Share

Penyesalan Setelah Poligami
Penyesalan Setelah Poligami
Penulis: Pujiati

1. Perubahan Akram

Penulis: Pujiati
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-27 12:20:28

[Kamu belakangan ini beda Bang, tiap akhir pekan justru tidak pernah pulang. Kemana sosok penyayang yang selama ini selalu bersamaku. Anak-anak mencarinya, apalagi si kecil selalu menyebut-nyebut namamu. Menangis terus menerus hingga akhirnya tidur karena kelelahan] pesan terkirim ke hp suamiku.

[Maaf, Sayang. Abang pekerjaan dari kantor banyak, harus lembur lagi] balas suamiku.

Aku menitipkan anak-anak di tempat mertua setelah mendapat balasan dari suami. Aku bergegas menyetop taxi untuk menuju kantor, 30 menit kemudian sampailah di kantor Bang Akram yang megah. Aku mengenal Bang Akram, melalui perkenalan singkat melalui seorang Ustadzah dengan proses ta'aruf. Hanya dalam waktu 3 bulan aku sudah berstatus menjadi istri Akram. Laki-laki penuh tanggungjawab, berkharisma, berwawasan agama luas. Ya, Bang Akram terkenal laki-laki alim diantara teman-temannya.

Seorang laki-laki berpakaian scurity menghampiriku

"Maaf, cari siapa, Bu?" tanya scurity dengan sopan.

"Mau menemui Pak Akram, Pak,"

"Maaf, ini akhir pekan sudah tidak ada orang di dalam, sudah pulang semua, Bu. Hanya saya dan beberapa teman yang masih tertinggal sebagai petugas keamanan," jelas scurity tersebut.

"Apa tidak ada yang lembur, Pak?" tanyaku lagi.

"Tidak pernah, Bu. Sesekali memang lembur tapi bukan akhir pekan."

Aku terpaku mendengar penjelasan scurity tersebut, lalu kemana suamiku tiga bulan belakangan setiap akhir pekan. Aku tak habis pikir ternyata sudah lama suami membohongiku.

Ku ambil handphone yang di tas, aku segera menghubungi suamiku.

"Assalamualaikum, Dek," terdengar suara dari seberang.

"W*'alaikumussallam, Abang dimana?" tanyaku.

"Bukannya Abang sudah memberi kabar, Dek. Jika Abang hari ini lembur. Maaf, akhir-akhir ini sering ninggalin keluarga, Dek," jawab suamiku dengan nada penuh sesal.

"Tak apa, semua yang Abang lakukan juga demi keluarga, semoga akhir pekan besok nggak lembur, Bang. Aku lelah, Hilda nggak mau tidur jika Abang nggak dirumah, dia terus menangis sampai kelelahan baru tidur, Bang," aku merajuk sampai menangis.

"Mudah-mudahan, aku matikan mau kerja dulu. Baik-baik dirumah salam buat anak-anak," telpon mati sepihak tanpa menunggu jawabanku. Ya Allah apa yang sedang terjadi, apakah suami sedang membohongiku.

Suamiku sempat ijin untuk poligami namun aku tak mengijinkan, bukan karena menentang syari'at tapi keadaan ekonomi kami bukan kelas atas, gaji suamiku baru cukup buat mencukupi satu keluarga dan tiap bulan memberi sedikit buat mertua, iya ibunya Bang Akram. Aku sering mengatakan boleh poligami, jika kehidupan kita sudah lebih baik. Cemburu jelas ketika berucap seperti itu, namun itu adalah syari'at jadi aku nggak mungkin menentang. Tapi terkadang ada yang hanya mengambil dalil dengan dalih ibadah namun hanya mementingkan syahwat.

Seperti hari-hari sebelumnya ketika suamiku ijin lembur, maka aku dirumah juga lembur begadang dengan tangisan Hilda. Kalimat istighfar berkali-kali keluar dari bibirku, kedua anakku yang besar sudah tidur tinggal kami berdua yang masih terjaga. Digendong, dibopong, dan diayun. Berbagai cara kulakukan. Mungkin orang lain tidak akan percaya jika tidak melihat langsung, seorang anak kecil usia 2 tahun tidak bisa tidur tanpa kehadiran ayahnya.

Anakku yang besar usia 9 th, yang ke-dua 7 th dan yang ke-tiga 2 tahun. Cukup repot namun ini adalah ladang pahala, sejak hamil aku resign dari pekerjaan. Fokus mengurus keluarga, menikah adalah ladang pahala terpanjang dalam kehidupan ini.

Aku menelpon suami berkali-kali, dengan harapan diangkat dan Hilda mendengar suara Ayahnya menjadi tenang.

"Ada apa, sudah tau aku lembur kenapa telpon!" ucap Bang Arkan marah. "Siapa, Beb?" Terdengar suara seorang wanita manja memanggil. Siapa disana, dimana suaminya sekarang? Aku disini kelelahan, sementara disana sedang berduaan. Bulir-bulir keluar dengan sendirinya dari kedua mataku, sambil terus menimang Hilda yang semakin histeris. Aku yakin Bang Akram mendengar tangis Hilda. Ditutupnya kembali panggilan, tanpa aku menjawab ucapan Bang Akram. Ternyata dugaan ku tidak meleset, suamiku sudah menikah lagi.

Sesakit ini, meski tanpa ijin istri pertama pernikahan tetap sah, aku tau itu. Aku menunggu itikad baik suami untuk cerita, aku mencoba ikhlas dengan ketentuan Allah. Bismillah kamu bisa, rasa sakit ini akan sebanding dengan surga menantimu kelak. Setelah Hilda kelelahan jam menujukan pukul 02.00 dini hari. Aku menutup mata sebentar untuk mengobati lelahku, satu jam kemudian sudah bangun lagi. Aku wudhu untuk melakukan sholat dan lanjut membaca Al-Qur'an sebagai obat gundah.

Aku yakin ibu mertuaku sangat terpukul dengan keputusan Bang Akram, seperti halnya hatiku ini.

Kucoba merenungi nikmat yang telah ku peroleh setiap harinya, ternyata rasa sakit ini hanya sebagian kecil, lebih banyak nikmat dan kebahagiaan yang sudah aku peroleh.

Sebuah kata ikhlas ringan diucapkan tapi kenyataannya begitu berat dijalankan.

Adzan subuh berkumandang, aku melanjutkan sholat subuh kupanjatkan doa agar aku diberikan bahu yang kuat, hati yang lapang, dan sabar dengan ketentuan Allah.

Sebelum Hilda terbangun aku harus segera mengurus keperluan mereka, sejak menjalani peran menjadi seorang ibu aku harus kerja serba cepat, mandi cepat, makan cepat, dan pokoknya serba cepat.

Menunggu hari esok rasanya begitu lambat, aku ingin mendengar penjelasan langsung dari suamiku. Aku membangunkan Syifa dan Daffa untuk melaksanakan sholat subuh, meskipun belum baligh namun sudah dibiasakan sholat lima waktu. Pertama yang ditanyakan anakku seperti biasa, "Dimana Ayah, Bun?" tanya Syifa.

"Ayah masih kerja, Sayang," jawabku tanpa melihat kearahnya.

"Kerja terus, Daffa kangen sama Ayah," ucap Daffa merengek.

"Anak-anak bunda, baca doa bangun dulu, habis itu ambil wudhu," titah ku lembut mengalihkan perhatian mereka dari Ayahnya.

"Iya bunda, Sayang," ucap keduanya, mereka melipat selimut masing-masing lalu mencium ku satu persatu. MasyaAllah bahagia dititipi amanah Soleh Solehah, kadang aku berfikir apa yang dicari Suamiku begitu menggebu ingin poligami. Meskipun anakku tiga cukup ribet namun soal penampilan dirumah selalu ku perhatikan.

Lamunanku membawaku pada obrolan 4 tahun lalu dengan Bang Akram.

"Kamu tidak kurang suatu apapun, Dek. Abang hanya ingin mendapat pahala lebih dengan menjalankan Sunnah menikah lagi. Bisa membahagiakan 2 wanita adalah pahala melimpah," jelas Bang Akram.

"Aku tau, Bang. Tapi apa nantinya bisa adil?"

"Jangan menentang syari'at dosa loh. Kamu harus percaya sama suamimu InsyaAllah bisa adil, Sayang," Bang Akram berusaha meyakinkan.

Aku kehilangan kata-kata. Dimana suami yang ku kenal selama ini? Apakah dia yakin mampu adil untuk dua keluarganya? Belum lagi, dia masih hangat-hangatnya sebagai pengantin baru. Ya Allah, kuatkanlah aku.

Dengan tercekat akupun bertanya padanya, "Apakah seyakin itu, Bang? Kewajibanmu bertambah besar. Anak kita sudah sekolah. Bagaimana kebutuhan Ibu dan Hilda? Apakah Abang benar-benar mampu berbuat adil?"

Bang Akram terdiam. Namun rahangnya menegang. Aku begitu menanti jawabannya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Adil hanya bisa dengan materi. Soal rasa tidak akan bisa.
goodnovel comment avatar
Tika lia
Deg degan bacanya ... Apa jawaban Akram ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Penyesalan Setelah Poligami   2. Kemarahan Bapak

    "Dek, tiap orang akan bawa rejeki masing-masing, ketika menikah lagi tentunya Abang akan ada rejeki buat mereka," bela Bang Akram masih kekeuh dengan ucapannya."Bang, maaf kalau saat ini Abang mau menikah lagi jelas ekonomi kita morat marit, berantakan," aku mengingatnya."Doa itu yang baik-baik, Rasulullah saja istrinya banyak," ucap Bang Akram."Tujuan Rasulullah bukan sekedar syahwat, tapi menolong terutama janda tua, jika Abang sudah mampu menolong bukan harus menikahi tapi bisa saja kita bersedekah kepada mereka," ucapku lagi dengan lembut. "Bang, aku jadi meragukan cinta Abang," suamiku mendekat memeluk erat."Jangan ragukan cintaku, Dek. Abang cinta dan sayang sama kamu. Sosok wanita cantik, anggun, Solehah. Kamu tetap ada diposisi utama dihati Abang, kamu yang menemani disaat aku terpuruk, kamu yang begitu sabar dengan kondisi Abang, kamu tak akan tergantikan dihati Abang," ucap Bang Akram meyakinkan aku, siapa sih yang nggak meleleh mendapat pujian seperti itu. Tapi apa ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Penyesalan Setelah Poligami   3. Kekecewaan

    "Setiap Ayahnya nggak tidur dirumah, Pak," jawabku jujur."Biar sama Bapak, kasihan kamu harus begadang sendirian. Akram benar-benar, akalnya ditaruh dimana? Sini sama Kakek, sayangnya Kakek, sekarang bobo ya, Sayang," Bapak menimang Hilda dengan sabar, MasyaAllah ketika tangan Bapak mulai menimang Hilda seakan terhipnotis dengan kelembutan Bapak, Hilda terdiam tidak menangis lagi dan tertidur. "Kasihan cucuku, pasti kamu kecapekan. Hilda biar tidur di gendongan Bapak dulu ya, Fit. Kamu tidurlah dulu pasti capek dari kemarin begadang. Nanti Hilda tak tidurkan di kamarmu," aku beranjak menuju kamar, percuma Bapak tidak akan menerima bantahan. "Bentar Fit, besok-besok jika Akram nggak dirumah kamu tidur disini saja, biar ada Bapak dan Ibu yang membantu," aku mengangguk. Aku merasa tenang karena Hilda sudah tidur bersama Bapak, aku meluruskan badan yang sudah terjaga dari pukul 03.00 pagi dini hari belum istirahat sama sekali. Berkali-kali istighfar memohon kepada Allah digugurkan dosa

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Penyesalan Setelah Poligami   4. Kisah Akram

    *AKRAM*Aku sudah menikah lagi tanpa ijin keluarga, sudah tiga bulan aku menjalankan Sunnah Rasul dengan seorang janda beranak satu kenalan dari teman kantorku. "Akhir pekan temani aku untuk melamar, Bos," ucapku semangat."Sip Bro, aku sudah kirim fotomu sama dia. Aku juga mengatakan kalau kamu sudah punya istri dan 3 anak. Dia setuju, karena kamu temanku, jadi dia percaya kamu orang baik. Tapi bagaimana dengan keluargamu Bro?" tanya Ihsan."Itu menjadi urusanku," jawabku singkat. Pertemuan pertama dengan calon istri keduaku sangat mengesankan, wanita penuh kelembutan tampilan sederhana. Aku membayangkan Fitri akan setuju jika aku membawa dia berkenalan nantinya. Satu minggu setelah lamaran langsung melakukan prosesi pernikahan. Namun setelah menikah sungguh diluar dugaan, tiap ketemu dia mengajak jalan-jalan, mengajak belanja. Aku bisa menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, Lulu nama anaknya, Indah nama istri keduaku. Tiap ketemu dia begitu agresif sampai-sampai kegiatan kami leb

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-28
  • Penyesalan Setelah Poligami   5. Pernyataan Fitri

    Bapak meninggalkanku begitu saja dengan kondisi pikiranku yang berantakan, aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjalan menuju kamar kami, kamarku sewaktu masih sendiri namun sudah mengalami banyak perubahan semenjak menikah. Aku melihat istriku meringkuk memeluk Hilda anakku, sangat memprihatikan aku telah menorehkan luka yang dalam, terlalu banyak dosa yang kuperbuat dengan membohonginya. Caraku salah, bukan syari'at poligami yang salah. Aku berbaring dibelakangnya kupeluk erat tubuhnya. "Maaf Bang, aku pengin sendiri dulu. "Tolong keluarlah, tidurlah diluar!" titah istriku dingin. Itulah istriku tidak pernah teriak ketika marah, dia menggunakan cara yang diluar kebanyakan wanita. Sering aku mendengar keluh kesah teman kantorku yang menceritakan tabiat istrinya yang selalu marah-marah tak jelas, namun tak pernah kudapatkan pada istri pertamaku. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Fitri memakiku dengan sepuasnya agar tak ada luka yang tersimpan dihatinya. Akulah yang menore

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-30
  • Penyesalan Setelah Poligami   6. Adik Maduku Telpon

    "Baik, aku turuti permintaanmu. Aku mohon jangan marah lagi," Aku hanya terdiam tak punya niat menjawab permohonan Bang Akram. "Sayang, pulang yuk!" ajak Bang Akram sambil duduk disamping ku. Hilda sudah bermain bersama Bapak dan Ibu diruang depan. "Aku masih pengin disini dulu, Bang. Boleh ya?" pintaku."Sayang, aku mau bicara yang lebih leluasa. Mengertilah!" Bang Akram memohon."Apakah aku yang harus selalu mengerti, Bang. Tolong kasih waktu aku untuk menata hati ini. Kasih waktu 2 hari saja untuk menerima keputusan Abang, kali ini saja, Bang. Abang yang harus mengerti dengan kondisiku,"Baiklah, tapi besok kita pulang ya?" ucap Bang Akram lembut. Aku mengangguk, sebagai tanda setuju. "Abang, bermainlah dulu sama anak-anak. Mereka sangat haus kebersamaan dengan Ayahnya!" perintahku."Baiklah, kamu segera menyusul ya, Abang bicaranya nanti malam saja. Jangan melamun sendirian," ucap Bang Akram sambil mengelus pucuk jilbabku. "Nggak lah, Bang. Aku masih punya Allah, yang membuat

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Penyesalan Setelah Poligami   7. Ungkapan Penyesalan

    "Ibu mengerti, Sayang. Ibu dukung keputusanmu," dengan tatapan teduhnya."Haus Bunda!" Daffa terengah-engah mendekat ke arahku. Di meja sudah disediakan minum buat persediaan mereka yang sedang bermain. "Sayang, pelan-pelan," ucapku."Aku mau juga, Dek," ucap Bang Akram."Ini Yah, Alhamdulillah seger," ucap Daffa lalu rebahan di teras. "Mandi yuk, Kak!" ajak Daffa."Jangan dulu, masih berkeringat tunggu kering keringatnya, Dek. Mandi bareng Ayah nanti," ucap Bang Akram."Ayah, kenapa mesti nunggu kering?" tanya Daffa."Karena ketika masih panas berkeringat langsung mandi itu tidak baik buat kesehatan, Sayang," jawab Bang Akram sambil mengelus kepala anaknya yang masih berbaring di lantai. "Kakak saja nggak capek, kok kamu sampai terkapar begitu, Dek?" sambil menertawakan adiknya. Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sedang bersama anak-anak. Bang Akram mengambil hp dan terlihat murung, mungkin dapat W******p dari Indah. "Bang, jangan melamun. Kalau kangen telpon balik saja. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-03
  • Penyesalan Setelah Poligami   8. Permintaan Fitri

    "Cinta ... aku sendiri sekarang bingung apa arti dari cinta." Aku tarik nafas panjang kembali, "Aku sama seperti wanita pada umumnya, Bang. Sakit ketika ada penghianatan, kecewa jika dibohongi, marah jika dikecewakan, lemah jika dihina, rapuh jika ditinggalkan. Namun aku sadar, selama ini aku terlalu berharap kepada manusia jadi hasilnya adalah kekecewaan, berharap dengan Abang yang akan menjadi sosok imam yang setia pada kehidupan rumah tanggaku, berharap kepada Abang yang menjadi pemimpin sempurna, mencintaiku dengan apa adanya tanpa melibatkan wanita lain dalam hidup Abang. Sekarang aku sadar, berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa. Aku sekarang pasrah kepada sang pemilik hati ini untuk senantiasa bisa ikhlas, dan berharap hanya kepada Allah. Aku sudah ikhlas sekali pun Abang meninggalkanku kemudian memilih hidup bersama Indah nantinya. Aku akan berusaha menjalani kehidupan ini dengan normal, apalagi hidup di dunia hanya sebentar, sudah disebutkan bahwa rata-rata umat Ra

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-04
  • Penyesalan Setelah Poligami   9. Pertemuan Tak Disengaja

    Anak-anak mandi lebih awal, selesai adzan asar kami bersiap ke Mall sesuai permintaanku. "Kakek, ikut ya?" rengek Daffa pada kakeknya. Kakeknya paham, tidak ikut bukan karena tidak sayang dengan mereka namun memberi kesempatan untuk kebersamaan kami lebih dekat setelah lama tidak pernah jalan-jalan. "Kakek sama Nenek dirumah saja, Kakek tunggu oleh-oleh ya, Dek. Kakek sudah tua, capek kalau ikut jalan-jalan sama kalian," ucap Bapak sambil tertawa lebar. "Kami berangkat dulu ya Pak, Bu," aku pamit sama mertuaku yang sudah seperti orang tuaku sendiri. "Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lengah sama Hilda. Dia sudah pandai jalan, jangan biarkan dia jalan tanpa digandeng," ucap Ibu khawatir."Tenang Bu, ada Akram yang menjaga InsyaAllah," jawab Akram. Kami memasuki mobil, sangat menikmati perjalanan disertai dengan canda tawa anak-anak. Bang Akram tidak mau kalah, terus meledek anak-anak membuat mereka semakin bahagia. Inilah yang ku inginkan, aku nggak mau mereka kehilangan momentum se

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-05

Bab terbaru

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

  • Penyesalan Setelah Poligami   91. Urusan Indah Menjadi Urusanku

    "Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L

  • Penyesalan Setelah Poligami   90. Mamamu=Mamaku

    Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb

  • Penyesalan Setelah Poligami   89. Siapa Dia?

    Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status