Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.
Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepianku teralihkan. Pergi pagi, pulang larut malam bahkan saat hari libur sekalipun. Di sisi lain, Mama tampaknya tak berputus asa untuk membuatku membawa kembali Ainun dan Farhan. Beliau terus menemui Ainun dan aku memilih untuk tak mempedulikan hal itu. Aku juga menulikan telingaku saat mendengar nasihat dari Papa. Aku menutup pintu hati dari berbagai penjuru dan tak mengizinkan siapapun mengetuknya.Tapi Mama tetap gigih. Tak jarang setelah pergi menemui Ainun, beliau mengirimkan foto Farhan padaku dengan harapan hatiku akan tersentuh. Dan kali ini, bukan hanya foto yang dikirimkan Mama ke gawaiku, tapi sebuah video. Aku baru menyadari Mama mengirimkan video itu ketika memeriksa gawaiku sambil merebahkan diri di tempat tidur, saat dini hari hampir menjelang.Dengan enggan aku memutar video yang dikirim oleh Mama meski tak terlalu penasaran."Cilukk ... Ba ...." Terdengar suara Mama dari dalam video. Tampaknya Mama merekam Farhan sembari mengajak bayi itu berceloteh."Farhan, lihat Oma," ujar Mama lagi.Farhan tertawa. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Ia juga mengeluarkan celotehan khas bayi yang terdengar sangat lucu. Bayi itu telah tumbuh lebih besar dari yang terakhir aku lihat. Tubuhnya montok dan pipinya tembam. Tampaknya Ainun telah merawat Farhan dengan baik meski tak berada di rumah ini lagi.Ada perasaan bergejolak saat aku melihat wajahnya. Rasanya seperti aku ingin memeluk bayi menggemaskan itu dan tak ingin melepasnya lagi.Farhan, benarkah jika kau memang darah dagingku? Jika iya, kenapa aku merasa begitu berat untuk mengakui mu? Benarkah apa yang dikatakan ibumu waktu itu, jika hatiku telah dipenuhi oleh kebencian dan prasangka, hingga tak bisa lagi melihat kebenaran yang ada?Aku menyingkirkan gawaiku dan berusaha memejamkan mata. Terlepas dari apa yang kurasakan, nyatanya egoku jauh lebih tinggi. Tetap tak ada niatan di hatiku untuk membawa kembali Farhan serta Ainun. Mereka sudah pergi dan tak ada hubungannya lagi denganku. Itulah yang selalu kukatakan pada diriku sendiri.Tok! Tok! Tok!"Pak Arkan." Samar terdengar suara Bik Minah memanggil."Pak. Apa Bapak belum bangun?" Suaranya semakin jelas terdengar.Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan sedikit terkejut saat menyadari hari sudah pagi. Tanpa sadar aku kembali tertidur di kamar Ainun seperti sebelum-sebelumnya. "Pak Arkan." Suara Bik Minah membuat kesadaranmu pulih sepenuhnya."Iya, Bik. Saya sudah bangun," jawabku dengan agak malas.Aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Saat keluar dari kamar Ainun, Bik Minah masih berdiri tak jauh dari pintu kamar."Maaf, saya lancang membangunkan Pak Arkan. Saya takut Bapak terlambat pergi ke kantor." Bik Minah terlihat tidak enak karena telah mengusik tidur singkatku."Tidak apa-apa. Saya memang akan terlambat jika sekarang tidak dibangunkan oleh Bik Minah," jawabku."Apa Pak Arkan pindah ke kamar ini? Haruskah saya memindahkan barang-barang keperluan Pak Arkan ke kamar ini juga?" tanya Bik Minah lagi."Tidak perlu. Semalam saya hanya ketiduran saat mencari sesuatu di sana." Aku buru-buru meninggalkan Bik Minah dan pergi ke kamarku yang berada di lantai atas. Malu rasanya jika sampai Bik Minah tahu aku sering tertidur di kamar Ainun belakangan ini.Tak lama kemudian, aku kembali turun dengan tubuh yang lebih segar dan berpenampilan rapi. Aku langsung menuju meja makan dan mengambil sepotong roti untuk mengganjal perut. Aku sudah meminta pada Bik Minah agar tak memasak untukku lagi. Setiap pagi aku cukup makan sepotong roti, sedangkan siang dan malam harinya aku akan makan di luar. Hal itu kulakukan agar aku tak terus-terusan menginginkan masakan yang selama ini kusantap, yang ternyata adalah masakan Ainun."Pak Arkan, maaf saya baru ingat sekarang. Sebenarnya Bu Ainun menitipkan sesuatu pada saya sehari sebelum pergi." Bik Minah kembali berujar sesaat setelah aku menyelesaikan sarapan kilatku."Menitipkan sesuatu?" tanyaku dengan dahi sedikit mengerut.Bik Minah mengangguk sembari merogoh saku bajunya."Bu Ainun meminta saya memberikan ini pada Pak Arkan untuk dikonsumsi setiap pagi. Saya ceroboh sampai lupa menyampaikannya pada Bapak," ujar Bi Minah sambil menyerahkan sesuatu padaku. Sebotol multivitamin yang biasa kuminum selama ini.Aku menerima multivitamin itu dengan sedikit aneh. Apa maksud Ainun menitipkan itu pada Bik Minah sebelum dia pergi? Toh, selama ini juga dia tidak mengurusi keperluanku."Untuk Bik Minah saja. Saya biasanya juga mendapatkan itu dari Mama," ujarku kemudian sambil mengembalikan botol multivitamin itu pada Bik Minah."Tapi, Pak, sebenarnya vitamin yang selama ini biasa Pak Arkan minum juga dari Bu Ainun, bukan dari Bu Indri." "Apa?" Aku agak terkejut mendengar penuturan Bik Minah barusan."Vitamin yang biasa saya siapkan setiap pagi untuk Bapak minum, Bu Ainun yang memberikannya pada saya. Katanya supaya kesehatan Bapak selalu terjaga biarpun sering kerja sampai malam.""Tapi bukannya waktu itu Bik Minah bilang Mama yang memberikannya untuk saya?""Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membohongi Bapak, tapi Bu Ainun yang minta saya supaya bilang begitu sama Bapak. Katanya, nanti Bapak menolak kalau tahu itu dari Bu Ainun, makanya saya bilang saja kalau itu dari Bu Indri."Aku membeku, tak tahu harus merespon seperti apa. Entah nanti fakta apalagi yang akan aku dengar tentang Ainun. Setelah perlakuanku yang tak bersahabat padanya selama dia berada di rumah ini, kenapa dia justru mempedulikanku? Harusnya dia juga ikut membenci dan mengacuhkanku, kan? Bukannya mengurusku secara diam-diam seperti ini.Belum sempat aku berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara bel dari pintu depan. Entah siapa yang bertamu pagi-pagi begini.Bik Minah segera membukakan pintu. Ternyata Mama yang datang. Beliau masuk ke dalam rumah dengan wajah cemas luar biasa."Arkan, Ainun tidak ada, Ainun tidak tinggal di kontrakannya lagi," ujar Mama dengan cemas.Aku agak bingung dibuatnya."Jangan diam saja, Arkan. Cari Ainun sekarang juga. Mama bisa mati kalau tidak bisa bertemu lagi dengan Farhan." Mama menarik kerah bajuku dengan kedua tangannya dengan agak emosional. "Apa maksud Mama?" tanyaku tak mengerti."Ainun pergi, Arkan. Waktu tadi Mama datang ke kontrakannya, tempat itu sudah di tempati orang lain. Pemiliknya bilang Ainun sudah pindah ke luar kota dua hari yang lalu. Tidak ada yang tahu dia pergi kemana. Orang tuanya sendiri juga tidak tahu kemana dia membawa Farhan. Nomor kontaknya juga sudah tidak bisa dihubungi ...." Mama akhirnya tergugu sambil melepaskan cengkraman tangannya."Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Dia pergi ...." Tubuh Mama luruh ke lantai dengan tangis yang semakin menjadi.Aku membeku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Entah gejolak apa yang saat ini tiba-tiba memenuhi dadaku. Bukankah jika Ainun menghilang, keinginan tak terucapku selama ini terkabulkan? Tapi kenapa saat mendengarnya, perasaanku justru bertambah buruk?"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka
Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk.Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut.Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut."Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut.Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan."Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan."Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk menger
Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru.Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun."Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku."Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir."Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu.Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-kata
Aku terdiam mendengar kata-kata Papa. Meski ingin kembali ingin menyangkal, tapi jauh di dasar hatiku, aku membenarkan semua itu. Aku curiga jika Farhan bukan anakku, tapi tak melakukan apapun untuk mencari kebenarannya. Yang kulakukan hanyalah terus bersikap buruk pada Ainun untuk membuat perempuan itu ikut merasakan penderitaan yang aku rasakan. Bagaimana pun, dialah yang telah membuatku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai. Itulah yang ada dalam benakku selama ini.Benar kata Papa, aku benar-benar pengecut. Aku takut jika sebenarnya Ainun tak pernah menipuku dan aku menjadi satu-satunya orang jahat di sini. Aku takut mendapati kenyataan jika aku sungguh telah mengkhianati Reina dengan menghamili Ainun."Sudahlah, Pa." Terdengar Mama kembali menenangkan Papa. Terlihat Papa menghela nafas panjang, berusaha meredam amarahnya. Wajah Papa masih terlihat mengeras, tapi tak semurka sebelumnya."Apa menurutmu cuma kamu saja yang rugi saat menikahi Ainun, Arkan? Kamu tidak berpikir ji
POV AINUNSetiap pagi, inilah rutinitas yang selalu aku lakukan. Bangun subuh, kemudian langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang akan disantap seluruh penghuni rumah, tentunya setelah aku menunaikan sholat subuh.Kuletakkan sebakul penuh nasi goreng yang kumasak barusan ke atas meja makan, lalu membungkus jatahku dengan menggunakan koran bekas yang dialasi dengan daun pisang. Kumasukkan nasi goreng yang menjadi bekalku hari ini ke dalam tas kerja. Kemudian bergegas aku mandi sebelum kedua adikku mendahului. Sudah menjadi kebiasaanku merangkap sarapan pagi dan makan siang menjadi sekali makan. Bukan tanpa alasan, itu semua agar aku bisa menghemat pengeluaran.Ayahku hanyalah pekerja serabutan, dan ibu membantu dengan menjadi buruh cuci untuk beberapa tetangga yang ekonominya jauh lebih baik. Penghasilan orang tuaku itu kadang hanya cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku, hingga untuk makan sehari-hari lebih sering aku yang menanggungnya dari gajiku sebagai petugas kebe
POV AINUN"Lagi makan siang, ya?" tanya Pak Arkan saat kami-para petugas kebersihan-sedang makan siang di pantry kantor."Iya, Pak. Bapak perlu sesuatu?" Nafis balik bertanya."Tidak, kok. Tadi waktu pulang meeting dengan klien, kebetulan beli ini. Dimakan sama-sama, ya. Jangan lupa kasih security di depan juga." Pak Arkan meletakkan dua kotak makanan berukuran besar di meja pantry, kemudian berlalu begitu saja."Terima kasih, Pak." Nafis masih sempat mengucapkan terimakasih, diikuti oleh rekan kerjaku yang lain. Pak Arkan hanya menanggapi dengan sedikit melambaikan tangannya sambil terus melangkah meninggalkan pantry. Saat Pak Arkan benar-benar sudah tak terlihat, rekan-rekan kerjaku berhamburan mengerubuti kotak makanan pemberian Pak Arkan tadi."Widih ... ayam goreng krispi, masih hangat lagi," ujar Nafis dengan bersemangat."Tahu banget Pak Arkan kalau aku makan siang cuma sama sambal tempe doang." Bang Ramli terkekeh sambil mencomot sepotong ayam goreng krispi pemberian Pak Arka
POV AINUNSetelah hari di mana aku secara tak sengaja membantu ibunya Pak Arkan, tanpa sadar aku menjadi sering memperhatikan Pak Arkan di kantor. Setiap hal baik yang beliau lakukan membuatku merasa miris. Jika memang tunangan Pak Arkan seperti yang ibunya katakan tempo hari, alangkah tak adilnya hidup ini untuk Pak Arkan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik beliau mendapatkan perempuan yang tak setia dan tak menghormati orang tuanya.Bukankah katanya lelaki yang baik diperuntukkan bagi perempuan yang baik pula? Ah, beberapa kali kugelengkan kepalaku dan berusaha membuang pikiran tentang Pak Arkan. Kenapa juga aku harus mengurusi kehidupan orang lain. Pak Arkan mau menikah dengan perempuan seperti apa, itu bukan urusanku. Toh, kami juga tidak terlalu mengenal satu sama lain, bukan teman atau pun saudara. Hanya kebetulan aku mengaguminya karena kepribadiannya yang menurutku begitu mengagumkan.Aku berusaha untuk tak peduli dan menjauhkan pikiranku dari hal-hal yang tak seharusnya aku pik
POV AINUNAku mematung dengan nafas yang nyaris terhenti. Kepalaku semakin berdenyut dan kesadaranku juga semakin menipis. Di sisi lain, keadaan Pak Arkan juga terlihat tak jauh berbeda, malah lebih parah. Buktinya barusan dia memanggilku Reina, yang artinya dia salah mengenali orang."Reina ...," gumam Pak Arkan lagi. Kali ini lelaki itu memanggil nama tunangannya saat berada tepat di hadapanku. Tangannya terulur membelai salah satu pipiku hingga kurasakan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhku."Saya Ainun, Pak, bukan Reina ...." Dengan sedikit kewarasan yang masih tersisa, aku berusaha mengingatkan Pak Arkan jika aku bukan tunangannya.Pak Arkan tersenyum dengan mata sayu yang hampir terpejam. Sudah bisa dipastikan jika dia tidak dalam keadaan sadar. Aku harus mencari cara agar bisa keluar dari kamar ini. Jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.Tapi belum sempat otakku berpikir, Pak Arkan tiba-tiba saja memelukku dengan sangat erat."Jangan pergi kemana pun, Reina.
Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen
Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b
"Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes
"Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b
Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan
Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan
Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik
Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn
"Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku