"Setiap Ayahnya nggak tidur dirumah, Pak," jawabku jujur."Biar sama Bapak, kasihan kamu harus begadang sendirian. Akram benar-benar, akalnya ditaruh dimana? Sini sama Kakek, sayangnya Kakek, sekarang bobo ya, Sayang," Bapak menimang Hilda dengan sabar, MasyaAllah ketika tangan Bapak mulai menimang Hilda seakan terhipnotis dengan kelembutan Bapak, Hilda terdiam tidak menangis lagi dan tertidur. "Kasihan cucuku, pasti kamu kecapekan. Hilda biar tidur di gendongan Bapak dulu ya, Fit. Kamu tidurlah dulu pasti capek dari kemarin begadang. Nanti Hilda tak tidurkan di kamarmu," aku beranjak menuju kamar, percuma Bapak tidak akan menerima bantahan. "Bentar Fit, besok-besok jika Akram nggak dirumah kamu tidur disini saja, biar ada Bapak dan Ibu yang membantu," aku mengangguk. Aku merasa tenang karena Hilda sudah tidur bersama Bapak, aku meluruskan badan yang sudah terjaga dari pukul 03.00 pagi dini hari belum istirahat sama sekali. Berkali-kali istighfar memohon kepada Allah digugurkan dosa
*AKRAM*Aku sudah menikah lagi tanpa ijin keluarga, sudah tiga bulan aku menjalankan Sunnah Rasul dengan seorang janda beranak satu kenalan dari teman kantorku. "Akhir pekan temani aku untuk melamar, Bos," ucapku semangat."Sip Bro, aku sudah kirim fotomu sama dia. Aku juga mengatakan kalau kamu sudah punya istri dan 3 anak. Dia setuju, karena kamu temanku, jadi dia percaya kamu orang baik. Tapi bagaimana dengan keluargamu Bro?" tanya Ihsan."Itu menjadi urusanku," jawabku singkat. Pertemuan pertama dengan calon istri keduaku sangat mengesankan, wanita penuh kelembutan tampilan sederhana. Aku membayangkan Fitri akan setuju jika aku membawa dia berkenalan nantinya. Satu minggu setelah lamaran langsung melakukan prosesi pernikahan. Namun setelah menikah sungguh diluar dugaan, tiap ketemu dia mengajak jalan-jalan, mengajak belanja. Aku bisa menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, Lulu nama anaknya, Indah nama istri keduaku. Tiap ketemu dia begitu agresif sampai-sampai kegiatan kami leb
Bapak meninggalkanku begitu saja dengan kondisi pikiranku yang berantakan, aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjalan menuju kamar kami, kamarku sewaktu masih sendiri namun sudah mengalami banyak perubahan semenjak menikah. Aku melihat istriku meringkuk memeluk Hilda anakku, sangat memprihatikan aku telah menorehkan luka yang dalam, terlalu banyak dosa yang kuperbuat dengan membohonginya. Caraku salah, bukan syari'at poligami yang salah. Aku berbaring dibelakangnya kupeluk erat tubuhnya. "Maaf Bang, aku pengin sendiri dulu. "Tolong keluarlah, tidurlah diluar!" titah istriku dingin. Itulah istriku tidak pernah teriak ketika marah, dia menggunakan cara yang diluar kebanyakan wanita. Sering aku mendengar keluh kesah teman kantorku yang menceritakan tabiat istrinya yang selalu marah-marah tak jelas, namun tak pernah kudapatkan pada istri pertamaku. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Fitri memakiku dengan sepuasnya agar tak ada luka yang tersimpan dihatinya. Akulah yang menore
"Baik, aku turuti permintaanmu. Aku mohon jangan marah lagi," Aku hanya terdiam tak punya niat menjawab permohonan Bang Akram. "Sayang, pulang yuk!" ajak Bang Akram sambil duduk disamping ku. Hilda sudah bermain bersama Bapak dan Ibu diruang depan. "Aku masih pengin disini dulu, Bang. Boleh ya?" pintaku."Sayang, aku mau bicara yang lebih leluasa. Mengertilah!" Bang Akram memohon."Apakah aku yang harus selalu mengerti, Bang. Tolong kasih waktu aku untuk menata hati ini. Kasih waktu 2 hari saja untuk menerima keputusan Abang, kali ini saja, Bang. Abang yang harus mengerti dengan kondisiku,"Baiklah, tapi besok kita pulang ya?" ucap Bang Akram lembut. Aku mengangguk, sebagai tanda setuju. "Abang, bermainlah dulu sama anak-anak. Mereka sangat haus kebersamaan dengan Ayahnya!" perintahku."Baiklah, kamu segera menyusul ya, Abang bicaranya nanti malam saja. Jangan melamun sendirian," ucap Bang Akram sambil mengelus pucuk jilbabku. "Nggak lah, Bang. Aku masih punya Allah, yang membuat
"Ibu mengerti, Sayang. Ibu dukung keputusanmu," dengan tatapan teduhnya."Haus Bunda!" Daffa terengah-engah mendekat ke arahku. Di meja sudah disediakan minum buat persediaan mereka yang sedang bermain. "Sayang, pelan-pelan," ucapku."Aku mau juga, Dek," ucap Bang Akram."Ini Yah, Alhamdulillah seger," ucap Daffa lalu rebahan di teras. "Mandi yuk, Kak!" ajak Daffa."Jangan dulu, masih berkeringat tunggu kering keringatnya, Dek. Mandi bareng Ayah nanti," ucap Bang Akram."Ayah, kenapa mesti nunggu kering?" tanya Daffa."Karena ketika masih panas berkeringat langsung mandi itu tidak baik buat kesehatan, Sayang," jawab Bang Akram sambil mengelus kepala anaknya yang masih berbaring di lantai. "Kakak saja nggak capek, kok kamu sampai terkapar begitu, Dek?" sambil menertawakan adiknya. Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sedang bersama anak-anak. Bang Akram mengambil hp dan terlihat murung, mungkin dapat W******p dari Indah. "Bang, jangan melamun. Kalau kangen telpon balik saja. Ta
"Cinta ... aku sendiri sekarang bingung apa arti dari cinta." Aku tarik nafas panjang kembali, "Aku sama seperti wanita pada umumnya, Bang. Sakit ketika ada penghianatan, kecewa jika dibohongi, marah jika dikecewakan, lemah jika dihina, rapuh jika ditinggalkan. Namun aku sadar, selama ini aku terlalu berharap kepada manusia jadi hasilnya adalah kekecewaan, berharap dengan Abang yang akan menjadi sosok imam yang setia pada kehidupan rumah tanggaku, berharap kepada Abang yang menjadi pemimpin sempurna, mencintaiku dengan apa adanya tanpa melibatkan wanita lain dalam hidup Abang. Sekarang aku sadar, berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa. Aku sekarang pasrah kepada sang pemilik hati ini untuk senantiasa bisa ikhlas, dan berharap hanya kepada Allah. Aku sudah ikhlas sekali pun Abang meninggalkanku kemudian memilih hidup bersama Indah nantinya. Aku akan berusaha menjalani kehidupan ini dengan normal, apalagi hidup di dunia hanya sebentar, sudah disebutkan bahwa rata-rata umat Ra
Anak-anak mandi lebih awal, selesai adzan asar kami bersiap ke Mall sesuai permintaanku. "Kakek, ikut ya?" rengek Daffa pada kakeknya. Kakeknya paham, tidak ikut bukan karena tidak sayang dengan mereka namun memberi kesempatan untuk kebersamaan kami lebih dekat setelah lama tidak pernah jalan-jalan. "Kakek sama Nenek dirumah saja, Kakek tunggu oleh-oleh ya, Dek. Kakek sudah tua, capek kalau ikut jalan-jalan sama kalian," ucap Bapak sambil tertawa lebar. "Kami berangkat dulu ya Pak, Bu," aku pamit sama mertuaku yang sudah seperti orang tuaku sendiri. "Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lengah sama Hilda. Dia sudah pandai jalan, jangan biarkan dia jalan tanpa digandeng," ucap Ibu khawatir."Tenang Bu, ada Akram yang menjaga InsyaAllah," jawab Akram. Kami memasuki mobil, sangat menikmati perjalanan disertai dengan canda tawa anak-anak. Bang Akram tidak mau kalah, terus meledek anak-anak membuat mereka semakin bahagia. Inilah yang ku inginkan, aku nggak mau mereka kehilangan momentum se
Bang Akram duduk di sampingku, sementara Indah duduk disamping Bang Akram. Aku sangat mengerti tatapan anakku, ku anggukan kepala sebagai tanda setuju dengan yang mereka maksud. "Tante, bisa minta tolong pindah disini? Aku mau minta tolong ayah untuk memisahkan diri ikan ini," ucap Syifa dengan lembut. Lega rasanya Syifa menuruti kataku, untuk bicara dengan lembut. Terlihat Indah pindah posisi dengan muka tak bersahabat. "Maaf ya, Dek. Mbak lagi repot dengan Hilda jadinya tepaksa ayahnya yang membantu Syifa," ucapku tidak enak dengan sikap anakku. Tepatnya pura-pura tidak enak, siapa suruh bergabung dan merusak kebahagiaan kami saat ini. Kejam ya? Kalau dia baik maka aku akan bersikap jauh lebih baik. Pantas saja anak-anakku tak terima. Kursi didepan ku baru terisi Syifa dan Daffa, kursi sampingku penuh dengan orang dewasa. Sudah terlihat jelas posisi tak seimbang kan?"Nggak apa, Mbak" ucap dia terbata. Sepertinya menahan kekesalan. "Daffa, kamu bisa sendiri? Hati-hati Sayang, ata
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve