POV AINUN"Lagi makan siang, ya?" tanya Pak Arkan saat kami-para petugas kebersihan-sedang makan siang di pantry kantor."Iya, Pak. Bapak perlu sesuatu?" Nafis balik bertanya."Tidak, kok. Tadi waktu pulang meeting dengan klien, kebetulan beli ini. Dimakan sama-sama, ya. Jangan lupa kasih security di depan juga." Pak Arkan meletakkan dua kotak makanan berukuran besar di meja pantry, kemudian berlalu begitu saja."Terima kasih, Pak." Nafis masih sempat mengucapkan terimakasih, diikuti oleh rekan kerjaku yang lain. Pak Arkan hanya menanggapi dengan sedikit melambaikan tangannya sambil terus melangkah meninggalkan pantry. Saat Pak Arkan benar-benar sudah tak terlihat, rekan-rekan kerjaku berhamburan mengerubuti kotak makanan pemberian Pak Arkan tadi."Widih ... ayam goreng krispi, masih hangat lagi," ujar Nafis dengan bersemangat."Tahu banget Pak Arkan kalau aku makan siang cuma sama sambal tempe doang." Bang Ramli terkekeh sambil mencomot sepotong ayam goreng krispi pemberian Pak Arka
POV AINUNSetelah hari di mana aku secara tak sengaja membantu ibunya Pak Arkan, tanpa sadar aku menjadi sering memperhatikan Pak Arkan di kantor. Setiap hal baik yang beliau lakukan membuatku merasa miris. Jika memang tunangan Pak Arkan seperti yang ibunya katakan tempo hari, alangkah tak adilnya hidup ini untuk Pak Arkan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik beliau mendapatkan perempuan yang tak setia dan tak menghormati orang tuanya.Bukankah katanya lelaki yang baik diperuntukkan bagi perempuan yang baik pula? Ah, beberapa kali kugelengkan kepalaku dan berusaha membuang pikiran tentang Pak Arkan. Kenapa juga aku harus mengurusi kehidupan orang lain. Pak Arkan mau menikah dengan perempuan seperti apa, itu bukan urusanku. Toh, kami juga tidak terlalu mengenal satu sama lain, bukan teman atau pun saudara. Hanya kebetulan aku mengaguminya karena kepribadiannya yang menurutku begitu mengagumkan.Aku berusaha untuk tak peduli dan menjauhkan pikiranku dari hal-hal yang tak seharusnya aku pik
POV AINUNAku mematung dengan nafas yang nyaris terhenti. Kepalaku semakin berdenyut dan kesadaranku juga semakin menipis. Di sisi lain, keadaan Pak Arkan juga terlihat tak jauh berbeda, malah lebih parah. Buktinya barusan dia memanggilku Reina, yang artinya dia salah mengenali orang."Reina ...," gumam Pak Arkan lagi. Kali ini lelaki itu memanggil nama tunangannya saat berada tepat di hadapanku. Tangannya terulur membelai salah satu pipiku hingga kurasakan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhku."Saya Ainun, Pak, bukan Reina ...." Dengan sedikit kewarasan yang masih tersisa, aku berusaha mengingatkan Pak Arkan jika aku bukan tunangannya.Pak Arkan tersenyum dengan mata sayu yang hampir terpejam. Sudah bisa dipastikan jika dia tidak dalam keadaan sadar. Aku harus mencari cara agar bisa keluar dari kamar ini. Jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.Tapi belum sempat otakku berpikir, Pak Arkan tiba-tiba saja memelukku dengan sangat erat."Jangan pergi kemana pun, Reina.
POV AINUN Hidupku sejak kecil memang sudah malang. Bukan hanya tak sempat mendapatkan kasih sayang dari ibu yang melahirkan ku, tapi juga tak begitu dianggap oleh sosok yang kupanggil ayah. Kehadiranku bagaikan tak diharapkan sama sekali. Aku juga tak tahu bagaimana aku bisa terlahir di dunia ini, padahal kelihatannya tak ada yang menginginkan ku.Dan kini, kemalangan itu harus bertambah. Setelah tak ada yang percaya jika aku dijebak masuk ke kamar Pak Arkan, kenyataan tak kalah pahit datang lagi padaku. Aku hamil, yang kulakukan bersama Pak Arkan di malam terkutuk itu menghasilkan benih kehidupan di rahimku. Seakan tak cukup penderitaan yang selama ini aku rasakan, sekarang aku juga harus menanggung sebuah aib yang begitu memalukan, hamil di luar ikatan pernikahan.Aku hanya bisa menangis tersedu meratapi nasibku yang begitu menyedihkan. Tak kuhiraukan tubuhku yang kesakitan karena pukulan yang diberikan ibu padaku. Saat kehamilanku diketahui oleh ayah dan ibu, keadaan menjadi semak
POV AINUN Aku mematung di halaman sebuah rumah yang cukup megah. Setelah mencari tahu kesana-kemari, akhirnya aku mengetahui di mana alamat kediaman Pak Arkan bersama kedua orang tuanya. Sudah tiga kali aku datang kemari. Sebelumnya aku hanya berani melihat dari luar pagar, lalu pergi lagi. Dan Kali ini aku memberanikan diri masuk ke pekarangan rumah tersebut setelah lebih dulu meminta izin pada petugas keamanan yang sedang berjaga di pos keamanan dekat gerbang rumah.Tapi kemudian, aku menghentikan langkahku karena kulihat saat ini di dalam rumah mewah tersebut sedang diadakan sebuah acara, pasalnya ada beberapa kendaraan yang terparkir dan terlihat cukup banyak orang yang berlalu lalang. Mereka keluar masuk dari rumah tersebut dengan mengenakan pakaian semi formal. Mungkin saja petugas keamanan tadi mengizinkan aku masuk karena menganggap aku adalah salah satu undangan yang datang untuk menghadiri acara.Aku merasa ragu dan kembali ingin membatalkan niatku datang kemari. Tadinya ak
POV AINUNSejak remaja aku tak pernah berpacaran. Aku tak punya waktu dan juga tak punya keberanian untuk melakukan hal-hal seperti itu. Meski tak kupungkiri, beberapa kali aku mengagumi sosok lelaki yang menurutku punya kepribadian yang baik, salah satunya adalah Pak Arkan.Benar, aku menyukai beliau. Bukan karena wajahnya yang rupawan atau postur tubuhnya yang benar-benar ideal, apalagi karena beliau lelaki mapan, tapi kebaikan hatinya lah yang telah mencuri hatiku. Pak Arkan sosok yang santun dan tidak pernah membeda-bedakan orang dalam bergaul. Dia berteman dengan siapa saja, dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang sama. Dia peduli dengan orang-orang di sekitarnya dan tak segan memberikan bantuan pada yang orang sedang kesusahan. Dia selalu sopan berbicara pada lawan bicaranya, meski orang tersebut berasal dari kelas rendahan, seperti aku contohnya, gadis miskin yang bekerja sebagai petugas kebersihan di kantornya. Ya, sebelum terjadi insiden yang membuatnya salah paham pa
POV AINUN"Biar saya yang masak, Bik," pintaku pada Bik Minah yang sedang sibuk menyiapkan bahan makanan untuk dijadikan menu sarapan.Selepas sholat subuh, aku langsung pergi ke dapur. Pak Arkan sudah memenuhi tugasnya sebagai seorang suami dengan memberikan nafkah padaku, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku juga akan berusaha memenuhi tugasku sebagai seorang istri dengan memberikannya sebuah pelayanan meski tidak sepenuhnya dan tentu tanpa dia sadari."Tidak usah, Bu, biar saya saja yang memasak. Ini sudah jadi tugas saya, lagipula ...." Bik Minah menggantung ucapannya, tak berani melanjutkan. "Saya tahu. Bik Minah pasti berpikir kalau Pak Arkan tidak akan mau memakan masakan yang saya buat." Aku berujar sembari tersenyum tipis.Sejak awal kedatangan kami ke rumah ini, Bik Minah sudah tahu bagaimana hubungan pernikahan kami, jadi aku tak terlalu sungkan mengatakan yang sebenarnya."Bukan begitu, Bu." Bik Minah terlihat tak enak hati."Tidak perlu canggung begitu, Bik. Kenyata
Farhan Pramudya. Itulah nama yang diberikan Mama dan Papa pada bayiku. Katanya nama itu memiliki arti kegembiraan, yang berarti kelahiran Farhan adalah sebuah kegembiraan bagi mereka, dan mereka pun berharap hidup Farhan kelak juga dipenuhi dengan kegembiraan.Aku mengamini dalam hati. Aku sungguh berharap kehidupan putraku tak seperti hidupku. Semoga saja dia memang akan selalu gembira tanpa harus merasakan banyak penderitaan seperti ibunya.Tapi semua itu rasanya mustahil jika aku tetap bertahan bersama Pak Arkan. Melihat Pak Arkan yang tetap tak mau mengakui Farhan sebagai darah dagingnya, akupun memantapkan hati untuk mengakhiri pernikahan tanpa masa depan ini. Sudah sedih rasanya melihat Papa yang mengadzani Farhan saat dia lahir, bukan Pak Arkan selaku ayahnya. Kini lukaku bertambah saat Pak Arkan datang dengan mengatakan jika Farhan bukan anaknya di hadapan Mama dan Papa.Kedua orang tuanya marah, tentu saja. Tapi mereka tak bisa melampiaskan kemarahan itu karena tak mau membu
Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen
Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b
"Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes
"Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b
Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan
Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan
Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik
Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn
"Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku