Pertemuan itu berlangsung sangat baik dan lancar, sampai tiba saatnya para peserta akan menikmati santap makan malam di hotel tersebut. Aidan mengira, Malikha pasti menjadi salah satu pelayan yang akan melayani meja-meja makan CEO di ballroom tersebut. Maka ia memanggil manajer restoran, hendak meminta agar Malikha hanya melayani mejanya saja.
"Panggil pelayan Malikha Swan dan layani hanya mejaku saja," ujar Aidan memberi perintah pada manajer restoran. Aidan kemudian berbalik meninggalkan manajer restoran yang mengernyitkan kening kebingungan. Bukankah Malikha Swan sudah keluar hampir satu bulan yang lalu?
"Ehm, maaf Tuan Caesar. Tapi Nona Swan sudah mengundurkan diri tiga minggu yang lalu," ujar manajer restoran itu. Aidan yang semula tengah berbicara dengan salah satu CEO kemudian terdiam dan berbalik melihat pada manajer itu lagi.
"Apa katamu?" sahut Aidan dengan kening mengernyit.
"Nona Malikha Swan sudah tidak lagi bekerja di Estrela lebih dari tiga
Seperti biasa, hari ini Malikha akan pulang sendiri dengan menggunakan bis. Di tengah cuaca dingin, ia sempat menoleh ke arah luar dan sedikit tersenyum. Malikha sudah menyelesaikan membuat bahan untuk makan malam bagi Aidan, setidaknya ia tak akan begitu kerepotan menyiapkannya lagi nanti.“Oh aku harus keluar sekarang!” gumamnya pelan begitu melihat jam. Malikha harus mengatur jarak dan waktu dengan baik agar tak terlambat sampai di rumah. Aidan hingga saat ini masih belum mengetahui tentang pekerjaan barunya. Jadi dengan langkah yang lebih cepat, Malikha turun dari kantornya dan berjalan keluar lobi sambil mengeratkan mantel yang ia pakai. Cuaca di luar makin dingin, Malikha harus cepat pulang. Namun sebuah suara kemudian mengagetkannya ketika ia hampir saja melewati pintu keluar lobi."Malikha ..." panggil Bruce Caldwell begitu ia melihat Malikha keluar dari ruangannya. Bruce berjalan sedikit lebih cepat menghampiri Malikha yang menunggu. Ia menghela na
Di dalam mobil, Aidan kembali tidak memperdulikan Malikha. Ia mendiamkan Malikha sedangkan Malikha bahkan tak berani menoleh sama sekali pada Aidan. Ia hanya melirik dengan ujung mata lalu menunduk lagi. Aidan sendiri lebih memilih untuk melihat pemandangan di luar jendela mobilnya sambil menenangkan dirinya yang hampir saja kelepasan mencium Malikha tadi.Namun hasrat yang tak tersalurkan itu sebenarnya malah makin membuat Aidan uring-uringan. Terlebih ternyata atasan Malikha adalah pria tampan yang sangat menarik. Rasa marah, kesal, gairah dan cemburu bercampur jadi satu membuat Aidan makin tak bisa mengendalikan marahnya.Sehingga ketika tiba di apartemen, Aidan langsung menarik tangan Malikha untuk masuk ke dalam bangunan apartemen melalui lobi seperti biasa. Yang tidak biasa adalah pergelangan tangan Malikha ditarik oleh Aidan dari lift sampai ke apartemen mereka.Aidan bahkan tidak berkata apapun pada Glenn saat ia pergi. Sesampainya di dalam apartemen, Aidan menghentakkan tanga
Aidan masuk ke kamarnya setelah membanting pintu dengan napas tersengal dan emosi yang memuncak sampai ke ubun-ubun. Ia menopang kedua tangan di pinggang dan terus bernapas cepat. Entah mengapa kenangan masa SMA itu terlintas lagi di kepalanya.Sambil meremas rambut dengan sebelah tangannya, ia meneteskan airmata saat mengingat pertama kali melihat wajah Malikha dari lantai sekolah. Ia yang baru saja dibuat terjatuh karena sabun, mengira baru saja melihat seorang bidadari yang begitu cantik. Dengan ramah Malikha menyapa Aidan dengan membungkukkan tubuhnya melihat Aidan di bawah kakinya."Hai ... apa kamu baik-baik saja?" tanya Malikha waktu itu.Aidan makin terisak saat kenangan yang tersimpan di alam bawah sadarnya itu muncul lagi. Ia hanya semakin emosi dan berusaha melepaskan kenangan lama itu dari kepalanya. Tak bisa melampiaskan dengan menyakiti fisik Malikha, ia mengamuk dengan memecahkan seluruh barang yang bisa ia raih di kamar
"Waktu kematian... " Dokter yang merawat sedang membacakan waktu kematian Fiona Allister Swan. Namun sesungguhnya tak ada lagi yang didengar Malikha. Yang ia lihat hanyalah mulut dokter yang bergerak sendiri tanpa ada suara. Malikha berdiri terpaku di sana tanpa hanya terus meneteskan air mata tanpa suara dan terisak. Jiwanya terguncang dan terlihat begitu bersedih. Tak ada yang bersamanya ketika ibunya pergi meninggalkannya sendiri.Dengan mata sembab dan pipi merah karena menangis, Malikha berbalik dan keluar dari ruang tersebut. Ia kemudian duduk di luar ruang perawatan sementara menunggu jenazah Ibunya akan diurus oleh pihak rumah sakit untuk dimakamkan.Malikha belum tau harus berbuat seperti apa. Ia sudah berhenti meneteskan air mata tapi masih termenung tak bergerak dengan bekas air mata masih belum mengering. Ratu meminta ijin pada Dokter yang merawat Fiona agar ia bisa membantu Malikha mengurus jenazah. Setelah diberi ijin, Ratu keluar dan menemui Malikha yang
ROYAL CELESTIAL PARK HOSPITALAidan masuk sembari berlari ke dalam rumah sakit. Ia bahkan lupa memakai mantel dan menembus udara dingin dari parkiran ke dalam rumah sakit dengan hanya menggunakan jas. Aidan naik ke lantai 5 tempat Fiona Swan dirawat. Ia akhirnya bertemu dengan Ratu ketika ia keluar dari sebuah ruangan."Ratu!" panggil Aidan setengah berlari menghampiri Ratu."Uncle Aidan." Ratu berhenti berjalan dan menghadap Aidan sekarang."Bagaimana sekarang?" Ratu sedikit tersenyum."Nyonya Fiona Swan sudah berada di kamar jenazah sekarang. Surat kematian juga sudah keluar, aku sudah mengurusnya. Tinggal acara pemakamannya saja besok," ujar Ratu memberitahukan informasi pada Aidan. Aidan mengangguk dan menepuk lembut sebelah tangan Ratu."Terima kasih, Ratu. Kamu benar-benar sangat membantu. Lalu dimana Malikha?" tanya Aidan. Ratu mengangguk lalu mengajak Aidan ke ruang tunggu keluarga tak jauh dari tempat mereka berdiri."Dia ada di ... " Ratu masuk ke ruangan itu tapi tak menemu
Dengan perlahan dan lembut, Aidan mencoba menempelkan plester luka pada beberapa jemari Malikha selama ia tidur. Beberapa kali Aidan juga melirik pada Malikha memastikan ia tak terbangun."Sedikit lagi," gumam Aidan begitu pelan ketika plaster terakhir akan menempel."Ah, selesai!" Aidan tersenyum sambil membelai jemari Malikha dengan lembut. Malikha tak mengetahui apapun dan masih tertidur pulas. Aidan pun mendekatkan bibirnya dan mencium dengan lembut jemari Malikha yang terluka dan tertempel plaster tersebut. Setelahnya, Aidan kembali mendekat dan mencium kening Malikha dengan lembut."Selamat malam, Babydoll ku. Kamu sangat cantik, Sayang," gumam Aidan lalu mengecup sekali lagi dengan senyuman di bibirnya. Aidan kemudian berdiri dan memperbaiki selimut Malikha. Ia juga memastikan agar pemanas di ruangan tersebut bekerja dengan baik sebelum berjalan perlahan untuk keluar dari kamar itu. Tak lupa ia mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur agar Malikha
Aidan menyembunyikan air mata setelah beberapa saat. Ia mengatakan hal yang membuatnya justru tak bahagia. Menyiksa Malikha harusnya membawa kesenangan dan kebahagiaan bagi Aidan, namun hatinya justru tak tenang.Setelah berdiri beberapa saat menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, Aidan baru berbalik untuk berjalan menyusul Malikha yang sudah masuk lebih dahulu ke mobil. Malikha tak mau menoleh pada Aidan yang dibukakan pintu oleh salah satu pengawalnya dan duduk di kursi penumpang yang sama.Aidan terus mencoba bersikap dingin meskipun ia tak tahan dan akhirnya mencuri-curi pandang pada Malikha. Tapi Malikha tak menoleh pada Aidan sama sekali, ia lebih memilih melihat pemandangan di luar mobil. Tak ada kata yang diucapkan Aidan di dalam mobil. Ia memilih untuk diam.Ujung jemari Malikha kemudian meraba jarinya yang lain. Ia baru sadar jika dua jarinyaternyata sudah memakai plaster. Malikha lalu menunduk untuk memperhatikan dan meraba plaster terseb
"Apa katamu! Memangnya ranjangku itu jelek ya sehingga kamu tidak mau tidur di atasnya!" Aidan makin bersuara tinggi."Aku tidak mau tidur denganmu!" Malikha berusaha mengimbangi dengan ikut meninggikan suara."Jangan bermain denganku, Babydoll! Aku memintamu dengan baik-baik, jangan sampai aku mengikatmu di ranjangku karena terus melawanku!" tunjuk Aidan mulai kesal. Malikha sudah berani melawannya sekarang."Aku tidak takut denganmu lagi. Terserah kamu mau berbuat apa! Aku tidak akan pernah menurutimu lagi," rengek Malikha dengan wajah begitu kesal.Baru kali itu, Aidan menyaksikan Malikha marah bahkan menghentakkan kakinya ke lantai dengan kesal. Bukannya merasa kesal ataupun marah, Aidan malah ingin menciumnya. Dia jadi jauh lebih cantik saat marah seperti itu.Selama ini, Malikha tak pernah meluapkan perasaan marah atau kesal. Ia selalu memendamnya dan melihatnya bersikap lepas pada Aidan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk Aidan."J