Share

3. Kekecewaan

Penulis: Pujiati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Setiap Ayahnya nggak tidur dirumah, Pak," jawabku jujur.

"Biar sama Bapak, kasihan kamu harus begadang sendirian. Akram benar-benar, akalnya ditaruh dimana? Sini sama Kakek, sayangnya Kakek, sekarang bobo ya, Sayang," Bapak menimang Hilda dengan sabar, MasyaAllah ketika tangan Bapak mulai menimang Hilda seakan terhipnotis dengan kelembutan Bapak, Hilda terdiam tidak menangis lagi dan tertidur.

"Kasihan cucuku, pasti kamu kecapekan. Hilda biar tidur di gendongan Bapak dulu ya, Fit. Kamu tidurlah dulu pasti capek dari kemarin begadang. Nanti Hilda tak tidurkan di kamarmu," aku beranjak menuju kamar, percuma Bapak tidak akan menerima bantahan.

"Bentar Fit, besok-besok jika Akram nggak dirumah kamu tidur disini saja, biar ada Bapak dan Ibu yang membantu," aku mengangguk. Aku merasa tenang karena Hilda sudah tidur bersama Bapak, aku meluruskan badan yang sudah terjaga dari pukul 03.00 pagi dini hari belum istirahat sama sekali. Berkali-kali istighfar memohon kepada Allah digugurkan dosa-dosanya. Rasanya baru tadi aku tertidur, aku terbangun mendengar ada keributan diluar. Ku melihat disebelah sudah ada Hilda, berarti Bapak sudah menidurkan anaku tadi. Aku bangkit dan mendekat kearah suara keributan. Ibu sudah tidur sejak sore menemani Syifa kali ini juga terdengar suara ibu. Aku kaget melihat Bang Akram ada ditengah-tengah mereka dengan kondisi sangat kusut, Bapak sedang mengintrogasi Bang Akram.

"Tega Akram, tiga bulan ini kamu sudah bersikap seperti pengecut. Kamu lihat kondisi Hilda sekarang, matanya sembab dua malam tidak bisa tidur. Kamu keterlaluan, bukan hanya itu kenapa kamu bohong sama Fitri, kamu minta ijin sama istrimu sedang lembur. Kenyataannya apa? Bapak malu sama Fitri, dia gadis baik-baik kamu telantarkan. Ingat kalau tadi sore Ibu kamu tidak memaksa Fitri untuk menginap disini maka Bapak tidak akan pernah tau apa yang terjadi pada cucu-cucuku. Pengorbanan Fitri begitu besar kamu tega, Akram! Bapak dan Ibu sudah membanggakan kamu, dengan sikapmu yang alim kenyataannya kamu tak lebih seorang pecundang, lembur dimana hah! Perjalanan kantormu kesini hanya butuh waktu 30 menit jika macet paling 1 jam, sekarang sudah jam berapa!" bentak Bapak.

"Pak, pelankan suaranya nanti cucu-cucu kita terbangun. Nggak mudah menidurkan mereka tadi," ucap Ibu pelan.

Aku mematung, tanpa sengaja pandanganku bertabrakan dengan Bang Akram. Segera ku alihkan dengan membuang pandangan kesamping. Aku masih tak sanggup dengan rasa sakit ini, meski Bang Akram belum menceritakan tapi hati kecilku sangat yakin kalau Bang Akram sudah menikah lagi apalagi aku melihat tanda merah di lehernya. Kenapa sesakit ini ya Allah, Bang Akram adalah titipan-Mu ya Allah, ikhlaskan hati ini untuk menerima.

"Bapak mau penjelasan dari kamu, Akram. Kalau kamu berfikir Fitri sudah mengadu sama Bapak maka kamu salah besar, jangan pernah menyalahkan Fitri!" ucap Bapak dengan intonasi masih tinggi.

"Sayang, duduklah. Abang mau bicara, tidak mungkin menyembunyikan ini terus menerus dari kamu," ucap Bang Akram.

Aku duduk di samping Ibu, aku meraih tangan ibu untuk meminta kekuatan. Ibu seakan paham dengan posisiku, diraihnya tanganku dengan tangan satu, sedangkan tangan satunya sudah berada di bahuku mengelus memberi kekuatan.

"Pak, Bu. Akram sudah menikah lagi sejak tiga bulan yang lalu, aku sudah pernah ijin sama Fitri namun tidak diijinkan, akhirnya aku menikah diam-diam tanpa meminta ijin kalian, aku tau Bapak dan Ibu juga tidak akan mengijinkan," ucap Bang Akram dengan wajah merasa bersalah. Aku mencoba menahan diri untuk tidak teriak, tidak berontak, tidak menangis. Untuk tidak teriak dan berontak aku mampu, namun untuk tidak menangis rasanya sangat sulit, bulir-bulir bening lolos tanpa permisi dahulu. Genggaman tanganku kepada Ibu mertuaku.

"Sayang, maafkan Abang. Aku akan adil membagi waktuku, tidak seperti saat ini," ucap Bang Akram.

Aku belum mampu menjawab kata-kata suamiku, rasanya terlalu sakit dadaku serasa terhimpit batu besar, tenggorokan tercekik tak mampu mengucapkan kata-kata. Ibu mertuaku memelukku dengan erat.

"Sayang, kalau kamu nggak sanggup di madu nggak apa, Sayang. Tinggalah bersama Bapak dan Ibu disini. Bagi Ibu kamu adalah anak perempuan Ibu," ucap Ibu memberi kekuatan. Aku hanya memeluk tubuh Ibu Mertuaku tanpa menjawab apapun.

"Sayang, jangan begitu. Jawab permintaan maaf Abang, kamu tetap menempati posisi pertama dihati Abang, kamu wanita terbaik yang pernah Abang kenal setelah Ibu, kamu Ibu yang baik buat anak-anakku, tolong Sayang maafkan Abang," ucap Bang Akram.

Aku terus memeluk Ibu tanpa menoleh kepada Bang Akram. Biarlah seperti ini dulu, aku ingin ketenangan.

"Bu, aku ke kamar dulu ya," aku berbisik pada Ibu. Ibu hanya menjawab dengan anggukan.

"Tunggu Sayang, Abang mau bicara dulu," ucap Bang Akram dan berusaha mengejar namun dicegah Bapak.

"Berani-beraninya kamu mengejar, aku tidak terima kamu menyakiti menantuku!" ucap Bapak.

"Akulah anakmu, Pak. Harusnya Bapak nggak seperti ini," ucap Akram frustasi.

"Apa! Jadi sikap Bapak harusnya seperti apa! Harusnya bertanya sama kamu ya ... kamu menikah lagi dengan siapa? Orang mana? Bisa-bisanya mau menikah dengan lelaki yang tidak mengenalkan keluarganya? Wanita mana yang sudah mau menikah tanpa mengenal mertuanya? Orang tua mana yang mau menikahkan anaknya tanpa mengenal besannya?" pertanyaan beruntun dari Bapak membuat Akram semakin terperangah.

"Wanita mana yang mau merusak kebahagiaan wanita lain? Wanita mana yang sudah mau dijadikan pemuas nafsu semata dan bahkan disembunyikan identitasnya?" lagi-lagi perkataan Bapak membuat emosi Akram memuncak.

"Cukup Pak! Dia nggak seperti itu," cegah Akram.

"Santai dulu lah, Nak. Menikah lagi berapa kali lagi pun kamu tidak akan menemukan sosok seperti Fitri, lihat reaksinya tadi sangat terluka. Setiap akhir pekan selama tiga bulan ini dia selalu begadang, anakmu Hilda rewel tidak bisa tidur, tertidur ketika menjelang pagi, paginya harus mengantar anak sekolah, menjemput, belum lagi pekerjaan menumpuk. Harusnya kalau kamu sudah sudah merasa kaya kasihlah Fitri pembantu buat membereskan rumah biar bisa melayani nafsumu setiap saat, bukan malah mencari kesenangan sendiri, poligami dibolehkan tapi bukan seperti ini prakteknya. Kamu sudah dzolim, poligami harus tau ilmunya, bukan semata-mata memenuhi syahwat!" Bang Akram terus menunduk mendengar nasihat Bapak.

"Poligami memang tidak dilarang dalam Islam. Tapi sebaiknya perbaiki dulu agamamu, perbaiki dulu hubungan dengan istri dan anak-anakmu. Karena semua akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Jangan hanya karena nafsu semata, kau melakukan sesuatu tanpa dasar ilmu terlebih dahulu. Pikirkan kedepannya apakah diri sanggup? Apakah kondisi keuangan sanggup? Apakah mampu mempertanggung jawabkan di hadapan-Nya kelak? Siap-siaplah dengan murka Allah jika kamu bertindak tanpa ilmu," ancam Bapak.

"Jawab pertanyaan Bapak!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Fitri, sabar. Pria seperti itu untuk apa di pertahankan
goodnovel comment avatar
Tika lia
Ya Allah membayangkan jadi Fitri sakit hati banget...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Penyesalan Setelah Poligami   4. Kisah Akram

    *AKRAM*Aku sudah menikah lagi tanpa ijin keluarga, sudah tiga bulan aku menjalankan Sunnah Rasul dengan seorang janda beranak satu kenalan dari teman kantorku. "Akhir pekan temani aku untuk melamar, Bos," ucapku semangat."Sip Bro, aku sudah kirim fotomu sama dia. Aku juga mengatakan kalau kamu sudah punya istri dan 3 anak. Dia setuju, karena kamu temanku, jadi dia percaya kamu orang baik. Tapi bagaimana dengan keluargamu Bro?" tanya Ihsan."Itu menjadi urusanku," jawabku singkat. Pertemuan pertama dengan calon istri keduaku sangat mengesankan, wanita penuh kelembutan tampilan sederhana. Aku membayangkan Fitri akan setuju jika aku membawa dia berkenalan nantinya. Satu minggu setelah lamaran langsung melakukan prosesi pernikahan. Namun setelah menikah sungguh diluar dugaan, tiap ketemu dia mengajak jalan-jalan, mengajak belanja. Aku bisa menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, Lulu nama anaknya, Indah nama istri keduaku. Tiap ketemu dia begitu agresif sampai-sampai kegiatan kami leb

  • Penyesalan Setelah Poligami   5. Pernyataan Fitri

    Bapak meninggalkanku begitu saja dengan kondisi pikiranku yang berantakan, aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjalan menuju kamar kami, kamarku sewaktu masih sendiri namun sudah mengalami banyak perubahan semenjak menikah. Aku melihat istriku meringkuk memeluk Hilda anakku, sangat memprihatikan aku telah menorehkan luka yang dalam, terlalu banyak dosa yang kuperbuat dengan membohonginya. Caraku salah, bukan syari'at poligami yang salah. Aku berbaring dibelakangnya kupeluk erat tubuhnya. "Maaf Bang, aku pengin sendiri dulu. "Tolong keluarlah, tidurlah diluar!" titah istriku dingin. Itulah istriku tidak pernah teriak ketika marah, dia menggunakan cara yang diluar kebanyakan wanita. Sering aku mendengar keluh kesah teman kantorku yang menceritakan tabiat istrinya yang selalu marah-marah tak jelas, namun tak pernah kudapatkan pada istri pertamaku. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Fitri memakiku dengan sepuasnya agar tak ada luka yang tersimpan dihatinya. Akulah yang menore

  • Penyesalan Setelah Poligami   6. Adik Maduku Telpon

    "Baik, aku turuti permintaanmu. Aku mohon jangan marah lagi," Aku hanya terdiam tak punya niat menjawab permohonan Bang Akram. "Sayang, pulang yuk!" ajak Bang Akram sambil duduk disamping ku. Hilda sudah bermain bersama Bapak dan Ibu diruang depan. "Aku masih pengin disini dulu, Bang. Boleh ya?" pintaku."Sayang, aku mau bicara yang lebih leluasa. Mengertilah!" Bang Akram memohon."Apakah aku yang harus selalu mengerti, Bang. Tolong kasih waktu aku untuk menata hati ini. Kasih waktu 2 hari saja untuk menerima keputusan Abang, kali ini saja, Bang. Abang yang harus mengerti dengan kondisiku,"Baiklah, tapi besok kita pulang ya?" ucap Bang Akram lembut. Aku mengangguk, sebagai tanda setuju. "Abang, bermainlah dulu sama anak-anak. Mereka sangat haus kebersamaan dengan Ayahnya!" perintahku."Baiklah, kamu segera menyusul ya, Abang bicaranya nanti malam saja. Jangan melamun sendirian," ucap Bang Akram sambil mengelus pucuk jilbabku. "Nggak lah, Bang. Aku masih punya Allah, yang membuat

  • Penyesalan Setelah Poligami   7. Ungkapan Penyesalan

    "Ibu mengerti, Sayang. Ibu dukung keputusanmu," dengan tatapan teduhnya."Haus Bunda!" Daffa terengah-engah mendekat ke arahku. Di meja sudah disediakan minum buat persediaan mereka yang sedang bermain. "Sayang, pelan-pelan," ucapku."Aku mau juga, Dek," ucap Bang Akram."Ini Yah, Alhamdulillah seger," ucap Daffa lalu rebahan di teras. "Mandi yuk, Kak!" ajak Daffa."Jangan dulu, masih berkeringat tunggu kering keringatnya, Dek. Mandi bareng Ayah nanti," ucap Bang Akram."Ayah, kenapa mesti nunggu kering?" tanya Daffa."Karena ketika masih panas berkeringat langsung mandi itu tidak baik buat kesehatan, Sayang," jawab Bang Akram sambil mengelus kepala anaknya yang masih berbaring di lantai. "Kakak saja nggak capek, kok kamu sampai terkapar begitu, Dek?" sambil menertawakan adiknya. Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sedang bersama anak-anak. Bang Akram mengambil hp dan terlihat murung, mungkin dapat W******p dari Indah. "Bang, jangan melamun. Kalau kangen telpon balik saja. Ta

  • Penyesalan Setelah Poligami   8. Permintaan Fitri

    "Cinta ... aku sendiri sekarang bingung apa arti dari cinta." Aku tarik nafas panjang kembali, "Aku sama seperti wanita pada umumnya, Bang. Sakit ketika ada penghianatan, kecewa jika dibohongi, marah jika dikecewakan, lemah jika dihina, rapuh jika ditinggalkan. Namun aku sadar, selama ini aku terlalu berharap kepada manusia jadi hasilnya adalah kekecewaan, berharap dengan Abang yang akan menjadi sosok imam yang setia pada kehidupan rumah tanggaku, berharap kepada Abang yang menjadi pemimpin sempurna, mencintaiku dengan apa adanya tanpa melibatkan wanita lain dalam hidup Abang. Sekarang aku sadar, berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa. Aku sekarang pasrah kepada sang pemilik hati ini untuk senantiasa bisa ikhlas, dan berharap hanya kepada Allah. Aku sudah ikhlas sekali pun Abang meninggalkanku kemudian memilih hidup bersama Indah nantinya. Aku akan berusaha menjalani kehidupan ini dengan normal, apalagi hidup di dunia hanya sebentar, sudah disebutkan bahwa rata-rata umat Ra

  • Penyesalan Setelah Poligami   9. Pertemuan Tak Disengaja

    Anak-anak mandi lebih awal, selesai adzan asar kami bersiap ke Mall sesuai permintaanku. "Kakek, ikut ya?" rengek Daffa pada kakeknya. Kakeknya paham, tidak ikut bukan karena tidak sayang dengan mereka namun memberi kesempatan untuk kebersamaan kami lebih dekat setelah lama tidak pernah jalan-jalan. "Kakek sama Nenek dirumah saja, Kakek tunggu oleh-oleh ya, Dek. Kakek sudah tua, capek kalau ikut jalan-jalan sama kalian," ucap Bapak sambil tertawa lebar. "Kami berangkat dulu ya Pak, Bu," aku pamit sama mertuaku yang sudah seperti orang tuaku sendiri. "Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lengah sama Hilda. Dia sudah pandai jalan, jangan biarkan dia jalan tanpa digandeng," ucap Ibu khawatir."Tenang Bu, ada Akram yang menjaga InsyaAllah," jawab Akram. Kami memasuki mobil, sangat menikmati perjalanan disertai dengan canda tawa anak-anak. Bang Akram tidak mau kalah, terus meledek anak-anak membuat mereka semakin bahagia. Inilah yang ku inginkan, aku nggak mau mereka kehilangan momentum se

  • Penyesalan Setelah Poligami   10. Susul Syifa Segera

    Bang Akram duduk di sampingku, sementara Indah duduk disamping Bang Akram. Aku sangat mengerti tatapan anakku, ku anggukan kepala sebagai tanda setuju dengan yang mereka maksud. "Tante, bisa minta tolong pindah disini? Aku mau minta tolong ayah untuk memisahkan diri ikan ini," ucap Syifa dengan lembut. Lega rasanya Syifa menuruti kataku, untuk bicara dengan lembut. Terlihat Indah pindah posisi dengan muka tak bersahabat. "Maaf ya, Dek. Mbak lagi repot dengan Hilda jadinya tepaksa ayahnya yang membantu Syifa," ucapku tidak enak dengan sikap anakku. Tepatnya pura-pura tidak enak, siapa suruh bergabung dan merusak kebahagiaan kami saat ini. Kejam ya? Kalau dia baik maka aku akan bersikap jauh lebih baik. Pantas saja anak-anakku tak terima. Kursi didepan ku baru terisi Syifa dan Daffa, kursi sampingku penuh dengan orang dewasa. Sudah terlihat jelas posisi tak seimbang kan?"Nggak apa, Mbak" ucap dia terbata. Sepertinya menahan kekesalan. "Daffa, kamu bisa sendiri? Hati-hati Sayang, ata

  • Penyesalan Setelah Poligami   11. Pertunjukan Menarik

    Akhirnya aku dapat telpon dari nomor yang nggak kukenal. Aku tersenyum, hasil tebakanku ini adalah Syifa. Segera aku mengangkat telpon, terdengar Isak tangis putriku sangat menyayat hati. Syifa memberi kabar dengan nomor ponsel sopir taxi yang dia kendarai. Lega, ternyata pelajaran yang aku ajarkan kepada dia berhasil. Segera aku hubungi Bapak mertuaku untuk menyiapkan uang dan poin terpenting supaya tidak kaget."Pak, tolong siapkan uang. Syifa sedang pulang sendiri naik taxi, nggak usah ditanya apa-apa dulu sama Syifa, Pak. Cukup dipeluk supaya dia tenang," ucapku lembut sama Bapak. "Ada apa, Fit? Jelaskan!" Bapak bertanya dengan bingung, lalu suaranya meninggi. Ah ... Bapak marah. "Nanti Fitri jelaskan dirumah, Pak. Aku akan segera menyusul pulang bareng Bang Akram. Sama adik maduku," ucapku. "Jangan coba-coba kamu bawa adik madu kerumah ini, Fit! Bapak yakin, Syifa marah ada kaitannya dengan adik madu mu, Bapak nggak mau tau jangan sampai dia kerumah ini sekarang!" ucap Bapak s

Bab terbaru

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

  • Penyesalan Setelah Poligami   91. Urusan Indah Menjadi Urusanku

    "Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L

  • Penyesalan Setelah Poligami   90. Mamamu=Mamaku

    Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb

  • Penyesalan Setelah Poligami   89. Siapa Dia?

    Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve

DMCA.com Protection Status