Aidan menyembunyikan air mata setelah beberapa saat. Ia mengatakan hal yang membuatnya justru tak bahagia. Menyiksa Malikha harusnya membawa kesenangan dan kebahagiaan bagi Aidan, namun hatinya justru tak tenang.
Setelah berdiri beberapa saat menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, Aidan baru berbalik untuk berjalan menyusul Malikha yang sudah masuk lebih dahulu ke mobil. Malikha tak mau menoleh pada Aidan yang dibukakan pintu oleh salah satu pengawalnya dan duduk di kursi penumpang yang sama.
Aidan terus mencoba bersikap dingin meskipun ia tak tahan dan akhirnya mencuri-curi pandang pada Malikha. Tapi Malikha tak menoleh pada Aidan sama sekali, ia lebih memilih melihat pemandangan di luar mobil. Tak ada kata yang diucapkan Aidan di dalam mobil. Ia memilih untuk diam.
Ujung jemari Malikha kemudian meraba jarinya yang lain. Ia baru sadar jika dua jarinya ternyata sudah memakai plaster. Malikha lalu menunduk untuk memperhatikan dan meraba plaster terseb
"Apa katamu! Memangnya ranjangku itu jelek ya sehingga kamu tidak mau tidur di atasnya!" Aidan makin bersuara tinggi."Aku tidak mau tidur denganmu!" Malikha berusaha mengimbangi dengan ikut meninggikan suara."Jangan bermain denganku, Babydoll! Aku memintamu dengan baik-baik, jangan sampai aku mengikatmu di ranjangku karena terus melawanku!" tunjuk Aidan mulai kesal. Malikha sudah berani melawannya sekarang."Aku tidak takut denganmu lagi. Terserah kamu mau berbuat apa! Aku tidak akan pernah menurutimu lagi," rengek Malikha dengan wajah begitu kesal.Baru kali itu, Aidan menyaksikan Malikha marah bahkan menghentakkan kakinya ke lantai dengan kesal. Bukannya merasa kesal ataupun marah, Aidan malah ingin menciumnya. Dia jadi jauh lebih cantik saat marah seperti itu.Selama ini, Malikha tak pernah meluapkan perasaan marah atau kesal. Ia selalu memendamnya dan melihatnya bersikap lepas pada Aidan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk Aidan."J
"Baik, hari ini aku percaya. Tapi setiap hari aku ingin kamu yang menyiapkan makananku dan di depanku kamu harus menyicipinya. Mengerti!" balas Aidan dengan nada yang makin mengesalkan Malikha. Ia hanya diam saja dan tak mau menanggapi Aidan sama sekali.Kedua pelayan yang berdiri di dekat meja makan itu hanya bisa saling berpandangan heran melihat kedua Tuan dan Nyonya majikan mereka. Mereka benar-benar disuguhkan pemandangan aneh sikap Aidan pada istrinya, Malikha."Apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Jessica pada Eva dengan mata masih menatap Aidan dengan heran."Shush!" Eva sedikit menghardik dan menyuruh Jessica untuk diam dan juga berdiri saja.Di meja, Aidan menikmati sarapan pagi yang enak dari Malikha meskipun ia harus berdebat tak jelas dan hampir membuat gadis itu menangis. Sedangkan Malikha yang kesal tak tersenyum meski ia ikut memakan sarapan paginya perlahan."Siapkan pakaianku!" perintah Aidan dingin pada Malikha. Ia bangun dan meni
Tiba-tiba Aidan datang dan memeluk dengan mesra Malikha di depan Bruce Caldwell. Tak lupa ia memberikan toping yang manis dengan sebuah ciuman di pipi Malikha yang lembut. Malikha benar-benar kaget bahkan sampai menahan napasnya saat Aidan datang memeluknya tanpa peringatan apa pun."Kamu ke mana saja, Babydoll? Aku mencarimu dari tadi," tanya Aidan dengan manja sambil memajukan bibir penuhnya. Ia terlihat sangat manis dan imut ketika Malikha berpaling menoleh pada Aidan di sebelahnya.Malikha terpaku menatap Aidan yang tiba-tiba berperilaku sangat manis. Ia sampai menelan ludah berkali-kali dan merona. Malikha lalu menoleh kembali pada Bruce yang memandang ia dan Aidan dengan pandangan tak bisa dijelaskan Malikha. Ia seperti marah dan tak tersenyum sama sekali. Dengan cengiran kemenangan, Aidan menatap Bruce sinis."Apa yang kamu lakukan disini, Aidan?" gumam Malikha bertanya dengan suara khasnya, lembut dan kecil. Aidan masih mengurung Malikha di antara kedua
"Aku akan ke tempat Jayden, malam ini ada pesta bujangan (bachelor party) di Delacey untuknya. Tidurlah lebih dulu mungkin aku tidak pulang," ujar Aidan setelah satu jam mereka berada di apartemen. Aidan hanya pulang lalu membersihkan diri dan sudah kembali rapi dengan sweater dan jaket denim. Tanpa menunggu tanggapan Malikha, Aidan lantas keluar dari apartemen begitu saja.Malikha hanya bisa menghela napas dan berdiri beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengerjakan apapun untuk mengusir kebosanan. Usai makan malam, Malikha menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Jessica dan Eva di dapur. Mereka adalah pelayan yang menyenangkan. Malikha beberapa kali tersenyum mendengar mereka bercerita.Pukul 9 malam dan Aidan masih belum pulang, Malikha akhirnya memutuskan untuk menonton film di salah satu channel berbayar sendirian. Ia sudah lama sekali tak pernah menonton film. Malikha menemukan salah satu film drama romantis yang setidaknya bisa menghiburnya sejenak.“Fifty shades ..
"Aku mau pulang. Vanylla pasti sudah lelah menungguku," ujar Mars tiba-tiba. Ia mulai limbung dan hampir tak bisa berdiri. Untung ia membawa asisten barunya yang dulunya adalah asisten pribadi Jared Wright, Barry Stanfield."Ah, Tuan King. Kamu terlalu mabuk," keluh Barry."Dan kamu terlalu tampan," balas Mars sambil menyengir malah menepuk pipi Barry. Barry dengan kesal menggerutu berkali kali karena harus memapah Mars untuk keluar dari klub itu. Belum sepenuhnya keluar dari sofa, Mars malah berbalik dan berteriak pada Jayden."HEI, JAY!" teriak Mars dalam mabuknya, sementara Barry terus menarik sambil memapah atasannya itu."Semoga pernikahanmu bahagia selamanya, hahaha. Tapi jika kamu ingin lari, kamu masih punya kesempatan, jangan sia-sia kan itu. Ingat itu, hahaha," sahut Mars sambil terhuyung dan Barry mulai kesal."Ayolah, Tuan King. Bekerjasamalah denganku. Kamu terlalu mabuk!" hardik Barry kesal."Oh, Barry, aku mencintaimu. Mmmuaaa
Pagi yang cerah menyinari hari baru untuk musim dingin yang masih menyelimuti New York setidaknya untuk satu bulan ke depan. Di ranjangnya, Aidan masih tertidur dengan pakaian yang sama dengan yang semalam ia kenakan. Bedanya, ia sekarang memakai selimut hangat dan kepala pusing.Perlahan Aidan mulai menggeliat bangun. Ia mencoba membuka mata pasca mabuk dan itu adalah yang tersulit. Cahaya dari luar ruangan bisa sangat menyakiti mata dan itu membuat Aidan semakin pusing."Oh, Tuhan. Kepalaku!" keluh Aidan meremas rambut dan kepalanya. Dari tidur menyamping, Aidan melentangkan tubuhnya berusaha menatap langit-langit kamar berwarna light caramel yang menenangkan. Setelah sedikit kesadaran mulai didapatkannya, matanya berputar di sekeliling ruangan. Ia meraba di sebelah dan tak ada siapa pun. Aidan menyipitkan mata imutnya dan menoleh. Seharusnya Malikha berada bersamanya, mengapa ia tak ada?"Babydoll!" panggil Aidan sambil menoleh ke kanan kiri mencari Mal
"Babydoll," panggil Aidan menghampiri Malikha di depan pintu masuk Noxtrot."Ehm ... kita ..." Aidan berhenti dengan sikap gugup yang terlihat dan ragu apa ia harus mengatakannya atau tidak. Sedangkan Malikha malah menatap Aidan dengan pandangan polos yang membuat jantung Aidan berdetak kencang. Terlebih Malikha malah mengigit sedikit bibir bawahnya karena mengantisipasi Aidan akan mengatakan apa. Hal itu malah membuat Aidan jadi panas seketika."Tolong jangan lihat aku seperti itu ..." gumam Aidan ikut mendesah tanpa sadar."Huh ... kamu bilang apa?" Malikha mencoba mendengar lebih jelas perkataan Aidan sebelumnya tapi yang dilakukan Aidan hanya termenung."Aidan ..." dengan cepat Aidan menundukkan wajah dan malah mencium pipi Malikha. Malikha terkejur lalu melebarkan matanya mendapat ciuman manis seperti itu."Aku akan menjemputmu makan siang nanti," ujar Aidan dengan nada kaku lalu berbalik berjalan cepat kembali ke mobilnya. Ia masuk dan tanpa
Keluar dari Orcanza dengan hati terluka dan air mata, Malikha memilih berjalan ke sebuah taman di dekat bangunan megah kantor itu. Ia memilih salah satu bangku di depan kumpulan pohon-pohon yang tinggal ranting karena masih musim salju.Malikha kemudian menunduk dan memandang bekal makan siang yang ia bawa untuk Aidan, suaminya. Harapannya untuk bisa memperbaiki hubungan hanyalah khayalan semata. Bagai api jauh dari panggang, kenyataan ternyata tak seindah bayangannya."Aku memang bodoh. Apa yang kupikirkan? Dia tak akan mungkin menyukaiku, dasar Malikha bodoh!" gumam Malikha memaki dirinya sendiri lalu menangis tanpa siapa pun berada di taman itu. Senyuman manis Aidan tadi pagi hanyalah semu semata. Ia melakukannya hanya untuk mempermainkan Malikha. Malikha yang lebih dulu merasa terjerat merasa dirinya tak lebih dari sekedar mainan belaka bagi Aidan.Semalam, ia bahkan memberanikan dirinya mengecup lembut bibir Aidan yang tengah tertidur. Perlahan mata A