Share

Kosong

Author: Tiwie Sizo
last update Last Updated: 2023-10-31 07:46:25

Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang  aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.

Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.

Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu atap dan berbagi udara dengan sosok yang telah menjungkir-balikkan hidupku. Setiap kali aku memandang Ainun, hanya ada rasa sakit dan kebencian di hatiku untuknya. Aku bahkan harus menahan diri sekuat tenaga agar tak mengucapkan kata-kata makian pada perempuan itu. Mengabaikannya adalah caraku agar tidak berkata buruk padanya, meski aku tahu itu juga termasuk dalam perlakuan buruk.

"Sarapannya sudah siap, Pak." Bik Minah memberitahu sesaat setelah aku turun lantai atas tempat kamarku berada. Seperti biasa, pagi ini aku telah berpenampilan rapi, siap untuk pergi bekerja.

Sebenarnya aku malas sarapan di rumah. Entah kenapa, menu sarapan tiga hari ini tidak sesuai dengan lidahku. Tapi pekerjaan Bik Minah menyiapkan sarapan pagi ini akan sia-sia jika aku tak menyantapnya.

Dengan langkah enggan, akhirnya aku berjalan menuju ruang makan yang terhubung dengan ruang keluarga. Tanpa bisa kucegah, kepalaku menoleh pada pintu kamar yang terletak di dekat ruang keluarga. Kamar yang ditempati oleh Ainun selama dia tinggal di rumah ini.

Perempuan itu memang tak pernah makan satu meja denganku, entah itu saat sarapan, makan siang ataupun makan malam. Tapi biasanya kami akan berpapasan saat dia berjalan dari arah dapur menuju ke kamarnya, meski seringkali aku akan memandang kearah lain dan mengabaikannya.

"Silakan, Pak." Suara Bik Minah membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk dan segera mendekati meja makan. Di sana sudah terhidang sepiring nasi goreng lengkap dengan acar, telur mata sapi dan lalapan, tak lupa segelas teh hangat sebagai minuman pendamping. 

Aku duduk dan menikmati menu sarapanku dalam diam. Dahiku sedikit mengerut saat satu suapan nasi goreng masuk ke dalam mulut. Seperti hari-hari sebelumnya, hari inipun terasa ada yang aneh dengan masakan Bik Minah.

"Bik Minah sehat?" tanyaku pada Bik Minah yang sedang mencuci peralatan dapur bekas dia memasak tadi.

"Ya, Pak?" Bik Minah menoleh dengan sedikit bingung. 

"Kalau Bik Minah sedang tidak enak badan, istirahat saja dulu sampai benar-benar sehat. Jangan dipaksakan bekerja," ujarku lagi.

"Saya sehat, Pak," jawab Bik Minah masih dengan raut bingung.

"Beberapa hari ini masakan Bik Minah rasanya berbeda dari yang biasanya. Saya kira Bik Minah sedang kurang enak badan, jadi tidak konsen saat memasak."

Bik Minah mematikan kran air, lalu berbalik sepenuhnya menghadap ke arahku sembari sedikit menunduk.

"Maaf kalo masakan saya tidak sesuai dengan selera Bapak," ujarnya dengan nada menyesal.

"Bukan begitu. Selama ini saya tidak merasa bermasalah dengan masakan Bik Minah. Hanya saja, beberapa hari terakhir rasanya jadi berbeda. Mungkin Bik Minah butuh beristirahat selama beberapa hari."

Bik Minah tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi terlihat ragu dan sedikit takut.

"Maaf, Pak. Sebenarnya yang memasak untuk Bapak selama ini bukan saya, tapi Bu Ainun. Bu Ainun minta sama saya supaya jangan bilang ke Bapak kalau Ibu yang masak," ujar Bik Minah kemudian dengan hati-hati.

Seketika aku berhenti mengunyah dan mengangkat wajahku. Kulihat Bik Minah yang masih memasang ekspresi takut.

"Saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa memasak seperti masakan Bu Ainun. Tolong jangan pecat saya, Pak," pinta Bik Minah dengan nada memelas.

Aku menghela nafas panjang, lalu berusaha menelan nasi yang ada dalam mulutku dengan sedikit kesusahan. Nasi itu terasa seperti kerikil hingga membuat tenggorokanku terasa sangat sakit. Kuraih cangkir teh dan meneguk habis isinya. Kusudahi menyantap sarapan yang baru tiga suap masuk ke dalam mulutku.

"Saya sudah selesai. Tidak usah khawatir, saya tidak akan memecat Bik Minah. Silakan dibereskan meja makannya," ujarku sembari bangkit.

"Baik, Pak." Bik Minah bergegas melakukan apa yang kupinta tadi. Sedangkan aku berlalu dari meja makan untuk segera berangkat ke tempat kerja.

Langkahku terhenti dengan sendirinya saat hendak melewati pintu kamar Ainun. Kupandangi pintu kamar itu selama beberapa saat. Aku pikir aku akan merasa senang saat dia sudah tak ada di rumah ini. Tapi sekarang apa yang kurasakan? Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Hatiku tiba-tiba terasa kosong dan hampa. Jauh lebih buruk daripada saat aku merasakan marah dan benci saat melihatnya.

Kupikir jiwaku akan merasa bebas saat Ainun pergi dari kehidupanku. Tapi yang kurasakan justru perasaan rumit yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Dan perasaan itu jauh lebih menyiksaku. 

Tanpa aku sadari, aku melangkah mendekati pintu kamar Ainun dan membukanya perlahan. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat kuhirup aroma khas bayi dari dalam sana. Aku masuk dan perlahan duduk di pinggiran tempat tidur Ainun sembari mengamati sekeliling kamar. Netraku tertuju pada sepasang kaos kaki bayi yang tergeletak di ujung tempat tidur.

Aku bangkit dan mengambil benda itu. 

"Farhan ...." Untuk pertama kalinya aku menyebut nama bayi yang dilahirkan Ainun. Nama yang diberikan Mama dan Papa untuk bayi yang mereka yakini sebagai cucu.

Seperti ada yang meremas hatiku saat aku menyebutkan nama bayi itu. Bayi yang katanya sangat mirip denganku tapi tetap ku sangkal jika dia anakku. Mataku terasa panas dan seketika menumpahkan lelehan cairan hangat. 

Segera kuseka airmata yang tiba-tiba saja jatuh tak tertahankan. Kenapa aku menangis? Memangnya apa yang begitu membuatku bersedih hingga seorang lelaki seperti ku harus menangis? Tidak, semenjak menjadi seorang lelaki dewasa, aku tidak pernah sedikitpun menitikkan airmata, meski berada dalam keadaan paling menyedihkan sekalipun. Lalu kenapa sekarang aku begitu cengeng?

Ainun, sebenarnya apa yang sudah kau lakukan padaku?

Related chapters

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Tanpa Ainun

    Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepi

    Last Updated : 2023-10-31
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Ancaman Mama

    "Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka

    Last Updated : 2024-01-17
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Cerita Tentang Ainun

    Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk.Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut.Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut."Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut.Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan."Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan."Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk menger

    Last Updated : 2024-01-18
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Pukulan dari Papa

    Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru.Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun."Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku."Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir."Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu.Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-kata

    Last Updated : 2024-01-19
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Kenyataan yang Kuabaikan

    Aku terdiam mendengar kata-kata Papa. Meski ingin kembali ingin menyangkal, tapi jauh di dasar hatiku, aku membenarkan semua itu. Aku curiga jika Farhan bukan anakku, tapi tak melakukan apapun untuk mencari kebenarannya. Yang kulakukan hanyalah terus bersikap buruk pada Ainun untuk membuat perempuan itu ikut merasakan penderitaan yang aku rasakan. Bagaimana pun, dialah yang telah membuatku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai. Itulah yang ada dalam benakku selama ini.Benar kata Papa, aku benar-benar pengecut. Aku takut jika sebenarnya Ainun tak pernah menipuku dan aku menjadi satu-satunya orang jahat di sini. Aku takut mendapati kenyataan jika aku sungguh telah mengkhianati Reina dengan menghamili Ainun."Sudahlah, Pa." Terdengar Mama kembali menenangkan Papa. Terlihat Papa menghela nafas panjang, berusaha meredam amarahnya. Wajah Papa masih terlihat mengeras, tapi tak semurka sebelumnya."Apa menurutmu cuma kamu saja yang rugi saat menikahi Ainun, Arkan? Kamu tidak berpikir ji

    Last Updated : 2024-01-20
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Lelaki Sempurna

    POV AINUNSetiap pagi, inilah rutinitas yang selalu aku lakukan. Bangun subuh, kemudian langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang akan disantap seluruh penghuni rumah, tentunya setelah aku menunaikan sholat subuh.Kuletakkan sebakul penuh nasi goreng yang kumasak barusan ke atas meja makan, lalu membungkus jatahku dengan menggunakan koran bekas yang dialasi dengan daun pisang. Kumasukkan nasi goreng yang menjadi bekalku hari ini ke dalam tas kerja. Kemudian bergegas aku mandi sebelum kedua adikku mendahului. Sudah menjadi kebiasaanku merangkap sarapan pagi dan makan siang menjadi sekali makan. Bukan tanpa alasan, itu semua agar aku bisa menghemat pengeluaran.Ayahku hanyalah pekerja serabutan, dan ibu membantu dengan menjadi buruh cuci untuk beberapa tetangga yang ekonominya jauh lebih baik. Penghasilan orang tuaku itu kadang hanya cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku, hingga untuk makan sehari-hari lebih sering aku yang menanggungnya dari gajiku sebagai petugas kebe

    Last Updated : 2024-01-21
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Yang Cantik Belum Tentu Baik

    POV AINUN"Lagi makan siang, ya?" tanya Pak Arkan saat kami-para petugas kebersihan-sedang makan siang di pantry kantor."Iya, Pak. Bapak perlu sesuatu?" Nafis balik bertanya."Tidak, kok. Tadi waktu pulang meeting dengan klien, kebetulan beli ini. Dimakan sama-sama, ya. Jangan lupa kasih security di depan juga." Pak Arkan meletakkan dua kotak makanan berukuran besar di meja pantry, kemudian berlalu begitu saja."Terima kasih, Pak." Nafis masih sempat mengucapkan terimakasih, diikuti oleh rekan kerjaku yang lain. Pak Arkan hanya menanggapi dengan sedikit melambaikan tangannya sambil terus melangkah meninggalkan pantry. Saat Pak Arkan benar-benar sudah tak terlihat, rekan-rekan kerjaku berhamburan mengerubuti kotak makanan pemberian Pak Arkan tadi."Widih ... ayam goreng krispi, masih hangat lagi," ujar Nafis dengan bersemangat."Tahu banget Pak Arkan kalau aku makan siang cuma sama sambal tempe doang." Bang Ramli terkekeh sambil mencomot sepotong ayam goreng krispi pemberian Pak Arka

    Last Updated : 2024-01-22
  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Takdir yang Berbelok

    POV AINUNSetelah hari di mana aku secara tak sengaja membantu ibunya Pak Arkan, tanpa sadar aku menjadi sering memperhatikan Pak Arkan di kantor. Setiap hal baik yang beliau lakukan membuatku merasa miris. Jika memang tunangan Pak Arkan seperti yang ibunya katakan tempo hari, alangkah tak adilnya hidup ini untuk Pak Arkan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik beliau mendapatkan perempuan yang tak setia dan tak menghormati orang tuanya.Bukankah katanya lelaki yang baik diperuntukkan bagi perempuan yang baik pula? Ah, beberapa kali kugelengkan kepalaku dan berusaha membuang pikiran tentang Pak Arkan. Kenapa juga aku harus mengurusi kehidupan orang lain. Pak Arkan mau menikah dengan perempuan seperti apa, itu bukan urusanku. Toh, kami juga tidak terlalu mengenal satu sama lain, bukan teman atau pun saudara. Hanya kebetulan aku mengaguminya karena kepribadiannya yang menurutku begitu mengagumkan.Aku berusaha untuk tak peduli dan menjauhkan pikiranku dari hal-hal yang tak seharusnya aku pik

    Last Updated : 2024-01-23

Latest chapter

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Ingin Mas Kawin Apa?

    Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Kejutan untuk Mama dan Papa

    Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Meyakinkan Ainun

    "Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Menikah Kembali?

    "Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Pulang

    Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Teman Berbagi

    Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Alasan Ainun Kembali

    Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Sesuatu yang Janggal

    Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Berusaha

    "Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku

DMCA.com Protection Status