Aidan dibawa ke rumah sakit bersama Bryan dan Mars yang ikut terluka. Ototnya terluka parah dan ia tak disarankan untuk berjalan sampai pulih. Di dalam ruang perawatan, Aidan Caesar menyandarkan kepalanya ke dinding di belakangnya. Luka Aidan baru saja dijahit dan dirawat oleh seorang dokter.
Kini Aidan menunggu untuk diperbolehkan pulang. Sedangkan Bryan masih menjalani operasi pengangkatan peluru di paha kirinya.
Malikha dihubungi oleh pihak rumah sakit atas permintaan Aidan. Ia datang dengan tergopoh-gopoh ke rumah sakit. Di antara berpikir dan melihat langit-langit, Aidan lalu meluruskan pandangannya. Matanya kini berhadapan dengan mata indah Malikha yang berdiri di depannya. Betapa terkejutnya Malikha saat melihat kondisi Aidan yang penuh luka.
Mereka tak bicara dan hanya diam saja. Malikha kemudian mendekat dengan sikap tubuh yang tidak nyaman.
"D-Dokter bilang, kamu bisa pulang," ujar Malikha dengan suara kecil.
"Apa kamu datang menjemputku?
"Aku sudah tidak kuat lagi disini. Aku ini manusia Aidan, bukan benda mati yang bisa kamu kurung seperti ini!" sahut Malikha sambil menangis keras. Hubungan Aidan dan Malikha bagaikan telur di ujung tanduk. Sekali jatuh pasti langsung hancur."Untuk apa kamu mau keluar? Apa supaya bisa bertemu dengan pria itu lagi!" balas Aidan ikut menaikkan nada suaranya. Ia begitu cemburu pada Bruce yang dianggapnya sudah menjadi kerikil besar dalam hubungannya dengan Malikha. Nyatanya Malikha masih terus meminta keluar rumah untuk kembali bekerja di Noxtrot. Ia begitu marah saat tau Aidan membuat surat pengunduran diri atas namanya."Dia tidak ada hubungannya dengan ini!""Apanya yang tidak ada! Kamu ingin kembali ke Noxtrot dan tak mau menerima posisi di Orcanza. Jika karena ingin bertemu dengan si Caldwell itu, lantas apa lagi!" Aidan makin emosi dan tak mau mengalah."Kamu bahkan tak mau melepaskan aku, kamu tak mau menceraikan aku!""Cukup, jangan bicara pe
Masih gemetaran dan belum bernapas dengan baik, Aidan kemudian mengambil ponsel dan ingin menghubungi Arjoona tapi sejenak ia ragu. Namun jarinya akhirnya menekan nomor Arjoona yang diletakkannya di speed dial pertama."Joona?" ucapnya lirih"Ada apa, Aidan?" tanya Joona masih santai. Ia baru saja menidurkan Venus yang baru berusia dua tahun."Tolong aku!" ujar Aidan makin mengecilkan suaranya.Arjoona langsung mengumpulkan teman-temannya begitu mendengar kabar dari Aidan. Ia datang menggunakan jaket palka besar disusul oleh Mars dan Bryan di belakangnya."Apa lagi yang sudah dilakukannya!" gerutu Mars kesal."Jangan menghakiminya dulu. kita dengar dulu apa penjelasannya," jawab Joona mencoba membuat sahabatnya tenang. Bryan hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya kesal.Begitu keluar dari lift, Arjoona mencari ruang ICU khusus yang dimaksudkan oleh Aidan dan menemukannya berdiri di salah satu koridor. Mars sudah kadung
Mata Malikha terbuka perlahan. Ia tidur menyamping dan mencoba mengerti, ia sedang berada dimana. Ia berada di sebuah ruangan mewah dan tangannya dipasangkan selang infus. Tak sengaja, Malikha menyentuh sesuatu di pinggir ranjang. Itu adalah sosok pria dengan rambut coklat kehitaman yang sedang tidur di pinggir ranjangnya.Malikha menyentuh pelan dan ternyata itu membangunkan Aidan yang begitu terlelap. Matanya membesar saat melihat Malikha sudah sadar. Semalam Malikha sudah dipindahkan ke ruang perawatan VIP karena kondisinya yang terus membaik dan Aidan terus menungguinya. Aidan pun tersenyum begitu melihat Malikha telah siuman."Kamu sudah sadar, Sayang?" gumam Aidan dengan nada lembut. Ia memegang jemari Malikha dan menggengamnya. Malikha hanya menatap saja pada Aidan. Tuhan masih mempertemukannya dengan pria yang sudah menghancurkan hidupnya."Kenapa aku belum mati?" balas Malikha ikut bergumam. Aidan makin mendekat dan menggeleng."Jangan berkata seperti itu. Kamu sudah membuatk
"Kita hentikan saja semua ini," gumam Malikha dengan suaranya yang lembut. Tangan Aidan yang semula hendak memperbaiki selimut Malikha kini berhenti. Ia memberanikan diri menatap mata Malikha."Kita sudah saling menyakiti satu sama lain. Mari berhenti." Aidan menunduk dan tak menjawab."Maafkan perbuatanku dahulu padamu. Aku sudah membuatmu kecewa. Biar bagaimanapun aku terlibat pada rasa kecewamu akibat perundungan itu. Untuk yang terakhir kalinya, aku minta maaf." Malikha setengah berbisik. Mata Aidan tak bisa lagi menahan genangan airmatanya. Ia mengangguk kemudian."Maafkan aku karena mempermainkan pernikahan kita. Aku seorang pengecut yang berbohong untuk menjeratmu. Aku minta maaf," gumam Aidan setengah berbisik."Apa semua sudah impas?" tanya Malikha membuat Aidan terdiam."Trauma pembullyan itu ... dan rasa sakitku, bisakah kita menganggapnya impas sekarang?" sambungnya lagi."Babydoll ..." tangan Aidan hendak memegang tangan Malikha
"Bagaimana keadaannya?" tanya Aidan ingin tahu keadaan Malikha setelah beberapa saat terdiam. Raphael belum mau menjawab dan masih memilih diam."Raph, aku ingin menebusnya. Katakan apa yang harus aku lakukan?" sambung Aidan lagi."Untuk saat ini Malikha masih memiliki beberapa sesi lagi denganku. Aku akan mendampinginya lebih intens. Dia punya nomorku dan bisa datang padaku kapan saja. Untuk saat ini jangan ganggu dia dulu," jawab Raphael dengan sikap dingin."Aku merindukannya, Raph," balas Aidan. Raphael menoleh pada Aidan dan menggelengkan kepalanya. Ia berjalan ke meja kerjanya dan duduk kembali."Tahan saja rindumu! Biarkan dia sendiri. Untuk sementara, dia tidak perlu tinggal di apartemenmu. Dia bisa tinggal disini atau di tempatku bersama Lea." Raphael kembali membuka dokumennya lagi. Aidan berjalan mendekati meja kerja itu."Jadi kamu tidak mengijinkan aku merawat Malikha?" Raphael menaikkan pandangannya menatap Aidan."Kamu adalah
Selayaknya hubungan yang normal, dua orang manusia yang sedang jatuh cinta akan mengalami berbagai fase dalam menjalani percintaannya. Dimulai dari fase bahagia hingga harus menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada. Tak pelak, kadang setelah masa-masa ini berlalu maka keputusan besar harus diambil.Pernikahan Aidan dan Malikha terlihat seperti pernikahan impian semua orang. Malikha yang cantik dan miskin menikah dengan pangeran tampan kaya raya seperti Aidan adalah seperti mimpi, seperti dongeng pengantar tidur─Cinderella.Dari luar, mereka tampak seperti pasangan romantis penuh cinta tanpa cela. Tapi siapa yang menyangka dibalik senyuman Malikha dan Aidan, terdapat luka menganga yang tak kunjung sembuh oleh waktu. Pernikahan yang diikat atas dasar janji di depan Tuhan, harusnya berawal dengan fase bulan madu yang indah. Namun yang terjadi malah sebaliknya, bulan madu itu tak pernah terjadi.Betapa Aidan memberikan 'neraka' yang sesungguhnya pada Malikha. Lab
“Selanjutnya apa rencanamu?""Aku ingin hamil dan melahirkan di LA. Aku akan kembali ke sana," jawab Malikha tanpa ragu."Kamu yakin? Aku bisa membantumu di sini." Malikha malah menggeleng."Sudah saatnya aku pulang. Aku lahir dan besar di sana. Aku sudah pergi terlalu lama. Aku pikir aku ingin membesarkan anakku disana, lagipula disanalah tempat aku dan Aidan bertemu. Aku ingin anakku dekat dengan Ayahnya, sekalipun bukan dalam kehadiran fisik," ujar Malikha dengan suara lembutnya."Aku pikir kamu sedang menjalani terapi dari salah satu psikiater terkenal." Malikha mengangguk."Dia dan aku sepakat untuk melakukan semua sesi terapi di LA. Aku harus sembuh dari depresiku agar bayiku bisa tumbuh dengan sehat." Elisa mengangguk dan memeluk Malikha kemudian."Kamu adalah salah satu wanita terkuat yang pernah aku kenal seumur hidupku, Malikha ... aku yakin Tuhan akan melindungimu." Malikha tersenyum mendengar kalimat Elisa untuknya. Ia mele
Usai mendapatkan sebuah surat yang sempat ia rebut dari tangan Lucy, Glenn langsung keluar Orcanza dengan mengendarai mobilnya. Ia tahu harus pergi ke mana untuk mengkonfirmasi soal surat tersebut.Glenn mengendarai mobilnya menuju 34th Vandalia Avenue di Eastern New York ke kantor pengacara Elisa Howard. Ia berhenti di depan sebuah bangunan lama yang sudah menjadi kantor pengacara public milik Elisa Howard. Setelah mengatur napas beberapa saat, Glenn akhirnya keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam kantor tersebut.Glenn lalu bertemu dengan Sektretaris Elisa Howard yang kemudian membawanya masuk ke dalam kantor pengacara wanita tersebut. Elisa nampak sedang berbicara di telepon dan menghadap jendela kaca di samping meja kerjanya saat Glenn masuk. Sekretaris Elisa kemudian mempersilahkan Glenn untuk menunggu sesaat.Glenn menunggu dengan sabar berdiri di depan meja kerja Elisa sambil memperhatikan wanita itu sampai ia sadar jika sudah ada tamu di ruanga