“Bunda!” seruku ketika melihat raut bersahaja dari sosok yang sudah menghadirkan aku ke dunia kala aku membuka pintu kamar.
Bunda langsung mengurai senyumnya.
“Senang melihatmu sudah kembali.”
Aku mendesah lirih sembari berusaha untuk membalas senyuman bunda.
“Mulai besok di rumah ini akan terlihat kesibukan yang luar biasa, untuk mempersiapkan pernikahan kalian.”
Bunda kemudian menatapku lurus.
“Kamu juga harus mempersiapkan diri kamu juga.”
Bunda sama sekali tak mengulik tentang keinginanku yang sempat aku utarakan untuk membatalkan pernikahanku bersama Gamal.
Bunda terlihat sangat yakin kalau aku sudah berubah pikiran.
“Tapi Bun, aku ...”
Bunda langsung menggeleng, seakan tak memberikan aku ijin untuk melanjutkan k
Aku terkesiap diam ketika mendengar Gamal memohon dengan terlalu lugas.Sejenak aku mengedarkan pandangan pada wajah-wajah yang sedang memperhatikan kami saat ini. Gurat gusar melingkupi mereka saat ini.Aku malah merasa tersudut sekarang terlebih ketika melihat tatapan bunda yang menyergap penuh harap padaku.“Katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kamu bersedia memaafkan aku?”Gamal masih saja mendesakku.Aku masih membeku dengan tatapan yang masih terarah padanya dengan resah.“Mala, ingat apa yang sudah bunda katakan kemarin.”Aku mendengus gelisah, kembali mengingat ucapan bunda yang mengharap aku tak terlalu ingat dengan masa lalu, dan menjadikan kegagalan pernikahan orang tuaku sebagai penghalang buatku melangkah.Aku menarik nafas sejenak, kembali menyergap Gamal dengan tatapan lekat.“Iya, aku akan melanjutkan pernikahan kita.”Aku menjadi tak memiliki pilihan lain, walau aku masih saja menyimpan kegamangan dengan keputusanku saat ini.Sebaliknya kini aku melihat aura
Prosesi pernikahan kami masih saja berlangsung. Akad nikah yang dilangsungkan pagi hari di rumah keluarga Assegaf itu berlangsung sangat syahdu. Dengan tamu undangan yang terbatas yang sebagian besar berasal dari keluarga Umi Risa yang datang dari Semarang. Perempuan anggun yang sekarang menjadi ibu mertuaku itu juga berasal dari Jawa seperti bundaku yang juga berasal dari Solo.Tak ada satupun dari keluargaku yang turut hadir, karena aku memang tak pernah mengundang mereka. Hanya ada ayahku yang memang bertindak sebagai wali nikahku.Tapi aku tak melihat Lola dan anak-anaknya. Aku bisa menduga Gamal memang sengaja tak mengundang mereka dalam pernikahan kami, setelah apa yang sudah dilakukan Lola dan anaknya, Sherly, yang sudah berusaha untuk membatalkan pernikahan ini.“Apa kamu bahagia sayang?” bisik Gamal ketika kami bersanding di pelaminan di sela-sela kegiatan kami menerima ucapan selamat d
“Jadi apa Mas?” tanyaku menjadi penasaran karena Gamal kini malah menatapku sangat lekat sama sekali tak berkedip.Gamal masih tak menjawab, tangannya mulai membelai wajahku hingga memunculkan gelenyar asing yang meresahkan.“Jadi, sekarang tak ada yang melarangku untuk menciummu.”Gamal berucap dengan sangat lugas bersamaan dengan itu dia mulai mendekatkan wajahnya dan menahanku untuk tidak bergerak dengan mencekal tengkukku.Posisi kami sudah sangat dekat bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya pada kulit wajahku, membuat merinding sekaligus tak kuasa bergerak sama sekali.Mataku menjadi terpaku pada wajah Gamal yang menjadi sangat mempesona saat aku menelisiknya dari dekat. Sepasang mata tajam itu memandangku dengan sorot penuh damba, sementara rahangnya yang tegas berhiaskan cambang halus kian memancarkan sisi maskulinnya yang terlalu lugas.
“Kamu akan membawaku ke mana?” tanyaku cemas segala praduga yang berkecamuk di hati membuatku terus ingin menjauhinya.Gamal menatapku tidak suka.“Kamu kenapa?” tanya Gamal, wajahnya menampakkan ekspresi bingung.Jelas dia menjadi bingung karena aku malah menghindar untuk berdekatan dengan suamiku sendiri yang sekarang bahkan sedang duduk di sampingku, di jok belakang.“Kamu katakan saja kamu akan mengajak aku ke mana?” sergahku tegas, bahkan kali ini aku menampik tangannya yang ingin meraihku.Saat ini aku semakin dikepung oleh pradugaku tentang Gamal yang bisa saja adalah seorang sado masokis.Aku sudah sangat ketar-ketir sekarang.Sebaliknya aku malah melihat gurat kebingungan di wajah Gamal yang enggan untuk aku pedulikan.“Kamu kenapa sih? Kenapa kamu malah takut kayak gini?”Gamal mendesah jengah sembari memutuskan untuk menarik tangannya yang semula berniat untuk menggapaiku agar aku kembali mendekat padanya.“Aku mau ngasih kamu kejutan, soalnya ini kan malam pengantin kita.”
Aku masih saja menyembunyikan seluruh tubuhku di dalam selimut dan terus berpura-pura tidur ketika telingaku mulai mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.Bila mengingat apa yang sudah kami lakukan tadi malam, aku masih saja sangat malu.Ketika akhirnya Gamal menggendong tubuhku setelah aku menantangnya untuk menunjukkan bagaimana caranya dia membuktikan bahwa tuduhanku tidak benar, yang menganggapnya sebagai pria yang mengidap kelainan seksual, dan Gamal mulai membawaku ke kamar di lantai dua, yang juga sudah dihiasai dengan banyak bunga dan pernak-pernik yang menambah kesan romantis yang kuat.Di kamar kami itu Gamal mulai melakukan segalanya. Sentuhan yang lembut namun mendebarkan itu malah melenakan aku.Anehnya aku tak bisa memprotes, hanya sekali saat dia mulai melesak masuk ke dalam tubuhku, mengoyak apa yang sebelumnya selalu aku jaga, aku sedikit menjerit kesakitan meski set
“Terima kasih untuk apa Mas?”Aku menjadi penasaran.“Terima kasih kamu menjaga itu dan memberikannya untukku.”Aku mengernyit tak paham.“Menjaga apa?”“Menjaga kegadisan kamu dong sayang,” ucap Gamal sembari mencolek daguku.Aku langsung tersipu rikuh di depan suamiku yang sekarang bahkan sedang memandangi wajahku dengan sorot penuh kagum.Sungguh aku merasa cantik saat ini, padahal sebelum aku selalu tak pernah percaya diri dengan wajahku sendiri.“Tapi aku bisa melakukan itu karena semua orang kebanyakan menganggap aku itu seorang janda, karena aku memiliki Ghana dan Ghara.”“Semua orang terkecoh, padahal kamu adalah perawan, perawan yang rasa janda.”Kini ganti aku yang tergelak ketika m
“Siapa yang bilang Ghana dan Ghara nakal? Mereka itu baik dan sayang sama mamanya, iya kan?”Aku langsung menoleh pada asal suara ternyata Umi Risa sudah menghampiri kami bersama bunda yang ada di sampingnya.Tapi kemudian Umi Risa mulai memberikan tatapan tajam pada Gamal yang sedang bergerak gelisah di depanku, yang sudah terburu-buru ingin membawaku ke kamar kami.“Iya Umi, tapi sekarang sudah malam, biar mereka tidur di kamar mereka,” ucap Gamal memberikan pembelaan diri.“Mereka itu kangen sama mamanya sejak kemarin selalu kamu kuasai, biar Mala menidurkan anak-anak sebentar,” sahut Umi Risa cepat.Sekarang kembali memberikan tatapan tegas pada Gamal yang semakin resah dan terus menerus menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu.“Kamu harus ngalah dong sama anak-anak.”
Namun ketika akhirnya Gamal mulai beranjak pergi, aku langsung menyusul di mana Gamal melangkah masuk ke dalam kamar kami yang masih dipenuhi tumpukan kado yang masih belum kami sentuh.Gamal menjadi tak bisa menyembunyikan emosinya ketika melihatku menerima pemberian dari kakaknya yang sekarang bingkisan berukuran sedang itu diremas dengan kesal oleh Gamal yang tampak jelas sangat tak suka dengan apa yang aku lakukan.“Mas, kumohon jangan salah paham kalau menerima kado dari kakak kamu, aku melihatnya sebagai anak dari umi dan dia itu juga kakak kamu Mas.”Aku berusaha menjelaskan alasanku.Gamal masih bergeming. Namun setelah itu mulai melakukan hal yang tak terkira lain.Gamal langsung merobek bingkisan berwarna biru itu, hingga terpampang di depan kami isi kado yang sudah diberikan oleh Tony tadi.Ketika melihat Tony memberikan sebuah lingerie
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud