"Aku mau pulang. Vanylla pasti sudah lelah menungguku," ujar Mars tiba-tiba. Ia mulai limbung dan hampir tak bisa berdiri. Untung ia membawa asisten barunya yang dulunya adalah asisten pribadi Jared Wright, Barry Stanfield."Ah, Tuan King. Kamu terlalu mabuk," keluh Barry."Dan kamu terlalu tampan," balas Mars sambil menyengir malah menepuk pipi Barry. Barry dengan kesal menggerutu berkali kali karena harus memapah Mars untuk keluar dari klub itu. Belum sepenuhnya keluar dari sofa, Mars malah berbalik dan berteriak pada Jayden."HEI, JAY!" teriak Mars dalam mabuknya, sementara Barry terus menarik sambil memapah atasannya itu."Semoga pernikahanmu bahagia selamanya, hahaha. Tapi jika kamu ingin lari, kamu masih punya kesempatan, jangan sia-sia kan itu. Ingat itu, hahaha," sahut Mars sambil terhuyung dan Barry mulai kesal."Ayolah, Tuan King. Bekerjasamalah denganku. Kamu terlalu mabuk!" hardik Barry kesal."Oh, Barry, aku mencintaimu. Mmmuaaa
Pagi yang cerah menyinari hari baru untuk musim dingin yang masih menyelimuti New York setidaknya untuk satu bulan ke depan. Di ranjangnya, Aidan masih tertidur dengan pakaian yang sama dengan yang semalam ia kenakan. Bedanya, ia sekarang memakai selimut hangat dan kepala pusing.Perlahan Aidan mulai menggeliat bangun. Ia mencoba membuka mata pasca mabuk dan itu adalah yang tersulit. Cahaya dari luar ruangan bisa sangat menyakiti mata dan itu membuat Aidan semakin pusing."Oh, Tuhan. Kepalaku!" keluh Aidan meremas rambut dan kepalanya. Dari tidur menyamping, Aidan melentangkan tubuhnya berusaha menatap langit-langit kamar berwarna light caramel yang menenangkan. Setelah sedikit kesadaran mulai didapatkannya, matanya berputar di sekeliling ruangan. Ia meraba di sebelah dan tak ada siapa pun. Aidan menyipitkan mata imutnya dan menoleh. Seharusnya Malikha berada bersamanya, mengapa ia tak ada?"Babydoll!" panggil Aidan sambil menoleh ke kanan kiri mencari Mal
"Babydoll," panggil Aidan menghampiri Malikha di depan pintu masuk Noxtrot."Ehm ... kita ..." Aidan berhenti dengan sikap gugup yang terlihat dan ragu apa ia harus mengatakannya atau tidak. Sedangkan Malikha malah menatap Aidan dengan pandangan polos yang membuat jantung Aidan berdetak kencang. Terlebih Malikha malah mengigit sedikit bibir bawahnya karena mengantisipasi Aidan akan mengatakan apa. Hal itu malah membuat Aidan jadi panas seketika."Tolong jangan lihat aku seperti itu ..." gumam Aidan ikut mendesah tanpa sadar."Huh ... kamu bilang apa?" Malikha mencoba mendengar lebih jelas perkataan Aidan sebelumnya tapi yang dilakukan Aidan hanya termenung."Aidan ..." dengan cepat Aidan menundukkan wajah dan malah mencium pipi Malikha. Malikha terkejur lalu melebarkan matanya mendapat ciuman manis seperti itu."Aku akan menjemputmu makan siang nanti," ujar Aidan dengan nada kaku lalu berbalik berjalan cepat kembali ke mobilnya. Ia masuk dan tanpa
Keluar dari Orcanza dengan hati terluka dan air mata, Malikha memilih berjalan ke sebuah taman di dekat bangunan megah kantor itu. Ia memilih salah satu bangku di depan kumpulan pohon-pohon yang tinggal ranting karena masih musim salju.Malikha kemudian menunduk dan memandang bekal makan siang yang ia bawa untuk Aidan, suaminya. Harapannya untuk bisa memperbaiki hubungan hanyalah khayalan semata. Bagai api jauh dari panggang, kenyataan ternyata tak seindah bayangannya."Aku memang bodoh. Apa yang kupikirkan? Dia tak akan mungkin menyukaiku, dasar Malikha bodoh!" gumam Malikha memaki dirinya sendiri lalu menangis tanpa siapa pun berada di taman itu. Senyuman manis Aidan tadi pagi hanyalah semu semata. Ia melakukannya hanya untuk mempermainkan Malikha. Malikha yang lebih dulu merasa terjerat merasa dirinya tak lebih dari sekedar mainan belaka bagi Aidan.Semalam, ia bahkan memberanikan dirinya mengecup lembut bibir Aidan yang tengah tertidur. Perlahan mata A
Malikha menarik paksa pergelangan tangannya dari Aidan saat sampai di depan mobil yang berbeda dengan ketika mereka tiba di gereja. Aidan langsung menoleh ke belakang dan Malikha sudah mundur beberapa langkah darinya."Babydoll, kemari! Kamu mau kemana?" ujar Aidan setengah menghardik menjulurkan tangannya. Tapi Malikha menggelengkan kepalanya dan terus mundur, entah kenapa ia malah berniat untuk lari. Dan Aidan yang mencium gelagat jika Malikha hendak melarikan diri, melangkah lebih cepat. Ia menangkap Malikha dan menarik pinggangnya. Malikha mulai melawan mencoba melepaskan diri.“Aaahkk ... lepas!”"Kamu pikir aku tidak tau jika kamu berencana kabur hari ini ya!" desis Aidan di depan wajah Malikha yang terkejut jika Aidan bisa membaca pikirannya dengan mudah."Lepaskan aku! Lepas!" Malikha terus memberontak. Aidan yang gemas sekaligus kesal lantas menarik tekuk Malikha dan menegakkan pandangannya. Hembusan napas Aidan begitu kentara terasa
"Jam berapa pesawatnya?" tanya Aidan memasukkan kembali dokumennya. Mereka bertiga masih berdiri di depan pintu masuk."Lewat tengah malam, Tuan." Aidan mengangguk."Tunggu aku di lobi, Glenn. Dan Lucy ... sampai jumpa minggu depan." Aidan lalu berbalik dan menutup pintu kamarnya. Lucy kebingungan melihat Aidan ternyata mengusirnya keluar dari kamar."Apa-apaan ini!" sahut Lucy hendak mengedor pintu kamar Aidan tapi tangannya keburu dipegang oleh Glenn."Jangan coba-coba. Ikut aku pulang!" Glenn menarik tangan Lucy yang memberontak ingin kembali ke kamar Aidan.Aidan lantas kembali ke ruang tengah kamar presidential suite-nya dan berdiri di dekat Malikha. Ia membuka kancing dan jas sambil melihat Malikha yang sempat melirik padanya sekilas. Aidan menghela napas dan mendekati Malikha usai melipat kedua lengan kemejanya."Kopermu akan dibawa langsung ke pesawat," ujar Aidan dengan nada dingin. Malikha lalu menoleh dan mengernyitkan keningnya. Apa lagi ini?"Memangnya kita mau ke mana?"
Malikha dibukakan pintu mobil dan tetap dikawal ketat sampai tiba di New Jersey. Ia kemudian dibawa ke sebuah bandara untuk pesawat pribadi bernama Teterboro. Masih kebingungan, seorang pengawal kemudian melingkarkan sebuah mantel tebal untuk Malikha agar ia tak kedinginan."Silahkan Nyonya, di sebelah sini!" ujar pengawal itu setengah berteriak. Malikha terpaksa mengikuti dan berjalan ke sebuah jet pribadi dengan logo mahkota tulisan Atlantic Crown. Ia menengok ke kanan dan kiri mencoba mencari tau apa yang terjadi dan pesawat siapa ini."Nyonya, anda harus segera naik. Kita akan berangkat," ujar pengawal itu lagi merentangkan sebelah tangannya meminta Malikha untuk naik. Malikha tak punya pilihan selain berjalan naik melewati sebuah tangga naik ke pesawat tersebut. Mata Malikha membesar saat melihat mewahnya interior pesawat pribadi tersebut. Ia belum pernah naik jet pribadi seumur hidupnya dan kali ini ia dibawa entah kemana oleh suaminya.Masih melihat-lihat
Setelah bosan berontak dan kelelahan, satu jam kemudian akhirnya Malikha tertidur di pangkuan Aidan. Ia tak bisa melawan dan tertidur bersandar pada dada Aidan. Sedangkan Aidan kemudian terbangun lalu menundukkan pandangannya melihat Malikha yang tertidur nyenyak di pundaknya.Senyuman Aidan perlahan mengembang dan tangannya lalu naik dan membelai lembut pipi Malikha sambil menaikkan wajahnya agak sedikit menengadah. Dengan leluasa Aidan bisa menatap dan menyentuh ujung mata bahkan sampai ujung bibir Malikha.Gairah Aidan yang perlahan naik membuatnya bahkan sampai menjilati bibirnya beberapa kali. Aidan pun mendekat lalu mengecup ujung hidung Malikha dan memainkan ujung hidung dengan miliknya.“Aku ingin sekali memilikimu, Babydoll!” desah Aidan berbisik lembut di depan hidung Malikha yang tertidur tak sadar apa pun. Karena tak tahan namun tak boleh berbuat apa pun, Aidan akhirnya menyerah dengan mencium kening Malikha dengan lembut namun lama. Mali