“Aku udah gak cinta lagi sama kamu, San.”
Suara Devan terdengar bagaikan sambaran petir di siang hari yang sangat terik bagi Sandra.Sandra terkejut dengan ucapan suaminya sampai tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Rumah tangga yang dia pertahankan selama ini dengan baik, nasibnya sedang dipertaruhkan.“Kamu ... kamu udah gak cinta lagi sama aku? Gak mungkin ... kamu pasti bohong. Kita baik-baik aja selama ini, Mas.” Sandra menuntut kejelasan.Devan menoleh ke arah Sandra, “Aku gak bohong. Aku emang udah gak cinta lagi sama kamu. Kamu udah gagal, San! Kamu udah gagal bikin aku bener-bener jatuh cinta dan terikat sama kamu kayak apa yang kamu janjikan dulu,” bantah Devan.“Apa ini karena dia?” tanya Sandra dengan suara pelan.“Gak.”“Gak! Kamu boong Mas, kamu boong sama aku. Sejak Irene balik ke sini dan kalian ada hubungan bisnis, sikap kamu berubah, Mas. Kamu berubah! Kamu udah makin cuek sama aku dan makin sibuk kerja. Kalo ini bukan kerena dia, lalu karena apa?!” tuntut Sandra.“Jangan bawa-bawa Irene kataku!” Devan menaikkan suaranya.“Bilang sama aku ... kalo bukan karena dia, lalu apa yang buat cinta kamu ilang, Mas. Bilang sama aku, siapa tau kita bisa perbaiki lagi,” bujuk Sandra berusaha mempertahankan rumah tangganya.Tidak ada jawaban dari Devan. Pria itu memilih untuk berbalik badan dan melihat ke arah luar dari balik kaca yang ada di ruang kerjanya itu.Sandra memilih untuk ikut diam. Dia berharap suaminya saat ini sedang berpikir ulang tentang keinginannya.Sandra dan Devan memang menikah karena perjodohan. Ayah Sandra yang dulu bekerja di rumah keluarga Devan, telah menyumbangkan satu ginjalnya untuk papa Devan. Namun sayangnya ayah Sandra meninggal tidak lama setelah proses donor selesai.Merasa bertanggung jawab, papa Devan memaksa Devan untuk menikahi Sandra. Apa lagi saat itu Devan sedang patah hati setelah ditinggal Irene pergi tanpa kabar. Devan terpaksa menerima pernikahan itu setelah mendapat ancaman dari papanya, kalau dia akan di coret dari daftar anggota keluarga.Tok tok tok.Terdengar suara pintu ruang kerja di ketuk dari luar. Sandra menyeka air matanya yang sedikit menetes dengan jari-jari cantiknya lalu menyuruh orang yang ada di luar untuk masuk.“Maaf Bu, di depan ada .... Eeeh, aduuh.” Mbok Darmi hampir terjatuh saat ada seseorang mendorongnya ke samping secara tiba-tiba.“Irene,” gumam Sandra saat melihat sosok dari balik punggung Mbok Darmi.Devan berbalik, “Irene. Ngapain kamu ke sini?” tanya Devan yang juga kaget dengan kehadiran Irena di rumahnya.“Sorry, Van. Tapi ini semua ....”“Kamu ngapain ke sini? Ada perlu apa sampe harus masuk dengan paksa kayak gitu?” tanya Sandra ketus memotong ucapan Irene sambil menyuruh Mbok Darmi pergi.“Kamu yang nyuruh dia ke sini, Mas. Dia udah hancurkan rumah tangga kita, sekarang apa lagi yang mau kamu hancurkan!” sungut Sandra sambil menatap penuh amarah pada suaminya.“Sandra! Jaga ....”“Van. Tahan emosi kamu,” sela Irene sambil melihat ke arah Devan.Irene melihat ke arah Devan, “Udah, kamu diem dulu ya. Biar aku yang coba jelasin sama Sandra. Mungkin kalo sesama perempuan bakalan bisa lebih enak ngobrolnya,” pinta Irene.“Tapi Ren, ....”“Udah gak papa,” potong Irene sambil menganggukkan kepalanya.Irene melihat ke arah Sandra yang kini sedang duduk sambil memangku bantal sofa. Dia melihat ada api amarah di dalam netra milik Sandra saat tertuju ke arahnya.“San, aku minta maaf atas semua yang terjadi ... tapi itu emang bener-bener di luar kendali aku,” ucap Irene dengan suara yang lembut berusaha untuk tidak semakin memancing kemarahan Sandra.Sandra mengangkat pandangan matanya, “Di luar kendali kamu? Kamu udah tahu kalau Mas Devan itu udah nikah kan pas kamu pertama kali datang ke rumah ini. Kamu bilang kan sama aku kalau kamu sudah bertunangan dan akan segera menikah. Tapi apa yang terjadi sekarang!” Sandra mencoba untuk mendapatkan penjelasan yang sebenarnya tidak berguna lagi.Irene berusaha untuk lebih mendekat ke arah Sandra dengan langkah perlahan, “Iya San, aku tahu dan aku ingat semua apa yang aku bilang sama kamu waktu itu. Tapi itu setahun yang lalu dan aku juga nggak menghendaki hubunganku dengan calon suamiku itu berantakan. Terus aku cerita sama Devan dan dia jadi pendengar semua keluhan aku dan selalu menghibur aku. Oleh sebab itu aku jadi bergantung sama dia dan aku nyaman banget sama Devan,” ucap Irene tanpa rasa bersalah sedikit pun pada Sandra.Sandra mencengkeram sudut bantal yang ada di pangkuannya itu erat-erat. Ucapan Irene terdengar sangat lembut namun benar-benar membuatnya makin marah.Irene seolah tidak tahu kalau apa yang dia katakan tadi seperti sedang menyiram air garam di atas luka yang kini sedang terbuka lebar di hati Sandra. Ucapan Irene menambah rasa perih di hati Sandra yang kini hatinya sudah benar-benar hancur.“Nyaman. Terus apa kamu mengabaikan keberadaan aku selama ini. Kalau kamu butuh teman curhat, kamu bisa cerita sama aku. Kenapa harus sama Devan,” berang Sandra yang tidak suka dengan pengakuan Irene yang teramat tenang itu.“San, aku dan Devan udah kenal lama, bahkan jauh lebih lama daripada aku kenal ama kamu. Jadi wajar kalo aku lebih kenal karakter Devan dibanding kamu. Sebenarnya aku pengen cerita juga sama kamu, tapi aku udah terlanjur nyaman sama Devan dan setiap aku cerita sama dia, aku kembali tenang dan nggak butuh orang lain lagi.”“Kamu harus ngerti posisi aku dan Irene. Kamu tau kalo aku pernah kecewa sama Irene, tapi kamu juga yang akhirnya mengizinkan aku untuk deket lagi sama Irene. Jadi kalau sekarang aku dan Irene udah deket lagi, kamu gak perlu cemburu berlebihan. Harusnya sejak awal kamu udah tahu resikonya,” seru Devan yang seperti membuat semua keadaan ini adalah salah Sandra.Sandra melihat ke arah Devan. Dia ingin sekali mendapati sebuah kebohongan di mata Devan tentang apa yang baru saja dia lontarkan. Namun pria yang sudah dia nikahi selama 3 tahun itu lebih memilih untuk membuang mukanya dan menolak untuk beradu pandang dengan dirinya.Sandra merasa sangat tertolak saat ini. Dia merasa suaminya sudah menentukan pilihan siapa yang dia inginkan untuk hidup di sampingnya. Kalaupun Sandra nekat bertahan, mungkin luka yang dia rasakan akan semakin dalam setiap hari.“San, aku harap kamu ngerti tentang apa yang terjadi sama aku dan Devan. Perasaan ini tumbuh kembali seiring dengan kebersamaan kami. Ini di luar kendali kamu, San,” pinta Irene dengan suara yang terdengar penuh permohonan.Sandra tidak memberikan reaksi apa pun atas permohonan Irene kepadanya. Dia lebih memilih untuk berpikir dengan tenang dulu agar dia tidak mengambil keputusan yang penuh dengan emosi.“Di luar kendali. Gak mungkin, kenapa kamu tega sama aku, Mas! Kenapa!” pinta Sandra sampai dia meninggikan suaranya menuntut kejelasan dari suaminya.“Kamu mau tau apa lagi. Semua apa yang dikatakan Irene itu benar. Kami terbawa suasana dan aku ....”Devan menggantung kalimatnya. Dia tidak mampu meneruskan kalimatnya itu, ketika dia menatap wajah Sandra yang mulai tampak sangat kacau saat ini.“Kami masih saling mencintai, San. Kami ....”“Cukup! Aku muak sama kata-kata itu!” bentak Sandra memotong ucapan Irene yang seolah tidak merasa kalau kalimat yang dia keluarkan itu semakin membuat lukanya terasa semakin pedih.“Sandra, kamu gak bisa lari dari kenyataan ini. Selain kamu dan Devan, sekarang juga ada aku.” Irene mencoba membuat Sandra tidak mengabaikan dirinya.“Gak Ren, kamu yang memaksakan diri buat masuk di antara kami. Kamu egois!” murka Sandra.“San, tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik. Kita cari solusinya bareng-bareng ya.” Irene berusaha tetap membujuk Sandra.Sandra menoleh ke arah Irene. Dia benar-benar tidak tahu apa yang membuat wanita yang saat ini ada di hadapannya Itu tampak begitu sangat tenang. Apakah Irene terlalu percaya diri kalau Devan akan memilih dia hingga dia merasa sudah menang sejak awal.“Solusi? Solusinya cuma satu, kamu harus pergi dari kehidupan kami. Kamu harus menerima kenyataan kalau Mas Devan sudah menikah,” gumam lirih Sandra mencoba mengingatkan Irene tentang posisinya.Irene menoleh ke arah Devan, “Apa kamu setuju dengan apa yang dibilang sama Sandra, Van?”Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Devan. Pria itu kini hanya bisa melihat ke arah Sandra dan Irene secara bergantian. Kebingungan mulai melanda di hati Devan ketika dia melihat tangis Sandra mulai turun yang ternyata mampu menggoyahkan keegoisannya.Namun di sana juga ada seorang wanita yang selalu ada dan memiliki ruang tersendiri di hatinya selama ini. Wanita yang belakangan ini membuat hidupnya lebih sempurna dengan kehangatan yang ditawarkan oleh Irene seperti dulu.“Kenapa kamu diam, Mas. Kenapa kamu gak jawab. Ini pertaruhan rumah tangga kamu, Mas,” tuntut Sandra.“Van, apa kamu bakalan pilih Sandra? Apa kamu yakin bakalan bahagia sama dia dan bakalan siap aku tinggalin lagi?” sahut Irene dengan penuh percaya diri.“Inget Van, 3 tahun aku pergi dari kamu, tapi itu gak mampu bikin kamu lupain aku. Apa sekarang kamu bakalan ulangi itu lagi, saat aku udah ada di depan kamu? Lagi pula, apa kamu siap hidup sama istri mandul kayak dia?” Irene berusaha menggoyahkan Devan.“Aku gak mandul!” bantah Sandra.“Kalo kamu gak mandul trus apa namanya?! Kamu udah 3 tahun nikah ama Devan tapi kamu gak hamil juga. Kamu itu perempuan parasit, Sandra. Kamu gak bisa bahagiakan Devan!” hina Irene tanpa ragu.“Aku gak mandul, Mas. Aku sekarang lagi ....” Suara Sandra terdengar mengiba sambil memegangi perutnya.“Sandra, apa yang dikatakan Irene benar. Aku udah gak bisa lagi hidup sama kamu. Aku akan segera mengurus perceraian kita,” ucap Devan memotong ucapan Sandra.Mendengar kata terakhir suaminya itu, Sandra menarik nafas panjang.“Baik, kalau itu mau kamu Mas! Kamu udah enggak membutuhkanku kan? Aku akan pergi dari hidup kamu!”6 tahun kemudian.“San, kamu udah mau berangkat ke kantor sekarang?” tanya Siska, ibu Sandra.“Iya Bu, soalnya jarak dari kantor ke sini agak lumayan jauh. Takutnya nanti malah kena macet. Biasalah Jakarta kan macet banget,” jawab Sandra sambil merapikan rambutnya sebelum dia berangkat ke kantor.“Tapi kamu tetap naik mobil angkutan perusahaan kan, San?”“Iya, Bu. Nanti mobilnya jemput di depan. Kayaknya Sandra nanti barengan sama pegawai lainnya deh. Nathan mana, Bu? Udah beres mandinya?” tanya Sandra yang ingin tahu keberadaan putranya saat ini.“Masih mainan di kamar mandi. Hari ini Nathan juga mau sekolah, moga aja dia betah di sekolah barunya ya.”“Moga aja, Bu. Tapi nanti Ibu antar dulu sambil nungguin di sana nggak papa kan? Soalnya takutnya nanti Nathan ada apa-apa. Maklumlah ... namanya juga sekolah baru, dia harus banyak adaptasi.”“Iya, Ibu bakal nungguin sampai Nathan pulang sekolah nanti. Paling juga nggak akan lama sekolahnya, kan masih TK. Lagian jarak ke sekolah
"Mas Devan," panggil Sandra lirih.Sandra masih melihat ke arah lift, di mana Devan dan rombongannya tadi masuk. Namun sayangnya, hingga pintu lift itu tertutulp, Devan masih tidak menyadari kehadiran Sandra di sana.“Sandra, ayo masuk. Masih nungguin apa?” tanya Tata ketika melihat Sandra berdiri termenung melihat pintu lift yang dikhususkan untuk para atasan itu. “Oh iya, maaf,” jawab Sandra yang kemudian segera masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan dia ke ruang HRD. Saat berada di dalam lift, pikiran Sandra masih terus berjalan memikirkan sosok pria yang tadi secara samar dia lihat. Dia sangat yakin kalau yang tadi dia lihat itu adalah Devan. Namun ada keraguan juga dalam diri Sandra, karena sepertinya tidak mungkin Devan ada di perusahaan lain sepagi ini. Bisa saja itu adalah sosok orang lain yang dia kira seperti Devan. ‘Iya nggak mungkin kalau itu Mas Devan. Masa iya dia ke kantor orang lain pagi-pagi kayak gini. Tunggu dulu, kantor ini nggak lagi merger kan sama Pacific
Tok tok tok.Sandra mengetuk pintu ruang kerja di perusahaan tempat dia bekerja. Meski hari ini adalah hari pertamanya masuk ke perusahaan ini, Sandra sudah dipanggil oleh pimpinan dan menurut selentingan kabar yang dia dengar dari Ratna, Sandra akan diberi kepercayaan untuk menangani sebuah proyek besar.Setelah diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan, Sandra segera melangkah masuk dan menemui pria muda yang kini sedang duduk di singgasana tertinggi di perusahaan Artha Graha.“Selamat siang, Pak Beni. Saya Sandra yang baru saja dipindahkan dari cabang Surabaya, Pak,” lapor Sandra penuh hormat pada pimpinannya itu.“Selamat siang Bu Sandra. Wah akhirnya kita ketemu juga ya. Saya udah banyak dengar prestasi ibu di cabang Surabaya dan saya berharap Ibu akan bisa terus meningkatkan kualitas kerja Bu Sandra di sini. Silakan duduk Bu, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Bu Sandra,” sambut Benny pada salah satu karyawan teladannya itu.Sandra segera duduk di kursi yang ada di depan
“Hamil?” tanya Devan dengan ekspresi kaget.“Iya, aku hamil anak kamu!” tegas Irene.Devan melihat ke arah Dewi, sekretarisnya, lalu menyuruh wanita muda itu untuk keluar dari ruang kerjanya. Dia tidak ingin masalah yang dibawa oleh Irene ini akan didengarkan oleh orang lain.Devan menatap tajam ke arah Irene, namun dia tetap berusaha mengontrol emosinya. Devan kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya dan sedikit mengangkat dagunya.“Kalau kamu hamil, lalu apa urusanku?” tanya Devan dingin sambil sedikit menyempitkan matanya.“Apa maksud kamu? Ini anak kamu, Devan. Aku hamil anak kamu!” jawab Irene dengan nada marah.“Anak aku? Irene, kamu harusnya sadar kalau aku nggak pernah nyentuh kamu selama ini. Lalu bagaimana aku bisa ngehamilin kamu!” tegas Devan.“Cih! Trus apa yang yang udah kamu lakukan sama aku bulan lalu pas aku ulang tahun. Kamu ngapain di kamar aku dan maksa aku ngelayanin kamu, hah!” Irene memaksa Devan untuk mengingat tentang kejadian di malam
“Ibu punya ide apa?” tanya Sandra yang antusias mendengar ide dari ibunya.“Gini San, gimana kalau kamu bilang aja sama atasan kamu, kalau kamu nggak bisa terima kerjaan ini karena kamu masih karyawan baru. Biasanya kan kalau karyawan baru nggak akan dipercaya sama proyek besar, pasti seniornya, iya kan?” cetus Siska dengan mata berbinar.“Ah Ibu, nggak bakalan bisa, Bu. Soalnya menurut Pak Beni, Mas Devan itu milih Sandra karena dia ngelihat hasil rancangan Sandra waktu di Surabaya. Kalau Mas Devan pakai referensi itu, jadi udah otomatis kalau alasan itu nggak bisa ditolak,” jawab Sandra yang kembali lemas karena ide ibunya tidak tepat.“Oh gitu, bisa nggak kalau kamu bilang butuh penyesuaian dulu. Soalnya kamu kan lama nggak ngedesain, jadi kamu butuh belajar dan takut salah. Lagian kamu tahu sendiri kan kalau Devan itu orangnya gampang marah kalau ada kerjaan yang salah.”Sandra menggelengkan kepalanya, “Susah Bu, kayaknya nggak mungkin juga pakai cara itu.”“Kalau kamu ancam
“Kita ke Cafe Mentari dulu,” ucap Devan pada Raka, asisten pribadinya yang akan mengantarkannya pulang.“Siap, Bos,” jawab Raka yang kemudian segera menginjak pedal gas mobil menuju ke Cafe Mentari.Setibanya di Cafe, Devan langsung menuju ke sebuah meja yang berada di sudut belakang Cafe. Di sana sudah ada seorang pria yang duduk sendirian dan melihat ke arah Devan. Pria itu berdiri, ketika Devan sudah ada di depannya.“Selamat malam, Bos,” sapa pria muda itu.“Di mana dia?” tanya Devan tanpa basa-basi.Pria muda itu mengeluarkan amplop berwarna coklat berukuran besar dari dalam tas yang dia letakkan di sampingnya. Dia segera menyodorkan amplop itu pada Devan, agar orang yang sudah membayar jasanya itu bisa melihat hasil dari pencariannya selama ini.Devan melihat sejenak ke arah detektif yang dia sewa, kemudian dia segera membuka isi amplop yang diberikan oleh detektif berharga mahal itu.“Malaysia,” tebak Devan ketika dia melihat foto-foto Sandra di tangannya.“Benar Bos, ternya
Sandra menekan tombol lift dan tidak lama kemudian pintu lift yang ada di depannya terbuka. Sandra terbelalak hingga mulutnya terbuka saat dia melihat sosok yang ada di depannya. “Sandra!” panggil Tata mengagetkan Sandra sambil menepuk pundak teman sekaligus atasannya itu. “Ih kamu nih ya. Bikin aku kaget aja deh,” protes Sandra yang kaget saat melihat Tata keluar dari dalam lift sambil mengagetkannya yang sejak tadi berdiri sambil memainkan ponsel. “Maaf deh, maaf. Kamu mau ke mana?” tanya Tata. “Mau ke ruangan Pak Beni.” “Mau masuk?” tanya seorang pria yang sedari tadi berdiri di dalam lift. “Oh, iya. Aku naik dulu, ya,” pamit Sandra pada sahabatnya itu. Sandra segera masuk ke dalam lift karena dia tidak enak pada orang yang sejak tadi menunggunya masuk. Dia menganggukkan kepalanya, sedikit memberi salam pada orang itu dan juga pernyataan minta maafnya. Pintu lift segera tertutup kembali dan membawa Sandra naik ke atas. “Kira-kira Pak Beni mau ngapain ya? Masa dia udah nanya
“Akhirnya dia pergi juga. Haduuh, tuh orang kapan sih gak bikin aku susah?” gerutu Sandra yang merasa kesal pada Devan karena pria itu sampai nekat datang ke ruang kerjanya.“Sandra. Eh ita bener, ini kamu kan? Sandra si kutu buku,” sapa seseorang yang sedikit mengagetkan Sandra.“Bang Rio. Astaga Bang, amu ampe lupa kalo Abang di sini,” sapa balik Sandra yang senang bertemu dengan kenalannya saat dia kuliah di Malaysia.“Hmmm ... gitu ya, aku dilupain. Kupikir kamu belum dateng, San. Aku denger kamu bakalan pindah ke sini, kamu masuk kapan sih emang?” tanya Rio.“Baru kemaren, Bang. Oh ya, Abang di divisi apa sekarang?” tanya Sandra.“Aku di pemasaran. Naik jadi manajer aku sekarang.”“Waah ... kalo gitu aku harus panggil Pak Rio dong. Halo Pak Rio, saya Sandra, pegawai baru di sini, Pak,” ledek Sandra.“Gak pantes, San.” Rio tertawa mendengar candaan receh Sandra yang selalu berhasil membuat dia tertawa.“San, aku pergi dulu ya. Ntar kita ngobrol lagi. Eh, makan siang bareng
“Brengsek!” Lisa datang ke restoran tempat dia membuat janji dengan Irene. Dia tadinya memang akan bertemu dengan Irene dan beberapa teman mereka lainnya untuk sekedar makan bersama.Tapi mood Lisa rusak, saat dia bertemu dengan Devan dan Sandra tadi. Dia kembali merasa takut, karena sempat menculik Nathan atas perintah Irene tempo hari.“Kamu ini kenapa sih?! Dateng-dateng malah ngamuk. Ada apaan?” tanya salah satu teman Irene lainnya.“Iya, kamu kenapa sih, Lis? Ada masalah apaan?” Irene ikut penasaran.“Kalian tau gak, aku barusan ketemu sama siapa?” ucap Lisa memulai cerita.“Ketemu ama siapa emang?”“Devan. Aku ketemu Devan dan Sandra!” “Hah?! Seriusan? Trus gimana?” Irene ingin tahu kelanjutan cerita Lisa.“Sumpah, aku kaget banget. Ternyata anaknya ngenelin aku. Brengsek! Aku gak aman kalo sampe Nathan beneran ngenalin aku dan Devan nemuin bukti kalo aku beneran yang bawa anak mereka. Aku harus gimana, Ren?” Lisa khawatir akan keselamatannya.Irene terdiam mendengar cer
“Nathan, Nathan kenapa?” tanya Siska yang melihat cucunya menarik-narik tangannya.“Gak mau. Gak mau ke situ.” Nathan menarik tangan eyangnya kuat-kuat.“Ada apa, Bu?” tanya Sandra sambil menoleh ke belakang.“Gak mau. Gak mau ke sana,” ucap Nathan sambil mulai menarik kuat tangan eyangnya dan mulai mundur.“Sayang, ada apa?” Sandra mendekati putranya.“Nathan, sama Papa aja yuk.” Devan segera mengambil alih tangan Nathan dan menggandeng bocah kecilnya itu.Devan mengajak Nathan untuk duduk sebentar di sebuah bangku yang ada di dekat mereka. Dia ingin mengajak putranya itu berbincang untuk mengetahui kenapa putranya tiba-tiba merajuk.Devan menyuruh anggota keluarganya yang lain, pergi lebih dulu menuju ke toko yang akan mereka tuju tadi. Sandra pun segera mengondisikan para anggota keluarganya, agar mereka tidak khawatir tentang Nathan.“Nathan kenapa tadi? Nathan liat sesuatu?” tanya Devan penuh kelembutan.Nathan mengangguk, “Nathan liat Tante Maya. Nathan gak mau ke sana.” N
“Pak, video cctv-nya berhasil diperbaiki.” Raka datang sambil membawa iPad di tangannya.“Mana videonya,” pinta Devan yang ingin melihat sosok wanita yang sudah menculik anaknya kemarin.Raka langsung memberikan iPad yang ada di tangannya itu pada atasannya. Dia ingin atasannya itu juga melihat apa yang sudah ditemukan oleh Bayu setelah memperbaiki kualitas gambar dari CCTV Mall tersebut.Sandra yang juga ingin melihat video rekaman penculikan putranya, segera menggeser posisi duduknya mendekati sang suami. Dia ingin mencari sosok wanita yang berani mengaku sebagai Maya dan membuat seluruh keluarganya panik keseharian.“Mas, kok masih belum terlalu kelihatan ya,” ucap Sandra ketika dia melihat video yang kini sedang diputar suaminya itu.“Iya. Kualitas videonya emang udah bagus. tapi aku juga nggak gitu kenal sama orang itu. Kayaknya dia emang sengaja ngelakuin ini karena penyamarannya benar-benar full. Lihat aja itu mulai dari topi, masker, sampai rambutnya pun kayaknya juga palsu.
Kepala Devan rasanya mau pecah memikirkan siapa orang yang telah membawa putranya kemarin secara diam-diam. Setelah Nathan mengkonfirmasi kalau bukan Maya, asisten istrinya yang membawa dia kemarin, kini Devan semakin bingung dengan sosok wanita yang berani mencari masalah dengan dirinya itu.Devan masih duduk di sofa yang ada di teras belakang rumahnya sambil melihat ke arah putranya yang kini tengah berenang ditemani oleh Wati. Pria kecilnya itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat yang aneh, meskipun ada Maya di sekitar sana bersama dengan istrinya.“Tampaknya emang bukan Maya pelakunya, Pak,” ucap Raka yang ikut memberi penilaian pada peristiwa ini.“Iya, kayaknya emang bukan Maya. Terus Maya yang mana ya? Kayaknya aku nggak pernah kenal lagi ada nama Maya lain yang dikenal sama Nathan. Siapa sebenarnya orang ini? Berani bener dia main-main sama aku,” gerutu Devan sambil mencoba memikirkan berbagai kemungkinan tentang orang yang dia curigai.“Apa mungkin orang itu Bu Irene, Pak
Sandra menatap ke arah suaminya. Dia seolah sedang meminta pertimbangan dari suaminya tentang apa yang harus dia lakukan saat ini.Devan meminta Sandra untuk menyiapkan pertemuan antara Maya dengan putra mereka. Sandra pun akhirnya menyuruh Maya untuk tetap menunggu di ruang kerjanya sementara dia akan menemui Nathan di rumah utama bersama dengan suaminya.“Mas, nanti kalau Nathan trauma gimana?” tanya Sandra sambil berjalan keluar dari ruang kerjanya bersama sang suami.“Semoga aja nggak. Ya udah yuk, kita coba dulu biar masalah ini cepat selesai,” jawab Devan penuh harap agar putranya bisa memberikan petunjuk.“Ya udah deh, kalau gitu aku kasih pengertian dulu ke Nathan ya. Nanti kalau aku rasa dia udah siap, Mas Devan suruh Raka bawa Maya ke sini ya.”“Oke, sayang. Kita santai aja dulu ya. Kamu juga jangan terlalu panik, ntar takutnya nyalur ke Nathan,” pesan Devan pada sang istri.“Iya, Mas.”Sandra segera berjalan menuju ke putranya yang saat ini tengah bermain bersama dengan
“Maya, saya mau bicara sama kamu,” ucap Devan yang baru saja masuk bersama dengan Raka.Maya melihat ke arah Sandra lalu ke arah Devan lagi, “Ada apa ya, Pak?” “Mas,” panggil Sandra sambil melihat ke arah suaminya.Devan tidak menjawab panggilan istrinya dan hanya memilih untuk mengangguk saja pada istrinya itu. Dia kemudian menyuruh sang istri untuk berpindah tempat duduk karena dia ingin duduk berhadapan dengan Maya.Devan ingin melihat ekspresi Maya ketika nanti dia mengintrogasi wanita itu. Devan yang kini sudah didampingi oleh Sandra dan Raka, siap untuk mencari tahu kebenaran tentang kejadian kemarin.Maya menoleh ke arah Sandra. Suasana di ruang kerja Sandra kali ini tampak sangat berbeda, karena wajah ketiga orang yang sedang bersamanya kali ini tampak sangat serius. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan oleh suami dari atasannya tersebut.“Maaf, ada apa ini ya, Bu?” tanya Maya yang kini sedang bingung.“Maya, saya mau tanya ke kamu. Tapi saya minta ka
“Mas, Maya udah datang,” ucap Sandra sambil menepuk paha suaminya.Devan ikut menoleh ke arah luar. Dia melihat ada sebuah mobil baru saja berhenti di depan rumahnya.Tidak lama kemudian seorang wanita keluar sambil membawa tas rangsel dan juga tas jinjing besar yang berisi kertas gambar yang menjadi pekerjaannya. Tampak Maya saat ini tengah melihat ke arah rumah Devan yang pagi ini sedikit ramai.Maya agak sedikit ragu untuk masuk ke dalam rumah atasannya, karena di dalam rumah tampak sedang ada banyak orang. Namun karena ada lambaian tangan dari Sandra, maka Maya berani untuk melangkah masuk ke dalam rumah Sandra.Sandra menoleh ke arah suaminya, “Gimana ini, Mas?” tanya Sandra ingin meminta pendapat Devan. Temuin dulu di ruangan kamu,” jawab Devan sambil menyuruh istrinya agar bisa segera masuk ke ruang kerjanya sendiri.“Ya udah, aku masuk dulu. Ayo masuk, May,” panggil yang kemudian segera beranjak masuk ke ruang kerjanya sendiri yang berada di samping ruang kerja dewan.Maya
Ting.Ponsel Devan berbunyi. Pria yang tadinya sedang sibuk memeriksa berkas yang dibawa oleh asisten pribadinya itu, kini mengalihkan perhatiannya pada benda pipih yang ada di sampingnya. Devan melihat ada notifikasi pesan dari Bayu, orang yang selama ini selalu dia percaya untuk melakukan penyelidikan di luar.“Raka, Bayu udah kirim kabar,” ucap Devan memanggil asisten pribadinya.“Video CCTV ya, Pak?” ucap Raka yang kemudian segera beranjak menuju ke meja kerja atasannya lagi.“Kita lihat dulu.”Raka yang sudah di tadi bekerja di sofa tamu yang ada di ruangan kerja Devan, segera berpindah menuju ke kursi yang ada di depan meja kerja atasannya itu. Dia ingin tahu video CCTV yang dikirimkan oleh Bayu, karena dia juga penasaran siapa sebenarnya orang yang sudah mencoba untuk membuat masalah dengan keluarga ini.Sebelum membuka pesan dari Bayu, Devan langsung mentransfer video kiriman Bayu itu pada ipad-nya. Dia ingin tampilan yang lebih besar agar bisa dengan jelas melihat rekaman C
“Mama, Nathan nggak mau sama Tante Maya!” ucap Nathan memotong ucapan Sandra dengan suara yang sedikit keras.Sandra dan Devan sama-sama kaget mendengar ucapan dari putra mereka. Mereka berdua pun saling berpandangan dengan pemikiran yang sama saat ini.Nathan tidak pernah bereaksi seperti itu terhadap orang lain selama ini. Namun entah mengapa tiba-tiba Nathan mengatakan kalau dia tidak mau bertemu dengan Maya.“Mas,” panggil Sandra pelan.Devan menggenggam tangan istrinya, “Nathan ... Nathan pernah ketemu sama Tante Maya?” tanya Devan berharap akan mendapatkan jawaban tentang siapa yang sudah membawa putranya pergi kemarin.“Nathan nggak mau ketemu sama Tante Maya. Tante Maya enggak mau anterin Nathan pulang, tapi Nathan malah ditinggal pergi,” jawab tentang dengan nada kesal.Sandra dan Devan semakin kaget dengan cerita dari putra mereka itu. Kini mereka tahu siapa yang membawakan pergi hari itu.Devan langsung melihat ke arah istrinya, “Panggil Maya sekarang juga!” geram Devan p