Farhan Pramudya. Itulah nama yang diberikan Mama dan Papa pada bayiku. Katanya nama itu memiliki arti kegembiraan, yang berarti kelahiran Farhan adalah sebuah kegembiraan bagi mereka, dan mereka pun berharap hidup Farhan kelak juga dipenuhi dengan kegembiraan.Aku mengamini dalam hati. Aku sungguh berharap kehidupan putraku tak seperti hidupku. Semoga saja dia memang akan selalu gembira tanpa harus merasakan banyak penderitaan seperti ibunya.Tapi semua itu rasanya mustahil jika aku tetap bertahan bersama Pak Arkan. Melihat Pak Arkan yang tetap tak mau mengakui Farhan sebagai darah dagingnya, akupun memantapkan hati untuk mengakhiri pernikahan tanpa masa depan ini. Sudah sedih rasanya melihat Papa yang mengadzani Farhan saat dia lahir, bukan Pak Arkan selaku ayahnya. Kini lukaku bertambah saat Pak Arkan datang dengan mengatakan jika Farhan bukan anaknya di hadapan Mama dan Papa.Kedua orang tuanya marah, tentu saja. Tapi mereka tak bisa melampiaskan kemarahan itu karena tak mau membu
Kembali ke POV Arkan***Lelah sudah aku mencari Ainun. Beberapa orang telah aku sewa untuk menelusuri keberadaannya, tapi tak membuahkan hasil sedikitpun. Aku juga sudah melaporkan perginya Ainun ke pihak yang berwajib sebagai orang hilang serta menyebar selebaran fotonya, berharap ada orang yang melihatnya dan segera menghubungiku. Tapi semuanya sia-sia saja. Ainun menghilang bak ditelan bumi. Tampaknya dia sengaja untuk tak ditemukan lagi olehku. Sejak membaca hasil tes DNA Farhan yang identik dengan DNA milikku, rasa bersalah mulai muncul memenuhi hatiku. Satu persatu kilasan perlakuan burukku terhadap Ainun beberapa bulan belakang mulai berdatangan memenuhi otakku, seperti film yang diputar kembali. Setiap kata-kata buruk yang kuucapkan dengan ketus dan dingin padanya, kini seakan terngiang di telingaku sendiri. Seberapa jahat perlakuanku pada Ainun selama ini, perlahan aku mulai menyadarinya.Mama dan Papa jelas kecewa. Mereka bersikap dingin padaku. Menemukan Ainun adalah harg
Setelah pertemuanku dengan Vina dan pengakuannya yang mengejutkan, aku nyaris tak bisa menguasai emosiku. Ingin rasanya aku melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku pada Vina saat itu juga, tapi sebisa mungkin kutahan karena tak ada gunanya aku melakukan itu. Meski begitu, aku benar-benar geram dibuatnya. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu yang menghancurkan kehidupan orang lain dan hanya diam saja melihat kekacauan yang diakibatkan oleh perbuatannya.Sungguh permohonan maafnya saat ini sudah sangat tak berarti lagi. Kehidupanku dan Ainun sudah terlanjur berantakan. Sudah terlanjut banyak luka dan penderitaan yang harus kami rasakan. Jika saja Vina mengungkapkan kebenaran ini lebih cepat, mungkin tidak akan jadi seperti ini. Aku pasti takkan terus-menerus menyalahpahami Ainun, dan Ainun juga tak harus mengalami penderitaan berkepanjangan karena sikap burukku. Kenapa baru sekarang, di saat semuanya telah hancur? Ainun menghilang dengan sejuta luka yang membersamainya, dan aku belum berh
Aku keluar dari kantor pengadilan bersama rekan-rekan pengacaraku yang lain. Saat ini kami semua tergabung sebagai tim kuasa hukum yang menangani sebuah kasus perdata yang cukup menyita perhatian publik. Seorang janda satu anak yang menggugat istri siri mendiang suaminya karena telah membuat sertifikat kepemilikan tanah palsu dan menggadaikannya pada bank. Dan parahnya, tanah tersebut merupakan warisan peninggalan orang tua janda tersebut, bukan peninggalan mendiang suaminya.Saat datang untuk meminta bantuan hukum satu bulan yang lalu, aku langsung terenyuh mendengar kronologi yang diceritakan perempuan tersebut. Suaminya menikah siri secara terang-terangan, lalu tinggal dengan istri sirinya dan tak menafkahinya lagi. Tapi tak berselang lama, suaminya itu meninggal mendadak karena sebuah kecelakaan. Semua harta peninggalan sang suami harus dilelang karena ternyata lelaki itu mati dengan meninggalkan banyak hutang. Lalu sekarang, tanah warisan orang tuanya pun tahu-tahu sudah mau disi
Aku menghenyakkan bobot tubuhku pada kursi yang terdapat di teras rumah ibu kost. Cerita tadi tentang Ainun tadi membuat tubuhku seketika menjadi lemas. Tak terbayangkan seberapa besar kesulitan yang Ainun alami karena diriku. Bodohnya aku yang mengira jika kepergiannya malam itu adalah untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Selama ini, aku terlalu tak peduli pada hidup Ainun hingga tak tahu jika di keluarganya sendiri pun dia diperlakukan dengan buruk. Dan egoisnya lagi, aku tak segera menjemputnya meskipun kemudian tahu dia seorang diri di kontrakan Bu Ratna. Sungguh kejam perlakuanku selama ini padanya. Untuk pertama kalinya aku bersyukur Mama dan Papa begitu menyayangi Ainun selama ini. Entah bagaimana jadinya jika keluargaku juga menolak dan menghujatnya. Mungkin dia akan mengutuk dirinya sendiri karena telah terlahir sebagai sosok yang sulit untuk dicintai.Ainun, sudah berapa banyak luka yang kau rasakan selama ini? Dari sekian banyak orang yang telah menyakitimu, apakah a
"Nak Arkan, Ibu tidak tahu ada kesalahpahaman apa antara kamu dan Ainun hingga rumah tangga kalian menjadi kacau seperti ini. Tapi yang Ibu lihat, kalian sama-sama orang baik. Ibu berdoa semoga kalian segera dipertemukan dan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada." Itulah doa tulus yang diucapkan oleh Bu Ratna saat melihatku tergugu di hadapannya.Aku tak bisa lagi membendung tangis begitu mulai menyantap menu makan siang yang katanya biasa dimakan oleh Ainun. Rasa sesal itu semakin membuncah tak terkendali hingga aku kesulitan mengontrol emosi. Aku menangis tersedu seperti seorang anak kecil yang takut dihukum setelah melakukan Kesalahan. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan. Tak sanggup rasanya jika Ainun dan Farhan benar-benar pergi selamanya dari hidupku, padahal sebelumnya mati-matian aku menolak mereka.Sanubari itu layaknya lautan misteri, sesuatu yang tak bisa dimengerti, pun oleh sang pemilik hati itu sendiri. Begitulah aku yang kini tak mengerti dengan apa ya
Pagi ini, aku datang ke kantor dengan agak tak bersemangat. Semalam mataku nyaris tak bisa terpejam setelah kedatangan Mama dan Papa ke rumah. Kepalaku juga terus dipenuhi oleh permintaan mereka yang ingin aku melepaskan Ainun, lalu menikah lagi. Aku tahu Mama dan Papa hanya menginginkan kebahagiaanku. Lima tahun terakhir, bisa dikatakan hidupku sangat tak manusiawi. Seluruh waktuku hanya dihabiskan untuk bekerja dan mencari keberadaan Ainun. Tak ada waktu untuk diriku sendiri, bahkan sekedar untuk bersantai melepaskan penat sekalipun. Aku hanya makan dan tidur sekedar untuk memenuhi kebutuhan tubuh, tanpa menikmatinya sama sekali. Hidupku tenggelam dalam kehampaan. Kujalani semua rutinitasku tanpa menikmatinya layaknya sebuah robot yang mengerjakan tugasnya. Memperihatinkan memang, pantas saja jika Mama dan Papa sampai menyarankan ku untuk menikah lagi.Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Selama mencari keberadaan Ainun, tak pernah sedikit pun aku berniat untuk menyerah. Meski selam
Cukup lama aku mematung dengan mata yang tak beralih dari sosok di hadapanku saat ini. Wajah teduh yang selama lima tahun ini selalu hadir dalam setiap tidurku, kini berada tepat di hadapanku. Ingin rasanya aku menampar pipiku sendiri untuk memastikan jika saat ini aku tidak sedang bermimpi."Apa kabar, Pak Arkan?" Kembali kudengar suara itu. Begitu lembut terdengar di telinga, sama seperti lima tahun lalu saat dia masih tinggal bersamaku. "Baik," jawabku setengah bergumam.Ainun sedikit menipis bibirnya, hampir menyerupai sebuah senyuman. Sosoknya terlihat semakin matang dan dewasa. Penampilannya juga lebih tertutup. Ia telah mengenakan hijab dan menutup auratnya dengan sempurna. Terlihat begitu menyejukkan mata sekaligus menentramkan hati.Perasaan rindu yang selama ini kusimpan rapi di dasar hatiku, kini tiba-tiba menyeruak tak tertahankan. Hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk menarik dan merengkuhnya ke dalam pelukanku."Maaf, saya mengganggu. Apa Pak Arkan punya waktu?" t
Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen
Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b
"Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes
"Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b
Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan
Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan
Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik
Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn
"Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku