hamizan."Masyā Allāh," gumam ayahnya Basil Basyiruddin tersebut. "Mohon maaf sekali ya, Nak Hamizan, saya banyak bertanya-tanya pada antum. Tapi … dengan begini, justru saya jadi tahu, siapa sebenarnya Nak Hamizan ini." Orang tua itu menatap kagum pada sosok Hamizan. "Jujur saja, tadi … saya sempat kaget dengan kedatangan Nak Hamizan ini. Tadinya saya pikir siapa, 'gitu? Bahkan, memperhatikan calon man … —tu—, eh, maksud saya … anak gadisnya Kia
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 23)Setelah mengantar pulang Umi Afifah, Hamizan benar-benar menepati janji dan niatnya untuk bermalam di rumah sakit. Semalaman dia bersama beberapa orang santri menjaga Kiai Bashori.Sambil menunggu kantuk, laki-laki muda itu berbincang-bincang dengan para santri tersebut, sekalian bernostalgia pada saat-saat mengikuti program PKL dahulu.“Kenapa Ustaz tidak mengajar saja di pondok, Taz?” tanya salah seorang dari santri tersebut di tengah percakapan mereka.Lagi-lagi Hamizan tersenyum dengan sapaan kata ‘Ustaz' yang mereka sematkan padanya. “Benar, Ustaz. Kayaknya, dulu lebih enak Ustaz Izan deh, daripada yang mengajar kami itu … Ustaz Zakir,” timpal santri yang lain dan langsung diberi isyarat oleh Hamizan dengan suitan kecil.Tanpa dikomando, semua santri yang berjumlah tiga orang itu, serempak mengiakan.Menjawab kekasih Arumi tersebut merendah dengan suara perlahan dan lembut, “Tidak boleh begitu, Adik-adik. Siapa pun
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 24)Dua malam dirawat inap di rumah sakit, selama itu pula Hamizan tidak pernah diizinkan untuk mendekati orang tua tersebut. Namun anak muda itu tidak mau menyerah. Dia tetap bertahan di sana dan membantu sebisa mungkin melalui Hasan, Nizar, serta Dayat. Pada keesokan harinya, Kiai Bashori meminta pulang setelah berbincang banyak dengan sahabatnya, Kiai Anam hampir seharian semalaman penuh.“Saya tidak bisa berlama-lama di sini, Nam,” kata Kiai Bashori lirih. “Saya harus segera pulang dan mengawasi Arumi anak saya. Apalagi … pemuda itu masih juga ada di sini dan belum pulang-pulang.”Kiai Anam tersenyum kecil. Dia paham yang dimaksud oleh sahabatnya tersebut, pastilah Hamizan. Balas ayah dari Basil itu kemudian, “Apa yang harus kamu cemaskan, Bas? Sejak dia turut datang di acara lamaran anak-anak kita, Nak Hamizan tidak pernah sekalipun meninggalkan rumah sakit ini. Dia selalu di sini, menjagai kamu.”“Itu ‘kan, cuma akal
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 25)“Saya terima, nikah dan kawinnya, Arumi Nasha Lazeta binti Bapak Kiai Haji Bashori Amanuddin dengan mahar uang senilai lima miliar dibayar tunai!” ucap Hamizan Rabbani dengan lancar dan tegas sambil menjabat erat tangan petinggi Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah itu.“Bagaimana para saksi? Apakah ijab kabulnya sah?” tanya seorang naib pada saksi-saksi yang ada, termasuk Kiai Anam Al Fathoni.“Sah! Insyā Allāh sah!” seru ayahnya Basil Basyiruddin tersebut serta satu orang saksi lagi, yakni Ustaz Muzakir, suami dari Azizah.“Alhamdulillāhirabbil’ālamīn ….” Serempak orang-orang yang hadir di ruangan tersebut berucap syukur, lalu mengusap muka masing-masing.Kiai Bashori segera melepaskan tangannya dari genggaman jemari Hamizan. Wajah orang tua itu, tampak kuyu. Tidak terulas sedikit pun, bias senyum dari sosok tersebut.Hamizan melongo. Padahal dia hendak mencium tangan ayah dari Arumi yang kini telah resmi menjadi bapak